Religiusitas dan Lingkungan Binaan: Menelusuri Aktivis Muslim dalam Perubahan Sosial

Book Chapter “Perspektif Latourian untuk Artikulasi Religiositas dalam Membina Lingkungan untuk Perubahan Masyarakat” dalam buku Membaca Latour (2023)  Penerbit Antinomi

Artikel: Ekomadyo (2023) – Latour unt Lingkungan Binaan Aktivis Muslim (Antinomi_Membaca-Latour)

Konsepsi ANT yang digunakan dalam tulisan ini yaitu problematisasi oleh aktivis, framing strategi perubahan masyarakat, artikulasi religiositas dan dikaitkan dengan artikulasi lainnya, serta dan perubahan yang terjadi dan bagaimana script religiositas ter-lokal-kan pada lingkungan yang terbina.

Saat mahasiswa dulu, ada perdebatan menarik tentang Islam dan Arsitektur. Pertama, istilah yang paling populer adalah “Arsitektur Islam”: sebenarnya istilah ini diberikan para Scholar dari Barat yang mencoba memetakan dunia arsitektur di luar barat: ada Arsitektur Cina, Arsitektur India, dan Arsitektur Islam. Kedua, Arsitektur Masyarakat Islam: yang digunakan oleh Aga Khan Award for Architecture untuk mencari arsitektur yang “excellence” di masyarakat Islam: kadang ada yang terkait dengan nilai-nilai Islam (seperti Pondok Pesantren di Pabelan atau Masjid Said Naum), atau yang tak terkait dan dilihat hanya masyarakat Islam-nya saja (misalnya Citra Niaga di Samarinda atau Kampung Kali Code di Yogyakarta). Nah, yang ketiga adalah mazhab Achmad Noeman: melihat “arsitektur” dan “Islam” tidak dalam perspektif yang “sumpek”: beliau menafsir nilai-nilai Islam dalam perspektif Arsitektur Modern, misalnya prinsip anti kemubaziran (ornament is crime), anti kubah (kejujuran struktur), masjid tanpa tiang (rasionalitas struktur), dll.

Bagi arsitek yang juga aktivis, Pondok Pesantren di Pabelan bisa menjadi benchmark bagaimana “seharusnya” Islam dan Arsitektur itu berpadu. Pada masa itu (1980-an), memang masa-masa ketika upaya gerakan perubahan masyarakat cukup kuat di kalangan aktivis Islam. Dan Pondok Pesantren di Pabelan, beserta pesantren-pesantren lain, menjadi semacam “social laboratory”. Di sini, ada Gus Dur membawa pesantren ini ke dalam jejaring internasional. Dengan masyarakat setempat, ketokohan diperankan oleh Kyai Hammam Da’far yang mendorong para santri untuk “mengislamkan batu-batu di kali” untuk bangunan pesantren. Dan para santri ini diajari seni bertukang lewat kaidah arsitektur yang sederhana oleh Arsitek Achmad Fanani. Ya, betapa gerakan perubahan masyarakat bisa menghasilkan arsitektur yang excellence.

Namun masa berganti, isu perubahan masyarakat di Indonesia sebagai dunia ketiga tak semenarik masa itu. Dan lagi, apakah upaya perubahan masyarakat harus menghasilkan arsitektur yang excellence? Dan apakah upaya perubahan masyarakat tidak melibatkan arsitektur?

Untuk menjawab pertanyaan peran arsitektur dalam upaya perubahan masyarakat, saya menggunakan pendekatan artikulasi dari ANT (Actor-Network Theory). Ada 7 kasus gerakan perubahan masyarakat yang diteliti, termasuk bagaimana peran arsitektur di dalamnya. Dalam perspektif ANT, arsitektur merupakan aktor nonhuman yang bisa menjadi mediator dalam relasi-relasi aktor-aktor manusia (human).

Dari penelusuran tersebut ditemukan, bahwa artikulasi nilai-nilai Islam oleh para aktivis ditentukan oleh dua hal: latar belakang dan konteks spatio temporal. Artinya, artikulasi nilai-nilai Islam untuk perubahan akan sangat variatif, tergantung kedua hal tersebut. Dan wujud arsitektural dalam lingkungan yang terbina juga akan ditentukan oleh kedua hal tersebut.

Dari temuan ini, justru membuat saya melihat perspektif ketiga tentang “arsitektur” dan “Islam”, yaitu following muslim architects in action. Ya, meskipun menafsir Islam dalam perspektif Modern, namun Achmad Noeman tidak kehilangan etos keislamannya. Itu seperti cara menafsir Islam dari aspek kemanfaatan oleh Kyai di Ciwidey ketika membangun pesantren pertanian atau alumni Santri Tebuireng ketika membangun observatorium komunitas. Atau arsitek yang menafsirkan Akhlak al Karimah ketika membangun eco-pesantren. Atau penafsiran dari beberapa aktivis tentang Civic Islam ketika membuat gerakan pengentasan kemiskinan di perdesaan. Dan artikulasi ini ada yang bersifat personal, ada yang bersifat kelembagaan. Yang bersifat kelembagaan, seperti Muhammadiyah, artikulasinya cenderung top-down: menerapkan misi organisasi untuk dakwah di lapangan. Ada lembaga tertentu yang bergerak dengan mengirim aktivis ke pelosok daerah, dan identitas Islam digunakan sebagai dukungan moral terhadap aktivis yang ditugaskan, meskipu di lapangan harus banyak melakukan penyesuaian dan memberikan ruang bagi pelaku setempat dalam kegiatan dakwah tersebut. Ada juga technopark yang dibangun di perdesaan, yang diawali dengan niat kepala desa untuk memperbaiki akhlak warga desanya. Dan aneka artikulasi tersebut melibatkan lingkungan binaan dimana script-script keimanan itu ter-lokal-kan.

Dari pelacakan “muslic activists in action”, ditemukan bagaimana religious script itu ter-lokal-kan dalam lingkungan binaan. Apa itu religious script? Simpelnya adalah bagaimana nilai-nilai religius itu dibaca (kembali) sebagai petunjuk dalam bertindak. Oleh muslim, religiousity itu sering disebut dengan iman. Dulu saat berhaji, Pak Hermawan K. Dipojono mengingatkan kita untuk selalu memperbaharui dan meningkatkan kekuatan iman. Kekuatan iman ini kalau dalam disiplin sosial bisa disebut “religiousity as cultural capital”. Dan lewat ANT, bagaimana kekuatan iman ini mendasari para aktivis dalam bertindak melakukan perubahan masyarakat, dilacak bagaimana script-script keimanan ini tersirkulasi di antara pelaku, dan bagaimana ter-lokal-kan dalam lingkungan yang terbina.

“Merancang” Riset Kecil bagi Mahasiswa Sarjana Arsitektur

Link untuk buku antologi Seminar Arsitektur ITB: https://iplbi.or.id/buku-transformasi-dan-resiliensi-dalam-perspektif-mahasiswa-sarjana-arsitektur/

Ada “kehebohan” kecil dalam dunia pendidikan tinggi sekitar tahun 2012, yaitu dengan terbitnya Surat Keputusan Dirjen Dikti nomor 152/E/T/2012 yang mewajibkan mahasiswa S-1, S-2, dan S-3 untuk mempublikasikan tulisan ilmiah dalam jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan. Kebijakan ini, meski meski bertujuan meningkatkan kualitas penelitian ilmiah pendidikan tinggi, tetapi mengundang kontroversi, pro dan kontra, ketika dihadapkan pada realitas yang ada. Yang pro menganggap kebijakan ini penting untuk meningkatkan mutu skripsi, tesis, dan disertasi mahasiswa. Yang kontra menganggap kebijakan ini terlalu dipaksakan dan justru memberatkan penyelenggaraan pendidikan

Untuk mahasiswa S-1 arsitektur, kebijakan ini juga menuai kontroversi. Selama ini, tradisi pendidikan sarjana arsitektur berorientasi pada praktis, menyiapkan anak didik untuk bekerja sebagai arsitek junior, sehingga kemampuan menulis ilmiah tidak serta merta menjadi prioritas utama. Pendidikan sarjana arsitektur lebih berorientasi pada pemecahan masalah, bukan memproduksi pengetahuan dengan metode ilmiah yang didiseminasikan lewat aneka bentuk publikasi ilmiah.

Penyelenggaraan Mata Kuliah (MK) Seminar Arsitektur di ITB juga tidak luput dari kontroversi. Di satu sisi, beberapa kali muncul keinginan dari sebagian pengajar untuk meletakkan matakuliah ini bagian dari persiapan Tugas Akhir (TA), dengan pertimbangan untuk meningkatkan kualitas persiapan TA menyiasati keterbatasan waktu kuliah/ SKS yang tersedia. Namun di sisi lain, beberapa pengajar ingin agar MK ini tetap bersifat independen, di mana mahasiswa bisa lebih bebas menyalurkan rasa ingin tahu akan fenomena tertentu melalui riset kecil dan menghasilkan paper yang dipresentasikan di kalangan terbatas. Pilihan ini mendapat dukungan sebagian mahasiswa yang memilih menjadikan MK ini sebagai sarana untuk sejenak melepaskan diri (being away) dari rutinitas produksi desain melalui studio arsitektur. Namun ada sisi positif dari suatu kontroversi, yaitu terpicunya proses belajar dari kedua belah pihak baik yang pro maupun yang kontra. Proses belajar ini terjadi karena masing-masing akan menelaah dan memperkuat argumen masing-masing sekaligus mencari titik temu dari perbedaan yang ada. Selayanya dialektika, di mana pengetahuan sebagai sebuah tesis baru dihasilkan melalui sintesis terhadap antitesis dari suatu tesis lama yang dianggap mapan. Dengan demikian, proses dialektika akan mendorong proses belajar dan menghasilkan pengetahuan secara terus menerus.

