Religiosities as Cultural Capital for Scientific Writing

Disampaikan pada: Workshop Penulisan Makalah Ilmiah Simposium Ilmiah Masjid V “Menghadapi Transformasi Teknologi dan Perubahan Generasi dengan Gerakan Keberlanjutan dari Masjid”, Asosiasi Masjid Kampus Indonesia, Bandung, 25 November 2023

Artikel:Ekomadyo (2023) – Religiousity and Scientific Writing Manner (Worshop SIM)

Tulisan ini diawali dengan ungkapan “Kekuatan Iman”. Ungkapan ini disampaikan oleh Pak Hermawan K. Dipojono dalam sebuah pengajian haji di Mina, tahun 2010. Lewat metafora sebuah negara adidaya yang mengerahkan sumber daya untuk mencegah senjata nuklir di negara lain, beliau menggambarkan bahwa kepercayaan, yang belum tentu ada bukti valid, bisa menggerakkan orang. Lewat metafora itu, beliau menyatakan bahwa muslim itu punya iman, dan iman itu bisa menjadi sumber kekuatan untuk menggerakkan sesuatu.  Artinya, sebagai seorang yang beriman (as believers) iman merupakan sumber kekuatan untuk bagi diri sendiri misalnya beramal, bahkan menggerakkan orang untuk berbuas sesuatu demi kemaslahatan bersama.

Dalam perspektif inovasi, kekuatan iman itu bisa diterjemahkan sebagai  “religiousity as cultural capital for innovation and research”.  Istilah ini muncul dari temuan riset bagaimana inovasi berbasis pengetahuan astronomi bisa mampu memberikan dampak secara ekonomi dan sosial kepada masyarakat sekitar (Santri, dkk., 2019, Ekomadyo, dkk., 2020, Aditra & Ekomadyo, 2021). Cultural capital, atau modal budaya, diartikan sebagai pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skills), tatakrama (manners), dan mandat (credentials) yang didapatkan melalui pendidikan dan pengasuhan (Bourdieu, 1986, Dovey, 2010). Modal budaya tersirkulasi dan bisa saling ditransformasikan ke dalam modal sosial dan modal ekonomi (Swartz, 1997). Dalam banyak kasus, banyak orang atau komunitas yang mengembangkan inovasi dimulai dengan modal budaya dahulu, baru kemudian menjadi modal ekonomi melalui modal sosial. Ini terjadi, misalnya, pada komunitas pecinta kopi manual di Bandung, yang memulai bisnis kopi dari kedai sederhana, penyelenggaraan event komunitas, hingga mampu membangun café yang punya nilai komersial yang tinggi (Ekomadyo, 2019). Beberapa aktivis muslim ternyata mengartikulasikan kekuatan iman dalam upaya gerakan pemberdayaan masyarakat, dan artikulasi ini bersifat variatif tergantung dari latar belakang aktivis dan konteks spatio-temporal gerakan yang dilakukan.

Mengapa menulis perlu diniatkan sebagai ibadah? Mengapa keimanan muslim perlu ditransformasikan ke dalam riset dan inovasi? Apakah religiusitas muslim yang berisi keimanan terhadap penugasan sebagai manusia di bumi, bisa menjadi modal budaya untuk menghasilkan pemikiran dan pengetahuan yang bisa berdampak untuk masyarakat banyak?

Ada beberapa alasan muslim cendikia perlu mendidekasikan diri ke dalam dunia riset dan inovasi. Pertama, kemajuan suatu masyarakat ternyata ditentukan oleh penguasaannya akan teknologi yang didukung oleh temuan-temuan ilmiah berbasis sains. Contoh terbaru adalah perkembangan Cina sebagai kekuatan yang berpengaruh di dunia, yang semakin terasa ketika negeri ini mengembangkan riset dan inovasi setelah mengembangkan kekuatan buruh, petani, dan pengusaha (Iskan, 2023). Sebelumnya, negeri Jepang juga menjadi negara maju karena adanya etos adopsi teknologi dengan metode mengamati dan meniru dari apa yang dilakukan negara Barat. Bahkan negara-negara Barat pun, seperti Amerika ketika Abad ke-20 atau Eropa pada masa Kolonialisme, juga menjadi negara-negara yang berpengaruh karena penguasaannya akan teknologi dan ada ilmu pengetahuan yang menjadi dasar pengembangannya. Bahkan kemajuan peradaban Islam Abad Pertengahan pun juga ditandai dengan kemajuan dan penghargaan terhadap ilmu pengetahuan.

Kedua, munculnya kritik terhadap determinisme pengetahuan modern dan potensi kontribusi para cendekiawan muslim (muslim scholar). Modernisme yang deterministik banyak dinilai mengabaikan aspek humaniora, termasuk spiritualitas manusia, sehingga ilmu pengetahuan modern dianggap kurang memberikan ruang bagi pencarian makna tentang kehidupan. Ilmu pengetahuan modern lemah dalam menjawab hidup untuk apa. Beberapa Ilmuwan muslim mencoba melakukan harmonisasi antara spiritualitas yang dikembangkan dalam dunia islam untuk mengisi kekosongan makna dari sains modern yang dianggap terlalu deterministik dan materialistik (Guessoum, 2010).

Ketiga, adanya upaya reaktualisasi keilmuan klasik Islam agar relevan dengan ilmu pengetahuan modern saat ini. Diakui, tradisi keilmuan klasik pada Abad Pertengahan memberikan kontribusi signifikan pada semangat Pencerahan (Rennaissance) yang mendorong masyarakat Eropa untuk maju dengan mengembangkan ilmu pengetahuan. Beberapa ilmuwan muslim saat itu, seperti Ibnu Khaldun, diakui sebagai salah satu peletak dasar disiplin Ilmu Sosial Modern (Ritzer & Stepnisky, 2017). Dedikasi dalam tradisi muslim klasik sebenarnya masih berlangsung hingga saat ini, namun karena ini banyak berlangsung secara informal, etos ini tidak banyak diketahui oleh masyarakat modern (Shihab, 2020). Perlu berbagai terobosan agar etos kecintaan terhadap ilmu masih ada pada tradisi keilmuan Islam klasik agar bisa selaras (aligned) dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern (Madjid, 1999).

Dari ketiga argumen tersebut, maka menulis ilmiah, bisa menjadi ibadah karena tiga hal di atas: memajukan masyarakat, berkontribusi pada kemajuan pengetahuan modern dari aspek spiritualitas dan makna hidup, dan mereaktualisasi tradisi keilmuan Islam agar lebih diakui oleh kemajuan pengetahuan modern. Ketiganya bisa menunjukkan bagaimana Islam menjadi “Rahmat lil Alamin”. Dengan “Bismilah”, menulis ilmiah akan bisa bernilai sebagai “Ilmu yang Bermanfaat”, paling tidak etos untuk tekun dalam menuliskan pemikiran agar menjadi pengetahuan yang terstruktur, bisa menginspirasi orang lain dalam melakukan hal serupa. Ada kemanfaatan secara kultural terhadap sikap yang dibangun.

Meneladani para muslim yang menjadi ilmuwan yang berpengaruh di dunia, ternyata ditemukan ada konsistensi dan persistensi dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan (Abdullah, 2017). Konsistensi dan persistensi ini ternyata juga menjadi etos para ilmuwan secara umum, di mana pengetahuan yang mereka kembangkan kemudian memberikan manfaat kepada dunia. Dalam lingkup yang lebih kecil, penulis bersama para peneliti yang lain dalam sebuah forum diingatkan untuk memilih bersusah payah dalam menuliskan hasil penelitian dalam forum ilmiah bereputasi, daripada memilih jalan pintas lewat calo atau jurnal predator: budaya ilmiah lebih menghargai jerih payah seseorang.  Konsistensi dan persistensi ini dalam bahasa Islam disebut sebagai al istiqamah. Dalam al Quran, istilah ini kita baca secara berulang-ulang lewat “ih dina al shirath al mustaqim” (Al Quran: 1:6).

Bagi diri sendiri, menulis sebenarnya cara paling akuntabel dalam melatih cara berpikir. Dengan menulis, kita melatih diri untuk menstrukturkan pemikiran. Ada proses di dalam pikiran ketika gagasan muncul, kemudian dituliskan sementara, diendapkan, distrukturkan, dibaca ulang, lalu dituliskan kembali agar bisa dipahami oleh pembaca. Ada proses berlatih berpikir saat menulis.

Menulis ilmiah adalah cara mengembangkan diri, terutama pengembangan intelektualitas bagi seseorang. Bagi muslim, intelektualitas ini menjadi penting ketika dunia Islam perlu mendapatkan pengakuan dan penghargaan oleh masyarakat modern. Dan jika ini terasa berat karena belum menjadi kebiasaan dan budaya, maka konsistensi dan persistensi dibutuhkan agar kebiasaan dan budaya itu bisa tumbuh dan berkembang. Dan seperti ketika kita kesulitan saat mendapatkan ujian hidup yang menjadi syarat agar kita bisa menjadi lebih baik, maka saatnya ada satu tujuh ayat yang kita baca berulang-ulang yang relevan untuk kita hayati: “Ihdina al shirath al mustaqim”.

Referensi:

Al Quran al Karim

Abdullah, M. (2018). Kita Harusnya Malu dan Tersinggung. Paparan di Masjid Salman, 7 April 2018

Aditra, R.F., & Ekomadyo, A.S. (2021).  Adoption of Innovation in Segregated Construction Project. Jurnal RUAS (ISSN 1693-3702 E-ISSN 2477-6033), 19 (1) 57-67, https://ruas.ub.ac.id/index.php/ruas/article/view/304/0

Bourdieu, P. (1986). The Forms of Capital. Richardson, J.G. (ed). Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education, New York: Greenwood Press.

Dovey, K. (2009). Becoming places: urbanism/architecture/identity/power. Routledge.

Ekomadyo, A.S., dkk. (2020). Membina Lingkungan Lewat Inovasi Sosial, Belajar dari Imahnoong dan Pasar Purnama Lembang. Penerbit YPM Salman ITB Bidang Pengkajian dan Penerbitan. ISBN 978-623-91847-2-8

Ekomadyo, A.S. (2019).  Bandung Kota Kafe: Produksi Ruang Kafe oleh Komunitas Kopi di Kota Paris van Java. Book Chapter pada Novianto, M., Nuzir, F.A., dan Maha Putra, I N.G (2019). Antologi Kota Indonesia #2. ISBN: 978-602-5615-832. OMAH Library, Jakarta.

Guessoum, N. (2010). Islam’s Quantum Question: Reconciling Muslim Tradition and Modern Science. London: LB Tauris and Co,

Iskan, D. (2023). Teladan Dari Tiongkok. Pustaka Obor Indonesia.

