Menjadi Ideolog

Catatan untuk Buku “Perayaan 65 tahun Uwan Zukri Saad: Merantau ke Kampung Halaman”

Download artikel .pdf:Ekomadyo (2020) – Menjadi Ideolog untuk 65 tahun Zukri Saad

Bagian 1: Uwan Zukri in  the Struggling

Tahun ini, ulang tahun uwan Zukri Saad dirayakan dgn “kado” tulisan dari teman-temannya, termasuk saya. Nanti akan dibukukan. Tentunya sebuah kehormatan. Agar menulis bukan menjadi beban, maka saya anggap menulis adalah bagian ber-media sosial, part of lifestyle, mengisi “waktu senggang”. Sekaligus menjadi “writing in the making”.

Karena sedang mendalami Actor-Network Theory, tentu ini mempengaruhi tulisan saya tentang beliau. Kalau Bruno Latour menggunakan “Following Scientist and Engineer in Societies” (Latour, 1988), saya coba mengikuti kiprah Uwan Zukri dalam masyarakat. Untunglah beliau orang yang gemar bercerita. Meski tidak bisa mengikuti langsung, bisa tergambarkan bagaimana relasi-relasi sosial yg mempengaruhi apa yg diperjuangkan Uwan Zukri.

Yang paling khas dari beliau bagi saya adalah menjadi “Ideolog”. Di zaman yang serba pragmatis dan artifisial seperti sekarang ini, ideologi seakan menjadi bagian dari masa lalu. Seperti runtuhnya tembok Berlin, usainya perang dingin, dan berakhirnya sejarah (Fukuyama, 1992). Namun tidak dalam relasi Uwan Zukri dan saya. Ideologi, yang secara harfiah adalah seperangkat pengetahuan tentang gagasan-gagasan, menjadikan diskusi kami jadi intensif dan hangat. Seusai berdiskusi dgn beliau, ada saja seperangkat ide yg masih tersimpan di kepala dan terbawa ke mana-mana.

Bagian 2: Ideologi Lewat Cerita

Uwan Sukri Zukri Saad ini memang gudangnya cerita. Istilah “Ideolog” ini juga saya cuplik dari beragam cerita beliau. Waktu itu beliau cerita saat dimintai saran seorang petinggi negara ketika beliau diminta menjadi rektor sebuah universitas. “Wah, Bapak nggak cocok jadi rektor, karena Bapak bukan seorang Ideolog”.  Ideolog, lho, ya, orangnya,  bukan ideologi, barangnya, seperti yang lebih diberikan kepada kita. Lewat Uwan Sukri, “ideolog” jadi kosa kata baru bagi saya, bahwa kita pun bisa membangun seperangkat ide untuk mempengaruhi orang lain, dan bukan sekadar disuruh untuk mengikuti seperangkat ide yang dibangun oleh orang atau kelompok lain.

Nah, modal cerita ini yang membuat Uwan sering bertemu para pemimpin negara. Misalnya, saat Uwan dipanggil oleh presiden kedua RI, pak Harto. Dari mahasiswa hingga kini, Uwan dikenal sebagai pengritik pemerintah. Maka, panggilan sang “Bapak ” kepada salah satu “Anak” Pembangunan adalah untuk melunakkan relasi2 antara yg mengritik dgn yg dikritik

Namanya juga seorang Ideolog, dipanggil orang paling berpengaruh di Indonesia saat itu tak membuat Uwan merasa kalah pamor. Dengan merendahkan diri, merasa tersanjung diperhatikan khusus oleh Presiden RI, Uwan tak lupa “meninggikan mutu”: “Meskipun Bapak adalah Presiden dari 130 juta rakyat Indonesia, saya presiden juga, lho, pak”. “Presiden apa, Dik”, pak Harto akhirnya terpancing kepo. Uwan menjawab (“kena deh Bapak”, dalam hati), “Presiden Friends of Earth”. Ya, ini adalah semacam LSM Internasional yg memberi nama jabatan pemimpinnya dengan sebutan presiden. Lalu Uwan bercerita, bagaimana lewat jaringan internasional yg dimiliki ia bisa menipu Paus. Dan cerita ini membuat Pak Harto tertawa-tawa mendengarnya. Ah, kok jadi ingat Gus Dur yang membuat Bill Clinton terbahak-bahak saat diceritain hantu-hantu di Gedung Putih.

Bagian 3: Kertas yang Dibakar

Apa persamaan cerita Batman dan cerita Uwan Zukri Saad? Bukan…bukan urusan daleman. Juga bukan urusan heroisme, karena Uwan bukan vigilante dan ia memilih berjuang lewat advokasi. Ini cerita tentang “No Way Back”.

Dalam film “Batman Dark Knight Rises”, dikisahkan ada sebuah penjara di dalam gua bawah tanah yang jalan keluarnya adalah lubang di atas tanah setinggi 50 meter dari dasar gua. Para tahanan mencoba peruntungan untuk melarikan diri dengan memanjat tebing gua menuju lubang. Tak ada yang berhasil, namun juga tak ada yg mati atau cedera, karena mereka memanjat tebing dengan tali pengaman. Sampai seorang anak gadis berhasil lolos, karena ia berani memanjat tebing tanpa tali pengaman. Tali ternyata juga memenjara pikiran para pemanjatnya: “nggak lolos nggak apa apa toh ada pengaman”. Beda dengan sang gadis kecil yang hanya berpikir lolos atau mati: dan ia lolos!

Menjadi aktivis di tengah masyarakat menjadi pilihan jalan hidup Uwan Zukri. Pilihan yang suatu saat menghadapkan Uwan untuk terus bersama masyarakat atau kembali beralih menjadi karyawan biasa. Di tengah hutan, Uwan Zukri akhirnya memutuskan melepas tali pengaman perjuangannya: dibakarnya kertas yang menegaskan bahwa ia telah lulus sebagai Sarjana Kimia ITB. Tak ada lagi jalan kembali, tak ada perusahaan yang percaya keahliannya tanpa kertas penanda itu. Namun itu yang membuat Uwan terus mendampingi masyarakat: di tengah hutan, dengan pasokan beras kiriman. Hingga ia dipercaya mendampingi masyarakat di seluruh dunia. Hingga ia menjadi salah pimpinan LSM terkemuka di Indonesia dan presiden suatu LSM Internasional.

Konon, ketika perang kemerdekaan Amerika, George Washington juga membakar perahu saat setelah menyeberang sungai. Karena tidak ada jalan pulang, pasukannya bertempur untuk maju terus supaya selamat dan akhirnya menang! Membakar kapal, seperti Uwan Zukri membakar kertas penanda sarjana, ternyata  jadi ungkapan populer kini: “if you do not burn the boat, you can not reach the island”.

Dan Uwan Zukri maju terus dengan gagasannya untuk memajukan masyarakat. Aneka cerita ia sisipkan dalam rangka menyebarkan ide-idenya. Orang boleh tidak sepakat dengan ide-idenya, namun tetap akan tertarik dengan cerita-ceritanya.

Menjadi Ideolog lewat cerita. Itulah legasi Uwan Zukri.

zukri saad

Referensi

Latour, B. (1988). Science in Action: How to Follow Scientists and Engineers Through Society. Harvard University Press.

Fukuyama, F. (1992). The End of History and the Last Man. The Free Press.