Budaya Kreatif dan Rekayasa Sosioteknis

Catatan dari Gelar Wicara ITB untuk Masyarakat Karsa Loka: “Eksplorasi Budaya Kreatif untuk Konstruksi Arsitektur Ruang Publik”. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Teknologi Bandung,  Jumat, 21 Oktober 2022

Link materi presentasi: Ekomadyo 2022 – Budaya Kreatif dan Rekayasa Sosioteknis (Karsa Loka ITB)

Link video: https://youtu.be/98XqGG0RNWc

Link informasi acara: https://pengabdian.lppm.itb.ac.id/karsaloka/eksplorasi_budaya_kreatif_untuk_konstruksi_arsitektur_ruang_publik_kasus_budaya_tanah_liat_di_jat

Perkembangan pesat diskursus Kota Kreatif ternyata menimbulkan kontroversi. Gerakan kreatif oleh pegiat seni dan budaya yang mampu menarik kunjungan ke kawasan kota tertentu ternyata juga menarik investasi kapital besar yang kemudian memarginalkan para pegiat seni dan budaya tersebut. Kontroversi memang niscaya dalam kehidupan kota, karena ruang-ruang kota bukan merupakan ruang-ruang yang steril namun penuh kontestasi dari mereka yang memproduksi ruang kota tersebut. Relasi kuasa dalam suatu fenomena budaya, termasuk kontestasi dalam gerakan yang menggunakan budaya kreatif, menjadi salah satu isu utama dalam Cultural Studies.

Dalam perspektif Cultural Studies, budaya kreatif bisa didefiniskan dengan menggabungkan pemikiran Cziksenmihalyi tentang “field of creativity” dan Bourdieu tentang “field of capital” Menurut Cziksenmihalyi, kreativitas hadir dalam 3 hal: person, domain, dan field, di mana field merujuk pada arena sosial di mana kreativitas seseorang dalam bidang tertentu bisa diterima dan dikembangkan lebih lanjut. Sedangkan menurut Bourdieu, dalam arena sosial (field) aneka bentuk modal, yaitu modal ekonomi, modal sosial, dan modal budaya disirkulasikan, dikontestasikan, dan ditransformasikan. Dari sini budaya kreatif dapat didefinisikan sebagai “bagaimana modal budaya (berupa ketrampilan, pengetahuan, tatakrama, dan mandat) disirkulasikan, dikontestasikan, dan ditransformasikan dengan modal ekonomi dan modal sosial untuk menghasilkan sesuatu yang baru dalam suatu arena sosial tertentu”.

Dalam suatu rekayasa sosial, atau tepatnya rekayasa sosioteknikal – rekayasa sosial dengan melibatkan secara khusus objek-objek teknis-, modal budaya berperan dalam menggerakkan masyarakat. Artinya, serangkaian pengetahuan, ketrampilan, tatakrama, dan mandat (sebagai modal budaya) dalam menciptakan aneka objek teknis bisa ditransformasikan dengan modal ekonomi dan modal sosial untuk menggerakkan masyarakat. Di sini, masalah rekayasa sosioteknikal akan menyangkut nilai-nilai tertentu yang digunakan sebagai referensi dalam upaya menggerakkan masyarakat.

Dalam hal ini, ada dua hal yang perlu dilakukan. Pertama, perlunya rumusan pengetahuan yang lebih terstruktur (structural knowledge) dari berbagai pengalaman praktis rekayasa sosioteknikal. Hal yang pertama ini memerlukan pendekatan ontologis, dan menjadi penting buat para peneliti. Kedua, menurunkan aspek ontologis dari berbagai kasus praktis ke dalam kerangka yang lebih praktis. Yang kedua ini penting buat mahasiswa.

Ini sebuah batu pijakan (stepping stones) dari rangkaian pemikiran bagaimana desain bisa menjadi agen untuk perubahan yang lebih baik untuk masyarakat luas.

 

Arsitektur Terakota sebagai “Social Lab”

Artikel dipublikasikan dalam Media Indonesia, Selasa, 18 Oktober 2022

Ekomadyo dkk (2022) – Arsitektur Terakota Social Lab (Media Indonesia 18 Okt 2022)

 

Berbeda dengan kalangan saintis, pengetahuan yang dibangun dalam disiplin arsitektur lebih banyak didapatkan dari praktik desain dalam menyelesaikan persoalan tertentu.  Jika para saintis mengandalkan laboratorium untuk membangun pengetahuannya, maka “laboratorium” bagi arsitek adalah dunia aneka tempat di mana arsitek berpraktik dan bekerja. Meski banyak mengandalkan pengetahuan tacit yang melekat pada dirinya, saat berpraktik dalam “laboratorium masyarakat” arsitek sebenarnya tengah membangun pengetahuan, selayaknya seorang ilmuwan, ketika ia bisa merefleksikan pengalamannya tersebut  (Ekomadyo, 2017).