Madjid, N. (1999). Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Mizan

Ritzer, G. & Stepnisky, J.N. (2017). Modern Sociological Theory. SAGE Publications

Saliba, G. (2007). Islamic Science and the Making of the European Renaissance. The MIT Press

Santri, T., Ekomadyo, A.S., Aditra, R.F. (2019). Genius Loci Kampung Areng di Lembang. Studi Kasus: Wisata Astronomi Imah Noong di Desa Wangunsari Kampung Eduwisata Areng Lembang Kabupaten Bandung Barat.  Jurnal TIARSIE, 16 (4), 121-124. DOI: https://doi.org/10.32816/tiarsie.v16i4.68,

Swartz, D. (1997). Culture and Power: The Sociology of Pierre Bourdieu.  The University of Chicago Press.

Shihab, N. (2020).  Lebih Dekat dengan Gus Baha (Part 1), Shihab & Shihab. https://www.youtube.com/watch?v=TDspKy-JHNU&t=851s

Religiusitas dan Lingkungan Binaan: Menelusuri Aktivis Muslim dalam Perubahan Sosial

Book Chapter “Perspektif Latourian untuk Artikulasi Religiositas dalam Membina Lingkungan untuk Perubahan Masyarakat” dalam buku Membaca Latour (2023)  Penerbit Antinomi

Artikel: Ekomadyo (2023) – Latour unt Lingkungan Binaan Aktivis Muslim (Antinomi_Membaca-Latour)

Konsepsi ANT yang digunakan dalam tulisan ini yaitu problematisasi oleh aktivis, framing strategi perubahan masyarakat, artikulasi religiositas dan dikaitkan dengan artikulasi lainnya, serta dan perubahan yang terjadi dan bagaimana script religiositas ter-lokal-kan pada lingkungan yang terbina.

Saat mahasiswa dulu, ada perdebatan menarik tentang Islam dan Arsitektur. Pertama, istilah yang paling populer adalah “Arsitektur Islam”: sebenarnya istilah ini diberikan para Scholar dari Barat yang mencoba memetakan dunia arsitektur di luar barat: ada Arsitektur Cina, Arsitektur India, dan Arsitektur Islam. Kedua, Arsitektur Masyarakat Islam: yang digunakan oleh Aga Khan Award for Architecture untuk mencari arsitektur yang “excellence” di masyarakat Islam: kadang ada yang terkait dengan nilai-nilai Islam (seperti Pondok Pesantren di Pabelan atau Masjid Said Naum), atau yang tak terkait dan dilihat hanya masyarakat Islam-nya saja (misalnya Citra Niaga di Samarinda atau Kampung Kali Code di Yogyakarta). Nah, yang ketiga adalah mazhab Achmad Noeman: melihat “arsitektur” dan “Islam” tidak dalam perspektif yang “sumpek”: beliau menafsir nilai-nilai Islam dalam perspektif Arsitektur Modern, misalnya prinsip anti kemubaziran (ornament is crime), anti kubah (kejujuran struktur), masjid tanpa tiang (rasionalitas struktur), dll.

Bagi arsitek yang juga aktivis, Pondok Pesantren di Pabelan bisa menjadi benchmark bagaimana “seharusnya” Islam dan Arsitektur itu berpadu. Pada masa itu (1980-an), memang masa-masa ketika upaya gerakan perubahan masyarakat cukup kuat di kalangan aktivis Islam. Dan Pondok Pesantren di Pabelan, beserta pesantren-pesantren lain, menjadi semacam “social laboratory”. Di sini, ada Gus Dur membawa pesantren ini ke dalam jejaring internasional. Dengan masyarakat setempat, ketokohan diperankan oleh Kyai Hammam Da’far yang mendorong para santri untuk “mengislamkan batu-batu di kali” untuk bangunan pesantren. Dan para santri ini diajari seni bertukang lewat kaidah arsitektur yang sederhana oleh Arsitek Achmad Fanani. Ya, betapa gerakan perubahan masyarakat bisa menghasilkan arsitektur yang excellence.

Namun masa berganti, isu perubahan masyarakat di Indonesia sebagai dunia ketiga tak semenarik masa itu. Dan lagi, apakah upaya perubahan masyarakat harus menghasilkan arsitektur yang excellence? Dan apakah upaya perubahan masyarakat tidak melibatkan arsitektur?

Untuk menjawab pertanyaan peran arsitektur dalam upaya perubahan masyarakat, saya menggunakan pendekatan artikulasi dari ANT (Actor-Network Theory). Ada 7 kasus gerakan perubahan masyarakat yang diteliti, termasuk bagaimana peran arsitektur di dalamnya. Dalam perspektif ANT, arsitektur merupakan aktor nonhuman yang bisa menjadi mediator dalam relasi-relasi aktor-aktor manusia (human).

Dari penelusuran tersebut ditemukan, bahwa artikulasi nilai-nilai Islam oleh para aktivis ditentukan oleh dua hal: latar belakang dan konteks spatio temporal. Artinya, artikulasi nilai-nilai Islam untuk perubahan akan sangat variatif, tergantung kedua hal tersebut. Dan wujud arsitektural dalam lingkungan yang terbina juga akan ditentukan oleh kedua hal tersebut.

Dari temuan ini, justru membuat saya melihat perspektif ketiga tentang “arsitektur” dan “Islam”, yaitu following muslim architects in action. Ya, meskipun menafsir Islam dalam perspektif Modern, namun Achmad Noeman tidak kehilangan etos keislamannya. Itu seperti cara menafsir Islam dari aspek kemanfaatan oleh Kyai di Ciwidey ketika membangun pesantren pertanian atau alumni Santri Tebuireng ketika membangun observatorium komunitas. Atau arsitek yang menafsirkan Akhlak al Karimah ketika membangun eco-pesantren. Atau penafsiran dari beberapa aktivis tentang Civic Islam ketika membuat gerakan pengentasan kemiskinan di perdesaan. Dan artikulasi ini ada yang bersifat personal, ada yang bersifat kelembagaan. Yang bersifat kelembagaan, seperti Muhammadiyah, artikulasinya cenderung top-down: menerapkan misi organisasi untuk dakwah di lapangan. Ada lembaga tertentu yang bergerak dengan mengirim aktivis ke pelosok daerah, dan identitas Islam digunakan sebagai dukungan moral terhadap aktivis yang ditugaskan, meskipu di lapangan harus banyak melakukan penyesuaian dan memberikan ruang bagi pelaku setempat dalam kegiatan dakwah tersebut. Ada juga technopark yang dibangun di perdesaan, yang diawali dengan niat kepala desa untuk memperbaiki akhlak warga desanya. Dan aneka artikulasi tersebut melibatkan lingkungan binaan dimana script-script keimanan itu ter-lokal-kan.

Dari pelacakan “muslic activists in action”, ditemukan bagaimana religious script itu ter-lokal-kan dalam lingkungan binaan. Apa itu religious script? Simpelnya adalah bagaimana nilai-nilai religius itu dibaca (kembali) sebagai petunjuk dalam bertindak. Oleh muslim, religiousity itu sering disebut dengan iman. Dulu saat berhaji, Pak Hermawan K. Dipojono mengingatkan kita untuk selalu memperbaharui dan meningkatkan kekuatan iman. Kekuatan iman ini kalau dalam disiplin sosial bisa disebut “religiousity as cultural capital”. Dan lewat ANT, bagaimana kekuatan iman ini mendasari para aktivis dalam bertindak melakukan perubahan masyarakat, dilacak bagaimana script-script keimanan ini tersirkulasi di antara pelaku, dan bagaimana ter-lokal-kan dalam lingkungan yang terbina.

Jalan Ilmu Pengetahuan: Belajar Lewat Tindakan

Catatan dari Seminar Ilmiah Pascasarjana #3, Menjadi Peneliti Profesional dengan Etos Kerja Tinggi dan Beretika, Keluarga Mahasiswa Islam (KAMIL) Pascasarjana ITB, Sabtu, 21 Oktober 2023

Materi Presentasi: Ekomadyo (2023) – Jalan Ilmu Pengetahuan Muslim Cendekia (Seminar KAMIL)

Sebagai orang yang dididik menjadi arsitek, perlu ada beberapa strategi ketika diminta berbicara tentang ethos dan ethics dalam penelitian. Ada tiga “dunia yang berbeda”: dunia arsitektur, dunia penelitian, dan dunia ethos dan ethics. Apalagi jika dikaitkan dengan Islam, tentu semakin beraneka dunia yang perlu dilihat dan coba untuk dirajut. Untuk melihat sesuatu yang berbeda dalam suatu kesatuan, pendekatan filosofis menjadi penting.

Pendekatan filosofis ini perlu dilakukan karena tradisi meneliti bukan menjadi tradisi profesi arsitek yang lebih berorientasi pada penerapan kreativitas untuk pemecahan masalah. Menjadi peneliti adalah kewajiban pengajar di universitas pada masa kini, termasuk dalam bidang arsitektur. Di dunia profesi arsitektur memang ada kode etik arsitek, namun rasanya kode-kode (aturan yang disepakati bersama) dalam dunia profesi arsitek rasanya berbeda dengan ethics dan ethos dalam penelitian.

Lalu, pendekatan filosofis apa yang saya pilih? Tentu tidak jauh dari ontologi Teori Jaringan-Aktor, yang mendasarkan kajiannya dengan “following someone doing something”. Dengan ontologi ini, maka belajar arsitektur sejatinya adalah “following architect design something”, atau “following architect in action”. Dalam bahasa praktisnya adalah magang, nyantrik, atau apprentices. Artinya, beyond code, belajar etika dalam dunia arsitektur adalah lewat magang dari arsitek: nilai-nilai apa yang dia anut, bagaiama jika ada pertentangan nilai, dan bagaimana konsisten dan membangun adaptasi dari pertentangan nilai tersebut.

Dari pendekatan ini, maka cara mem-follow arsitek dalam membangun ethics dan ethos saya transformasikan untuk berbicara tentang ethics dan ethos dalam penelitian: following scientists in action. Sama seperti arsitek, ketika mereka bekerja dan bertindak, bagaimana membangun nilai-nilai, penyesuaian-penyesuaian, dan konsistensi, menjadi hal yang penting untuk dipelajari. Learning ethics and ethos from someone’s action.

Dengan demikian, metode ini tidak terlalu sulit untuk menjelaskan bagaimana ethics dan ethos untuk dunia Islam: following Muslim Scholar in Action. Bagaimana para Muslim Scholar membangun ethos dan ethic mereka. Sebagai muslim, tentu mereka mengambil al Quran sebagai referensi. Dan ternyata, banyak variasi dalam artikulasi nilai-nilai Islam dalam tindakan, dan ini ditentukan oleh dua hal: latar belakang sang Muslim dan konteks ruang waktu yang dihadapi. Dalam ANT dikenal circulating references: ini bisa menjelaskan bagaimana para Muslim Cendekia mengartikulasikan pesan-pesan dalam al Quran dalam menempuh jalan Ilmu Pengetahuan.