Sebagai koordinator matakuliah seminar, berbagai kontroversi ini mendorong penulis untuk terus belajar dan menghasilkan sesuatu sebagai upaya memproduksi pengetahuan secara terus menerus. Permasalahan utama matakuliah Seminar Arsitektur adalah bagaimana mendorong mahasiswa untuk menghasilkan tulisan berkualitas melalui riset kecil dengan waktu yang sumber daya yang terbatas. Keterbatasan ini  muncul karena riset kecil yang harus dilakukan oleh mahasiswa dalam 2 SKS (artinya 2 jam tatap muka, 2 jam belajar terstuktur, dan 1 jam belajar mandiri), sementara secara institusional mahasiswa tidak mendapat kuliah khusus tentang metodologi riset. Di luar itu, aneka studio dan kuliah dan studio lebih berorientasi pada kompetensi mahasiswa dalam merancang dalam konteks profesi arsitek atau memperkaya wawasan tentang isu-isu nasional dan global. Meminjam istilah Peter Rowe, penyelenggaraan kuliah Seminar Arsitektur menghadapi wicked problems (Rowe, 1987).

Bagi desainer, wicked problems justru menjadi tantangan. Pada umumnya, desainer bekerja dengan informasi yang minim namun dituntut memecahkan suatu masalah secara kreatif. Dan ini sering berhasil! Maka, cara berpikir desainer ini kemudian banyak menginspirasi disiplin-disiplin lain dalam menyelesaikan masalah-masalah yang rumit secara kreatif. Dan dari sinilah konsep “Design Thinking” mulai menarik perhatian disiplin-disiplin lain dalam mengembangkan cara berpikir kreatif untuk menyelesaikan masalah-masalah yang rumit. Kunci “design thinking” adalah bagaimana para desainer mampu membingkai (to frame) “how” yang mengarahkan pada “value” dalam suatu cara berpikir yang logis (Dorst, 2011). Artinya, desainer terbiasa berpikir bagaimana menyelesaikan masalah sekaligus memberikan nilai pada produk-produk yang dihasilkan. Dari sini, penulis mencoba menggunakan pendekatan “design thinking” untuk menyelesaikan “wicked problems” dalam penyelenggaraan matakuliah Seminar Arsitektur. Tantangannya adalah bagaimana menghasilkan paper-paper bermutu bagi mahasiswa sarjana arsitektur di tengah keterbatasan waktu dan bekal pengetahuan mahasiswa. Kata kuncinya adalah, merancang perkuliahan. Analogi dengan bangunan, dengan dirancang dengan baik, maka segala keterbatasan bisa disiasati dan dikalkulasi agar bangunan yang dihasilkan tetap berkualitas. Dengan demikian, jika dirancang dengan baik, segala keterbatasan perkuliahan bisa disiasati dan dikalkulasi agar matakuliah seminar bisa menghasilkan paper-paper yang berkualitas.

Sepanjang menjadi koordinator pada tahun 2014, ada beberapa isu yang menjadi tema seminar. Tema-tema seminar selalu dicari yang bisa mewakili seluas mungkin minat riset kecil dalam dunia arsitektur.Tema-tema tersebut adalah “Kreativitas Lokal dalam Arsitektur” untuk tahun 2014, “Aspek-aspek Perancangan Arsitektur dan Implementasinya” untuk tahun 2016, “Transformasi Arsitektur di Lingkungan Perkotaan” untuk tahun 2017, dan “Resiliensi dalam Arsitektur” untuk tahun 2019 (gambar 1)

 

Gambar (1)

Gambar 1: Tema dan poster MK Seminar Arsitektur dari tahun 2014 sampai 2018

Untuk penyelenggaraan tahun 2018, ada beberapa “prestasi” yang dicapai dalam penyelenggaraan matakuliah seminar arsitektur. Merespon berbagai kasus bencana di tanah air, topik seminar tahun 2018 adalah “Resiliensi dalam Arsitektur”. Pada akhir semester, diselenggarakan seminar pleno yang mengundang publik dengan mempresentasikan 8 paper terbaik dari 4 kelas paralel. Untuk tahun ini, seminar pleno melibatkan peninjau eksternal (external reviewers) anggota Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI) untuk memilih satu paper terbaik (gambar 2). Selain itu, beberapa paper karya mahasiswa sarjana arsitektur bisa terbit dalam seminar nasional (Cahyaningtyas dkk., 2018, Claudia dkk., 2018, Khamim dkk., 2018, dan Maulani dkk., 2018), dan satu paper terbit dalam konferensi internasional (Saputra dkk, 2018).

Gambar (2)

Gambar 2: Mahasiswa yang mendapatkan penghargaan untuk paper terbaik (kiri) dan penyerahan piagam kepada peninjau eksternal anggota IPLBI

Sebagai sebuah tulisan reflektif, ada beberapa kesamaan cara berpikir, ketika penulis merancang bangunan, selayaknya seorang arsitek, dengan merancang perkuliahan, sebagai koordinator matkuliah. Pertama, adalah berpikir preskriptif, memulai dengan bayangan akan hasil akhir. Sebagaimana seorang arsitek yang sudah punya bayangan tentang hasil akhir bangunan, penyelenggaraan kuliah pun dirancang dengan bayangan terhadap hasil akhir, yaitu paper-paper yang berkualitas. Jika merancang arsitek dibantu dengan studi presedens, maka presedens untuk penyelenggaraan matakuliah ini adalah paper-paper terbaik tahun sebelumnya. Kata kunci di sini adalah benchmarking.

Kedua, desain adalah proses iteratif untuk mencapai kesesuaian (appropriateness) dari berbagai pertimbangan (Cross, 1982, Saliya, 2003). Merancang bangunan juga dilakukan dengan proses bolak-balik sehingga mendapatkan rancangan yang diinginkan. Penyelenggaraan matakuliah ini juga melibatkan perbaikan berkelanjutan baik secara taktis dalam kurun pelaksanaan kuliah maupun secara strategis melalui evaluasi pelaksanaan tahun-tahun sebelumnya. Kata kunci di sini adalah continuous improvement.

Ketiga, desain memikirkan keterbangunan (constructability) dari elemen-elemen yang dirancang. Jika elemen terpenting dalam bangunan adalah elemen fisik (batu-bata, pintu, kolom, dll), elemen terpenting dalam penyelenggaraan perkuliahan adalah manusianya: dosen dan mahasiswa. Konstruksi sosial mempunyai tantangan tersendiri daripada konstruksi material, karena variabel perilaku manusia lebih banyak daripada material. Desainer yang baik akan punya pengetahuan memadai tentang material, maka perancang mata kuliah juga perlu pengetahuan yang memadai dari karakter dan perilaku manusia yang terlibat dalam kuliah tersebut.  Merancang matakuliah adalah membuat orkestrasi bagaimana para pelaku bergerak dengan cara dan karakter masing-masing untuk mencapai tujuan bersama. Selayaknya arsitek yang mengorkestrasi material menjadi suatu bangunan yang baik. Kata kunci di sini adalah social engineering.

Tantangan ke depan adalah meletakkan seminar dalam kerangka riset untuk mendukung desain arsitektur (research based design).Pengetahuan arsitektur berkembang dalam tradisi praktik, yaitu merancang bangunan. Tuntutan universitas-lah yang mendorong pendidikan arsitektur agar mempunyai disiplin ilmiah dengan aneka kegiatan riset. Menjadi sebuah tantangan bagaimana kegiatan riset yang bermuara pada diseminasi pengetahuan melalui seminar bisa juga berperan dalam memberikan informasi dan pertimbangan yang matang untuk desain. Ini menjadi hal yang tidak mudah, karena pada umumnya informasi dan pertimbangan desain oleh arsitek lebih berbasis pada pengalaman dan belum terlalu banyak yang didasarkan pada hasil riset ilmiah.

Mengujicobakan research based design untuk mahasiswa S-1 tentu mempunyai tantangan dan kesulitan tersendiri. Namun ini mungkin, jika desain menjadi sarana untuk melatih olah pikir (Ekomadyo, 2017). A kind of wicked problem? Sekali lagi, design thinking lahir karena cara berpikir linear atau sistemis (linear and systemic thinking) dianggap tidak memadai untuk memecahkan aneka permasalahan yang rumit. Sepanjang sejarahnya, banyak arsitek yang mampu mengembangkan cara berpikir desainnya untuk merancang kota, merancang perubahan masyarakat, bahkan merancang negara. Beberapa negara, seperti Amerika Serikat dan Indonesia, didirikan dan dirancang oleh beberapa Bapak Bangsa (Founding Fathers) yang punya latar belakang ilmu Arsitektur. Merancang negara jauh lebih rumit daripada merancang perkuliahan. Artinya, dengan cara berpikir desain, merancang perkuliahan tidak sulit-sulit amat. Kata kuncinya adalah benchmarking, continuous improvement, dan social engineering

 

