Budaya sebagai Modal Inovasi

Naskah untuk bagian buku “Inovasi, Budaya, dan Desain: Kontribusi Desain Arsitektur untuk Inovasi Budaya, sedang dalam proses penyusunan. Ekomadyo (2022) – Budaya Modal Inovasi (Materi Buku Inovasi Budaya Desain)

Pemahaman budaya, termasuk budaya, secara esensial diperlukan agar kajian tentang inovasi budaya bisa diposisikan secara tepat. Fenomena yang ada di masyarakat merupakan realitas yang kompleks. Apalagi jika kajian tentang budaya dikaitkan dengan inovasi dan dalam perspektif desain arsitektur, kompleksitas realitas menjadi konteks yang harus  diperhatikan. Pandangan normatif-romantis –atau bahkan stereotipikal- tentang budaya tidak akan memadai untuk mengkaji suatu fenomena dalam realitas yang kompleks tersebut. Memposisikan budaya dengan tepat diharapkan bisa mendorong kajian inovasi budaya secara cermat (dan cerdik). Kompleksitas permasalahan bisa dipetakan dengan baik, untuk kemudian dibingkai atau dibatasi untuk keperluan kajian tertentu.

Pendahuluan: Inovasi Budaya dan Kontribusi Desain Arsitektur

Naskah untuk bagian buku “Inovasi, Budaya, dan Desain: Kontribusi Desain Arsitektur untuk Inovasi Budaya, sedang dalam proses penyusunan. Ekomadyo (2020) – Inovasi Budaya dan Kontribusi Desain Arsitektur (Materi Buku Inovasi Budaya Desain)

Pengetahuan tentang desain arsitektur, sebagaimana pengetahuan pada umumnya, dikembangkan dan disusun sebagai respon terhadap konteks tertentu. Artikel ini, dan serangkaian materi perkuliahan, juga disusun menurut konteks tertentu, yaitu konteks Keindonesiaan, terutama menghadapi tantangan globalisasi. Konteks ini diharapkan bisa menjadi gambaran, mengapa budaya lokal dalam perancangan arsitektur perlu untuk dipelajari. Isu inovasi, terutama transformasi riset ke dalam inovasi, disisipkan dengan maksud agar kajian budaya lokal dalam perancangan arsitektur relevan dengan agenda nasional tentang penguatan riset dan teknologi untuk daya saing bangsa. Inovasi menjadi kata kunci, ketika riset harus bersinergi dengan kebutuhan pasar melalui industri untuk aneka tujuan nasional (Yuliar, 2011). Jika inovasi bisa menjadi dasar bagi proses riset agar bisa memproduksi pengetahuan yang bisa diterapkan untuk tujuan ekonomi dan sosial, maka inovasi juga bisa dijadikan dasar bagi suatu proses perancangan arsitektur (yang sudah bersifat terapan) agar dirumuskan kembali aneka pengetahuan yang diproduksi.

Pendekatan Humanistik untuk Desain Arsitektur: Sebuah Penjelajahan Ontologis

Materi Kuliah Kuliah Instruksional AR3290 Studio Perancangan Arsitektur IV, Program Studi Arsitektur Institut Teknologi Bandung, 21 Januari 2020, tentang “Pengalaman Manusia, Tempat, dan Desain Arsitektur: Sebuah Penjelajahan Ontologis”

Apa itu ontologi? Apa kaitannya ontologi dengan desain arsitektur? Dan ketika desain arsitektur berorientasi pada pemecahan masalah, bagaimana penjelajahan ontologis bisa menjadi sesuatu yang konkrit?

Pertanyaan tersebut dicoba untuk dijawab melalui sebuah kuliah instruksional dalam studio perancangan. Karena konteksnya adalah perancangan arsitektur yang berorientasi pada pemecahan masalah, maka penjelajahan ontologis ini pun seketika harus menukik ke dalam langkah-langkah perancangan yang lebih konkrit. Menyajikan dua spektrum yang luas dalam sekali penyajian memang beresiko. Namun, kalau kita berpikir positif, rentang spektrum yang luas ini akan mampu menjadi bingkai ketertarikan dari pembacanya: siapa yang lebih berminat ke hal-hal yang abstrak dan filosofis, dan siapa yang cenderung memilih hal-hal yang konkrit dan praktis.