Modal Budaya dalam Tatakelola Pasar Rakyat Menghadapi Disrupsi Teknologi

Catatan dari Sosialisasi  Pembinaan Pasar Rakyat Strategi Pengelolaan Pasar Rakyat di Era Digitalisasi, Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, Pekanbaru, 12 Oktober 2023

Materi presentasi: Ekomadyo (2023) – Modal Budaya Era Digital Pasar Rakyat

 

Sebagai arsitek yang mendalami pasar rakyat, adalah menjadi tantangan tersendiri untuk membawa discourse tentang pasar rakyat ke dalam discourse arsitektur dan begitu pula sebaliknya. Sampai saat ini, dunia arsitektur lebih banyak berorientasi pada masalah teknis tentang wujud bangunan yang baik. Di sisi lain, di Indonesia, masalah pasar rakyat masih lebih banyak pada aspek tatakelola: lebih banyak masalah sosial daripada masalah teknis. Menjadi pertanyaan yang perlu dijawab, bagaimana aspek-aspek teknis yang menjadi concern arsitektur bisa relate dengan permasalahan sosial yang lebih banyak berada di pasar rakyat.

Adalah Kim Dovey (2010), pemikir Arsitektur dan Urbanisme, yang mampu memformulasikan aspek teknis, dalam hal ini ruang arsitektural, dengan aspek sosial. Kata beliau: “if space is socially constructed, the social is spatially constructed”. Artinya, ada relasi mutual antara ruang arsitektural dengan ruang sosial: ruang arsitektur membentuk karakter sosial, dan sebaliknya, ruang sosial juga membentuk representasi arsitekturalnya. Arsitektur pasar yang baik akan dihasilkan oleh tatakelola yang baik, dan sebaliknya, tatakelola pasar yang baik akan mewujudkan arsitektur pasar yang baik pula.

Selanjutnya, dengan mengutip Bourdieu (1986), Dovey menyebut peran arsitek dan karya arsitekturnya sebagai Cultural Producters (Produsen Budaya). Peran ini saya sederhanakan dengan peran arsitek lewat karya arsitekturnya adalah membuat suatu kelompok masyarakat menjadi “naik kelas”. Arsitek yang mampu menjalankan perannya sebagai cultural producer bagi pasar rakyat adalah Thomas Karsten. Lewat pengetahuannya tentang lokalitas dan budaya masyarakat setempat, dipadukan dengan kompetensi teknis sebagai arsitek, Karsten bisa menjadikan pasar-pasar yang ia rancang, antara lain Pasar Djohar Semarang dan Pasar Gede Surakarta, sebagai kebanggaan warga kota tersebut.

Ketika berbicara disrupsi, saya memilih berbicara tentang modal budaya (cultural capital) daripada teknologi. Menurut Bourdieu (1986), modal budaya adalah pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill), tatakrama (manners), dan mandat (credentials) yang didapatkan lewat pendidikan, pengasuhan, dan pemagangan. Modal budaya tersirkulasi dan saling bisa ditransformasikan dalam arena sosial bersama modal ekonomi dan modal sosial. Dengan demikian, modal budaya relatif ada dalam kendali dari orang-orang yang mempunyainya. Berbeda dengan teknologi, bisa berubah setiap saat, dan sering di luar kendali dari orang-orang yang terkena dampak teknologi tersebut. Pengalaman seorang kepala pasar, ketika mengenalkan teknologi baru ke pedagang pasar, perlu kesabaran tertentu, karena sebagian besar pedagang sudah sepuh. Kesabaran, merupakan bentuk tatakrama (manners), sebagai modal budaya yang dipunyai kepala pasar tersebut.

Lebih dalam dari itu, Widiastuti (2018) memilih perjalanan spiritual manusia saat menjelaskan industri 4.0. Dengan mengambil metafora dari cerita Pinokio si Boneka Kayu, Widiastuti menjelaskan bahwa teknologi bisa membuat manusia terdistraksi dalam aneka kesenangan sementara, seperti pinokio yang terdistraksi dari perjalanan ke sekolah seperti permintaan penciptanya, Gepeto. Distraksi tersebut kemudian membuat Pinokio terjebak menjadi keledai yang justru tereksploitasi oleh kesenangan sementara tersebut. Di akhir cerita, Pinokio si Boneka Kayu menjadi anak manusia, karena mampu mengarung ke dalam samudra menyelematkan sang pencipta, Gepeto. Lewat cerita ini, Widiastuti mengingatkan, apa pun perkembangan teknologi, perjalanan untuk menjadi manusia seutuhnya: jatidiri sebagai manusia

Lalu, apa jatidiri pasar rakyat di Indonesia? Ketika sedang memulai program revitalisasi di Indonesia, terbit sebuah buku yang ditulis oleh para akademisi, pengambil kebijakan tingkat pusat dan daerah, perwakilan pengelola, dan perwakilan pedagang. Buku itu berjudul “Rumah Ekonomi Rumah Budaya” (Basri, dkk., 2016). Judul tersebut menunjukkan, ada nilai-nilai budaya yang tercipta dalam aktivitas jual beli di pasar rakyat. Salah satu kontributor buku itu adalah mantan Walikota Surakarta yang kemudian menjadi presiden RI, yang menyebutkan konsep “ngewongke” (memuliakan manusia) sebagai kunci dalam aneka program revitalisasi pasar. Dalam tradisi masyarakat Jawa, dikenal istilah “Mantri Pasar”, di mana konsep “ngewongke” perlu diartikulasikan oleh kepala pasar dalam tataran praktis: mengelola kepentingan para pelaku pasar. Seorang Mantri Pasar perlu kapasitas menata relasi kuasa, dan ini akan terkait dengan menata ruang-ruang di pasar rakyat (Kuntowijoyo, 1994).

Dalam tatakelola pasar rakyat, modal budaya terbentuk karena relasi antar manusia yang terlibat dalam aktivitas pasar rakyat tersebut. Relasi antar manusia tersebut dimediasi oleh keberadaan aneka objek-objek teknis. Di sini, arsitektur tersusun sebagai komposisi dari aneka-aneka objek teknis tersebut yang memerankan perannya sebagai mediator modal budaya dari para pelaku pasar. Bangunlah jiwanya, bangunlah raganya. Sebagai sebuah raga, arsitektur pasar rakyat yang “excellence” akan mencerminkan jiwa tatakelola pasar yang “excellence” juga. Arsitektur pasa jwa tatakelola pasar rakyat yang excellence juga.

 

Referensi:

Basri, C. (2018). Rumah Ekonomi Rumah Budaya: Membaca Kebijakan Perdagangan Indonesia. Gramedia.

Bourdieu, P. (1986). Form of Capital. Dalam Richardson, J. Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education. Westport, CT.

Dovey, K. (2010). Becoming Places: Architecture/ Urbanism/ Identity/ Power. Routledge.

Kuntowijoyo (1994). Pasar. Gramedia

Widiastuti, I. (2018). Pembangunan, Manusia Indonesia, dan Petualangan Pinokio. Talkshow “Future Challenge”, Homecoming Alumni Magiser Studi Pembangunan, SAPPK ITB, 8 Desember 2018, Gedung CRCS ITB.

“Merancang” Riset Kecil bagi Mahasiswa Sarjana Arsitektur

Link untuk buku antologi Seminar Arsitektur ITB: https://iplbi.or.id/buku-transformasi-dan-resiliensi-dalam-perspektif-mahasiswa-sarjana-arsitektur/

Ada “kehebohan” kecil dalam dunia pendidikan tinggi sekitar tahun 2012, yaitu dengan terbitnya Surat Keputusan Dirjen Dikti nomor 152/E/T/2012 yang mewajibkan mahasiswa S-1, S-2, dan S-3 untuk mempublikasikan tulisan ilmiah dalam jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan. Kebijakan ini, meski meski bertujuan meningkatkan kualitas penelitian ilmiah pendidikan tinggi, tetapi mengundang kontroversi, pro dan kontra, ketika dihadapkan pada realitas yang ada. Yang pro menganggap kebijakan ini penting untuk meningkatkan mutu skripsi, tesis, dan disertasi mahasiswa. Yang kontra menganggap kebijakan ini terlalu dipaksakan dan justru memberatkan penyelenggaraan pendidikan

Untuk mahasiswa S-1 arsitektur, kebijakan ini juga menuai kontroversi. Selama ini, tradisi pendidikan sarjana arsitektur berorientasi pada praktis, menyiapkan anak didik untuk bekerja sebagai arsitek junior, sehingga kemampuan menulis ilmiah tidak serta merta menjadi prioritas utama. Pendidikan sarjana arsitektur lebih berorientasi pada pemecahan masalah, bukan memproduksi pengetahuan dengan metode ilmiah yang didiseminasikan lewat aneka bentuk publikasi ilmiah.

Penyelenggaraan Mata Kuliah (MK) Seminar Arsitektur di ITB juga tidak luput dari kontroversi. Di satu sisi, beberapa kali muncul keinginan dari sebagian pengajar untuk meletakkan matakuliah ini bagian dari persiapan Tugas Akhir (TA), dengan pertimbangan untuk meningkatkan kualitas persiapan TA menyiasati keterbatasan waktu kuliah/ SKS yang tersedia. Namun di sisi lain, beberapa pengajar ingin agar MK ini tetap bersifat independen, di mana mahasiswa bisa lebih bebas menyalurkan rasa ingin tahu akan fenomena tertentu melalui riset kecil dan menghasilkan paper yang dipresentasikan di kalangan terbatas. Pilihan ini mendapat dukungan sebagian mahasiswa yang memilih menjadikan MK ini sebagai sarana untuk sejenak melepaskan diri (being away) dari rutinitas produksi desain melalui studio arsitektur. Namun ada sisi positif dari suatu kontroversi, yaitu terpicunya proses belajar dari kedua belah pihak baik yang pro maupun yang kontra. Proses belajar ini terjadi karena masing-masing akan menelaah dan memperkuat argumen masing-masing sekaligus mencari titik temu dari perbedaan yang ada. Selayanya dialektika, di mana pengetahuan sebagai sebuah tesis baru dihasilkan melalui sintesis terhadap antitesis dari suatu tesis lama yang dianggap mapan. Dengan demikian, proses dialektika akan mendorong proses belajar dan menghasilkan pengetahuan secara terus menerus.

Sebagai koordinator matakuliah seminar, berbagai kontroversi ini mendorong penulis untuk terus belajar dan menghasilkan sesuatu sebagai upaya memproduksi pengetahuan secara terus menerus. Permasalahan utama matakuliah Seminar Arsitektur adalah bagaimana mendorong mahasiswa untuk menghasilkan tulisan berkualitas melalui riset kecil dengan waktu yang sumber daya yang terbatas. Keterbatasan ini  muncul karena riset kecil yang harus dilakukan oleh mahasiswa dalam 2 SKS (artinya 2 jam tatap muka, 2 jam belajar terstuktur, dan 1 jam belajar mandiri), sementara secara institusional mahasiswa tidak mendapat kuliah khusus tentang metodologi riset. Di luar itu, aneka studio dan kuliah dan studio lebih berorientasi pada kompetensi mahasiswa dalam merancang dalam konteks profesi arsitek atau memperkaya wawasan tentang isu-isu nasional dan global. Meminjam istilah Peter Rowe, penyelenggaraan kuliah Seminar Arsitektur menghadapi wicked problems (Rowe, 1987).