Referensi

  1. Cahyaningtyas, M.A., Tazkia, A.M., Fitriani, T., Ekomadyo, A.S., Ardiani, N.A. (2018). Telaah Parameter Desain Untuk Kawasan Rawan Kriminalitas Di Kampung Kota Studi Kasus: RW 05 Kebon Bibit, Bandung. Seminar Nasional Teknologi Terapan Berbasis Kearifan Lokal (SNT2BKL) Program Pendidikan Vokasi Universitas Halu Oleo (PPV-UHO), Kendari, 1 Desember 2018, http://ojs.uho.ac.id/index.php/snt2bkl/article/view/5247
  2. Claudia, T., Agung, K.A., Nathania, G., Ekomadyo, A.S. Ardiani, N.A. (2018). Heritage Building As A Third Place: Sebuah Strategi Keberlanjutan Arsitektur Kolonial Di Era Modern. Seminar Nasional Teknologi Terapan Berbasis Kearifan Lokal (SNT2BKL) Program Pendidikan Vokasi Universitas Halu Oleo (PPV-UHO), Kendari, 1 Desember 2018. http://ojs.uho.ac.id/index.php/snt2bkl/article/view/5238
  3. Cross, N. (1982). Designerly Ways of Knowing, Design Studies. Vol.3 No.4 October 1982
  4. Dorst, K. (2011). The core of ‘design thinking’ and its Application. Design Studies 32 (2011) 521-532, doi:10.1016/j.destud.2011.07.006
  5. Ekomadyo, A.S. (2017). “Design Thought”: Berpikir Mendalam Melalui Desain. Dalam Kusyala et al. (2017). Footprint Sarjana: Dokumentasi Studio 2016-2017. Volume 2/2017. Program Studi Arsitektur Institut Teknologi Bandung. http://ar.itb.ac.id/2017/11/29/footprint-2017/. (https://iplbi.or.id/design-thought-berpikir-mendalam-melalui-desain/)
  6. Khamim, A.N., Ramadhanty, D.N., Ruby, R., Ekomadyo, A.S. Ardiani, N.A. (2018). Pengaruh Ruang Arsitektur Terhadap Rehabilitasi Residen Dengan Pendekatan Terapi Komunitas Di Kota Bandung. Seminar Nasional Teknologi Terapan Berbasis Kearifan Lokal (SNT2BKL) Program Pendidikan Vokasi Universitas Halu Oleo (PPV-UHO), Kendari, 1 Desember 2018 http://ojs.uho.ac.id/index.php/snt2bkl/article/view/5250
  7. Maulani, F.A., Tsabita, S.,Yudanti, A.N., Ekomadyo, A.S. Ardiani, N.A. (2018). Analisis Aspek Keberlanjutan Pada Produk Inovasi Kayu Modular. Seminar Nasional Teknologi Terapan Berbasis Kearifan Lokal (SNT2BKL) Program Pendidikan Vokasi Universitas Halu Oleo (PPV-UHO), Kendari, 1 Desember 2018. http://ojs.uho.ac.id/index.php/snt2bkl/article/view/5242
  8. Rowe, P.G. (1987). Design Thinking. The MIT Press, Massachussets.
  9. Saliya, Y. (2003) Perjalanan Malam Hari. Lembaga Sejarah Arsitektur Indonesia dan Ikatan Arsitek Indonesia Jawa Barat, Bandung.
  10. Saputra, A.N., Lineker, D.G., Hibaturrahim, H.E., Nilla, Sobandi, R., dan Ekomadyo, A.S. (2019). Space Utilization and Transformable Architecture of Peri-Urban Co-Living Concept in Rancaekek, Bandung. IOP Conference Series: Earth and Environmental ScienceVolume 328conference 1: The 4th International Conference in Planning in the 2019 Era of Uncertainty
    12–13 March 2019, Malang City, Indonesia. https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1755-1315/328/1/012058

Sayembara Arsitektur sebagai Inovasi

Refleksi dari Sayembara Pasar Godean, penyelenggara: Ikatan Arsitek Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta dan Pemerintah Kabupaten Sleman, Juli 2020

Poster desain Pasar Godean:Ekomadyo Silmi Orlando Rachman & Maulana (2020) – Ngewongke Godean

Animasi desain Pasar Godean: https://www.youtube.com/watch?v=iTOFlFHGTPc

Presentasi karya pemenang: https://www.youtube.com/watch?v=t-ioC3npjjg

 

Apa kaitannya sayembara arsitektur dengan inovasi? Apakah sayembara arsitektur bisa secara otomatis dianggap sebagai inovasi? Kalau pun bisa, mengapa sayembara arsitekur harus dikaitkan dengan inovasi?

Namun, jika sayembara arsitektur akan dijadikan sebagai inovasi, tentu ada ketentuannya. Ada beberapa definisi inovasi yang bisa dirujuk. Schumpeter (1994) mendefinisikan inovasi sebagai “kombinasi baru (new combination)” dari pengetahuan, sumber daya, peralatan, dan faktor-faktor lain yang sudah ada. Rogers (1962) merujuk inovasi pada serangkaian ide, produk, layanan, atau perilaku yang baru.  Sementara Etzkowitz dan Leydesdorff (1995) melihat inovasi sebagai proses multifacet dan kolaboratif, bukan sekadar hasil dari usaha individual pada industri swasta atau dunia akademis, namun lebih pada proses kolektif dan dinamis yang melibatkan aneka pelaku dan institusi. Dari berbagai definisi tersebut, ada empat kata kunci dari inovasi: kebaruan, pengetahuan dan sumber daya, kolektivitas antar pelaku, dan dampak.

Dari perspektif akademis, inovasi bisa diartikan sebagai rekonsiliasi antara “dunia di dalam laboratororium” dengan “dunia di luar laboratorium” (Yuliar, 2011). Dengan perspektif ini, maka sayembara arsitektur akan dilihat sebagai inovasi jika terjadi rajutan antara pengetahuan yang dibangun di kampus dengan praktik di dunia nyata. Sayembara arsitektur bisa menjadi inovasi, jika pengetahuan akademis bisa dibawa ke dunia praktis arsitektur dengan membawa kebaruan, memberikan dampak, dan diselenggarakan secara kolektif dan kolaboratif.

Dengan kerangka tersebut, maka ada beberapa hal yang bisa dibaca sebagai inovasi dalam kegiatan Sayembara Pasar Godean. Pertama, rekonsiliasi pengetahuan dari kampus dengan dunia praktik arsitek lewat konsep bagaimana desain arsitektur menjadi produksi budaya (cultural production), merujuk pada pemikiran dari Dovey (2010). Secara konseptual, peran sebagai sebagai produsen budaya diterjemahkan ke dalam konsep “Ngewongke Godean”, artinya desain pasar dimaksudkan untuk mengangkat “kelas” pedagang pasar Godean yang ada lewat desain arsitektur. Dengan desain yang artistik, maka pengunjung pasar bukan hanya dari penduduk sekitar, namun juga menarik pengunjung yang lebih luas, seperti wisatawan. Aspek artistik merupakan kebaruan dari suatu desain pasar rakyat.

Kedua, dampak dari pengetahuan dalam sayembara bisa dilacak bukan hanya dari penghargaan yang didapatkan (juara III), namun bagaimana pengetahuan yang dibangun bisa memberikan dampak. Karena hanya juara III, maka hasil sayembara tidak terbangun. Maka dampak hanya bisa dilacak pada internal tim sayembara. Karena tim sayembara melibatkan dua startup enterprise, maka pengetahuan tentang desain pasar akan memberikan portofolio kepada startup tersebut.

Ketiga, keterlibatan dua startup enterprise mendorong sayembara dikerjakan secara kolektif dan kolaboratif. Sebagai akademisi, penulis berperan dalam mentransfer pengetahuan, terutama desain arsitektur sebagai produksi budaya, untuk di-exercise ke dalam desain arsitektur. Sementara startup pertama, yaitu Suatudio Arsitektur, berperan dalam mengelaborasi desain arsitektur secara kreatif, dengan menerjemahkan “produksi budaya” melalui konsep “Ngewongke Godean”. Sementara startup kedua, yaitu Nawabha Architecture Studio, berperan meng-exercise aspek-aspek teknis aneka gagasan kreatif ke dalam solusi-solusi teknis.

Dengan menempatkan sayembara arsitektur sebagai inovasi, maka muncul suatu pertanyaan, apakah suatu proses arsitektur itu merupakan proses kreatif dan sekaligus inovatif? Jika suatu proses desain arsitektur merupakan proses kreatif, maka jawabannya iya. Karena, sudah menjadi etos para arsitek untuk menghasilkan sesuatu yang baru, sesuatu yang berbeda dengan karya-karya sebelumnya, karena ini menjadi habitus dari profesi arsitek. Namun apakah kreativitas arsitektur itu otomatis akan bernilai inovatif? Jawabannya, belum tentu. Dalam kerangka inovasi, kreativitas baru mempunyai nilai inovasi jika kebaruan yang dihasilkan mampu memberikan dampak, apalagi jika dampaknya memberikan nilai tambah (added values) secara ekonomi dan sosial.

Singkatnya, inovasi membutuhkan kreativitas, namun kreativitas belum tentu bernilai inovasi, kalau tidak memberikan dampak, terutama dampak nilai tambah secara ekonomi dan/ atau sosial. Dengan membawa sayembara arsitektur ke diskursus tentang inovasi, maka kreativitas arsitektur perlu diperluas bukan hanya menghasilkan kebaruan, namun bagaimana kebaruan itu bisa memberikan dampak. Ketika memikirkan dampak, maka proses desain arsitektur perlu diperluas bukan hanya menghasilkan produk semata, namun bagaimana produk arsitektur bisa bermanfaat seluas mungkin.

 

Referensi

Dovey, K. (2010). Becoming Places: Urbanism/ Architecture/ Identity/ Power. Routledge.

Etzkowitz, H., & Leydesdorff, L. (1995). The triple helix–university-industry-government relations: A laboratory for knowledge-based economic development. EASST Review, 14(1), 14-19.

Rogers, E. (1962). Diffusion of Innovation. Free Books.

Schumpeter, J.A., 1934 (2008), The Theory of Economic Development: An Inquiry into Profits, Capital, Credit, Interest and the Business Cycle, New Brunswick (U.S.A) and London (U.K.): Transaction Publishers.

Yuliar, S. (2011). Transformasi Penelitian ke dalam Inovasi. Dewan Riset Nasional, Jakarta.

Desain sebagai Eksperimen?

Sebuah pemikiran untuk membangun relasi mutual antara riset ilmiah dengan praktik desain.