Penjelajahan ontologis ini adalah tentang pendekatan humanistik dalam desain arsitektur. Ya, tidak mungkin berbicara humanity dalam era modern tanpa berbicara fenomenologi, terutama yang dikembangkan oleh Heidegger: “Being in the world”. Ini ontologi dari pendekatan humanistik di era modern: mencari makna terdalam dari manusia, yang didapatkan lewat aneka pengalaman inderawi. Romo Mangunwijaya memberikan bahasa yang sangat pas: Ragawidya.

Lalu, bagaimana ragawidya ini harus diimplemantasikan sebagai langkah-langkah perancangan arsitektur? Dalam kuliah instruksional tersebut, saya menyarankan 4 langkah. Pertama: mengedepankan kepekaan (sense). Kedua: berlatih membayangkan (imagining, prescribing). Ketiga: empati, merasakan apa yang akan pengguna rasakan saat menggunakan karya arsitektur yang dirancang. Keempat: mentransformasikan pengalaman manusia ke dalam rancangan lingkungan binaan. Yang keempat ini pun masih saya turunkan ke dalam 3 langkah praktis selanjutnya: a) membayangkan suasana, b) menghadirkan suasana ke dalam gubahan ruang, dan c) menggubah massa dan detail yang membentuk ruang tersebut.

Materi kuliah:Ekomadyo (2021) – Human Experiences, Place, and Architectural Design (AR3290 Lecture) for web

Sungai Dan Artefak Arsitektural: Catatan dari “Blusukan” dan “Keseharian”

(bagian dalam buku antologi “Budaya Riparian dan Arsitektur” [masih dalam penyusunan])


Istilah “blusukan” menjadi terkenal, ketika seorang pemimpin daerah menggunakan “metode” ini dalam mengunjungi aneka tempat di wilayah kerjanya, sambil menyapa masyarakat. Sebenarnya ini bukan model baru, karena dalam peribahasa Jawa dikenal istilah “Jajah Desa Milang Kori” (menjelajah desa menghitung pintu), yang menggambarkan bagaimana para pemimpin berkeliling dan menghitung, mengkalkulasi, permasalahan warganya. Namun “blusukan” lebih punya konotasi yang informal dan spontan (Ekomadyo, 2012). Bahkan karena mudah diucapkan, kata ini kemudian menjadi jenama (brand) yang membawa popularitas yang bersangkutan hingga menjadi pemimpin negara.

Dalam dunia arsitektur, istilah “blusukan” pun dipinjam untuk menjelaskan kegiatan berjalan-jalan secara informal dan spontan dalam menjelajahi aneka objek arsitektur. Dengan istilah “blusukan” jalan-jalan arsitektur jadi terkesan lebih “heroik”, karena punya konotasi menyapa fenomena. Arsitek punya istilah sendiri saat menyapa fenomena, yaitu “sense”; istillah ini misalnya muncul dalam “sense of place”, “sense of community”, atau “sense of unity”. Dalam bahasa lain, arsitek menyebutnya dengan “mencerap suasana”. Nah, istilah “blusukan” membuat metode-metode tersebut lebih terasa membumi.