Konsep “laboratorium masyarakat” muncul ketika para peneliti berinteraksi dengan masyarakat, melakukan banyak negosiasi, untuk bereksperiman terhadap pengetahuan tertentu dalam menyelesaikan permasalahan di masyarakat (Yuliar, 2011). Dalam praktik pengabdian masyarakat, dikenal istilah “social hub”, yaitu orang-orang yang mampu menghubungkan pemikiran yang dikembangkan di universitas dengan praktik keseharian di masyarakat (Ihsan & Sachari, 2015). Jika istilah “social hub” merujuk pada keberadaan orang, sekelompok orang, atau tempat tertentu, “social lab” lebih merujuk pada aktivitas orang pada tempat tersebut. Maka selayaknya laboratorium, konsep “social lab” memfokuskan diri pada bagaimana pengetahuan diproduksi lewat aneka upaya ujicoba gagasan baru dari interaksi para intelektual saat berinteraksi dengan masyarakat dalam rangka menyelesaikan suatu permasalahan tertentu.

Tulisan ini merupakan  refleksi dari tim ITB dalam melaksanakan kegiatan pengabdian kepada masyrakat tahun 2021-2022 tentang desain dan konstruksi Arsitektur Terakota di alun-alun Desa Jatisura, Jatiwangi, Majalengka. Kegiatan ini dimaksudkan untuk merespon gerakan Kota Terakota yang diinisiasi oleh komunitas seni Jatiwangi Art Factory (JAF) untuk mengangkat kembali harkat budaya tanah liat di kawasan ini yang telah terdisrupsi oleh aneka industri. Gerakan Kota Terakota pada prinsipnya mendorong pembangunan sarana dan prasarana kota yang menggunakan aneka ragam produk terakota, sehingga diversifikasi produk ini diharapkan mampu menghela produksi dan meningkatkan nilai produk dari usaha berbasis tanah liat di kawasan ini. Dari riset yang telah dilaksanakan sebelumnya (Ekomadyo, dkk. 2023), ditemukan bahwa gerakan ini telah memberikan dampak bagi sebagaian besar pengusaha terakota di Jatiwangi dan sekitarnya secara sosial, sebagai promosi akan budaya terakota, namun belum memberikan dampak ekonomi yang bisa menggerakkan aneka usaha diversifikasi produk terakota. Berbasis temuan tersebut, maka arsitektur terakota di alun-alun Desa Jatisura dimaksudkan sebagai etalase dari aneka produk diversifikasi terakota yang sudah diinisiasi oleh beberapa pengusaha terakota, agar bisa dilihat dan menginspirasi publik dalam membangun sarana dan prasarana bertema terakota.

Sebagai sebuah upaya ujicoba dalam kerangka inovasi, proses desain dan konstruksi arsitektur terakota ini menemui banyak jalan berliku, meski tetap membawa banyak pengetahuan. Desain sendiri merupakan proses percakapan, sehingga dalam mendialogkan material, bentuk, pengguna, dan konstruksi menjadi pertimbangan penting dalam pemikiran desain. Sedangkan proses konstruksi yang melibatkan masyarakat juga menemui aneka kendala terutama dalam mempertahankan misi pemberdayaan saat berhadapan dengan keterbatasan pengetahuan dan kompetensi teknis masyarakat setempat. Namun ketika diniatkan sebagai social lab, aneka strategi dan taktik yang dikembangkan oleh tim ITB dalam menyiasati aneka permasalahan dan kendala merupakan sumber pengetahuan tersendiri. Tulisan ini pun merupakan bentuk diseminasi pengetahuan sebagai hasil refleksi praktik desain dan konstruksi, dengan Arsitektur Terakota di alun-alun Desa Jatisura sebagai kasus studi.

Sebagai sebuah social lab, maka proses desain dan konstruksi Arsitektur Terakota di alun-alun Desa Jatisura dilihat sebagai proses pembelajaran kolektif. Istilah kolektif, dalam tulisan ini, diturunkan dari Teori Jaringan-Aktor (Actor-Network Theory/ ANT), yang melihat fenomena sosial  yang sarat dengan objek-objek teknis (Latour, 2005, Yuliar, 2009). Sebagai proses sosial, desain selalu melibatkan banyak pihak dengan sudut pandang, kepentingan, dan preferensi masing-masing (Dorst, 2003). Dengan perspektif pembelajaran kolektif, maka objek arsitektur yang dirancang dan dibangun menjadi proses pembelajaran masing-masing, ketika berinteraksi dengan orang-orang lain. (Ekomadyo, dkk., 2019). Dengan berinteraksi dengan masyarakat, maka yang terjadi adalah rajutan pembelajaran (learning assemblage), di mana terjadi translasi dan koordinasi antar pelaku yang terlibat (McFarlane, 2006).

