Desain Arsitektur dan Rekayasa Sosial di Masa Pandemi : “Creating New Trajectories”

Belajar dari Pengabdian Masyarakat ITB untuk Sungai Citarum lewat Pemberdayaan Pesantren

 

Lock Down! Ini adalah sebuah kata yang membuat semua kegiatan nyaris berhenti saat Covid-19 mulai menyebar ke seluruh dunia. Ketika nyawa banyak terenggut dan ketika pengobatan belum ditemukan, mencegah penyebaran  –secara radikal- dengan mengkarantina diri, menjadi cara survive yang paling dipercaya. Bahkan metode pencegahan penyebaran ini mendapatkan landasan hukumnya: lockdown di beberapa negara dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Indonesia. Dalam dunia pendidikan, kuliah harus dilakukan tanpa tatap muka. Kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat, yang membawa risiko penularan, pun dibatalkan.

But, life must go on! Orang bule menyebutnya “new normal”, kita punya bahasa yang lebih apik: “Adaptasi Kebiasaan Baru”. Bagaimana hidup harus berjalan terus, namun persebaran virus tetap bisa dikurangi. Di Indonesia, istilah yang populer adalah “tetap beraktivitas dengan protokol kesehatan” melalui 3M:  menjaga jarak, memakai masker, dan mencuci tangan.

Memang hidup penuh, sangat penuh, dengan ketidakpastian. Bruno Latour, tokoh Teori Jaringan-Aktor (Actor-Network Theory/ ANT) menyebutkan ada 5 sumber ketidakpastian, yaitu tentang 1) bagaimana orang  selalu membuat kelompok yang terus berubah dan muncul kelompok baru/ hilang kelompok lama, 2) tindakan selalu berlebihan, karena setiap tindakan dipengaruhi dan mempengaruhi tindakan lain dalam kelompok tersebut, 3) tindakan tersebut terwujud pada objek, dan terlalu banyak orang yang terlibat dalam objek tersebut, 4) fakta terhadap objek sesungguhnya terkonstruksi secara sosial tergantung dari concern terhadap objek tersebut, dan 5) mengkaji ketidakpastian itu juga merupakan suatu yang mengandung kerumitan dan ketidakpastian juga.  Akan banyak lintasan dalam kehidupan, dan ini sumber ketidakpastian. Maka memperhatikan “lintasan” (trajectories) bisa menjadi cara pandang yang tepat dalam menghadapi ketidakpastian.

Maka, ketika suatu kegiatan Pengabdian Masyarakat di Sungai Citarum hampir tidak bisa dilaksanakan karena survey lapangan tidak bisa dilakukan karena PSBB, maka saya memilih membuat lintasan baru agar kegiatan ini bisa berlangsung. Creating new trajectories, utilizing the existing network. Berikut adalah langkah-langkah, bagaimana lintasan baru terbentuk:

Pertama, Pengabdian Masyarakat Citarum diusulkan oleh beberapa peneliti di ITB di bawah naungan LPPM ITB dengan memilih satu lokasi tertentu, yaitu desa Cinangsi Kabupaten Cianjur, di tepi waduk Cirata. Pada masa PSBB, hal ini tidak bisa dilakukan, karena akan menimbulkan kerumunan. Terlalu berisiko

Kedua, sebelumnya, secara informal peneliti bersama teman lain sudah merespon isu Citarum dengan melibatkan pesantren. Konsolidasi pelaku dan survey ke Pesantren yang berkait dengan Citarum sudah dilakukan sebelum pandemi. Jejaring sudah terbentuk (gambar 1)

Gambar 01 Foto FGD ITB NUGambar 1: berbagai konsolidasi peneliti ITB dengan tokoh-tokoh pesantren membahas pemanfaatan teknologi, termasuk teknologi untuk program Citarum

Ketiga, pada masa pandemi, konsolidasi tetap dilakukan, meskipun lewat daring. Kegiatan informal ini menjadi formal karena didukung oleh LPPM ITB. Jadilah sebuah lokakarya daring yang diikuti oleh para kyai muda dari berbagai pesantren di Jawa Barat (gambar 2). Satu pesantren mengajukan follow up untuk program Citarum, dengan mengaktualkan kolam ikan yang dipunyai dari sekadar fungsi sosial menjadi fungsi ekonomi. Kebetulan pesantren ini, yaitu Pesantren Sirojul Huda Soreang, juga telah dikunjungi peneliti sebelum pandemi

Gambar 02 LoKa PesantrenGambar 2: Lokakarta daring Pesantren Teknologi dan Pemberdayaan Masyarakat kerja sama LPPM ITB dan PW Ansor Jawa Barat

Keempat, apakah bisa memindahkan lokasi PM Citarum dari desa Cinangsi ke Pesantren Sirojul Huda Soerang. Izin harus didapatkan dari LPPM ITB. Pertimbangan pimpinan ITB adalah “safety first”, artinya jika kegiatan pengabdian masyarakat bisa dilaksanakan secara daring, maka kegiatan Pengabdian Masyarakat bisa dipindahkan lokasinya. Dan izin pemindahan lokasi dan perubahan judul pun didapatkan. Judul pengabdian masyarakat pun menyesuaikan menjadi: Perancangan Fasilitas Eduwisata Perikanan pada Pesantren Sirojul Huda Soreang Kabupaten Bandung