Metode mengamati fenomena secara spontan dan informal, ikut menggerakkan raga kita untuk menelusuri aneka makna (Mangunwijaya, 1986) bahkan bisa menjadi sesuatu yang ilmiah. Misalnya yang dilakukan oleh Henry Lefebvre (1992) ketika mebuat buku “Rhythmanalysis”. Bedanya, selain banyak berjalan-jalan atau blusukan, dengan lokasi beberapa kota di tepi Laut Mediterania (Mediterranean cities), Lefebvre mendedikasikan waktu menulisnya juga dengan duduk santai, meminum kopi, berbincang-bincang dengan warga: di situ ia mengamati irama yang terjadi dalam suatu fenomena sosial. Lewat duduk, berbincang, dan berjalan-jalan, Lefebvre menyebut temuannya sebagai “sains”, sebuah pengetahuan yang terstruktur (knowledge), yang dalam bahasa Perancis disebut “savoir” , dan bukan sekadar pemahaman (know-how) yang disebut “connaissance”. Pemikiran Lefebvre ini banyak berpengaruh dalam dunia arsitektur, yang melihat arsitektur hadir dalam keseharian dengan merepresentasikan sesuatu (Lefebvre, 1974). Sesuatu ini sering merujuk pada apa yang diperjuangkan oleh sekelompok masyarakat. Arsitektur dalam keseharian ini menarik beberapa mahasiswa saya untuk diamati lebih jauh, misalnya pengamatan terhadap fenomena rumah usaha pada permukiman di sekitar universitas (Prasetyo, dkk., 2020), adaptasi kebisingan pada perumahan di sepanjang rel kereta (Dewi & Ekomadyo, 2021) keseharian tradisi pada permukiman masa kini (Aisha & Ekomadyo, 2021), atau ruang-ruang pencurahan kasih sayang pada fasilitas perbelanjaan (Lina & Ekomadyo, 2021)

Untuk antologi buku “Budaya Riparian dan Arsitektur”, ada 4 artikel yang saya kontribusikan. Artikel ini dituliskan kembali dari tulisan spontan saya dalam sebuah media sosial saat “blusukan” dan menemukan fenomena sungai dan arsitektur. Karena awalnya ditulis dalam media sosial, maka tulisan-tulisan di bawah sengaja ditulis dengan bahasa ringan, informal, spontan, dan banyak menyisipkan bahasa canda. Kesan “tidak serius” sengaja diciptakan, supaya materi yang sebenarnya “berat” tersajikan dengan lebih ringan dan bisa dibawa bercanda. Meskipun disajikan dengan “tidak serius”, tulisan ini tetap dijaga keilmiahannya, antara lain dengan memasukkan beberapa referensi ilmiah.

Ada empat tulisan dan 3 lokasi yang saya sajikan. Ada dua tulisan tentang Kali Semarang, sebuah sungai yang oleh masyarakat dikenal sebagai “kali banger” (sungai yang berbau busuk), namun ternyata menyimpan cerita sejarah tentang peran ini sebagai akses penting bagi perdagangan darat dan laut di Semarang di masa lalu. Satu tulisan tentang sungai di kota Cirebon, merupakan fenomena yang tipikal dengan tulisan sebelumnya, bagaimana peran sungai yang dulu penting namun sekarang  terlupakan. Dan terakhir adalah tulisan tentang dua monumen yang dibangun pada masa yang berbeda di Sungai Ciwidey, Bandung.

Two Towers Van Semarang: Kampung Layur dan Pelabuhan Lama

Meski sebenarnya malu sebagai “cah” Semarang yang dulu suka blusukan, saya membuka google map waktu mau mengunjungi Masjid Menara di Kampung Layur; daripada nyasar…

Namun justru google map memberi saya pengetahuan baru: bahwa ternyata Masjid Menara ternyata berada di sumbu yang sama dengan Mercusuar Willem III di Pelabuhan Lama Semarang yang kami kunjungi kemarinnya (gambar 1 kiri). Google map juga menunjukkan bangunan lain bernama “Menara Syahbandar” (padahal nggak jelas menaranya) di dekat Masjid Menara. Di sebelah utara Kampung Layur ada kampung yang bernama Boom Lama: “boom” berarti pelabuhan dalam bahasa Balanda. Sumbu yang menyatukan bangunan-bangunan dan kawasan-kawasan itu adalah Kali Semarang, yang memanjang dari pesisir laut Jawa hingga menembus sisi timur Pasar Djohar (dikenal dengan sebutan Sendowo, pool angkutan kota [atau disebut “daihatsu” oleh orang Semarang] untuk kawasan ini).