 

Referensi

  1. Dorst, K. (2003). Understanding Design: 175 Reflections on Being a Designer. BIS Publisher.
  2. Ekomadyo, A.S. (2017). Reflective Practitioning: Belajar Menarik Nilai-nilai dari Pengalaman Kerja Arsitek. Artikel dalam media Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia, 9 Agustus 2017 (https://iplbi.or.id/reflective-practitioning-menarik-nilai-nilai-dari-praktik-arsitek/)
  3. Ekomadyo, A.S., Riyadi, A., Rusli, S. Aditra, R.A. (2019), The Role of Built Environment In Collective Learning: The Case of Rumah Sahabat Salman. MIMBAR: Journal of Social and Development. Vol. 35, No. 2, hlm. 309-316, doi: https://doi.org/10.29313/mimbar.v35i2.4811
  4. Ekomadyo, A.S., Wijaya, N., Vardhani, V.J., Maulana, A.T., Suhendar, H., Susanto, V. (2023). Field of Creative Culture: A Study of Creative Movement and Innovation of Terracotta Culture in Jatiwangi, West Java, Indonesia. Paper submitted to Creativity Studies. Status: accepted (will be published in early of 2023).
  5. Ihsan, M. & Sachari, A. (2015). ‘Catalyst Institute’ as a Bridge Between Craftsmen and Markets In Indonesian Craft Industry. Arts and Design Studies,33, https://www.iiste.org/Journals/index.php/ADS/article/view/23712/24283
  6. Latour, B. (2005). Reassembling the Social: An Introduction to Actor-Network-Theory. Oxford University Press
  7. McFerlane, C. (2006). Learning the City: Knowledge and Translocal Assemblage. Wiley-Blackwell.
  8. Silmi, G.F. (2020). Tentang Terakota: Mengetalasekan Terakota. Suatudio, Bandung
  9. Yuliar, S. (2009) Tata Kelola Teknologi: Perspektif Teori Jaringan-Aktor. ITB Press, Bandung.
  10. Yuliar, S. (2011). Transformasi Penelitian ke dalam Inovasi. Dewan Riset Nasional, Jakarta

Modal Budaya untuk Ilmuwan, Insinyur, dan Desainer

Menuju Sinergi antara Cultural Studies dan Science and Technology Studies

Seri Kuliah Publik AR6112 Budaya Lokal dalam Perancangan Arsitektur tahun 2020

Sesi 1: Pengantar: Budaya dan Perancangan Arsitektur: dari Pendekatan Tradisional ke Kontemporer

Pembahasan budaya dengan arsitektur sering diasosiasikan dengan budaya tradisional. Padahal arsitektur hadir dalam konteks masa kini. Kuliah publik ini akan berisi berbagai alternatif pendekatan membawa tradisi ke dalam budaya kontemporer.

Materi Presentasi: Ekomadyo (2020) – Sesi 1 Budaya Desain Arsitektur Tradisional Kontemporer

Link video: https://www.youtube.com/watch?v=wE5ZxSltLBA&feature=youtu.be

 

Sesi 2:Desainer sebagai Produsen Budaya

Cultural Studies muncul sebagai disiplin untuk membahas budaya kontemporer. Kuliah publik ini berusaha menggunakan Cultural Studies untuk desain arsitektur, terutama teori field of capital dari Bourdieu.

Materi Presentasi: Ekomadyo (2020) – Sesi 2 Desainer Produsen Budaya

Link video: https://www.youtube.com/watch?v=kd9twR7J7Rc

 

Sesi 3:  Pendekatan Budaya untuk Sains dan Teknologi: Belajar dari Teori Jaringan-Aktor

Actor-Network Theory (ANT) muncul karena melihat budaya kerja dari para saintis dan engineer. Bisakah ANT menjadi metode ilmiah untuk mengkaji desainer dalam praktik?

Materi Presentasi: Ekomadyo (2020) – Sesi 3 Pendekatan Budaya untuk Teknologi ANT

Link video: https://www.youtube.com/watch?v=iILXZ2QMzDg

 

Sesi 4: Pendekatan Budaya untuk Inovasi dan Kemaslahatan Teknologi dan Desain

Berbeda dengan Cultural Studies yang cenderung membongkar struktur yang ada, maka ANT lebih memilih untuk merajut kembali pecahan-pecahan realitas yang dipetakan dalam sebuah kolektif. Apakah ANT bisa menjadi dasar ilmiah bagi saintis, engineers, dan desainer untuk bekerja dengan pendekatan budaya?