Kelima, ketika lokasi disetujui untuk pindah, dan judul pun bisa disesuaikan, muncul masalah baru: apakah visi dari pengelola pesantren dan kompetensi dari tim pengabdian masyarakat, bisa dirajut? Pengelola pesantren mempunyai visi menjadikan kolam ikan dari fungsi sosial menjadi fungsi ekonomi, sementara tim pengabdian sebagian besar latar belakangnya adalah arsitektur. Di mana bisa mempertemukannya? Di sini, kembali Teori Jaringan-Aktor kembali digunakan. Artinya, akan perlu mediator –bisa dalam bentuk aktor manusia- yang akan menjembatani desain arsitektur dengan visi peningkatan ekonomi. Jejaring yang dipunyai tim pengabdian masyarakat dan pengelola pesantren dimanfaatkan sebagai pemangku kepentingan untuk pengabdian masyarakat ini.

Keenam, diskusi kelompok terfokus dilakukan secara daring antara tim pengabdian masyarakat dan para pemangku kepentingan. Dalam forum ini, berbagai gagasan pengembangan dielaborasi secara bersama-sama (gambar 3).

Gambar 03 FGD StakeholderGambar : Diskusi kelompok terfokus secara daring dengan para pemangku

Ketujuh, tantangan survey pada masa pandemi adalah, bisakah teknik survey dari tim pengabdian masyarakat ditransfer ke pengelola pesantren untuk mengambil data? Artinya, pandemi mengharuskan aneka adaptasi, termasuk adaptasi dalam melakukan survey. Survey tidak langsung bisa menjadi alternatif: pengelola pesantren mengambil data berdasarkan arahan tim pengabdian masyarakat. Di sini, teknologi informasi berperan penting dalam metode survey tidak angsung seperti ini (gambar 4).

Gambar 04 Pengambilan Data

Gambar 4: pengambilan data lokasi oleh pengelola pesantren

Kedelapan, survey Lapangan pasca PSBB. Ketika sudah mulai beradaptasi untuk beraktivitas pada masa pendemi, maka Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pun mulai dilonggarkan. Aktivitas bisa berlangsung asal mengikuti protokol kesehatan dengan 3M: Memakai Masker, Mencuci Tangan, Menjaga Jarak. Dengan berinteraksi langsung, aspirasi pengelola pesantren bisa lebih tergali (gambar 5).

Gambar 05 Survey

Gambar 5: Survey lapangan pasca PSBB

Kesembilan, diskusi dan elaborasi desain secara daring. Karena sudah terbiasa bekerja secara daring, diskusi desain pun bisa dilakukan secara daring pula (gambar 5 dan 6).

Gambar 06 Diskusi Desain

Gambar 5: Diskusi desain secara daring

Gambar 07 Sketsa

Gambar 6: Sketsa-sketsa desain

Kesepuluh, desain arsitektur pun berhasil dihasilkan. Gambar yang tersaji, seperti biasa, mampu membangkitkan harapan tentang “better future” pada lingkungan yang dirancang (Gambar 7).

Gambar 08 Desain 1

Gambar 08 Desain 2Gambar 7: Hasil desain

Meski demikian, apakah kegiatan pengabdian masyarakat sudah usai. Masih ada masalah berikutnya, bagaimana pengelola pesantren akan memaknai desain yang dihasilkan. Yang pasti mereka senang, mendapatkan inspirasi tentang masa depan fasilitas eduwisata dari pesantren yang dikelola.

Namun apakah gagasan dari arsitek ini bakal terwujud? Masih perlu jalan panjang, karena ide-ide bagus pun akan membutuhkan biaya. Tentu menjadi tantangan ketika pesantren, yang masih dikelola secara tradisional, harus mewujudkan desain arsitektur yang dikerjakan secara profesional. Ada kesenjangan, baik kesenjangan ekonomi, dan bisa jadi kesenjangan pengetahuan.

Namun, apakah desain yang bagus ini akan berakhir sia-sia? Sekali lagi, Teori Jaringan-Aktor memberikan jawaban: bahwa tingkat tertinggi dari objek teknis adalah sebagai delegasi kehendak manusia. Desain yang bagus adalah delegasi dari kehendak para arsitek yang merancang. Dan para arsitek ini adalah aktor manusia yang juga punya kemampuan membangun jejaring.

Dalam bahasa Islam, desain ini adalah wasilah (perantara) untuk silaturahmi: jejaring yang dibangun untuk kebaikan bersama. Untuk mewujudkan desain, tentu pengelola pesantren membutuhkan pendampingan dari para arsitek. Dan Teori Jejaring-Aktor memfokuskan diri pada apa yang terjadi pada relasi-relasi yang terbangun tersebut. Ya, fokus pada silaturahmi. Desain adalah mediator untuk silaturahmi. Dengan silaturahmi –dan ini akan sangat ANT sekali – akan terbuka banyak jalan untuk pengembangan dan kebaikan bersama.