Sungai Artefak Arsitektur (1)

Gambar 1: Menara Masjid Layur (kiri) dan Menara Masjid Layur (kanan)

Hmmm… saya jadi mereka-reka apa yg terjadi di masa lalu. Kali Semarang menjadi akses barang ke pusat kota. Pada masa Kesultanan Islam, pelabuhan ada di kawasan Layur, sehingga ada Menara Syahbandar dan mercusuar. Pada masa kolonial Belanda, dibangun pelabuhan yang baru (sehingga pelabuhan sebelumnya disebut Boom Lama) dan mercusuar yang baru pula (gambar 1 kiri).

Saat jalan-jalan ke Istambul dulu mas Revianto Budi Santosa (dosen Arsitektur Universitas Islam Indonesia) banyak bercerita tentang konsep minaret pada Arsitektur Utsmani. Nah, ternyata menara di Masjid Menara Layur tidak mirip dengan minaret-minaret masjid, malah mirip dengan Galata Tower di Istanbul, yang fungsinya adalah…mercusuar!

Hmmm…mungkinkah menara Masjid Layur ini awalnya adalah mercusuar, yang kemudian dialihfungsikan sebagai menara masjid? (gambar 1 kanan). Wah, kalau cerita tentang sumbu-sumbu di kota Semarang, musti mengajak ex-native Semarang pak Wijanarka Arka (dosen di Universitas Palangka Raya) untuk ikut berbagi cerita. Kalau dilanjutkan, rasanya ceritanya tidak kalah seru dengan cerita tentang sumbu-sumbu ala Illuminati di kota Washington yang jadi bahan cerita novel laris manis karya Dan Brown…

 

Kampung Layur Semarang: Antara Ikan Asin, Masjid, Dan Klenteng

Mana yang “Layur”-nya lebih dulu: ikan (asin) atau kampungnya? Kalau secara “subjectivo-empirico-temporal” (maksudnya pengalaman pribadi saat ini), ikan (asin) Layur ada lebih dulu dari kampungnya. Ya iya, lah, soalnya kemarin saya makan nasi hangat ikan asin (gereh-Jawa) Layur dan sambal (ya, hanya 3 itu) dan kenikmatannya menginspirasi saya untuk mengunjungi Kampung Layur di keesokan harinya…

Tetapi secara logika memang ikan layur lebih dulu ada daripada Kampung Layur. Iya, karena lokasinya di dekat pantai, maka jalan-jalan di kawasan Boom Lama Semarang diberi nama-nama  ikan: kakap, kerapu, patek, dan…layur! Yang terakhir menjadi lebih terkenal karena ada masjid tua di situ. Dan masjid ini terletak di tepi sungai, memberikan aura imajinasi bahwa dulu masjid ini pernah berperan dalam mengontol perahu-perahu yang melintas (gambar 2 kiri atas bawah).

Namun ketika mengunjungi masjid menara di Kampung Layur, perhatian saya tertarik dengan beberapa rumah Cina, bahkan klenteng, di seberang masjid (gambar 2 kanan atas bawah). Ini mulai membuka jawaban ketika semalam sebelumnya muncul pertanyaan mengapa banyak toko-toko material yang dimiliki oleh pengusaha Tionghoa di sepanjang koridor utama kampung Arab Pekojan. Mengapa pula ditemukan sebuah masjid tua di dalam kampung Pecinan Jagalan.

Sungai Artefak Arsitektur (2)

Gambar 2: Arsitektur Arab dan Cina di Kampung Layur

Ada informasi, terjadi perkawinan lintas etnis Arab-Islam dengan Tionghoa-Konghucu di Semarang pada masa lalu. Alasannya sederhana: Kampung Arab dan Kampung Cina lokasinya bersebelahan, mosok ya, tidak ada pergaulan antar muda mudi dan beberapa di antaranya saling jatuh cinta?