Catatan dari Kuliah Tamu “Inserting Research Into Design: Toward Knowledge Development in Uncertain World”, Universitas Multimedia Nusantara, 13 April 2023

Materi kuliah tamu: Ekomadyo (20223) – Inserting Research into Design (Kulilah Publik UMN)

Pada suatu masa, ada upaya untuk mengaitkan desain dengan sains. Misalnya, yang dilakukan oleh Broadbent (1973), yang menyarankan bagaimana sains digunakan oleh desain arsitektur dalam rangka menjawab kebutuhan manusia di masa depan. Namun, eksperimen Lawson (1980) menunjukkan ada cara berpikir yang berbeda antara saintis dan desainer; saintis cenderung berpikir linier selayaknya menurunkan rumus matematik untuk mendapatkan kebenaran, sementara desainer cenderung berpikir iteratif (bolak-balik) untuk mendapatkan kecocokan. Dalam perdebatan panjang antara sains dan desain, Cross (2001) memetakan ada tiga macam relasi sains dan desain: scientific design, yang merujuk pada desain ala modern dalam dunia industri yang berbeda dengan desain tradisional yang cenderung craft; design science, yang merujuk pada metode sains untuk desain; dan science of design, yang memfokuskan pada kajian ilmiah terhadap desain.

Kontribusi penting dari Cross adalah mendudukkan desain sebagai cara mendapatkan pengetahuan (designerly ways of knowing). Jika para saintis mendapatkan pengetahuan lewat pengamatan terhadap benda-benda alam, desainer mendapatkan pengetahuan lewat bekerja untuk menyelesaikan masalah tertentu (Cross, 1982). Cendekiawan arsitektur Indonesia, Yuswadi Saliya, menawarkan istilah khusus yaitu “Pragma”, yang diartikan sebagai “pengetahuan dari tradisi berbuat” (Saliya, 2003).

Saat ini, pengaruh sains dalam universitas semakin menguat, salah satunya didorong oleh kenyataan bahwa kemajuan suatu masyarakat ternyata ditentukan oleh penguasaannya akan teknologi yang diciptakan berdasarkan kaidah-kaidah sains. Akibatnya, universitas pun semakin mengarusutamakan riset, yang berasal dari tradisi sains, sebagai cara yang dianggap paling akuntabel dalam memproduksi pengetahuan. Sementara tradisi desain berbeda dengan sains, sehingga riset ilmiah sejatinya bukan tradisi yang melekat pada desain. Ketika pendidikan desain masuk ke dalam universitas, dan universitas semakin mengarusutamakan riset ilmiah, bisakah desain mengadopsi riset ilmiah sebagai cara untuk mendapatkan pengetahuan dan menyelesaikan masalah?

Sebenarnya dalam praktik desain, ada kegiatan riset meskipun lebih berorientasi praktis untuk penyelesaian masalah, daripada berorientasi ilmiah untuk membangun pengetahuan. Misalnya, sebelum merancang, arsitek melakukan analisis tapak, analisis pengguna, kajian terhadap peraturan, membaca kepentingan stakeholder; secara tidak langsung para arsitek melakukan aktivitas riset. Di sini, riset dipahami sebagai cara mengumpulkan data untuk mendapatkan suatu temuan tertentu. Bedanya, riset praktis ala praktik arsitek tidak dilakukan dengan metode yang ketat (rigorous) selayaknya riset ilmiah.

Karena sebenarnya riset sudah dilakukan oleh arsitek pada tataran praktis, maka menyisipkan riset ilmiah ke dalam praktik arsitektur menjadi tidak terlampau sulit. Ada beberapa peluang bagaimana riset ilmiah dan praktik arsitektur bisa saling berkontribusi. Misalnya, desain berbasis riset (research based design). Ada dua variasi, riset yang dilakukan sendiri, atau mengambil riset dari orang lain. Untuk para arsitek yang berprofesi sebagai dosen, cara ini bisa dilakukan lewat sinergi kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat, di mana penelitian difokuskan untuk menemukenali suatu permasalahan di masyarakat, dan pengabdian masyarakat difokuskan pada bagaimana desain arsitektur bisa menjadi alternatif solusi dari permasalahan yang ditemukenali tersebut. Cara ini dilakukan oleh penulis ketika merancang Alun-alun Terakota di Jatisura (Ekomadyo, dkk., 2022), sebagai alternatif solusi untuk permasalahan diversifikasi produk terakota yang ditemukan dalam riset tentang budaya terakota di Jatiwangi (Ekomadyo, dkk., 2023). Beberapa arsitek profesional juga ada yang mengembangkan riset untuk mendukung keunggulan desain mereka dan menjaga kepercayaan para klien, namun ini baru bisa dilakukan jika biro arsitek tersebut sudah relatif stabil dalam tatakelola keuangan perusahaan dan bisa menginvestasikan sumber daya yang dipunyai untuk riset dan pengembangan. Arsitek Indo Megah termasuk yang mengembangkan riset dan development untuk desain arsitektur yang berorientasi pada bisnis properti (Kusnadi, 2016)

Research based design bisa juga dilakukan dengan mengambil riset yang dilakukan orang lain. Arsitek profesional yang melakukan metode ini misalnya Andra Matin. Ketika merancang stadion renang di Senayan, beliau meng-exercise prinsip-prinsip fisika bangunan yang ditemukan oleh dari Y.B. Mangunwijaya (Manguwijaya, 1988). Beliau juga banyak mengembangkan desain dengan menggunakan roster yang dibuat limbah gerabah, hasil inovasi yang dipatenkan oleh pak Ahmad Nizam dari Plered (Halim, 2022). Mahasiswa penulis, Joan Emilie Putri, merancang fasilitas riset dan pengembangan eceng gondok di Rawa Pening, (Putri, 2022) salah satunya dengan meng-exercise prototipe panel akustik eceng gondok hasil riset Bu Erni Setyowati dosen Universitas Diponegoro (Perdana, 2019). Mahasiswa lain, Nashirullah Bilhadid, merancang Waste Research Center (Bilhadid, 2023) dengan menyediakan ruang edukasi untuk pembelajaran teknologi Masaro (Manajemen Sampah Zero) hasil riset pak Akhmad Zainal Abidin dosen Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung (Abidin, 2019).

Cara ketiga adalah desain sebagai bagian dari sebuah kegiatan riset dalam lingkup yang cukup luas. Cara ini banyak dilakukan pada universitas di negara maju, di mana bangunan atau elemen bangunan dirancang sebagai bentuk purwarupa riset yang diimplementasikan. Ini ditemukan pada desain gedung arsitektur National University of Singapore yang banyak dipengaruhi aneka riset tentang sustainability. Dalam skala yang lebih kecil, beberapa proyek akhir mahasiswa menjadi bagian dari riset penulis, seperti desain pasar festival di Gedebage Bandung dari Annas Maulana sebagai bagian riset tentang kriteria rancangan pasar tradisional (Maulana, 2015) Terracota Creative Center di Majalengka dari Bintan Hayya sebagai bagian riset tentang budaya terakota di Jatiwangi (Haya, 2022), dan creative-place di Pasar Atas Baru Cimahi sebagai bagian dari riset ruang konsumsi kreatif di pasar rakyat (Andini, 2023).

Keempat, desain sebagai eksperimen. Sebenarnya, proses desain bagi arsitek tak ubahnya suatu eksperimen oleh para ilmuwan. Ketika ilmuwan mengembangkan eksperimen untuk menguji hipotesis, arsitek mengembangkan desain untuk menguji gagasan awal (conjecture) yang dibangkitkan (to be generated) oleh respon terhadap permasalahan, yang kemudian diujicobakan lewat aneka proses desain yang melibatkan banyak analisis (Darke, 1978). Dorst (2011) menunjukkan memang ada perbedaan cara berpikir antara ilmuwan untuk mendapatkan kesimpulan yang bersifat “pasti” lewat penalaran deduktif, dengan cara berpikir desainer yang mendapatkan kesimpulan yang bersifat “paling mungkin” lewat penalaran abduktif. Selayaknya sebuah eksperimen ilmiah, kesimpulan dalam suatu “eksperimen” melalui desain arsitektur juga bisa dipublikasikan lewat forum-forum ilmiah. Hal ini dilakukan oleh Arsitek Francis Kere yang membagi pengetahuannya dalam merancang sekolah Gando di Burkina Faso (Kere, 2012). Penulis sendiri pernah mempublikasikan eksperimen desain dalam kerangka sosioteknikal dengan kasus ruang kreatif di Kampung Dago Pojok Bandung (Ekomadyo & Riyadi, 2020).

Menempatkan desain sebagai “eksperimen” adalah melihat desain sebagai proses belajar, selain sebagai implementasi kreativitas dan penyelesaian masalah (Dorst, 2006). Sebagai proses belajar, maka yang dilihat dari desain adalah pengetahuan yang didapatkan lewat desain yang dilakukan. Bagi arsitek, akumulasi pengetahuan lewat aneka aktivitas desain karena menjadi modal budaya (cultural capital) bagi arsitek dalam bekerja dan dipercaya oleh para pengguna jasa arsitek dan masyarakat luas. Secara implisit, menyisipkan riset ke dalam desain sudah cukup jamak dilakukan oleh arsitek di Indonesia, terutama didorong oleh motivasi mendapatkan kebaruan desain sebagai konsekuensi jiwa kreatif yang melekat pada arsitek. Yang belum banyak dilakukan oleh arsitek di Indonesia adalah menuliskan akumulasi tersebut secara sistematis agar bisa dipelajari secara lebih luas oleh masyarakat. Jika pengetahuan desain arsitektur bisa diketahui oleh publik, ini bisa berimplikasi dari apresiasi publik terhadap jasa arsitek karena kompetensi dan akumulasi pengetahuan yang dimilikinya, yang membantu pengguna jasa untuk mendapatkan kehidupan lebih baik lewat hasil desain bangunan dan lingkungan yang diberikan oleh para arsitek.

Referensi:

Abidin, A.Z., Choliq, N.S., Yemensia, E.V, & Hastuti, R. (2020). Study on Environmental Health Aspect of Plastic Refinery in MASARO Cirebon Unit in Indonesia. International Conference on Green Energy and Applications (ICGEA), 116-120, doi: 10.1109/ICGEA49367.2020.239716.

