Mengamati Eksperimen Kolektif Masa Pandemi

Ketika Pemikiran Latour dibaca sambil Berjemur

(Refleksi dari Webinar Kajian Siaga Wabah/ Kiswah, YPM Salman ITB, Jumat 12 Juni 2020)

Materi paparan:Ekomadyo (2020) – Latour How to Bring the Sciences into Democratic Pandemic Policies (Kiswah 3 Salman)

Sebagai seorang arsitek, seperti kebanyakan orang awam, saya juga kebingungan saat pandemi datang. Namun sebagai seorang dosen, saya harus siap-siap jika ditanya tentang pandemi, dan jawabannya kalau bisa ada dasar ilmiahnya. Duh, pemikiran siapa yang bisa dirujuk, ya, mengingat pandemi ini merupakan fenomena yang baru, sehingga semua orang, termasuk para pemikir, masih meraba-raba.

Nah, terlintas satu buku karya Bruno Latour, “Politics of Nature: How Bring the Sciences into Democracy”. Sepertinya menarik untuk dipelajari dan dibagi, apalagi pada awal-awal pandemi muncul kesan pemerintah dan masyarakat Indonesia meremehkan Covid-19 dan data-data saintifik yang menyertainya. Dalam diskusi dengan pak Sonny Yuliar, disebut bahwa buku ini merupakan masterpiece pemikiran Latour. Walah, masterpiece bagaimana, nih, berkali-kali membaca saya nggak ngerti-ngerti juga. Untunglah ketika awal Pandemi ada gerakan “Indonesia Berjemur”. Jadi saat menganggur ketika berjemur, saya membaca bukunya Latour, tentang Politics of Nature.

Kalau membaca buku sulit, trik saya adalah menuliskan kembali teks buku tersebut, memilah kalimat penting yang tidak, dan menebalkan frasa-frasa yang menjadi kunci pemikiran. Sekalian jadi pengalihan perhatian saat jenuh dari pekerjaan lain, jadi bukan suatu upaya khusus. Dari menulis itu, saya mulai mengerti pelan-pelan apa yang menjadi perhatian Latour, dan apa yang ingin ia sampaikan ke pembaca. Di luar teks, saya coba kaitkan pemikiran ini dengan konteks sehari-hari. Mencoba menjawab aneka persoalan pandemi dengan konsisten menggunakan pemikiran Latour. Dua hari menjelang presentesi, terus terang, saya baru bisa mengerti betul apa yang sebenarnya dimaui Latour. Jadi presentasi itu saya mencoba membuat pemikiran Latour relevan dengan konteks kebijakan pandemi di Indonesia. Jadi saat ditanya, saya menjawab bukan berdasar opini saya pribadi, tetapi seolah mewakili Latour menjawab pertanyaan sesuai konteks yang dihadapi penanya. Fyuh…

Nah, satu hal yang saya pelajari adalah konsep “eksperimen kolektif”. Di sini Latour membuat analogi penerapan sains dalam politik seperti prosedur eksperimen di dalam laboratorium. Ada prosedur yang ketat, dan setiap tahap akan menghasilkan data yang menjadi bahan bagi pengetahuan. Eksperimen kolektif ini pas untuk menjelaskan penolakan pedagang pasar saat akan ditest Covid, meski data menunjukkan pasar merupakan kluster penularan virus itu. Namanya juga eksperimen, beberapa tahap bisa tidak berhasil seperti yang dirancang. Namun, kegagalan itu tetap dicatat, karena menjadi bahan belajar untuk tahap selanjutnya.

Saya percaya, cara efektif belajar adalah dengan mengajar. Setelah presentasi, rasanya saya yang paling banyak belajar tentang Latour. Menjawab pertanyaan audiens menguji kematangan pemahaman saya terhadap pemikiran Latour. Dan yang istimewa, saya mengundang satu teman yang lebih banyak membaca Latour, John Petrus Tanlan, untuk ikut hadir di sesi diskusi. Lewat beliau, saya menambah pengetahuan baru, bahwa isu Pandemi bukan barang baru dari Latour, karena lewat buku “Pasteurization of France”dia pernah bisa menjelaskan bagaimana bagaimana Perancis bisa mengatasi wabah Antrax di negara itu. Dan lewat kajian-kajian parsial seperti itu, Latour kemudian mampu membentuk corpus (batang tubuh) pemikirannya, lewat buku “We have Never been Modern”.

Setelah berjemur, rasanya saya ingin berjemur lagi. Masih banyak pemikiran Latour yang menarik untuk dijelajahi.