Materi Presentasi: Ekomadyo (2020) – Sesi 4 Budaya untuk Kemaslahatan Teknologi dan Desain

Link video: https://www.youtube.com/watch?v=8btQzptVQkA&t=16s

Framing: antara ANT dan Design Thinking

Materi Presentasi pada:

  • International Virtual Course “Creative Culture and Urban Commons”, International Virtual Course Creative Culture and Urban Commons Institut Teknologi Bandung and the University of Auckland, August, 10, 2021:Ekomadyo (2021) – Framing Uncertainty (IVC CCUC)
  • Pembekalan Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), Kontribusi Mahasiswa Lintas Disiplin dalam Membangun Ruang Publik Berbasis Komunitas untuk Peningkatan Ekonomi dan Budaya Lokal, Kasus: Alun-alun Bertema Terakota di Desa Jatisura Kecamatan Jatiwangi Kabupaten Majalengka, Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung, 9 Agustus 2021:Ekomadyo (2021) – Arsitektur yang Memberdayakan (Pembekalan MBKM Jatisura)

Hubungan Actor-Network Theory (ANT) dan desain memang belum lama. ANT sendiri baru muncul tahun 1986, ketika tiga tokoh utamanya John Law, Michel Callon, dan Bruno Latour, mulai mempublikasikan tulisan masing-masing secara terpisah (Law, 1986, Callon, 1986, Latour, 1986) untuk selanjutnya mulai intensif membangun pemikiran bersama tentang ANT. Dalam dunia desain, pengaruh signifikan ANT terjadi pada tahun 1999, ketika Latour memberikan keynote speech pada sebuah konferensi desain (Latour, 1999a), merespon dunia desain yang mulai melihat bahwa desain merupakan fenomena yang berjejaring, bukan sekadar suatu kerja seorang desainer yang mencoba menyelesaikan suatu permasalahan tertentu. Di situ, Latour secara eksplisit menyebut bahwa pemikiran desain dia secara filosofis dipengaruhi oleh pemikiran Sloterdijk (2009): “Dasein ist design… Sloterdijk has managed to extirpate … from the bifurcated way in which it has always dealt with materiality; this seriousness about Dasein is what makes his philosophy so exciting…;  You cannot indulge anymore into the idea that there are, on the one hand, objective material constraints and, on the other, symbolic, human subjective ones.” Secara bersama-sama, Latour dan Sloterdijk diundang berdiskusi oleh arstitek Mohsen Mostafavi pada Harvard University Graduate School of Design pada kuliah publik tentang “Network and Sphere” (Latour, 2009b, Sloterdijk 2009b).

Di sisi lain, design thinking berkembang secara luar basa, karena dianggap cara berpikir yang biasa dilakukan oleh para desainer, termasuk arsitek, bisa diadopsi pada disiplin lain untuk menyelesaikan aneka masalah. Adalah Peter Rowe (1986), yang menerbitkan buku bertajuk “Design Thinking”, di mana ia mencoba mengungkap apa yang sesungguhnya dipikirkan oleh para arsitek sebagai desainer karena banyak masalah yang rumit (wicked problems) yang bisa mereka selesaikan. Design thinking kemudian berkembang ke disiplin lain, terutama pada disiplin Teknologi Informasi untuk melengkapi cara berpikir sistem (system thinking) yang dianggap kurang lentur untuk menyelesaikan permasalahan teknis dan non-teknis, hingga sampai ke disiplin bisnis dan inovasi dalam menemukan cara-cara baru yang bisa diterima oleh pengguna teknologi. Karena banyak sekali pengertian design thinking, pemikir desain Kees Dorst (2011) mencoba merumuskan inti dari pemikiran ini sebagai “IF we look at the problem situation from this viewpoint, and adopt the working principle associated with that position, THEN we will create the value we are striving for”.

Konsep “framing” sebagai inti dari design thinking, juga pernah disebut dalam ANT, meski secara parsial. Adalah Michel Callon (1998) yang mencoba menggunakan ANT untuk mendeskripsikan jejaring pasar, dan mengidentifikasi bagaiman peran alat-alat pasar (market devices) dalam pembentukan jejaring tersebut.  “Framing”, menurut Callon, diartikan sebagai “.. is an operation used to define individual agents which are clearly distinct and dissociated from one another; it also allows for the definition of objects, goods and merchandise which are perfectly identifiable and can be separated not only from other goods, but also from the actors involved, for example in their conception, production, circulation or use”.