Bilhadid, N. (2023). “Changing the Paradigm”: Zero Waste Center ITB Jatinangor. Laporan Perancangan Arsitektur Studio Tugas Akhir Program Studi Sarjana Arsitektur Institut Teknologi Bandung.

Andini, R.A. (2023). Public Market As The New Catalyst: Re-Desain Pasar Rakyat Kota Cimahi (Pasar Atas Baru Cimahi). Proposal Tesis. Program Studi Magister Arsitektur Institut Teknologi Bandung.

Broadbent, G. (1973). Design in Architecture: Architecture and the Human Sciences. John Wiley & Sons.

Cross, N. (2001). Designerly Ways of Knowing: Design Discipline Versus Design Science. Design Issues, 17 (3) 49-55, DOI: https://doi.org/10.1162/074793601750357196

Cross, N. (1982). Designerly ways of knowing. Design Studies, 3(4), 221-227, https://doi.org/10.1016/0142-694X(82)90040-0.

Darke, J. (1978). The primary generator and the design process. New Directions in Environmental Design Research: Procedings of EDRA 9. pp. 325–337. Washington, EDRA.

Dorst, K. (2006). Understanding Design: 175 Reflection being Designer. Bis Publishers

Dorst, K. (2011). The core of ‘design thinking’ and its application. Design Studies, 32 (6), 521-532, https://doi.org/10.1016/j.destud.2011.07.006.

Ekomadyo, A.S., and Riyadi, A. (2020). Design in Socio-technical Perspective: An Actor-Network Theory Reflection on Community Project ‘Kampung Kreatif’ in Bandung, Archives of Design Research, 33 (2)19–37, doi: https://doi.org/10.15187/ adr.2020.05.33.2.19

Ekomadyo, A.S., Silmi, G.F, Maulana, A.T. (2022). Arsitektur Terakota sebagai Social Lab. Media Indonesia, Selasa 18 Oktober 2022, https://mediaindonesia.com/humaniora/530414/arsitektur-terakota-sebagai-social-lab

Ekomadyo, A.S., Wijaya, N., Vardhani, V.J., Maulana, A.T., Suhendar, H., Susanto, V. (2023). Field of Creative Culture: A Study of Creative Movement and Innovation of Terracotta Culture in Jatiwangi, West Java, Indonesia. Creativity Studies (sedang dalam proses penerbitan)

Halim, A. (2022). Roster Ahmad Nizar Torehkan Sejarah Baru di Sentra Keramik Plered. IDN Times Jabar. https://jabar.idntimes.com/news/jabar/abdul-halim-18/roster-ahmad-nizar-torehkan-sejarah-baru-di-sentra-keramik-plered

Haya, B.Z. (2022). Perancangan Creative Hub untuk Konservasi, Eksplorasi, dan Promosi Budaya di Majalengka. Laporan Perancangan Arsitektur Studio Tugas Akhir Program Studi Sarjana Arsitektur Institut Teknologi Bandung.

Kere, D.F. (2012). School in Gando, Burkina Faso. Architectural Design. https://doi.org/10.1002/ad.1496

Kusnadi, H. (2016). Creativity for Business: Inserting Enterpreunerial Spirit into Architectural Design Strategies. Halfday Seminar Events Creative Property Business By Design & Architecture. Archipreneur Mycellium Bandung, 9 April 2016.

Lawson B. (1980). How Designers Think. Architectural Press

Mangunwijaya, Y.B. (1988). Pengantar Fisika Bangunan. Penerbit Djambatan

Maulana, A.T, dan Ekomadyo, A.S. (2015). Karakter Festival pada Perancangan Pasar untuk Tengaran Kota. Temu Ilmiah Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia 2015. Universitas Sam Ratulangi Manado. http://temuilmiah.iplbi.or.id/wp-content/uploads/2015/11/TI2015-E-067-074-Karakter-Festival-pada-Rancangan-Pasar-di-Kawasan-Bandung-Technopolis.pdf

Perdana, A.P. (2019). Eceng Gondok Bantu Tingkatkan Kualitas Bunyi Ruangan. Kompas ID. 18 Desember 2019, https://www.kompas.id/baca/lain-lain/2019/12/18/eceng-gondok-bantu-tingkatkan-kualitas-bunyi-ruangan/

Putri, J.E.S. (2022). “To Heal the Nature”: Eduwisata Konservasi Rawa melalui Fasilitas Riset dan Pengembangan Eceng Gondok di Rawa Pening. Laporan Perancangan Arsitektur Studio Tugas Akhir Program Studi Sarjana Arsitektur Institut Teknologi Bandung.

Saliya, Y. (2003). Perjalanan Malam Hari. Ikatan Arsitek Indonesia Jawa Barat & Lembaga Sejarah Arsitektur Indonesia

Unearth the Beauty: Sebuah Model Desain Kolektif untuk Pemberdayaan Masyarakat melalui Arsitektur Terakota di Desa Jatisura, Jatiwangi, Majalengka

Pengantar untuk Book Chapter “Mengetalasekan Terakota”, dalam buku Teknologi Pelestari: Budaya Ilmiah Unggul untuk SDGs. Yuli S. Indartono, dkk. ITB Press.

Link Buku: https://online.fliphtml5.com/wyysv/luri/#p=1

Dalam dunia arsitektur, dikenal konsep Perancangan Partisipatif (Participatory Design), yang diturunkan dari konsep Pembangunan Berbasis Komunitas (Community Based Development/ CBD). Meskipun punya semangat untuk memberdayakan, konsep CBD hadir tidak dalam ruang hampa, namun ada diskursus (discourse) tertentu yang menyertainya. Konsep CBD lahir dari diskursus perhatian dan bantuan dari negara-negara maju (developed countries) kepada negara-negara berkembang (developing contries) agar tidak terjadi kesenjangan pembangunan yang dalam jangka panjang bisa membahayakan bagi dunia. Dari konsep CBD, muncul konsekuensi perencanaan partisipatif (participatory planning), yang mensyaratkan perencanaan pembangunan yang melibatkan komunitas secara aktif, sebuah model bottom up yang menjadi antitesis dari model perencanaan top down dari pemerintah yang sering tidak efektif dan tidak tepat sasaran karena minimnya pelibatan masyarakat secara aktif. Ketika para arsitek dan desainer masuk ke dalam aneka proyek CBD, maka berkembanglah perencanaan partisipatif menjadi perancangan atau desain partisipatif (participatory design). Di Indonesia, tokoh utama desain partisipatif adalah Romo Mangunwijaya di Yogyakarta yang banyak dipengaruhi oleh filsafat Fenomenologi dari Martin Heidegger (1927), dan Pak Hasan Poerbo di Bandung yang banyak dipengaruhi System Thinking dari Benjamin Handler (1970).

Meskipun pada awalnya dimaksudkan sebagai kegiatan untuk memberdayakan masyarakat, namun dalam pelaksanaannya muncul banyak kritik terhadap desain partisipatif. Pertama,  selalu ada partisipasi dari orang lain selain perancang dan pemberi tugas (yang sering disebut pemangku kepentingan/ stakeholders) dengan tingkat partisipasi yang berbeda-beda. Karena pada hakikatnya, desain merupakan proses sosial (design as social process) mana akan banyak pihak yang terlibat yang mempunyai pengetahuan, sudut pandang, preferensi, dan kepentingan masing-masing (Dorst, 2003). Bahkan dalam pekerjaan desain paling sederhana sekalipun, misalnya rumah tinggal, seorang arsitek akan melibatkan para pemangku kepentingan (bapak, ibu, anak, dan pembantu kalau ada), meski sering aspirasi para pemangku kepentingan tersebut hanya diwakili oleh satu orang saja (biasanya bapak sebagai pemberi tugas). Namun dalam banyak kasus, sang bapak sebagai pemberi tugas melibatkan anggota keluarga lainnya dalam pengambilan keputusan desain, karena kenyamanan dalam menggunakan rumah sebagai hasil rancangan akan tergantung dari preferensi masing-masing anggota keluarga.

Kedua, pendekatan kedua tokoh desain partisipatif di atas, Romo Mangun dan pak Hasan Poerbo, sepeninggal keduanya, pun mendapatkan banyak kritik.  Pak Hasan, karena tujuannya adalah pengembangan komunitas secara sistematis, maka aspek artistik dalam desain sering tidak ditonjolkan. Padahal, arsitek sebagai desainer adalah makhluk kreatif, di mana aspek artistik menjadi penting sebagai delegasi dari kreativitas arsitek. Sementara Romo Mangun, pendekatan fenomenologi yang menekankan pada subjektivitas punya kelemahan ketergantungan sangat tinggi terhadap kehadiran Romo Mangun dalam proyek-proyek beliau. Kalau Romo Mangun tidak bisa hadir karena tugas lain, maka proyek berhenti. Ini yang terjadi di Sendang Sono. Di Kampung Kali Code, yang kehadiran Romo Mangun awalnya ditujukan untuk membela kelompok marginal kota (disebut Girli atau Pinggir Kali), namun sepeninggal beliau, di Kali Code sekarang ruh perjuangan beliau hilang, bahkan di kampung tersebut muncul bangunan-bangunan permanen yang justru membahayakan ekosistem sungai.

Ketiga, adalah tokenisme. Artinya perencanaan dan perencanaan partisipatif sering hanya menjadi “stempel” terhadap kebijakan pembangunan tertentu (Toker, 2007).  Ini jamak terjadi dalam proyek-proyek pemerintah di Indonesia, sekaligus menjadi self-criticism untuk penulis sebagai arsitek.