Bagi desainer, wicked problems justru menjadi tantangan. Pada umumnya, desainer bekerja dengan informasi yang minim namun dituntut memecahkan suatu masalah secara kreatif. Dan ini sering berhasil! Maka, cara berpikir desainer ini kemudian banyak menginspirasi disiplin-disiplin lain dalam menyelesaikan masalah-masalah yang rumit secara kreatif. Dan dari sinilah konsep “Design Thinking” mulai menarik perhatian disiplin-disiplin lain dalam mengembangkan cara berpikir kreatif untuk menyelesaikan masalah-masalah yang rumit. Kunci “design thinking” adalah bagaimana para desainer mampu membingkai (to frame) “how” yang mengarahkan pada “value” dalam suatu cara berpikir yang logis (Dorst, 2011). Artinya, desainer terbiasa berpikir bagaimana menyelesaikan masalah sekaligus memberikan nilai pada produk-produk yang dihasilkan. Dari sini, penulis mencoba menggunakan pendekatan “design thinking” untuk menyelesaikan “wicked problems” dalam penyelenggaraan matakuliah Seminar Arsitektur. Tantangannya adalah bagaimana menghasilkan paper-paper bermutu bagi mahasiswa sarjana arsitektur di tengah keterbatasan waktu dan bekal pengetahuan mahasiswa. Kata kuncinya adalah, merancang perkuliahan. Analogi dengan bangunan, dengan dirancang dengan baik, maka segala keterbatasan bisa disiasati dan dikalkulasi agar bangunan yang dihasilkan tetap berkualitas. Dengan demikian, jika dirancang dengan baik, segala keterbatasan perkuliahan bisa disiasati dan dikalkulasi agar matakuliah seminar bisa menghasilkan paper-paper yang berkualitas.

Sepanjang menjadi koordinator pada tahun 2014, ada beberapa isu yang menjadi tema seminar. Tema-tema seminar selalu dicari yang bisa mewakili seluas mungkin minat riset kecil dalam dunia arsitektur.Tema-tema tersebut adalah “Kreativitas Lokal dalam Arsitektur” untuk tahun 2014, “Aspek-aspek Perancangan Arsitektur dan Implementasinya” untuk tahun 2016, “Transformasi Arsitektur di Lingkungan Perkotaan” untuk tahun 2017, dan “Resiliensi dalam Arsitektur” untuk tahun 2019 (gambar 1)

 

Gambar (1)

Gambar 1: Tema dan poster MK Seminar Arsitektur dari tahun 2014 sampai 2018

Untuk penyelenggaraan tahun 2018, ada beberapa “prestasi” yang dicapai dalam penyelenggaraan matakuliah seminar arsitektur. Merespon berbagai kasus bencana di tanah air, topik seminar tahun 2018 adalah “Resiliensi dalam Arsitektur”. Pada akhir semester, diselenggarakan seminar pleno yang mengundang publik dengan mempresentasikan 8 paper terbaik dari 4 kelas paralel. Untuk tahun ini, seminar pleno melibatkan peninjau eksternal (external reviewers) anggota Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI) untuk memilih satu paper terbaik (gambar 2). Selain itu, beberapa paper karya mahasiswa sarjana arsitektur bisa terbit dalam seminar nasional (Cahyaningtyas dkk., 2018, Claudia dkk., 2018, Khamim dkk., 2018, dan Maulani dkk., 2018), dan satu paper terbit dalam konferensi internasional (Saputra dkk, 2018).

Gambar (2)

Gambar 2: Mahasiswa yang mendapatkan penghargaan untuk paper terbaik (kiri) dan penyerahan piagam kepada peninjau eksternal anggota IPLBI

Sebagai sebuah tulisan reflektif, ada beberapa kesamaan cara berpikir, ketika penulis merancang bangunan, selayaknya seorang arsitek, dengan merancang perkuliahan, sebagai koordinator matkuliah. Pertama, adalah berpikir preskriptif, memulai dengan bayangan akan hasil akhir. Sebagaimana seorang arsitek yang sudah punya bayangan tentang hasil akhir bangunan, penyelenggaraan kuliah pun dirancang dengan bayangan terhadap hasil akhir, yaitu paper-paper yang berkualitas. Jika merancang arsitek dibantu dengan studi presedens, maka presedens untuk penyelenggaraan matakuliah ini adalah paper-paper terbaik tahun sebelumnya. Kata kunci di sini adalah benchmarking.

Kedua, desain adalah proses iteratif untuk mencapai kesesuaian (appropriateness) dari berbagai pertimbangan (Cross, 1982, Saliya, 2003). Merancang bangunan juga dilakukan dengan proses bolak-balik sehingga mendapatkan rancangan yang diinginkan. Penyelenggaraan matakuliah ini juga melibatkan perbaikan berkelanjutan baik secara taktis dalam kurun pelaksanaan kuliah maupun secara strategis melalui evaluasi pelaksanaan tahun-tahun sebelumnya. Kata kunci di sini adalah continuous improvement.

Ketiga, desain memikirkan keterbangunan (constructability) dari elemen-elemen yang dirancang. Jika elemen terpenting dalam bangunan adalah elemen fisik (batu-bata, pintu, kolom, dll), elemen terpenting dalam penyelenggaraan perkuliahan adalah manusianya: dosen dan mahasiswa. Konstruksi sosial mempunyai tantangan tersendiri daripada konstruksi material, karena variabel perilaku manusia lebih banyak daripada material. Desainer yang baik akan punya pengetahuan memadai tentang material, maka perancang mata kuliah juga perlu pengetahuan yang memadai dari karakter dan perilaku manusia yang terlibat dalam kuliah tersebut.  Merancang matakuliah adalah membuat orkestrasi bagaimana para pelaku bergerak dengan cara dan karakter masing-masing untuk mencapai tujuan bersama. Selayaknya arsitek yang mengorkestrasi material menjadi suatu bangunan yang baik. Kata kunci di sini adalah social engineering.

Tantangan ke depan adalah meletakkan seminar dalam kerangka riset untuk mendukung desain arsitektur (research based design).Pengetahuan arsitektur berkembang dalam tradisi praktik, yaitu merancang bangunan. Tuntutan universitas-lah yang mendorong pendidikan arsitektur agar mempunyai disiplin ilmiah dengan aneka kegiatan riset. Menjadi sebuah tantangan bagaimana kegiatan riset yang bermuara pada diseminasi pengetahuan melalui seminar bisa juga berperan dalam memberikan informasi dan pertimbangan yang matang untuk desain. Ini menjadi hal yang tidak mudah, karena pada umumnya informasi dan pertimbangan desain oleh arsitek lebih berbasis pada pengalaman dan belum terlalu banyak yang didasarkan pada hasil riset ilmiah.

Mengujicobakan research based design untuk mahasiswa S-1 tentu mempunyai tantangan dan kesulitan tersendiri. Namun ini mungkin, jika desain menjadi sarana untuk melatih olah pikir (Ekomadyo, 2017). A kind of wicked problem? Sekali lagi, design thinking lahir karena cara berpikir linear atau sistemis (linear and systemic thinking) dianggap tidak memadai untuk memecahkan aneka permasalahan yang rumit. Sepanjang sejarahnya, banyak arsitek yang mampu mengembangkan cara berpikir desainnya untuk merancang kota, merancang perubahan masyarakat, bahkan merancang negara. Beberapa negara, seperti Amerika Serikat dan Indonesia, didirikan dan dirancang oleh beberapa Bapak Bangsa (Founding Fathers) yang punya latar belakang ilmu Arsitektur. Merancang negara jauh lebih rumit daripada merancang perkuliahan. Artinya, dengan cara berpikir desain, merancang perkuliahan tidak sulit-sulit amat. Kata kuncinya adalah benchmarking, continuous improvement, dan social engineering

 

Referensi

  1. Cahyaningtyas, M.A., Tazkia, A.M., Fitriani, T., Ekomadyo, A.S., Ardiani, N.A. (2018). Telaah Parameter Desain Untuk Kawasan Rawan Kriminalitas Di Kampung Kota Studi Kasus: RW 05 Kebon Bibit, Bandung. Seminar Nasional Teknologi Terapan Berbasis Kearifan Lokal (SNT2BKL) Program Pendidikan Vokasi Universitas Halu Oleo (PPV-UHO), Kendari, 1 Desember 2018, http://ojs.uho.ac.id/index.php/snt2bkl/article/view/5247
  2. Claudia, T., Agung, K.A., Nathania, G., Ekomadyo, A.S. Ardiani, N.A. (2018). Heritage Building As A Third Place: Sebuah Strategi Keberlanjutan Arsitektur Kolonial Di Era Modern. Seminar Nasional Teknologi Terapan Berbasis Kearifan Lokal (SNT2BKL) Program Pendidikan Vokasi Universitas Halu Oleo (PPV-UHO), Kendari, 1 Desember 2018. http://ojs.uho.ac.id/index.php/snt2bkl/article/view/5238
  3. Cross, N. (1982). Designerly Ways of Knowing, Design Studies. Vol.3 No.4 October 1982
  4. Dorst, K. (2011). The core of ‘design thinking’ and its Application. Design Studies 32 (2011) 521-532, doi:10.1016/j.destud.2011.07.006
  5. Ekomadyo, A.S. (2017). “Design Thought”: Berpikir Mendalam Melalui Desain. Dalam Kusyala et al. (2017). Footprint Sarjana: Dokumentasi Studio 2016-2017. Volume 2/2017. Program Studi Arsitektur Institut Teknologi Bandung. http://ar.itb.ac.id/2017/11/29/footprint-2017/. (https://iplbi.or.id/design-thought-berpikir-mendalam-melalui-desain/)
  6. Khamim, A.N., Ramadhanty, D.N., Ruby, R., Ekomadyo, A.S. Ardiani, N.A. (2018). Pengaruh Ruang Arsitektur Terhadap Rehabilitasi Residen Dengan Pendekatan Terapi Komunitas Di Kota Bandung. Seminar Nasional Teknologi Terapan Berbasis Kearifan Lokal (SNT2BKL) Program Pendidikan Vokasi Universitas Halu Oleo (PPV-UHO), Kendari, 1 Desember 2018 http://ojs.uho.ac.id/index.php/snt2bkl/article/view/5250
  7. Maulani, F.A., Tsabita, S.,Yudanti, A.N., Ekomadyo, A.S. Ardiani, N.A. (2018). Analisis Aspek Keberlanjutan Pada Produk Inovasi Kayu Modular. Seminar Nasional Teknologi Terapan Berbasis Kearifan Lokal (SNT2BKL) Program Pendidikan Vokasi Universitas Halu Oleo (PPV-UHO), Kendari, 1 Desember 2018. http://ojs.uho.ac.id/index.php/snt2bkl/article/view/5242
  8. Rowe, P.G. (1987). Design Thinking. The MIT Press, Massachussets.
  9. Saliya, Y. (2003) Perjalanan Malam Hari. Lembaga Sejarah Arsitektur Indonesia dan Ikatan Arsitek Indonesia Jawa Barat, Bandung.
  10. Saputra, A.N., Lineker, D.G., Hibaturrahim, H.E., Nilla, Sobandi, R., dan Ekomadyo, A.S. (2019). Space Utilization and Transformable Architecture of Peri-Urban Co-Living Concept in Rancaekek, Bandung. IOP Conference Series: Earth and Environmental ScienceVolume 328conference 1: The 4th International Conference in Planning in the 2019 Era of Uncertainty
    12–13 March 2019, Malang City, Indonesia. https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1755-1315/328/1/012058