Sebelumnya, ANT melihat desain sebagai kegiatan preskripsi, di mana desainer memasukkan nilai-nilai tertentu sebelu mambuat skrip. Ekomadyo & Riyadi (2020) membangun argumentasi, bahwa “…design is a kind of ‘pre-scription activities’: every actor acts designing when he/she developing values before they make scripts, when professional designers use specific design devices in these script-making; In ANT, pre-scription activities refer to what actors imagine before the create scripts, as like as designers imagine the design result before they draw the design objects;  everybody can create prescription, but professional designers have specific design devices, such drawings, models, or presentations, to insert values on their scripts”. Apakah ANT bisa membuat definisi yang lebih operasional tentang Desain? Pertanyaan ini akan dijawab pada paper selanjutnya.

 

Referensi:

Callon, M. (1986). “Some Elements of a Sociology of Translation: Domestication of the Scallops and the Fishermen of St Brieuc Bay.” pp. 196–233 in Law, J.. Power, Action and Belief: A New Sociology of Knowledge. Routledge & Kegan Paul, London.

Callon, M. (1998). An Essay on Framing and Overflowing: Economic Externalities Revisited by Sociology. The Sociological Review, 46 (1) 244-269, https://doi.org/10.1111/j.1467-954X.1998.tb03477.x

Dorst, K. (2011). The core of ‘design thinking’ and its application. Design Studies, 32(6), 521-532 https://doi.org/10.1016/j.destud.2011.07.006

Ekomadyo, A.S., and Riyadi, A. (2020). Design in Socio-technical Perspective: An Actor-Network Theory Reflection on Community Project ‘Kampung Kreatif’ in Bandung, Archives of Design Research, 33 (2), 19–37, doi: https://doi.org/10.15187/ adr.2020.05.33.2.19,

Law, J., ed. (1986). Power, Action and Belief: A New Sociology of Knowledge. Routledge & Kegan Paul, London.

Latour, B. & Woolgar, S. (1986) Laboratory life: the construction of scientific facts. Princeton University Press, New Jersey.

Latour, B. (2009a). A Cautious Prometheus? A Few Steps Toward a Philosophy of Design (with Special Attention to Peter Sloterdijk). Keynote lecture for the Networks of Design: meeting of the Design History Society.  Falmouth, Cornwall, 3rd September 2008

Latour, B. (2009b). Spheres and Networks: Two Ways to Reinterpret Globalization. Essay. Harvard Design Magazine, no. 30 / (Sustainability) + Pleasure, Vol. I: Culture and Architecture.

Rowe, P. G. (1986). Design Thinking. The MIT Press.

Sloterdijk, P. (2009a). Foreword to the Theory of Spheres, in Ohanian, M. & Royoux, J.C. (eds).  Cosmograms, M. Lukas and Sternberg, New York. p. 223-241.

Sloterdijk, P. (2009b). Talking to Myself about the Poetics of Space. Interview. Harvard Design Magazine, no. 30 / (Sustainability) + Pleasure, Vol. I: Culture and Architecture.

Produksi dan Konsumsi Budaya: Belajar dari Pasar

 

Naskah untuk bagian buku “Inovasi, Budaya, dan Desain: Kontribusi Desain Arsitektur untuk Inovasi Budaya, sedang dalam proses penyusunan: Ekomadyo (2022) – Produksi Konsumsi Budaya Pasar

Apa hubungannya pasar dengan inovasi budaya? Di Indonesia, menurunnya keberadaan pasar tradisional yang dicitrakan sebagai tempat becek dan kumuh mendorong munculnya aneka program untuk revitalisasi fasilitas ini. Bahkan kini sebutannya diganti menjadi pasar rakyat, agar tidak terjadi dikotomi antara fasilitas perbelanjaan modern dengan yang tradisional. Dari sini, kemudian dinyatakan bahwa pasar rakyat adalah rumah ekonomi dan rumah budaya bagi bangsa Indonesia, sehingga aneka upaya revitalisasi pada hakikatnya adalah membangkitkan kembali aktivitas ekonomi yang berbasis budaya.

Konsep inovasi budaya pada prinsipnya adalah bagaimana nilai-nilai suatu masyarakat bisa menjadi modal budaya yang mendorong berkembangnya aneka kebaruan yang memberikan nilai tambah secara ekonomi dan/ atau sosial. Fenomena rajutan ekonomi dan budaya ditemukan dalam aktivitas di pasar rakyat. Artinya, aktivitas ekonomi berbasis budaya di pasar bisa menjadi dasar analogi untuk inovasi budaya.