Keempat, prosedur perencanaan dan perancangan partisipatif yang “baku” sering tidak realistis jika dihadapkan dengan realitas yang ada, yaitu kompleksitas dunia sosial dan keterbatasan sumber daya yang dipunyai oleh arsitek. Misalnya, prosedur perencanaan dan perancangan partisipatif mensyaratkan terciptanya konsensus dari pemangku kepentingan terhadap rencana dan rancangan pembangunan (Luck, 2003, Richardson and Connelly, 2005), yang hampir tidak mungkin terjadi karena orang bisa jadi di depan bilang ya, di belakang bilang tidak. Dan upaya menghasilkan konsensus ini menjadi sangat tidak realistis jika dihadapkan dengan sumber daya yang dipunyai tim arsitek, yaitu biaya, waktu, dan tenaga.

Sehingga perlu ada pendekatan lain agar bagaimana desain tetap bisa menjadi agen untuk pemberdayaan masyarakat, seperti cita-cita CBD, bisa dilaksanakan. Pendekatan tersebut dinamakan pendekatan kolektif. Judul “Unearth the Beauty” tersebut merupakan salah satu brand (jenama) yang diturunkan dari konsep  pendekatan kolektif untuk desain arsitektur, di mana aspek artistika sebagai nilai-nilai dasar kreativitas arsitek dalam berkarya tetap ditonjolkan. Istilah kolektif sebelumnya  juga digunakan oleh Eleanor Ostrom, pemenang Nobel perdamaian, untuk menjelaskan perlunya tindakan kolektif dalam menciptakan “common-pool resources” (ruang-sumberdaya bersama) Secara teoretis, istilah kolektif ini  digunakan oleh Bruno Latour untuk menjelaskan apa itu sosial, dan bagaimana pengaruh seperangkat objek-objek teknis, disebut teknologi, termasuk objek arsitektur, dalam relasi-relasi antar manusia (Latour, 2005). Istilah kolektif melihat suatu relasi sosial yang selalu berubah-ubah, penuh kontroversi, bisa ada kesepakatan (consensus), namun juga pengkhianatan (betray). (Callon, 1984). Memang, keberadaan objek-objek teknis, seperti produk arsitektur yang dihasilkan lewat desain, bisa men-stabil-kan relasi antar manusia, namun keberadaan objek-objek teknis itu bersifat intermittently: bisa berganti secara tiba-tiba (Latour, 2005).

Dengan pendekatan desain kolektif, maka upaya rekayasa sosial dilakukan dengan penciptaan objek-objek teknis yang mampu menstabilkan relasi antar manusia. Karena menyangkut objek teknis, maka ada kompetensi teknis yang dibutuhkan, di mana insinyur, termasuk arsitek dan desainer, lebih mempunyai kompetensi ini dibanding pelaku-pelaku lain yang terlibat. Ini bedanya dengan desain partisipatif yang menempatkan desainer lebih menjadi fasilitator (bersifat pasif, masyarakat yang aktif, sementara sering masyarakat tidak bisa proaktif karena belum tahu persis maunya apa), dengan pendekatan kolektif desainer bisa bertindak proaktif terutama karena kompetensi teknis yang dimilikinya. Meski demikian, pendekatan kolektif mensyaratkan bahwa relasi antara objek teknis dengan manusia yang terlibat ditentukan oleh tingkat delegasi manusia terhadap objek teknis tersebut. Semakin objek teknis menjadi delegasi kehendak manusia, semakin kuat relasinya. Di sini sense of belonging bisa tergambarkan dengan lebih jelas (to be described), dengan memetakan relasi tiap manusia dengan objek teknis atau objek arsitektur yang dibuat. Menurut Bruno Latour, ada 4 tingkat mediasi objek teknis pada relasi antar manusia: 1) interference, mempengaruhi tindakan, 2) composition: menggabungkan berbagai tindakan, 3) folding space and time: ketika aneka tindakan itu terajut secara intensif, dan 4) delegasi: ketika manusia mewakilkan kehendaknya pada objek teknis yang dibuat atau digunakan (Latour, 1999).

 

Referensi

Callon, M. (1984). Some Elements of a Sociology of Translation: Domestication of the Scallops and the Fishermen of St Brieuc Bay. Sociological Review. 32(1) 196-233. https://doi.org/10.1111/j.1467-954X.1984.tb00113.x

Dorst, K. (2003). Understanding Design. BIS Publisher

Heidegger, M. (1927). Being and Time.

Handler, B. (1970). Systems Approach to Architecture. American Elsevier

Latour, B. (1999). Pandora’s Hope: Essays on the Reality of Science Studies

Latour, B. (2005). Reassembling the Social: An Introduction to Actor-Network-Theory.  Oxford University Press

Luck, R., (2003). Dialogue in participatory design. Design Studies, 24(2003) 523–535 doi: 10.1016/S0142-694X(03)00040-1

Ostrom, E. (1990). Governing the Commons: The evolution of Institutions for Collective Action. Cambridge: Cambridge University Press.

Richardson, T., and Connelly, S. (2005). Reinventing public participation: planning in the age of consensus. In Jones, B.J, Petrescu, D, and Till, J. (eds.) (2005). Architecture and participation. New York: Spon Press.

Toker, Z., (2007). Recent trends in community design: the eminence of participation. Design Studies, 28 (3) 309-323. doi: 10.1016/j.destud.2007.02.008

Budaya Kreatif dan Rekayasa Sosioteknis

Catatan dari Gelar Wicara ITB untuk Masyarakat Karsa Loka: “Eksplorasi Budaya Kreatif untuk Konstruksi Arsitektur Ruang Publik”. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Teknologi Bandung,  Jumat, 21 Oktober 2022

Link materi presentasi: Ekomadyo 2022 – Budaya Kreatif dan Rekayasa Sosioteknis (Karsa Loka ITB)

Link video: https://youtu.be/98XqGG0RNWc

Link informasi acara: https://pengabdian.lppm.itb.ac.id/karsaloka/eksplorasi_budaya_kreatif_untuk_konstruksi_arsitektur_ruang_publik_kasus_budaya_tanah_liat_di_jat

Perkembangan pesat diskursus Kota Kreatif ternyata menimbulkan kontroversi. Gerakan kreatif oleh pegiat seni dan budaya yang mampu menarik kunjungan ke kawasan kota tertentu ternyata juga menarik investasi kapital besar yang kemudian memarginalkan para pegiat seni dan budaya tersebut. Kontroversi memang niscaya dalam kehidupan kota, karena ruang-ruang kota bukan merupakan ruang-ruang yang steril namun penuh kontestasi dari mereka yang memproduksi ruang kota tersebut. Relasi kuasa dalam suatu fenomena budaya, termasuk kontestasi dalam gerakan yang menggunakan budaya kreatif, menjadi salah satu isu utama dalam Cultural Studies.

Dalam perspektif Cultural Studies, budaya kreatif bisa didefiniskan dengan menggabungkan pemikiran Cziksenmihalyi tentang “field of creativity” dan Bourdieu tentang “field of capital” Menurut Cziksenmihalyi, kreativitas hadir dalam 3 hal: person, domain, dan field, di mana field merujuk pada arena sosial di mana kreativitas seseorang dalam bidang tertentu bisa diterima dan dikembangkan lebih lanjut. Sedangkan menurut Bourdieu, dalam arena sosial (field) aneka bentuk modal, yaitu modal ekonomi, modal sosial, dan modal budaya disirkulasikan, dikontestasikan, dan ditransformasikan. Dari sini budaya kreatif dapat didefinisikan sebagai “bagaimana modal budaya (berupa ketrampilan, pengetahuan, tatakrama, dan mandat) disirkulasikan, dikontestasikan, dan ditransformasikan dengan modal ekonomi dan modal sosial untuk menghasilkan sesuatu yang baru dalam suatu arena sosial tertentu”.

Dalam suatu rekayasa sosial, atau tepatnya rekayasa sosioteknikal – rekayasa sosial dengan melibatkan secara khusus objek-objek teknis-, modal budaya berperan dalam menggerakkan masyarakat. Artinya, serangkaian pengetahuan, ketrampilan, tatakrama, dan mandat (sebagai modal budaya) dalam menciptakan aneka objek teknis bisa ditransformasikan dengan modal ekonomi dan modal sosial untuk menggerakkan masyarakat. Di sini, masalah rekayasa sosioteknikal akan menyangkut nilai-nilai tertentu yang digunakan sebagai referensi dalam upaya menggerakkan masyarakat.

Dalam hal ini, ada dua hal yang perlu dilakukan. Pertama, perlunya rumusan pengetahuan yang lebih terstruktur (structural knowledge) dari berbagai pengalaman praktis rekayasa sosioteknikal. Hal yang pertama ini memerlukan pendekatan ontologis, dan menjadi penting buat para peneliti. Kedua, menurunkan aspek ontologis dari berbagai kasus praktis ke dalam kerangka yang lebih praktis. Yang kedua ini penting buat mahasiswa.

Ini sebuah batu pijakan (stepping stones) dari rangkaian pemikiran bagaimana desain bisa menjadi agen untuk perubahan yang lebih baik untuk masyarakat luas.

 

Arsitektur Terakota sebagai “Social Lab”

Artikel dipublikasikan dalam Media Indonesia, Selasa, 18 Oktober 2022

Ekomadyo dkk (2022) – Arsitektur Terakota Social Lab (Media Indonesia 18 Okt 2022)

 

Berbeda dengan kalangan saintis, pengetahuan yang dibangun dalam disiplin arsitektur lebih banyak didapatkan dari praktik desain dalam menyelesaikan persoalan tertentu.  Jika para saintis mengandalkan laboratorium untuk membangun pengetahuannya, maka “laboratorium” bagi arsitek adalah dunia aneka tempat di mana arsitek berpraktik dan bekerja. Meski banyak mengandalkan pengetahuan tacit yang melekat pada dirinya, saat berpraktik dalam “laboratorium masyarakat” arsitek sebenarnya tengah membangun pengetahuan, selayaknya seorang ilmuwan, ketika ia bisa merefleksikan pengalamannya tersebut  (Ekomadyo, 2017).