Sayembara Arsitektur sebagai Inovasi

Refleksi dari Sayembara Pasar Godean, penyelenggara: Ikatan Arsitek Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta dan Pemerintah Kabupaten Sleman, Juli 2020

Poster desain Pasar Godean:Ekomadyo Silmi Orlando Rachman & Maulana (2020) – Ngewongke Godean

Animasi desain Pasar Godean: https://www.youtube.com/watch?v=iTOFlFHGTPc

Presentasi karya pemenang: https://www.youtube.com/watch?v=t-ioC3npjjg

 

Apa kaitannya sayembara arsitektur dengan inovasi? Apakah sayembara arsitektur bisa secara otomatis dianggap sebagai inovasi? Kalau pun bisa, mengapa sayembara arsitekur harus dikaitkan dengan inovasi?

Namun, jika sayembara arsitektur akan dijadikan sebagai inovasi, tentu ada ketentuannya. Ada beberapa definisi inovasi yang bisa dirujuk. Schumpeter (1994) mendefinisikan inovasi sebagai “kombinasi baru (new combination)” dari pengetahuan, sumber daya, peralatan, dan faktor-faktor lain yang sudah ada. Rogers (1962) merujuk inovasi pada serangkaian ide, produk, layanan, atau perilaku yang baru.  Sementara Etzkowitz dan Leydesdorff (1995) melihat inovasi sebagai proses multifacet dan kolaboratif, bukan sekadar hasil dari usaha individual pada industri swasta atau dunia akademis, namun lebih pada proses kolektif dan dinamis yang melibatkan aneka pelaku dan institusi. Dari berbagai definisi tersebut, ada empat kata kunci dari inovasi: kebaruan, pengetahuan dan sumber daya, kolektivitas antar pelaku, dan dampak.

Dari perspektif akademis, inovasi bisa diartikan sebagai rekonsiliasi antara “dunia di dalam laboratororium” dengan “dunia di luar laboratorium” (Yuliar, 2011). Dengan perspektif ini, maka sayembara arsitektur akan dilihat sebagai inovasi jika terjadi rajutan antara pengetahuan yang dibangun di kampus dengan praktik di dunia nyata. Sayembara arsitektur bisa menjadi inovasi, jika pengetahuan akademis bisa dibawa ke dunia praktis arsitektur dengan membawa kebaruan, memberikan dampak, dan diselenggarakan secara kolektif dan kolaboratif.

Dengan kerangka tersebut, maka ada beberapa hal yang bisa dibaca sebagai inovasi dalam kegiatan Sayembara Pasar Godean. Pertama, rekonsiliasi pengetahuan dari kampus dengan dunia praktik arsitek lewat konsep bagaimana desain arsitektur menjadi produksi budaya (cultural production), merujuk pada pemikiran dari Dovey (2010). Secara konseptual, peran sebagai sebagai produsen budaya diterjemahkan ke dalam konsep “Ngewongke Godean”, artinya desain pasar dimaksudkan untuk mengangkat “kelas” pedagang pasar Godean yang ada lewat desain arsitektur. Dengan desain yang artistik, maka pengunjung pasar bukan hanya dari penduduk sekitar, namun juga menarik pengunjung yang lebih luas, seperti wisatawan. Aspek artistik merupakan kebaruan dari suatu desain pasar rakyat.

Kedua, dampak dari pengetahuan dalam sayembara bisa dilacak bukan hanya dari penghargaan yang didapatkan (juara III), namun bagaimana pengetahuan yang dibangun bisa memberikan dampak. Karena hanya juara III, maka hasil sayembara tidak terbangun. Maka dampak hanya bisa dilacak pada internal tim sayembara. Karena tim sayembara melibatkan dua startup enterprise, maka pengetahuan tentang desain pasar akan memberikan portofolio kepada startup tersebut.

Ketiga, keterlibatan dua startup enterprise mendorong sayembara dikerjakan secara kolektif dan kolaboratif. Sebagai akademisi, penulis berperan dalam mentransfer pengetahuan, terutama desain arsitektur sebagai produksi budaya, untuk di-exercise ke dalam desain arsitektur. Sementara startup pertama, yaitu Suatudio Arsitektur, berperan dalam mengelaborasi desain arsitektur secara kreatif, dengan menerjemahkan “produksi budaya” melalui konsep “Ngewongke Godean”. Sementara startup kedua, yaitu Nawabha Architecture Studio, berperan meng-exercise aspek-aspek teknis aneka gagasan kreatif ke dalam solusi-solusi teknis.

Dengan menempatkan sayembara arsitektur sebagai inovasi, maka muncul suatu pertanyaan, apakah suatu proses arsitektur itu merupakan proses kreatif dan sekaligus inovatif? Jika suatu proses desain arsitektur merupakan proses kreatif, maka jawabannya iya. Karena, sudah menjadi etos para arsitek untuk menghasilkan sesuatu yang baru, sesuatu yang berbeda dengan karya-karya sebelumnya, karena ini menjadi habitus dari profesi arsitek. Namun apakah kreativitas arsitektur itu otomatis akan bernilai inovatif? Jawabannya, belum tentu. Dalam kerangka inovasi, kreativitas baru mempunyai nilai inovasi jika kebaruan yang dihasilkan mampu memberikan dampak, apalagi jika dampaknya memberikan nilai tambah (added values) secara ekonomi dan sosial.

Singkatnya, inovasi membutuhkan kreativitas, namun kreativitas belum tentu bernilai inovasi, kalau tidak memberikan dampak, terutama dampak nilai tambah secara ekonomi dan/ atau sosial. Dengan membawa sayembara arsitektur ke diskursus tentang inovasi, maka kreativitas arsitektur perlu diperluas bukan hanya menghasilkan kebaruan, namun bagaimana kebaruan itu bisa memberikan dampak. Ketika memikirkan dampak, maka proses desain arsitektur perlu diperluas bukan hanya menghasilkan produk semata, namun bagaimana produk arsitektur bisa bermanfaat seluas mungkin.

 

Referensi

Dovey, K. (2010). Becoming Places: Urbanism/ Architecture/ Identity/ Power. Routledge.

Etzkowitz, H., & Leydesdorff, L. (1995). The triple helix–university-industry-government relations: A laboratory for knowledge-based economic development. EASST Review, 14(1), 14-19.

Rogers, E. (1962). Diffusion of Innovation. Free Books.

Schumpeter, J.A., 1934 (2008), The Theory of Economic Development: An Inquiry into Profits, Capital, Credit, Interest and the Business Cycle, New Brunswick (U.S.A) and London (U.K.): Transaction Publishers.

Yuliar, S. (2011). Transformasi Penelitian ke dalam Inovasi. Dewan Riset Nasional, Jakarta.

Desain sebagai Eksperimen?

Sebuah pemikiran untuk membangun relasi mutual antara riset ilmiah dengan praktik desain.

Catatan dari Kuliah Tamu “Inserting Research Into Design: Toward Knowledge Development in Uncertain World”, Universitas Multimedia Nusantara, 13 April 2023

Materi kuliah tamu: Ekomadyo (20223) – Inserting Research into Design (Kulilah Publik UMN)

Pada suatu masa, ada upaya untuk mengaitkan desain dengan sains. Misalnya, yang dilakukan oleh Broadbent (1973), yang menyarankan bagaimana sains digunakan oleh desain arsitektur dalam rangka menjawab kebutuhan manusia di masa depan. Namun, eksperimen Lawson (1980) menunjukkan ada cara berpikir yang berbeda antara saintis dan desainer; saintis cenderung berpikir linier selayaknya menurunkan rumus matematik untuk mendapatkan kebenaran, sementara desainer cenderung berpikir iteratif (bolak-balik) untuk mendapatkan kecocokan. Dalam perdebatan panjang antara sains dan desain, Cross (2001) memetakan ada tiga macam relasi sains dan desain: scientific design, yang merujuk pada desain ala modern dalam dunia industri yang berbeda dengan desain tradisional yang cenderung craft; design science, yang merujuk pada metode sains untuk desain; dan science of design, yang memfokuskan pada kajian ilmiah terhadap desain.

Kontribusi penting dari Cross adalah mendudukkan desain sebagai cara mendapatkan pengetahuan (designerly ways of knowing). Jika para saintis mendapatkan pengetahuan lewat pengamatan terhadap benda-benda alam, desainer mendapatkan pengetahuan lewat bekerja untuk menyelesaikan masalah tertentu (Cross, 1982). Cendekiawan arsitektur Indonesia, Yuswadi Saliya, menawarkan istilah khusus yaitu “Pragma”, yang diartikan sebagai “pengetahuan dari tradisi berbuat” (Saliya, 2003).

Saat ini, pengaruh sains dalam universitas semakin menguat, salah satunya didorong oleh kenyataan bahwa kemajuan suatu masyarakat ternyata ditentukan oleh penguasaannya akan teknologi yang diciptakan berdasarkan kaidah-kaidah sains. Akibatnya, universitas pun semakin mengarusutamakan riset, yang berasal dari tradisi sains, sebagai cara yang dianggap paling akuntabel dalam memproduksi pengetahuan. Sementara tradisi desain berbeda dengan sains, sehingga riset ilmiah sejatinya bukan tradisi yang melekat pada desain. Ketika pendidikan desain masuk ke dalam universitas, dan universitas semakin mengarusutamakan riset ilmiah, bisakah desain mengadopsi riset ilmiah sebagai cara untuk mendapatkan pengetahuan dan menyelesaikan masalah?

Sebenarnya dalam praktik desain, ada kegiatan riset meskipun lebih berorientasi praktis untuk penyelesaian masalah, daripada berorientasi ilmiah untuk membangun pengetahuan. Misalnya, sebelum merancang, arsitek melakukan analisis tapak, analisis pengguna, kajian terhadap peraturan, membaca kepentingan stakeholder; secara tidak langsung para arsitek melakukan aktivitas riset. Di sini, riset dipahami sebagai cara mengumpulkan data untuk mendapatkan suatu temuan tertentu. Bedanya, riset praktis ala praktik arsitek tidak dilakukan dengan metode yang ketat (rigorous) selayaknya riset ilmiah.