Hmmm…informasi ttg rajutan sosio-kultural Arab-Tionghoa memang belum banyak. Tetapi ini menarik untuk ditelusuri, apalagi ada representasi artifak arsitekturalnya. Penelusuran bisa diawali dengan melacak kampung-kampung di sepanjang Kali Semarang: mulai Kampung Layur, hingga Kampung Jagalan dan Kampung Pekojan. Apalagi kalau setelah menelusuri, akhirnya lapar, lalu makan nasi putih dengan sambal dan gereh Layur. Wah, bakal Semarangan tuenan, ik…

 

Pasar dan Sungai di Pusat Kota Cirebon

Sekali lagi saya berterima kasih kepada google map yg menunjukkan bahwa ada sungai di samping bangunan pasar yg saya kunjungi (gambar 3 kiri atas). Dan google map juga memberitahu saya kalau sungai ini bermuara di pelabuhan cirebon. Di lapangan, sungai ini hampir tak terlihat, tertutup oleh lapak-lapak pedagang informal.

Sungai Artefak Arsitektur (3)

Gambar 3: Sungai dan Pasar Pagi Cirebon

Di sini sekali lagi saya menemukan  suatu  kota punya morfologi sungai-pasar. Sebelumnya, di Solo secara tidak sengaja saya “menemukan” adanya Kali Pepe (nama sungai tersebut diberitahu mas Mohamad Muqoffa, teman yang menjadi dosen Arsitektur di Universitas Sebelas Maret Surakarta) yang  menghubungkan Pasar Gede di wilayah Kasunanan dan Pasar Legi di wilayah Mangkunegaran. Kali Pepe sebenarnya kanal, yg menghubungkan kota Solo dgn Bengawan Solo. Hmmm…mungkin di sungai ini Gesang mendapat inspirasi “…kaum pedagang naik itu perahu..” pada  syair lagu Bengawan Solo.

Namun relasi sungai dan Pasar Pagi di Cirebon lebih mirip relasi sungai Pasar Banjarsari di Pekalongan dan Pasar Djohar di Semarang. Sungai-sungai itu menjadi akses pasar ke pelabuhan di kota itu. Bayangkan, bagaimana ramainya sungai oleh aktivitas bongkar muat barang.

Tetapi itu dulu. Kini sungai-sungai yang dekat pasar nasibnya merana. Sungai tersebut kini lebih menjadi sarana pembuangan. Jadi “kali banger”, sungai yang bau. Tertutup lapak-lapak temporer (gambar 3 kiri bawah).  Kini sungai tersebut tidak membuat bangga lagi. Padahal kalau melihat papan penanda/ signage-nya, ada artefak penting yang menentukan peran penting sungai ini bagi kota Cirebon (gambar 3 kanan atas bawah).

Sekali lagi, google map memberitahu saya satu hal: area sungai itu adalah berwarna paling hijau di antara area lainnya. Iya, sungai adalah Ruang Terbuka Hijau (RTH). Artinya, meski merana, ia tetap setia menjadi paru-paru kota.

Mengapa nggak sekalian dijadikan public park saja, ya, biar warga kota berekreasi di hijaunya area sungai. Dan ini sudah terjadi di Kali Pele Solo. Kali Semarang mungkin sebentar lagi, karena bersebelahan persis dgn Kota Lama Semarang yg pesonanya baru saja memukau warganet. Cirebon, juga Pekalongan, juga kota Budaya, dan tengah berkembang mjd kota wisata. Kita tunggu saja nanti, apakah akan terjadi integrasi pasar dan sungai sebagai ruang publik.

Peluang, tuh, buat arsitek…

 

Sungai Dan Peradaban: Di Jembatan Kereta Api Ciwidey

Setelah beberapa kali hanya bisa melihat sembari mengemudi, akhirnya kesampaian juga untuk berhenti dan memotret jembatan ini. Aduhai, makhluk semolek ini tetap berdiri anggun meski tak lagi berfungsi seperti awalnya. Meski sedikit lekang karena waktu, cantik tetaplah cantik: sebuah representasi  artistika engineering hadir di sini dari masa lalu.