Konsep “laboratorium masyarakat” muncul ketika para peneliti berinteraksi dengan masyarakat, melakukan banyak negosiasi, untuk bereksperiman terhadap pengetahuan tertentu dalam menyelesaikan permasalahan di masyarakat (Yuliar, 2011). Dalam praktik pengabdian masyarakat, dikenal istilah “social hub”, yaitu orang-orang yang mampu menghubungkan pemikiran yang dikembangkan di universitas dengan praktik keseharian di masyarakat (Ihsan & Sachari, 2015). Jika istilah “social hub” merujuk pada keberadaan orang, sekelompok orang, atau tempat tertentu, “social lab” lebih merujuk pada aktivitas orang pada tempat tersebut. Maka selayaknya laboratorium, konsep “social lab” memfokuskan diri pada bagaimana pengetahuan diproduksi lewat aneka upaya ujicoba gagasan baru dari interaksi para intelektual saat berinteraksi dengan masyarakat dalam rangka menyelesaikan suatu permasalahan tertentu.

Tulisan ini merupakan  refleksi dari tim ITB dalam melaksanakan kegiatan pengabdian kepada masyrakat tahun 2021-2022 tentang desain dan konstruksi Arsitektur Terakota di alun-alun Desa Jatisura, Jatiwangi, Majalengka. Kegiatan ini dimaksudkan untuk merespon gerakan Kota Terakota yang diinisiasi oleh komunitas seni Jatiwangi Art Factory (JAF) untuk mengangkat kembali harkat budaya tanah liat di kawasan ini yang telah terdisrupsi oleh aneka industri. Gerakan Kota Terakota pada prinsipnya mendorong pembangunan sarana dan prasarana kota yang menggunakan aneka ragam produk terakota, sehingga diversifikasi produk ini diharapkan mampu menghela produksi dan meningkatkan nilai produk dari usaha berbasis tanah liat di kawasan ini. Dari riset yang telah dilaksanakan sebelumnya (Ekomadyo, dkk. 2023), ditemukan bahwa gerakan ini telah memberikan dampak bagi sebagaian besar pengusaha terakota di Jatiwangi dan sekitarnya secara sosial, sebagai promosi akan budaya terakota, namun belum memberikan dampak ekonomi yang bisa menggerakkan aneka usaha diversifikasi produk terakota. Berbasis temuan tersebut, maka arsitektur terakota di alun-alun Desa Jatisura dimaksudkan sebagai etalase dari aneka produk diversifikasi terakota yang sudah diinisiasi oleh beberapa pengusaha terakota, agar bisa dilihat dan menginspirasi publik dalam membangun sarana dan prasarana bertema terakota.

Sebagai sebuah upaya ujicoba dalam kerangka inovasi, proses desain dan konstruksi arsitektur terakota ini menemui banyak jalan berliku, meski tetap membawa banyak pengetahuan. Desain sendiri merupakan proses percakapan, sehingga dalam mendialogkan material, bentuk, pengguna, dan konstruksi menjadi pertimbangan penting dalam pemikiran desain. Sedangkan proses konstruksi yang melibatkan masyarakat juga menemui aneka kendala terutama dalam mempertahankan misi pemberdayaan saat berhadapan dengan keterbatasan pengetahuan dan kompetensi teknis masyarakat setempat. Namun ketika diniatkan sebagai social lab, aneka strategi dan taktik yang dikembangkan oleh tim ITB dalam menyiasati aneka permasalahan dan kendala merupakan sumber pengetahuan tersendiri. Tulisan ini pun merupakan bentuk diseminasi pengetahuan sebagai hasil refleksi praktik desain dan konstruksi, dengan Arsitektur Terakota di alun-alun Desa Jatisura sebagai kasus studi.

Sebagai sebuah social lab, maka proses desain dan konstruksi Arsitektur Terakota di alun-alun Desa Jatisura dilihat sebagai proses pembelajaran kolektif. Istilah kolektif, dalam tulisan ini, diturunkan dari Teori Jaringan-Aktor (Actor-Network Theory/ ANT), yang melihat fenomena sosial  yang sarat dengan objek-objek teknis (Latour, 2005, Yuliar, 2009). Sebagai proses sosial, desain selalu melibatkan banyak pihak dengan sudut pandang, kepentingan, dan preferensi masing-masing (Dorst, 2003). Dengan perspektif pembelajaran kolektif, maka objek arsitektur yang dirancang dan dibangun menjadi proses pembelajaran masing-masing, ketika berinteraksi dengan orang-orang lain. (Ekomadyo, dkk., 2019). Dengan berinteraksi dengan masyarakat, maka yang terjadi adalah rajutan pembelajaran (learning assemblage), di mana terjadi translasi dan koordinasi antar pelaku yang terlibat (McFarlane, 2006).

 

Referensi

  1. Dorst, K. (2003). Understanding Design: 175 Reflections on Being a Designer. BIS Publisher.
  2. Ekomadyo, A.S. (2017). Reflective Practitioning: Belajar Menarik Nilai-nilai dari Pengalaman Kerja Arsitek. Artikel dalam media Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia, 9 Agustus 2017 (https://iplbi.or.id/reflective-practitioning-menarik-nilai-nilai-dari-praktik-arsitek/)
  3. Ekomadyo, A.S., Riyadi, A., Rusli, S. Aditra, R.A. (2019), The Role of Built Environment In Collective Learning: The Case of Rumah Sahabat Salman. MIMBAR: Journal of Social and Development. Vol. 35, No. 2, hlm. 309-316, doi: https://doi.org/10.29313/mimbar.v35i2.4811
  4. Ekomadyo, A.S., Wijaya, N., Vardhani, V.J., Maulana, A.T., Suhendar, H., Susanto, V. (2023). Field of Creative Culture: A Study of Creative Movement and Innovation of Terracotta Culture in Jatiwangi, West Java, Indonesia. Paper submitted to Creativity Studies. Status: accepted (will be published in early of 2023).
  5. Ihsan, M. & Sachari, A. (2015). ‘Catalyst Institute’ as a Bridge Between Craftsmen and Markets In Indonesian Craft Industry. Arts and Design Studies,33, https://www.iiste.org/Journals/index.php/ADS/article/view/23712/24283
  6. Latour, B. (2005). Reassembling the Social: An Introduction to Actor-Network-Theory. Oxford University Press
  7. McFerlane, C. (2006). Learning the City: Knowledge and Translocal Assemblage. Wiley-Blackwell.
  8. Silmi, G.F. (2020). Tentang Terakota: Mengetalasekan Terakota. Suatudio, Bandung
  9. Yuliar, S. (2009) Tata Kelola Teknologi: Perspektif Teori Jaringan-Aktor. ITB Press, Bandung.
  10. Yuliar, S. (2011). Transformasi Penelitian ke dalam Inovasi. Dewan Riset Nasional, Jakarta

Framing: antara ANT dan Design Thinking

Materi Presentasi pada:

  • International Virtual Course “Creative Culture and Urban Commons”, International Virtual Course Creative Culture and Urban Commons Institut Teknologi Bandung and the University of Auckland, August, 10, 2021:Ekomadyo (2021) – Framing Uncertainty (IVC CCUC)
  • Pembekalan Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), Kontribusi Mahasiswa Lintas Disiplin dalam Membangun Ruang Publik Berbasis Komunitas untuk Peningkatan Ekonomi dan Budaya Lokal, Kasus: Alun-alun Bertema Terakota di Desa Jatisura Kecamatan Jatiwangi Kabupaten Majalengka, Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung, 9 Agustus 2021:Ekomadyo (2021) – Arsitektur yang Memberdayakan (Pembekalan MBKM Jatisura)

Hubungan Actor-Network Theory (ANT) dan desain memang belum lama. ANT sendiri baru muncul tahun 1986, ketika tiga tokoh utamanya John Law, Michel Callon, dan Bruno Latour, mulai mempublikasikan tulisan masing-masing secara terpisah (Law, 1986, Callon, 1986, Latour, 1986) untuk selanjutnya mulai intensif membangun pemikiran bersama tentang ANT. Dalam dunia desain, pengaruh signifikan ANT terjadi pada tahun 1999, ketika Latour memberikan keynote speech pada sebuah konferensi desain (Latour, 1999a), merespon dunia desain yang mulai melihat bahwa desain merupakan fenomena yang berjejaring, bukan sekadar suatu kerja seorang desainer yang mencoba menyelesaikan suatu permasalahan tertentu. Di situ, Latour secara eksplisit menyebut bahwa pemikiran desain dia secara filosofis dipengaruhi oleh pemikiran Sloterdijk (2009): “Dasein ist design… Sloterdijk has managed to extirpate … from the bifurcated way in which it has always dealt with materiality; this seriousness about Dasein is what makes his philosophy so exciting…;  You cannot indulge anymore into the idea that there are, on the one hand, objective material constraints and, on the other, symbolic, human subjective ones.” Secara bersama-sama, Latour dan Sloterdijk diundang berdiskusi oleh arstitek Mohsen Mostafavi pada Harvard University Graduate School of Design pada kuliah publik tentang “Network and Sphere” (Latour, 2009b, Sloterdijk 2009b).

Di sisi lain, design thinking berkembang secara luar basa, karena dianggap cara berpikir yang biasa dilakukan oleh para desainer, termasuk arsitek, bisa diadopsi pada disiplin lain untuk menyelesaikan aneka masalah. Adalah Peter Rowe (1986), yang menerbitkan buku bertajuk “Design Thinking”, di mana ia mencoba mengungkap apa yang sesungguhnya dipikirkan oleh para arsitek sebagai desainer karena banyak masalah yang rumit (wicked problems) yang bisa mereka selesaikan. Design thinking kemudian berkembang ke disiplin lain, terutama pada disiplin Teknologi Informasi untuk melengkapi cara berpikir sistem (system thinking) yang dianggap kurang lentur untuk menyelesaikan permasalahan teknis dan non-teknis, hingga sampai ke disiplin bisnis dan inovasi dalam menemukan cara-cara baru yang bisa diterima oleh pengguna teknologi. Karena banyak sekali pengertian design thinking, pemikir desain Kees Dorst (2011) mencoba merumuskan inti dari pemikiran ini sebagai “IF we look at the problem situation from this viewpoint, and adopt the working principle associated with that position, THEN we will create the value we are striving for”.