Karena sebenarnya riset sudah dilakukan oleh arsitek pada tataran praktis, maka menyisipkan riset ilmiah ke dalam praktik arsitektur menjadi tidak terlampau sulit. Ada beberapa peluang bagaimana riset ilmiah dan praktik arsitektur bisa saling berkontribusi. Misalnya, desain berbasis riset (research based design). Ada dua variasi, riset yang dilakukan sendiri, atau mengambil riset dari orang lain. Untuk para arsitek yang berprofesi sebagai dosen, cara ini bisa dilakukan lewat sinergi kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat, di mana penelitian difokuskan untuk menemukenali suatu permasalahan di masyarakat, dan pengabdian masyarakat difokuskan pada bagaimana desain arsitektur bisa menjadi alternatif solusi dari permasalahan yang ditemukenali tersebut. Cara ini dilakukan oleh penulis ketika merancang Alun-alun Terakota di Jatisura (Ekomadyo, dkk., 2022), sebagai alternatif solusi untuk permasalahan diversifikasi produk terakota yang ditemukan dalam riset tentang budaya terakota di Jatiwangi (Ekomadyo, dkk., 2023). Beberapa arsitek profesional juga ada yang mengembangkan riset untuk mendukung keunggulan desain mereka dan menjaga kepercayaan para klien, namun ini baru bisa dilakukan jika biro arsitek tersebut sudah relatif stabil dalam tatakelola keuangan perusahaan dan bisa menginvestasikan sumber daya yang dipunyai untuk riset dan pengembangan. Arsitek Indo Megah termasuk yang mengembangkan riset dan development untuk desain arsitektur yang berorientasi pada bisnis properti (Kusnadi, 2016)

Research based design bisa juga dilakukan dengan mengambil riset yang dilakukan orang lain. Arsitek profesional yang melakukan metode ini misalnya Andra Matin. Ketika merancang stadion renang di Senayan, beliau meng-exercise prinsip-prinsip fisika bangunan yang ditemukan oleh dari Y.B. Mangunwijaya (Manguwijaya, 1988). Beliau juga banyak mengembangkan desain dengan menggunakan roster yang dibuat limbah gerabah, hasil inovasi yang dipatenkan oleh pak Ahmad Nizam dari Plered (Halim, 2022). Mahasiswa penulis, Joan Emilie Putri, merancang fasilitas riset dan pengembangan eceng gondok di Rawa Pening, (Putri, 2022) salah satunya dengan meng-exercise prototipe panel akustik eceng gondok hasil riset Bu Erni Setyowati dosen Universitas Diponegoro (Perdana, 2019). Mahasiswa lain, Nashirullah Bilhadid, merancang Waste Research Center (Bilhadid, 2023) dengan menyediakan ruang edukasi untuk pembelajaran teknologi Masaro (Manajemen Sampah Zero) hasil riset pak Akhmad Zainal Abidin dosen Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung (Abidin, 2019).

Cara ketiga adalah desain sebagai bagian dari sebuah kegiatan riset dalam lingkup yang cukup luas. Cara ini banyak dilakukan pada universitas di negara maju, di mana bangunan atau elemen bangunan dirancang sebagai bentuk purwarupa riset yang diimplementasikan. Ini ditemukan pada desain gedung arsitektur National University of Singapore yang banyak dipengaruhi aneka riset tentang sustainability. Dalam skala yang lebih kecil, beberapa proyek akhir mahasiswa menjadi bagian dari riset penulis, seperti desain pasar festival di Gedebage Bandung dari Annas Maulana sebagai bagian riset tentang kriteria rancangan pasar tradisional (Maulana, 2015) Terracota Creative Center di Majalengka dari Bintan Hayya sebagai bagian riset tentang budaya terakota di Jatiwangi (Haya, 2022), dan creative-place di Pasar Atas Baru Cimahi sebagai bagian dari riset ruang konsumsi kreatif di pasar rakyat (Andini, 2023).

Keempat, desain sebagai eksperimen. Sebenarnya, proses desain bagi arsitek tak ubahnya suatu eksperimen oleh para ilmuwan. Ketika ilmuwan mengembangkan eksperimen untuk menguji hipotesis, arsitek mengembangkan desain untuk menguji gagasan awal (conjecture) yang dibangkitkan (to be generated) oleh respon terhadap permasalahan, yang kemudian diujicobakan lewat aneka proses desain yang melibatkan banyak analisis (Darke, 1978). Dorst (2011) menunjukkan memang ada perbedaan cara berpikir antara ilmuwan untuk mendapatkan kesimpulan yang bersifat “pasti” lewat penalaran deduktif, dengan cara berpikir desainer yang mendapatkan kesimpulan yang bersifat “paling mungkin” lewat penalaran abduktif. Selayaknya sebuah eksperimen ilmiah, kesimpulan dalam suatu “eksperimen” melalui desain arsitektur juga bisa dipublikasikan lewat forum-forum ilmiah. Hal ini dilakukan oleh Arsitek Francis Kere yang membagi pengetahuannya dalam merancang sekolah Gando di Burkina Faso (Kere, 2012). Penulis sendiri pernah mempublikasikan eksperimen desain dalam kerangka sosioteknikal dengan kasus ruang kreatif di Kampung Dago Pojok Bandung (Ekomadyo & Riyadi, 2020).

Menempatkan desain sebagai “eksperimen” adalah melihat desain sebagai proses belajar, selain sebagai implementasi kreativitas dan penyelesaian masalah (Dorst, 2006). Sebagai proses belajar, maka yang dilihat dari desain adalah pengetahuan yang didapatkan lewat desain yang dilakukan. Bagi arsitek, akumulasi pengetahuan lewat aneka aktivitas desain karena menjadi modal budaya (cultural capital) bagi arsitek dalam bekerja dan dipercaya oleh para pengguna jasa arsitek dan masyarakat luas. Secara implisit, menyisipkan riset ke dalam desain sudah cukup jamak dilakukan oleh arsitek di Indonesia, terutama didorong oleh motivasi mendapatkan kebaruan desain sebagai konsekuensi jiwa kreatif yang melekat pada arsitek. Yang belum banyak dilakukan oleh arsitek di Indonesia adalah menuliskan akumulasi tersebut secara sistematis agar bisa dipelajari secara lebih luas oleh masyarakat. Jika pengetahuan desain arsitektur bisa diketahui oleh publik, ini bisa berimplikasi dari apresiasi publik terhadap jasa arsitek karena kompetensi dan akumulasi pengetahuan yang dimilikinya, yang membantu pengguna jasa untuk mendapatkan kehidupan lebih baik lewat hasil desain bangunan dan lingkungan yang diberikan oleh para arsitek.

Referensi:

Abidin, A.Z., Choliq, N.S., Yemensia, E.V, & Hastuti, R. (2020). Study on Environmental Health Aspect of Plastic Refinery in MASARO Cirebon Unit in Indonesia. International Conference on Green Energy and Applications (ICGEA), 116-120, doi: 10.1109/ICGEA49367.2020.239716.

Bilhadid, N. (2023). “Changing the Paradigm”: Zero Waste Center ITB Jatinangor. Laporan Perancangan Arsitektur Studio Tugas Akhir Program Studi Sarjana Arsitektur Institut Teknologi Bandung.

Andini, R.A. (2023). Public Market As The New Catalyst: Re-Desain Pasar Rakyat Kota Cimahi (Pasar Atas Baru Cimahi). Proposal Tesis. Program Studi Magister Arsitektur Institut Teknologi Bandung.

Broadbent, G. (1973). Design in Architecture: Architecture and the Human Sciences. John Wiley & Sons.

Cross, N. (2001). Designerly Ways of Knowing: Design Discipline Versus Design Science. Design Issues, 17 (3) 49-55, DOI: https://doi.org/10.1162/074793601750357196

Cross, N. (1982). Designerly ways of knowing. Design Studies, 3(4), 221-227, https://doi.org/10.1016/0142-694X(82)90040-0.

Darke, J. (1978). The primary generator and the design process. New Directions in Environmental Design Research: Procedings of EDRA 9. pp. 325–337. Washington, EDRA.

Dorst, K. (2006). Understanding Design: 175 Reflection being Designer. Bis Publishers

Dorst, K. (2011). The core of ‘design thinking’ and its application. Design Studies, 32 (6), 521-532, https://doi.org/10.1016/j.destud.2011.07.006.

Ekomadyo, A.S., and Riyadi, A. (2020). Design in Socio-technical Perspective: An Actor-Network Theory Reflection on Community Project ‘Kampung Kreatif’ in Bandung, Archives of Design Research, 33 (2)19–37, doi: https://doi.org/10.15187/ adr.2020.05.33.2.19

Ekomadyo, A.S., Silmi, G.F, Maulana, A.T. (2022). Arsitektur Terakota sebagai Social Lab. Media Indonesia, Selasa 18 Oktober 2022, https://mediaindonesia.com/humaniora/530414/arsitektur-terakota-sebagai-social-lab

Ekomadyo, A.S., Wijaya, N., Vardhani, V.J., Maulana, A.T., Suhendar, H., Susanto, V. (2023). Field of Creative Culture: A Study of Creative Movement and Innovation of Terracotta Culture in Jatiwangi, West Java, Indonesia. Creativity Studies (sedang dalam proses penerbitan)

Halim, A. (2022). Roster Ahmad Nizar Torehkan Sejarah Baru di Sentra Keramik Plered. IDN Times Jabar. https://jabar.idntimes.com/news/jabar/abdul-halim-18/roster-ahmad-nizar-torehkan-sejarah-baru-di-sentra-keramik-plered

Haya, B.Z. (2022). Perancangan Creative Hub untuk Konservasi, Eksplorasi, dan Promosi Budaya di Majalengka. Laporan Perancangan Arsitektur Studio Tugas Akhir Program Studi Sarjana Arsitektur Institut Teknologi Bandung.

Kere, D.F. (2012). School in Gando, Burkina Faso. Architectural Design. https://doi.org/10.1002/ad.1496

Kusnadi, H. (2016). Creativity for Business: Inserting Enterpreunerial Spirit into Architectural Design Strategies. Halfday Seminar Events Creative Property Business By Design & Architecture. Archipreneur Mycellium Bandung, 9 April 2016.