Pasar adalah tempat terjadinya jual beli. Namun secara lebih luas, pasar merupakan simpul produksi dan konsumsi masyarakat. Dan ketika pengertian pasar berkembang lebih dari sekedar tempat menjadi pengertian sistem atau jaringan, maka pasar diartikan sebagai aneka lintasan yang menghubungkan produksi dan konsumsi.

Dalam kerangka inovasi budaya, perspektif pasar bisa digunakan untuk melihat produksi dan konsumsi budaya. Jika modal budaya diartikan sebagai pengetahuan, ketrampilan, tatakrama, dan mandat yang didapatkan seseorang atau sekelompok orang melalui pendidikan, pengasuhan, dan pemagangan, maka modal budaya tersebut bisa diproduksi, dan dipertukarkan dengan modal budaya dari seseorang atau sekelompok orang yang lain. Di sini, aspek ekonomi bisa menjadi bagian dalam pengembangan budaya, terutama untuk melihat suatu artifak atau produk budaya diproduksi dan dikonsumsi oleh masyarakat.

Integrasi Riset, Pengabdian Masyarakat, dan Perkuliahan lewat KARSA DESA

Catatan dari Pembekalan Riset Keilmuan ITB 2022 “Model Place-making untuk Inovasi Pembelajaran Bauran Berbasis Komunitas di Desa”, 1 Desember 2022

Materi pembekalan: Ekomadyo (2020) – Karsa Desa Riset Keilmuan ITB 2022

Awalnya, nama “Karsa Loka” dibuat oleh Program Pengabdian Masyarakat ITB sejak tahun 2019. Munculnya program ini di-support oleh komunitas Seni Rupa di dalam ITB, yang memberikan warna etnografi dalam upaya penerapan dan pengembanga teknologi. Idenya adalah menciptakan forum sharing untuk mereka-mereka yang berkiprah memberdayakan masyarakat di tempat tertentu.

Dalam arsitektur, secara substantif ide “Karsa” dan “Loka” mendapatkan perhatian khusus juga. Secara umum, “karsa” berari kehendak (seperti dalam ungkapan “Eka Prasetia Panca Karsa” yang berarti “Tekad Tunggal untuk Lima Kehendak), dan dalam arsitektur kehendak ini mewujud dalam konsep “design thinking”. Menurut Kees Dorst (2003), inti dari “design thinking” adalah “frame creation”, menciptakan kerangka melalui logika abduksi untuk mencari aneka alternatif solusi dalam menyelesaikan permasalahan yang rumit (wicked problems). Sedangkan “Loka” dalam arsitektur punya padanan kata “Loci”, dan secara eksplisit disiplin arsitektur mempunyai konsep tentang “Genius Loci” yang memperhatikan ruh dan karakter suatu tempat tertentu.

Dalam kegiatan riset keilmuan ITB 2020 berjudul “Model Place-making untuk Inovasi Pembelajaran Bauran Berbasis Komunitas di Desa”, akan dibuat model bagaimana semangat Karsa Desa agar bisa direplikasi di banyak tempat. Semangatnya adalah integrasi antara riset, pengabdian kepada masyarakat, dan perkuliahan. Secara sederhana, model ini merupakan penerjemahan dari isu-isu tertentu dari riset yang dilakukan oleh dosen oleh beberapa mahasiswa agar menjadi kegiatan pengabdian masyarakat bersama komunitas desa. Secara berurutan, kegiatan ini  diawali pembekalan dari dosen untuk isu-isu tertentu berbasis riset yang telah dilakukan. Mahasiswa menerjemahkan isu berbasis pembekalan ini ketika berinteraksi dengan masyarakat desa, sebagai bentuk kegiatan pengabdian masyarakat. Kemudian mahasiswa pengetahuan saat berinteraksi dan direfleksikan, dan dikonversikan sebagai tugas perkuliahan untuk mendapatka  kredit.

Meski terlihat sederhana, pelaksanaan di lapangan akan mengundang kerumitan tersendiri. Bahkan proses melakukan integrasi pun merupakan proses yang menjadi (becoming), dan akan mnghasilkan pengetahuan juga. Namun ketika integrasi ini bisa dikonsolidasikan dengan baik, dampaknya akan sangat besar bagi masyarakat Indonesia, terutama bagaimana pengetahuan yang diproduksi oleh universitas bisa berkontribusi untuk menggerakkan masyarakat untuk kehidupan yang lebih baik secara berkelanjutan.

