Christina Gantini Received Award for Teaching Achievement

 

Today, our dearest Dr. Christina Gantini received the award for teaching achievement on Dies Natalis ITB.

Indeed I have known lots of good architects and designers and even starchitects not all make their tacit knowledge explicite and verbally well explained. Moreover she is few among few who put her care about building values and ethos as designer and architects among students and thus have it executed into real action in all of her studio groups. Congratulations!

 

Indah Widiastuti Turut dalam Pameran Karya Perempuan Arsitektur

UPI Menggelar Pameran Karya Perempuan Arsitektur

Kesetaraan gender sudah kian kerap dinikmati oleh perempuan dalam kiprah dan pengakuannya. Namun harus tetap diakui bahwa keperempuanan memiliki karakter yang khas dalam bekerja maupun berpikir. Dalam bekerja dan beraktifitas perempuan cenderung lebih mampu menjadi inklusif dan partisipatif, dan lebih mudah melihat keterkaitan antar banyak hal ketimbang batasan, kesamaan ketimbang perbedaan, kemungkinan ketimbang hambatan, kegayutan ketimbang dikotomi kebaikan dan keburukan.

Keperempuanan juga tak harus selalu dibicarakan dalam ranah gender ataupun seksualitas, namun sebuah corak social-kultural yang membentuk pola pikir dan gerak yang tidak faksional. Dengan konsep Shakti, prithvi, prajnaparamita, Asia Selatan yang dikenal patriarki, memperlihatkan sebuah peradaban yang sekali pun tidak menempatkan perempuan sebagai pusat, namun berdiri, tumbuh dan berkembang di atas sebuah ekosofi yang sangat perempuan, baik secara praktis, ontologis, epistemologis dan etis. Eksplorasi saya di tengah masyarakat tradisional di Indonesia memperkenalkan sebentuk komunalisme yang feminine – kepemimpinan yang sekalipun patriarkal, namun tetap inklusif dan partisipatif. Sisi unik dari kerangka pikir karena prinsip dasar tatanannya bukan semata kepemimpinan, keteraturan dan progress, namun kepengampuan, kepengasuhan dan kelestarian. Kerangka pikir keperempuan juga kaya karena kompleksitasnya yang sensitif dan kreatif – menerima simplisitas tapi menolak simplifikasi. Karenanya menurut saya perempuan dan keperempuanan adalah pola sebuah filsafat.

Dihadapan perubahan jaman – disrupsi, teknologi 4.0, Post-Truth, Anthropocene atau bahaya disintegrasi dan neo-primordialisme-‘arsitektur’, ‘desain’ dan ‘tradisi-tradisi berarsitektur’ – sebagai sebuah pengetahuan, profesi, bahkan definisi akan memperoleh tantangan untuk menjadi lebih lentur dan inklusif, tanpa harus lacur menjadi sangat permisif, atas nama keniscayaan perubahan. Mungkin di sinilah perempuan dan keperempuanan akan memiliki peran besar.

Indah Widiastuti