Lawson B. (1980). How Designers Think. Architectural Press

Mangunwijaya, Y.B. (1988). Pengantar Fisika Bangunan. Penerbit Djambatan

Maulana, A.T, dan Ekomadyo, A.S. (2015). Karakter Festival pada Perancangan Pasar untuk Tengaran Kota. Temu Ilmiah Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia 2015. Universitas Sam Ratulangi Manado. http://temuilmiah.iplbi.or.id/wp-content/uploads/2015/11/TI2015-E-067-074-Karakter-Festival-pada-Rancangan-Pasar-di-Kawasan-Bandung-Technopolis.pdf

Perdana, A.P. (2019). Eceng Gondok Bantu Tingkatkan Kualitas Bunyi Ruangan. Kompas ID. 18 Desember 2019, https://www.kompas.id/baca/lain-lain/2019/12/18/eceng-gondok-bantu-tingkatkan-kualitas-bunyi-ruangan/

Putri, J.E.S. (2022). “To Heal the Nature”: Eduwisata Konservasi Rawa melalui Fasilitas Riset dan Pengembangan Eceng Gondok di Rawa Pening. Laporan Perancangan Arsitektur Studio Tugas Akhir Program Studi Sarjana Arsitektur Institut Teknologi Bandung.

Saliya, Y. (2003). Perjalanan Malam Hari. Ikatan Arsitek Indonesia Jawa Barat & Lembaga Sejarah Arsitektur Indonesia

Composition in Architecture: Form FORM to FUTURE

Catatan dari Kuliah Publik Compositing Better Future Perspektif Kewirausahaan untuk Mahasiswa Arsitektur

Universitas Trisakti, 17 Maret 2023

Materi Presentasi: Ekomadyo (2023) – Compositing Better Future (Kuliah Tamu Trisakti)

 

Ada beberapa keistimewaan yang dimiliki oleh arsitek, yang sering arsitek sendiri tidak terlalu menyadarinya.Pertama, sebagai desainer, arsitek mempunyai cara pemikiran unik yang sering mempu menyelesaikan masalah yang rumit (wicked problems). Cara berpikir desain, yang kemudian terkenal dengan sebutan “design thinking”, diadopsi oleh disiplin lain untuk mengembangkan pemikiran dalam menyelesaikan masalah yang rumit, termasuk dalam dunia inovasi. Pemikir Desain Brian Lawson punya kutipan tentang ini: “Design thinking is a way of understanding the world that begins with the way we experience it. It is a process of inquiry that seeks to understand the dynamics of the world around us and to use that understanding to develop new ways of solving problems.” (Lawson, How Designers Think, 2006, p. 1)

Kedua, kemampuan dalam  membayangkan masa depan. Mari kita ambil contoh sebuah proyek rumah tinggal yang dirancang oleh arsitek. Pada awalnya, rumah tinggal tersebut berupa site kosong. Kemudian, dengan pengetahuan yang dimilikinya, arsitek mampu membuat gambar tentang desain rumah tinggal. Lalu, desain digunakan sebagai panduan membangun, dan terbangunlah rumah tinggal seperti yang dibayangkan arsitek. Tanpa disadari, arsitek dibekali dengan kemampuan untuk membayangkan masa depan.

Kemampuan membayangkan masa depan tersebut  menjadi kontribusi penting arsitek dalam membuat dokumen gambar yang memandu proses pembangunan untuk mewujudkan sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Misalnya, dari site kosong menjadi rumah tinggal yang nyaman dan indah buat suatu keluarga tertentu. Arsitek tidak membuat bayangan berdasarkan imajinasinya sendiri, namun merangkum berbagai masalah dari banyak orang yang terlibat agar desain yang dihasilkan mampu memandu harapan orang-orang tersebut tentang suatu kondisi masa depan yang lebih baik (a better future). Di sini, Kim Dovey menyebutkan desain merupakan “assemblage desire for better future”. “”Design is an assemblage of material, social, and discursive elements that together produce a particular kind of place. It is also an assemblage of desires – a desire for a better future, a better society, a better world. Design is not simply a matter of solving problems or accommodating human needs. It is a way of imagining and realizing alternative futures, of creating new possibilities for human life.” (Dovey, Becoming Places, 2010, p. 9)

Anugerah yang sering luput membuat asyik merancang “masa depan” dari suatu objek semata, yang dinamakan objek arsitektural. Membuat gubahan yang baik, dengan prinsip-prinsip teknis, fungsi, dan estetika. Sebagus apa pun gubahannya, objek arsitektural adalah benda mati. Sementara, yang akan membangun, menggunakan, dan terdampak terhadap objek arsitektural tersebut adalah manusia. Beberapa arsitek memang sudah secara eksplisit menyebutkan pentingnya relasi manusia dan gubahan arsitektur, seperti Arsitek Denny Setiawan yang memperjuangkan “arsitektur yang membahagiakan”: membahagiakan klien, membahagiakan arsitek, dan membahagiakan orang lain: “Only happy architect can make architecture of happiness”

Menggubah masa depan yang lebih baik sebenarnya merupakan tindakan kolektif. Gubahan arsitektur sebenarnya menjadi delegasi dari kehendak aktor-aktor yang terlibat. Arsitek akan happy jika mereka yang terlibat pekerjaan arsitektural tersebut akan happy juga: desain adalah menjadi peraantara untuk kebahagiaan itu. Masa depan akan dijembatani oleh objek arsitekur, namun hal yang lebih baik akan dirasakan oleh terlibat: pemilik, pengguna, para pekerja, publik, dan tentu saja, arsitek itu sendiri.

Dalam perspektif kewirausahaan, maka kemampuan yang dimiliki oleh arsitek merupakan pengetahuan, dan bagaimana pengetahuan ini bisa mempunyai dampak ekonomi. Kemampuan merancang arsitek bisa diperluas dari sekadar mengkomposisi bentuk menjadi mengkomposisi aneka hal agar bisa menghasilkan ekonomi. Dari mendesain rumah menjadi mendesain usaha.

Namun hal penting dari perspektif kewirausahaan adalah bagaimana arsitek bisa menjadi lebih baik setelah merancang.  Dan ini merupakan hal yang tidak mudah, dan sering kurang diarancang oleh arsitek itu sendiri. Arsitek lebih sering merancang objek, dan terlewat untuk merancang masa depan dirinya sendiri. Dengan perspektif kewirausahaan, maka arsitek bisa lebih aware untuk merancang masa depan ekonomi bagi dirinya. Hanya arsitek yang mampu meningkatkan ekonomi dirinya yang akan mampu meningkatkan ekonomi dari orang-orang di sekitarnya.

Pasar Rakyat sebagai Agen Keberlanjutan Pangan

Catatan dari Diskusi Kelompok Terfokus Pasar Rakyat sebagai Simpul Food Resilience Mendukung Tata Kelola Rantai Pasok yang lebih Optimal dan Efisien. Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan RI, 7 Oktober 2022

Materi Presentasi: Ekomadyo Cahyono Sudrajat (2022) – Pasar Rakyat dan Kelenturan Pasokan Pangan 20221007

Link kegiatan: https://ditjenpdn.kemendag.go.id/detail/subslider2/1406/slider, https://www.youtube.com/watch?v=64WMaNG5p8I

Secara arsitektural, fenomena pasar rakyat adalah fenomena ruang keseharian. Namun, oleh pandangan determinisme modernisme, pasar rakyat sering luput oleh perhatian profesionalisme arsitek. Ada bias “capital flow” dalam praktik profesi arsitek: arsitek akan bekerja jika ada economic capital, akhirnya concern arsitek akan lebih dideterminasi oleh pada objek-objek arsitektural dimana akumulasi kapital ekonomi lebih besar. Seperti gula yang menarik perhatian semut, sementara semut mustinya bisa hidup tanpa tergantung pada gula. Akibatnya, ketika arsitek melihat suatu fenomena “pasar rakyat”, maka yang ter-determinasi adalah “rancangan arsitektur pasar rakyat”. Dan, tanpa disadari, dibalik suatu pandangan “rancangan arsitektur pasar rakyat” ada suatu “proyek desain”, dan suatu “proyek”, akan melibatkan aliran capital (capital flow) di dalamnya.

Sementara, sebagai suatu “objek arsitektural”, suatu pasar rakyat mengandung banyak sekali pengetahuan. Bukan hanya suatu “ruang” yang berisi kumpulan barang dan jasa, sebuah pasar rakyat terbangun oleh suatu jejaring mereka-mereka yang menghidupkan pasar tersebut. Ada aliran modal (capital flows), baik modal ekonomi, sosial, dan budaya. Karena ada aliran (flows), maka akan ada aneka sirkulasi dari barang dan jasa. Ketika ada sirkulasi, akan ada aneka translasi: ketika para agen-agen pasar (market agencements) melakukan aneka penyesuaian dalam membangun relasi untuk sirkulasi tersebut. Di sini, pasar sebagai sebuah jejaring terbentuk, dan bangunan pasar adalah simpul dari jejaring tersebut.

Dalam perspektif pengetahuan arsitektural, maka bangunan pasar adalah “wadah” dari aktivitas pasar. Tentu bukan bangunan tanpa makna, seperti bangunan pasar yang sepi dan menjadikan pasar seperti tanpa “ruh”. Bangunan pasar menyediakan aneka ruang, yang disebut “place”: karena ruang-ruang-ruang tersebut “hidup” oleh aneka aktivitas. Aktivitas ini yang menciptakan “ruh” pada bangunan pasar.

Ketika muncul isu tentang keberlanjutan pangan (food sustainability), maka pasar rakyat pun bisa dilihat sebagai simpul dalam kelenturan pasokan pangan (food-supply resilience) untuk masyarakat. Pasar menjadi tempat di mana masyarakat bisa secara lentur mendapatkan sumber-sumber pasokan pangan yang berkelanjutan. Karena di pasar, para pedagang tidak akan tinggal diam ketika ada masalah dalam pasokan pangan, mereka akan mencari sumber-sumber yang memadai untuk mendapatkan pasokan tersebut. Jadi kelenturan ini bukan sekadar menjaga keberlanjutan pasokan pangan untuk masyarakat, namun juga keberlanjutan ekonomi dari para pedagang pasar.

Namun, seperti masalah klise di Indonesia, apakah kelenturan ini atas usaha pedagang, atau ada intervensi dari institusi? Mungkin sesekali negara hadir, antara lain lewat operasi pasar. Ya, sesekali, itu kalau ada masalah yang penting. Nah, bisakah negara hadir setiap hari?

Keseharian negara di pasar rakyat sebenarnya terepresentasikan lewat kehadiran pengelola. Selain masalah mismanagement yang belum sepenuhnya terselesaikan dalam program revitalisasi pasar rakyat di Indonesia, ada masalah relasi yang kurang mutual antara pedagang dan pengelola. Pengelola hanya sekadar menjadi agen pasar penerima retribusi saja. Sementara, jejaring pasar begitu luas terhampar di hadapan pengelola pasar. Banyak kendala, sehingga peluang untuk lebih berperan sebagai agen pasar tidak bisa termanfaatkan.