Small is Beautiful? Potential of Cimahi and its Public Markets

Catatan materi “Pengembangan Kewirausahaan dalam Tatakelola Pasar Rakyat” disampaikan pada Sosialisasi Program Peningkatan Sarana Distribusi Perdagangan Kegiatan Pembinaan terhadap Pengelola Sarana Distribusi Perdagangan Masyarakat, Dinas Perdagangan Koperasi UKM dan Perindustrian Pemerintah Kota Cimahi, 13 Juli 2022

Materi presentasi:Ekomadyo 2022 – Kewirausahaan Tatekelola Pasar Rakyat (Disdagkoperin Cimahi)

Saat awal didibentuknya, ada pertanyaan tentang masa depan Kota Cimahi: apakah Cimahi akan berada di bawah bayang-bayang kota Bandung? Memang kota ini seolah seperti satelit bagi kota Bandung: warga Cimahi tinggal di kota ini, namun bekerja di kota Bandung. Memang Cimahi merupakan kota kecil dan terjepit, namun justru kecil-nya Cimahi bisa menjadi potensi dan kekuatan. Dan memang setelah menjadi kota yang mandiri, secara visual kota Cimahi terlihat menjadi sebuah “kota” yang berkarakter, yang memang punya karakter yang khas dan tidak melulu dianggap di bawah bayang-bayang kota Bandung.

Kecil-nya Cimahi bisa jadi terepresentasikan pada tatakelola pasar rakyat. Bandung, sebagai kota besar, memang tingkat kompleksitas tatakelola pasar rakyat menjadi lebih luas dan lebih rumit. Banyak pelaku yang terlibat dengan kepentingannya masing-masing. Ini juga membuat lebih rumit tatakelola pasar rakyat di kota ini.

Apakah kecil-nya Cimahi bisa mendorong pasar-pasar yang lebih kompetitif? Dalam tatakelola pasar rakyat, permasalahan utamanya adalah transparansi, dan semakin rumit relasi sosial, semakin sulit pasar dikelola secara transparan, karena banyak kepentingan yang harus dilindungi. “Small is Beautiful”, kata pakar ekonomi E.F. Schumacher. Beliau menerbitkan pemikiran ini ke dalam buku yang diterbitkan tahun 1970-an, dan rasanya saat ini –dalam beberapa kasus- masih relevan.

SiMantri Pasar: Ketika Teknologi Menjadi Delegasi Kehendak Pelaku Pasar

Catatan materi “ SNI Pasar Rakyat 8152:2021 dan Tatakelola Pasar Juara yang Berkelanjutan, disampaikan pada Sosialisasi Sosialisasi Pasar Rakyat menuju Pasar Ber-SNI,  Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat, Bandung, 9-10 Maret 2022

Materi sosialisasi: Ekomadyo (2022) – SNI untuk Pasar Juara (Sosialisasi Indag Jabar)

Ada yang menarik dari refleksi teman-teman dari teknologi informasi ketika membantu membuat SiMantri Pasar: “membuat aplikasi itu muda, rekayasa sosial agar aplikasi ini bisa diimplementasikan secara berlanjut itu lebih rumit”. Meski rumit, namun seru. Belajar dari Pasar Ciborelang di Jatiwangi, Majalengka, SiMantri Pasar menjadi aplikasi yang relevan dengan kondisi sosial di pasar tersebut.

Dalam Actor-Network Theory (ANT), ada 4 tingkat peran teknologi: interfensi, komposisi, pelipatan ruang-waktu, dan delegasi. Artinya, ketika manusia bertindak sesuatu, dan tindakan itu melibatkan manusia lain untuk bertindak sesuatu yang lain, peran teknologi tertinggi adalah sebagai delegasi dari kehendak manusia. Dengan pemahaman ini, maka diharapkan SiMantri Pasar bisa menjadi produk teknologi yang menjadi delegasi dari pedagang dan pengelola pasar.

Dalam kosa kata ANT, istilah “rekayasa sosio-teknis” lebih pas digunakan daripada sekadar “rekayasa sosial”. Artinya, perubahan masyarakat dilakukan lewat penciptaan objek-objek teknis, dan dalam pengertian lebih luas kita sebut sebagai teknologi. Namun sekali lagi, ketika teknologi bisa berperan dalam perubahan masyarakat, maka ia perlu menjadi delegasi dari kehendak manusia itu.

 

Survival of the Fittest: Public Market in Pandemic Times

Catatan sebagai Narasumber dengan judul paparan “Merevitalisasi Pasar di Masa Pandemi”, disampaikan pada Pelatihan Manajemen Pengelolaan Pasar Terwujudnya Pasar Rakyat yang Bersih, Nyaman, Aman, dan Sehat dengan Sarana dan Prasarana yang Memadai dan Berwawasan Lingkungan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bandung, Soreang, 21 Oktober 2020

Materi presentasi: Ekomadyo (2020) – Kelanjutan Hidup Pasar masa Pandemi (Pelatihan Pasar Kab Bandung)