Sungai Artefak Arsitektur (4)

Gambar 4: Jembatan dan Bendungan di Sungai Ciwidey

Jembatan ini terletak tepat di tikungan sempit: kiri tebing, kanan jurang. Perlu beberapa kali mengamati untuk bisa dapat tempat cukup luas untuk parkir secara nyaman. Dan, ternyata di area lapang tepi jalan ternyata ada artefak engineering lainnya: bendungan.

Bendung Cibeurem namanya. Produk rekayasa di zaman yang berbeda dengan jembatan. Dua-dua nya pun hadir dengan konteks ekonomi-politik yang berbeda: yang satu menjadi penanda pengangkutan hasil kebun ke kota, yang satu menandakan program pertanian hingga swasembada beras.

Namun kedua artefak ini disatukan oleh elemen alam: sungai. Ya, sejak lama sungai menjadi sarana penghidupan masyarakat. Mulai dari perkampungan, hingga jembatan kereta dan bendungan. Sungai bisa menjadi alasan manusia membangun landmark. Dan sering landmark lebih menarik perhatian daripada sungainya.

Ah, sebagai arsitek, saya bisa saja berandai ada tempat beristirahat yang lebih layak di titik ini. Ke kanan memandang jembatan, ke kiri melihat bendungan, di bawah ada gemercik suara sungai, di kejauhan ada sawah membentang. Kata Agus Kurniawan, kawan saya yang dulu sama-sama menjadi awak Jurnal Peradaban Islam SKAU, yang penting imajinasi: tempat asyik seperti ini bisa kita nikmati dengan membayangkannya.

Referensi

Aisha, H. & Ekomadyo, A.S. (2021). Translokalitas Budaya Sorkam pada Penggunaan Ruang Untuk Kegiatan Sehari-hari Masyarakat di Perumahan Bumi Yapemas Indah, Bekasi. Arsitektura: Jurnal Ilmiah Arsitektur dan Lingkungan Binaan, Vol  19, No 1,  April 2021, pages: 37-50,  DOI: https://doi.org/10.20961/arst.v19i1.48283,

Dewi, M. & Ekomadyo, A.S. (2021). Housing adaptation in response to high-noise environment a case study: Jalan Maleber Utara settlement. Adaptasi hunian di dalam kawasan dengan kebisingan tinggi studi kasus: permukiman Jalan Maleber Utara. EMARA: Indonesian Journal of Architecture Vol 6, No 2, 2020, Page: 105-118, DOI: 10.29080/eija.v6i2.1010

Ekomadyo, A.S. (2012). Fenomena Jokowi dan Prospek Penelitian Lingkungan Binaan di Indonesia Sebuah Opini. Artikel dalam media IPLBI http://iplbi.or.id/2012/08/fenomena-jokowi-dan-prospek penelitian-lingkungan-binaan-di-indonesia-sebuah-opini/, Oktober 2012

Heidegger, M. (1927) Being and Time

Lina, H. M, & Ekomadyo, A.S. (2021). Ruang Representasional untuk Pencurahan Kasih Sayang pada Pusat Perbelanjaan (Studi Kasus: Festival Citylink, Bandung). Jurnal Ruas Vol 19, No 2 (2021). https://ruas.ub.ac.id/index.php/ruas/article/view/375

Lefebvre, H. (1974). The Production of Space

Lefebvre, H. (1992). Rhythmanalysis

Mangunwijaya, Y.B. (1986). Ragawidya: Religiositas Hal Sehari-hari. Kanisius, Jakarta

Prasetyo, E.B., Putra, A.C., Rahmaputra, Ekomadyo, A.S. (2020). Strategi adaptasi arsitektural pada rumah usaha di Jalan Tubagus Ismail, Bandung : ARTEKS : Jurnal Teknik Arsitektur, Vol 5 No 1 (2020) https:// doi.org/10.30822/arteks.v5i1.72