Apa hubungannya dengan arsitektur? Nah, jika pengelola pasarnya mumpuni, maka akan terepresentasi pada bangunan arsitektur yang baik. Seperti halnya pengelola, bangunan pasar juga hadir dalam keseharian pasar. Namun pengelola pasar juga merupakan fenomena jaringan, keberadaannya di pasar juga dalam situasi sosial yang kompleks. Bangunan pasar memang menjadi kerangka agar pengelola pasar bisa bekerja dengan baik, termasuk ketika akan mengambil peran sebagai agen penjaga keberlanjutan pasokan pangan. Di sini pendekatan sosial tidak akan memadai karena akan menghadapi kerumitan yang luar biasa. Pendekatan teknis juga tak memadai, karena akan lebih banyak aspek non-teknis yang berperan. Yang dibutuhkan adalah pendekatan sosioteknis, di mana ada objek teknis yang cenderung stabil, namun menjadi delegasi dari para pelaku pasar dalam bekerja.

Unearth the Beauty: Sebuah Model Desain Kolektif untuk Pemberdayaan Masyarakat melalui Arsitektur Terakota di Desa Jatisura, Jatiwangi, Majalengka

Pengantar untuk Book Chapter “Mengetalasekan Terakota”, dalam buku Teknologi Pelestari: Budaya Ilmiah Unggul untuk SDGs. Yuli S. Indartono, dkk. ITB Press.

Link Buku: https://online.fliphtml5.com/wyysv/luri/#p=1

Dalam dunia arsitektur, dikenal konsep Perancangan Partisipatif (Participatory Design), yang diturunkan dari konsep Pembangunan Berbasis Komunitas (Community Based Development/ CBD). Meskipun punya semangat untuk memberdayakan, konsep CBD hadir tidak dalam ruang hampa, namun ada diskursus (discourse) tertentu yang menyertainya. Konsep CBD lahir dari diskursus perhatian dan bantuan dari negara-negara maju (developed countries) kepada negara-negara berkembang (developing contries) agar tidak terjadi kesenjangan pembangunan yang dalam jangka panjang bisa membahayakan bagi dunia. Dari konsep CBD, muncul konsekuensi perencanaan partisipatif (participatory planning), yang mensyaratkan perencanaan pembangunan yang melibatkan komunitas secara aktif, sebuah model bottom up yang menjadi antitesis dari model perencanaan top down dari pemerintah yang sering tidak efektif dan tidak tepat sasaran karena minimnya pelibatan masyarakat secara aktif. Ketika para arsitek dan desainer masuk ke dalam aneka proyek CBD, maka berkembanglah perencanaan partisipatif menjadi perancangan atau desain partisipatif (participatory design). Di Indonesia, tokoh utama desain partisipatif adalah Romo Mangunwijaya di Yogyakarta yang banyak dipengaruhi oleh filsafat Fenomenologi dari Martin Heidegger (1927), dan Pak Hasan Poerbo di Bandung yang banyak dipengaruhi System Thinking dari Benjamin Handler (1970).

Meskipun pada awalnya dimaksudkan sebagai kegiatan untuk memberdayakan masyarakat, namun dalam pelaksanaannya muncul banyak kritik terhadap desain partisipatif. Pertama,  selalu ada partisipasi dari orang lain selain perancang dan pemberi tugas (yang sering disebut pemangku kepentingan/ stakeholders) dengan tingkat partisipasi yang berbeda-beda. Karena pada hakikatnya, desain merupakan proses sosial (design as social process) mana akan banyak pihak yang terlibat yang mempunyai pengetahuan, sudut pandang, preferensi, dan kepentingan masing-masing (Dorst, 2003). Bahkan dalam pekerjaan desain paling sederhana sekalipun, misalnya rumah tinggal, seorang arsitek akan melibatkan para pemangku kepentingan (bapak, ibu, anak, dan pembantu kalau ada), meski sering aspirasi para pemangku kepentingan tersebut hanya diwakili oleh satu orang saja (biasanya bapak sebagai pemberi tugas). Namun dalam banyak kasus, sang bapak sebagai pemberi tugas melibatkan anggota keluarga lainnya dalam pengambilan keputusan desain, karena kenyamanan dalam menggunakan rumah sebagai hasil rancangan akan tergantung dari preferensi masing-masing anggota keluarga.

Kedua, pendekatan kedua tokoh desain partisipatif di atas, Romo Mangun dan pak Hasan Poerbo, sepeninggal keduanya, pun mendapatkan banyak kritik.  Pak Hasan, karena tujuannya adalah pengembangan komunitas secara sistematis, maka aspek artistik dalam desain sering tidak ditonjolkan. Padahal, arsitek sebagai desainer adalah makhluk kreatif, di mana aspek artistik menjadi penting sebagai delegasi dari kreativitas arsitek. Sementara Romo Mangun, pendekatan fenomenologi yang menekankan pada subjektivitas punya kelemahan ketergantungan sangat tinggi terhadap kehadiran Romo Mangun dalam proyek-proyek beliau. Kalau Romo Mangun tidak bisa hadir karena tugas lain, maka proyek berhenti. Ini yang terjadi di Sendang Sono. Di Kampung Kali Code, yang kehadiran Romo Mangun awalnya ditujukan untuk membela kelompok marginal kota (disebut Girli atau Pinggir Kali), namun sepeninggal beliau, di Kali Code sekarang ruh perjuangan beliau hilang, bahkan di kampung tersebut muncul bangunan-bangunan permanen yang justru membahayakan ekosistem sungai.

Ketiga, adalah tokenisme. Artinya perencanaan dan perencanaan partisipatif sering hanya menjadi “stempel” terhadap kebijakan pembangunan tertentu (Toker, 2007).  Ini jamak terjadi dalam proyek-proyek pemerintah di Indonesia, sekaligus menjadi self-criticism untuk penulis sebagai arsitek.

Keempat, prosedur perencanaan dan perancangan partisipatif yang “baku” sering tidak realistis jika dihadapkan dengan realitas yang ada, yaitu kompleksitas dunia sosial dan keterbatasan sumber daya yang dipunyai oleh arsitek. Misalnya, prosedur perencanaan dan perancangan partisipatif mensyaratkan terciptanya konsensus dari pemangku kepentingan terhadap rencana dan rancangan pembangunan (Luck, 2003, Richardson and Connelly, 2005), yang hampir tidak mungkin terjadi karena orang bisa jadi di depan bilang ya, di belakang bilang tidak. Dan upaya menghasilkan konsensus ini menjadi sangat tidak realistis jika dihadapkan dengan sumber daya yang dipunyai tim arsitek, yaitu biaya, waktu, dan tenaga.

Sehingga perlu ada pendekatan lain agar bagaimana desain tetap bisa menjadi agen untuk pemberdayaan masyarakat, seperti cita-cita CBD, bisa dilaksanakan. Pendekatan tersebut dinamakan pendekatan kolektif. Judul “Unearth the Beauty” tersebut merupakan salah satu brand (jenama) yang diturunkan dari konsep  pendekatan kolektif untuk desain arsitektur, di mana aspek artistika sebagai nilai-nilai dasar kreativitas arsitek dalam berkarya tetap ditonjolkan. Istilah kolektif sebelumnya  juga digunakan oleh Eleanor Ostrom, pemenang Nobel perdamaian, untuk menjelaskan perlunya tindakan kolektif dalam menciptakan “common-pool resources” (ruang-sumberdaya bersama) Secara teoretis, istilah kolektif ini  digunakan oleh Bruno Latour untuk menjelaskan apa itu sosial, dan bagaimana pengaruh seperangkat objek-objek teknis, disebut teknologi, termasuk objek arsitektur, dalam relasi-relasi antar manusia (Latour, 2005). Istilah kolektif melihat suatu relasi sosial yang selalu berubah-ubah, penuh kontroversi, bisa ada kesepakatan (consensus), namun juga pengkhianatan (betray). (Callon, 1984). Memang, keberadaan objek-objek teknis, seperti produk arsitektur yang dihasilkan lewat desain, bisa men-stabil-kan relasi antar manusia, namun keberadaan objek-objek teknis itu bersifat intermittently: bisa berganti secara tiba-tiba (Latour, 2005).

Dengan pendekatan desain kolektif, maka upaya rekayasa sosial dilakukan dengan penciptaan objek-objek teknis yang mampu menstabilkan relasi antar manusia. Karena menyangkut objek teknis, maka ada kompetensi teknis yang dibutuhkan, di mana insinyur, termasuk arsitek dan desainer, lebih mempunyai kompetensi ini dibanding pelaku-pelaku lain yang terlibat. Ini bedanya dengan desain partisipatif yang menempatkan desainer lebih menjadi fasilitator (bersifat pasif, masyarakat yang aktif, sementara sering masyarakat tidak bisa proaktif karena belum tahu persis maunya apa), dengan pendekatan kolektif desainer bisa bertindak proaktif terutama karena kompetensi teknis yang dimilikinya. Meski demikian, pendekatan kolektif mensyaratkan bahwa relasi antara objek teknis dengan manusia yang terlibat ditentukan oleh tingkat delegasi manusia terhadap objek teknis tersebut. Semakin objek teknis menjadi delegasi kehendak manusia, semakin kuat relasinya. Di sini sense of belonging bisa tergambarkan dengan lebih jelas (to be described), dengan memetakan relasi tiap manusia dengan objek teknis atau objek arsitektur yang dibuat. Menurut Bruno Latour, ada 4 tingkat mediasi objek teknis pada relasi antar manusia: 1) interference, mempengaruhi tindakan, 2) composition: menggabungkan berbagai tindakan, 3) folding space and time: ketika aneka tindakan itu terajut secara intensif, dan 4) delegasi: ketika manusia mewakilkan kehendaknya pada objek teknis yang dibuat atau digunakan (Latour, 1999).

 

Referensi

Callon, M. (1984). Some Elements of a Sociology of Translation: Domestication of the Scallops and the Fishermen of St Brieuc Bay. Sociological Review. 32(1) 196-233. https://doi.org/10.1111/j.1467-954X.1984.tb00113.x

Dorst, K. (2003). Understanding Design. BIS Publisher

Heidegger, M. (1927). Being and Time.

Handler, B. (1970). Systems Approach to Architecture. American Elsevier

Latour, B. (1999). Pandora’s Hope: Essays on the Reality of Science Studies

Latour, B. (2005). Reassembling the Social: An Introduction to Actor-Network-Theory.  Oxford University Press

Luck, R., (2003). Dialogue in participatory design. Design Studies, 24(2003) 523–535 doi: 10.1016/S0142-694X(03)00040-1

Ostrom, E. (1990). Governing the Commons: The evolution of Institutions for Collective Action. Cambridge: Cambridge University Press.

Richardson, T., and Connelly, S. (2005). Reinventing public participation: planning in the age of consensus. In Jones, B.J, Petrescu, D, and Till, J. (eds.) (2005). Architecture and participation. New York: Spon Press.

Toker, Z., (2007). Recent trends in community design: the eminence of participation. Design Studies, 28 (3) 309-323. doi: 10.1016/j.destud.2007.02.008