Ada yang menarik dari pemberitaan sebuah koran media massa nasional di masa pandemi, yaitu naiknya pemberitaan tentang pasar rakyat. Pasar menjadi bahan berita yang penting karena di tempat itu terlihat bagaimana aktivitas ekonomi konvensional tetap berjalan meski terjadi pemberlakuan sosial berskala besar. Ada banyak pemberitaan, seperti pasar yang ditutup karena ada pedagang yang terkena Covid-19, ada kegiatan disinfektan pada fasilitas pasar, ada inovasi pemindahan aktivitas pasar di ruang terbuka dengan jarak antar pedagang yang lebar, ada inovasi penggunaan teknologi digital, dsb. Artinya, banyak upaya yang dilakukan agar aktivitas ekonomi pasar rakyat tetap selamat, dan orang-orang yang melakukan aktivitas tersebut juga selamat.

Para pelaku pasar adalah manusia. Berbeda dengan makhluk hidup yang bertahan hidup karena kemampuannya beradaptasi dengan lingkungan (survival of the fittest), manusia punya satu syarat tambahan dalam bertahan hidup: bijak (survival of the wisest). Begitu Sir Alexander Flemming mencoba mengoreksi teori evolusi Darwin untuk keberlangsungan hidup manusia. Belajar dari survive-nya pasar rakyat di Indonesia, ada nilai-nilai bijak yang menjadi pelajaran. Manusia selalu punya cara untuk bertahan hidup: bukan sekadar lewat naluri, namun dengan mengolah pikiran dan hati.

SNI Pasar Rakyat dan Pembangunan Berkelanjutan

Catatan dari materi “SNI dan Keberlanjutan Tatakelola Pasar Rakyat”, disampaikan pada Pelatihan Manajemen Pengelolaan Pasar Terwujudnya Pasar Rakyat yang Bersih, Nyaman, Aman, dan Sehat dengan Sarana dan Prasarana yang Memadai dan Berwawasan Lingkungan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bandung, Soreang, 15 Oktober 2020

Materi Pelatihan:Ekomadyo (2020) – SNI dan Keberlanjutan Pasar Rakyat

 

Apa hubungan antara Pasar Rakyat, SNI Pasar Rakyat, dan Pembangunan Berkelanjutan? Pertama, konsep pembangunan berkelanjutan disusun sebagai pesan kepada para pembangunan di seluruh dunia, bahwa meski orientasi jangka pendek pembangunan adalah ekonomi, namun jangan dilupakan efek jangka panjang, yaitu keberlanjutan lingkungan. Di tengahnya ada keberlanjutan sosial, karena dalam domain sosial, aspek keadilan dalam proses pembangunan bisa terperhatikan. Jika tidak adil, tentu ada resistensi yang sangat tinggi, dan pembangunan tidak berlanjut. Jika merusak lingkungan, maka pembangunan pun terhenti (tidak berlanjut) karena daya dukung lingkungan untuk kehidupan manusia pun terganggu.

Kedua, isu pasar rakyat penting dalam konsep pembangunan berkelanjutan, karena pasar selain sebagai ruang ekonomi juga menjadi ruang sosial. Fakta di lapangan menunjukkan, meski tersaingi oleh fasilitas perbelanjaan yang lebih modern, tetap saja orang datang berbelanja ke pasar rakyat, karena ada nilai-nilai sosial yang di dalamnya. Keberlanjutan ekonomi ternyata ditentukan oleh keberlanjutan sosial. Namun urusan keberlanjutan lingkungan, masih menjadi tantangan ke depan untuk pasar rakyat di Indonesia.

Ketiga, keberlanjutan SNI Pasar Rakyat. Ini merupakan problem yang krusial, karena SNI harus diperbaharui secara berkala. Standar Nasional ini mengatur tentang kualitas minimal yang harus dipenuhi oleh pasar rakyat, dan pembaharuan secara berkala menjadi penting karena kualitas perlu terus dijaga. Dan upaya ini membutuhkan biaya, baik biaya untuk penerbitan SNI, maupun biaya untuk keberlanjutan SNI.

Biayanya dari mana? Ini menjadi pertanyaan yang perlu dijawab pengelola pasar. Jika SNI ingin terus berlanjut, maka pengelola perlu menganggarkan biaya untuk perawatan, pemeliharaan, dan penambahan sarana dan prasarana sesuai dengan SNI, dan pembiayaan untuk sertifikasi dan resertifikasi. Artinya, SNI harus berkorelasi dengan peningkatan kinerja ekonomi dari pasar yang dikelola. Logikanya sederhana, pasar yang baik akan mengundang banyak pengunjung. Namun ini tidak mudah dilaksanakan di lapangan. Perlu pengelola pasar yang berjiwa entrepreneur.