Konsep “framing” sebagai inti dari design thinking, juga pernah disebut dalam ANT, meski secara parsial. Adalah Michel Callon (1998) yang mencoba menggunakan ANT untuk mendeskripsikan jejaring pasar, dan mengidentifikasi bagaiman peran alat-alat pasar (market devices) dalam pembentukan jejaring tersebut.  “Framing”, menurut Callon, diartikan sebagai “.. is an operation used to define individual agents which are clearly distinct and dissociated from one another; it also allows for the definition of objects, goods and merchandise which are perfectly identifiable and can be separated not only from other goods, but also from the actors involved, for example in their conception, production, circulation or use”.

Sebelumnya, ANT melihat desain sebagai kegiatan preskripsi, di mana desainer memasukkan nilai-nilai tertentu sebelu mambuat skrip. Ekomadyo & Riyadi (2020) membangun argumentasi, bahwa “…design is a kind of ‘pre-scription activities’: every actor acts designing when he/she developing values before they make scripts, when professional designers use specific design devices in these script-making; In ANT, pre-scription activities refer to what actors imagine before the create scripts, as like as designers imagine the design result before they draw the design objects;  everybody can create prescription, but professional designers have specific design devices, such drawings, models, or presentations, to insert values on their scripts”. Apakah ANT bisa membuat definisi yang lebih operasional tentang Desain? Pertanyaan ini akan dijawab pada paper selanjutnya.

 

Referensi:

Callon, M. (1986). “Some Elements of a Sociology of Translation: Domestication of the Scallops and the Fishermen of St Brieuc Bay.” pp. 196–233 in Law, J.. Power, Action and Belief: A New Sociology of Knowledge. Routledge & Kegan Paul, London.

Callon, M. (1998). An Essay on Framing and Overflowing: Economic Externalities Revisited by Sociology. The Sociological Review, 46 (1) 244-269, https://doi.org/10.1111/j.1467-954X.1998.tb03477.x

Dorst, K. (2011). The core of ‘design thinking’ and its application. Design Studies, 32(6), 521-532 https://doi.org/10.1016/j.destud.2011.07.006

Ekomadyo, A.S., and Riyadi, A. (2020). Design in Socio-technical Perspective: An Actor-Network Theory Reflection on Community Project ‘Kampung Kreatif’ in Bandung, Archives of Design Research, 33 (2), 19–37, doi: https://doi.org/10.15187/ adr.2020.05.33.2.19,

Law, J., ed. (1986). Power, Action and Belief: A New Sociology of Knowledge. Routledge & Kegan Paul, London.

Latour, B. & Woolgar, S. (1986) Laboratory life: the construction of scientific facts. Princeton University Press, New Jersey.

Latour, B. (2009a). A Cautious Prometheus? A Few Steps Toward a Philosophy of Design (with Special Attention to Peter Sloterdijk). Keynote lecture for the Networks of Design: meeting of the Design History Society.  Falmouth, Cornwall, 3rd September 2008

Latour, B. (2009b). Spheres and Networks: Two Ways to Reinterpret Globalization. Essay. Harvard Design Magazine, no. 30 / (Sustainability) + Pleasure, Vol. I: Culture and Architecture.

Rowe, P. G. (1986). Design Thinking. The MIT Press.

Sloterdijk, P. (2009a). Foreword to the Theory of Spheres, in Ohanian, M. & Royoux, J.C. (eds).  Cosmograms, M. Lukas and Sternberg, New York. p. 223-241.

Sloterdijk, P. (2009b). Talking to Myself about the Poetics of Space. Interview. Harvard Design Magazine, no. 30 / (Sustainability) + Pleasure, Vol. I: Culture and Architecture.

Produksi dan Konsumsi Budaya: Belajar dari Pasar

 

Naskah untuk bagian buku “Inovasi, Budaya, dan Desain: Kontribusi Desain Arsitektur untuk Inovasi Budaya, sedang dalam proses penyusunan: Ekomadyo (2022) – Produksi Konsumsi Budaya Pasar

Apa hubungannya pasar dengan inovasi budaya? Di Indonesia, menurunnya keberadaan pasar tradisional yang dicitrakan sebagai tempat becek dan kumuh mendorong munculnya aneka program untuk revitalisasi fasilitas ini. Bahkan kini sebutannya diganti menjadi pasar rakyat, agar tidak terjadi dikotomi antara fasilitas perbelanjaan modern dengan yang tradisional. Dari sini, kemudian dinyatakan bahwa pasar rakyat adalah rumah ekonomi dan rumah budaya bagi bangsa Indonesia, sehingga aneka upaya revitalisasi pada hakikatnya adalah membangkitkan kembali aktivitas ekonomi yang berbasis budaya.

Konsep inovasi budaya pada prinsipnya adalah bagaimana nilai-nilai suatu masyarakat bisa menjadi modal budaya yang mendorong berkembangnya aneka kebaruan yang memberikan nilai tambah secara ekonomi dan/ atau sosial. Fenomena rajutan ekonomi dan budaya ditemukan dalam aktivitas di pasar rakyat. Artinya, aktivitas ekonomi berbasis budaya di pasar bisa menjadi dasar analogi untuk inovasi budaya.

Pasar adalah tempat terjadinya jual beli. Namun secara lebih luas, pasar merupakan simpul produksi dan konsumsi masyarakat. Dan ketika pengertian pasar berkembang lebih dari sekedar tempat menjadi pengertian sistem atau jaringan, maka pasar diartikan sebagai aneka lintasan yang menghubungkan produksi dan konsumsi.

Dalam kerangka inovasi budaya, perspektif pasar bisa digunakan untuk melihat produksi dan konsumsi budaya. Jika modal budaya diartikan sebagai pengetahuan, ketrampilan, tatakrama, dan mandat yang didapatkan seseorang atau sekelompok orang melalui pendidikan, pengasuhan, dan pemagangan, maka modal budaya tersebut bisa diproduksi, dan dipertukarkan dengan modal budaya dari seseorang atau sekelompok orang yang lain. Di sini, aspek ekonomi bisa menjadi bagian dalam pengembangan budaya, terutama untuk melihat suatu artifak atau produk budaya diproduksi dan dikonsumsi oleh masyarakat.

Integrasi Riset, Pengabdian Masyarakat, dan Perkuliahan lewat KARSA DESA

Catatan dari Pembekalan Riset Keilmuan ITB 2022 “Model Place-making untuk Inovasi Pembelajaran Bauran Berbasis Komunitas di Desa”, 1 Desember 2022

Materi pembekalan: Ekomadyo (2020) – Karsa Desa Riset Keilmuan ITB 2022

Awalnya, nama “Karsa Loka” dibuat oleh Program Pengabdian Masyarakat ITB sejak tahun 2019. Munculnya program ini di-support oleh komunitas Seni Rupa di dalam ITB, yang memberikan warna etnografi dalam upaya penerapan dan pengembanga teknologi. Idenya adalah menciptakan forum sharing untuk mereka-mereka yang berkiprah memberdayakan masyarakat di tempat tertentu.

Dalam arsitektur, secara substantif ide “Karsa” dan “Loka” mendapatkan perhatian khusus juga. Secara umum, “karsa” berari kehendak (seperti dalam ungkapan “Eka Prasetia Panca Karsa” yang berarti “Tekad Tunggal untuk Lima Kehendak), dan dalam arsitektur kehendak ini mewujud dalam konsep “design thinking”. Menurut Kees Dorst (2003), inti dari “design thinking” adalah “frame creation”, menciptakan kerangka melalui logika abduksi untuk mencari aneka alternatif solusi dalam menyelesaikan permasalahan yang rumit (wicked problems). Sedangkan “Loka” dalam arsitektur punya padanan kata “Loci”, dan secara eksplisit disiplin arsitektur mempunyai konsep tentang “Genius Loci” yang memperhatikan ruh dan karakter suatu tempat tertentu.

Dalam kegiatan riset keilmuan ITB 2020 berjudul “Model Place-making untuk Inovasi Pembelajaran Bauran Berbasis Komunitas di Desa”, akan dibuat model bagaimana semangat Karsa Desa agar bisa direplikasi di banyak tempat. Semangatnya adalah integrasi antara riset, pengabdian kepada masyarakat, dan perkuliahan. Secara sederhana, model ini merupakan penerjemahan dari isu-isu tertentu dari riset yang dilakukan oleh dosen oleh beberapa mahasiswa agar menjadi kegiatan pengabdian masyarakat bersama komunitas desa. Secara berurutan, kegiatan ini  diawali pembekalan dari dosen untuk isu-isu tertentu berbasis riset yang telah dilakukan. Mahasiswa menerjemahkan isu berbasis pembekalan ini ketika berinteraksi dengan masyarakat desa, sebagai bentuk kegiatan pengabdian masyarakat. Kemudian mahasiswa pengetahuan saat berinteraksi dan direfleksikan, dan dikonversikan sebagai tugas perkuliahan untuk mendapatka  kredit.

Meski terlihat sederhana, pelaksanaan di lapangan akan mengundang kerumitan tersendiri. Bahkan proses melakukan integrasi pun merupakan proses yang menjadi (becoming), dan akan mnghasilkan pengetahuan juga. Namun ketika integrasi ini bisa dikonsolidasikan dengan baik, dampaknya akan sangat besar bagi masyarakat Indonesia, terutama bagaimana pengetahuan yang diproduksi oleh universitas bisa berkontribusi untuk menggerakkan masyarakat untuk kehidupan yang lebih baik secara berkelanjutan.