Tanggapan Iwan Sudradjat pada Rangkaian Kuliah Daring LSAI 2020

Rangkaian Kuliah Daring Penjelajahan Arsitektur Indonesia diselenggarakan oleh Lembaga Sejarah Arsitektur Indonesia (LSAI) seri kelima pada 24 Oktober 2020 mengundang Prof. Stephen Cairns yang menyampaikan paparannya berjudul Architecture as Instrument. Di akhir rangkaian kuliah daring ini, diadakan kuliah penutup yang berisi Rangkuman Tanggapan pada Rangkaian Kuliah Daring LSAI 2020.

Yang menarik perhatian saya dari kuliah Prof. Stephen Cairns bukanlah tentang substansi yang dibahasnya, melainkan cara berpikir yang dikembangkannya yang sekilas seperti tidak memiliki urutan logis. Berangkat dari isu tentang tantangan yang dihadapi para arsitek dan perencana kota di Indonesia, Asia Tenggara, dan Unit Ekologis M. Asia, melompat ke isu tentang otoritas dan instrumentalitas, melompat lagi ke isu tentang fasad kelima dan keenam yaitu atap dan lantai atau fondasi, kemudian melompat ke studi relief Candi Tegowangi (candi-candi di Jawa Timur) dan berakhir di proyek pembangunan permukiman yang ditanganinya yaitu Expandable House dan Agropolitan Settlement System.

Cara berpikir ini mengingatkan saya pada cara berpikir bebas yang disebut dengan lateral thinking sebagai lawan dari cara berpikir rigid yang disebut dengan vertical thinking. Untuk menstimulasi berpikir kreatif, maka lateral thinking pada ujung ekstrimnya memungkinkan kita untuk melakukan asosiasi acak, atau pada kondisi yang lebih umum melakukan asosiasi perbandingan seperti analogi dan metafora.

Prof. Stephen Cairns nampaknya menggunakan cara berpikir hibrida antara vertical thinking dan lateral thinking. Ketika menjelaskan tentang isu urbanisasi yang menjadi tantangan pada masa kini dan mendatang, juga tentang isu otoritas dan instrumentalitas, beliau menggunakan cara berpikir vertikal yang memiliki urutan-urutan logis dan memenuhi tuntutan akal sehat.

Cara berpikir lateral mulai dioperasikan ketika beliau membahas tentang isu fasad kelima dan fasad keenam. Asosiasi acak memungkinkan beliau melihat atap dan lantai atau fondasi sebagai fasad bangunan yang dalam pemahaman arsitektural secara umum tidak pernah terpikirkan. Dalam studi tentang relief candi, mulai beroperasi cara berpikir asosiasi perbandingan berupa analogi. Di bagian akhir, untuk penerapan konsep-konsep yang dihasilkan dari proses penjelajahan tersebut ke dalam proyek nyata digunakan asosiasi perbandingan berupa metafora.

Stephen Cairns mengajarkan pada kita suatu cara menggali inspirasi dari preseden historis secara kreatif. Tidak meniru langsung sebagai bentuk mimikri, tetapi melalui proses inkubasi benih-benih gagasan dan proses transformasi formal yang pada awalnya mungkin tidak terpikirkan. Mungkin ada yang menilai bahwa tahapan-tahapan proses kreatif yang dilalui Stephen Cairns tersebut terlalu subyektif, alay, dan tidak rasional, namun pendekatan yang bersifat ideosinkresi tetap memiliki nilai karena bisa juga membuahkan hasil yang kreatif dan inovatif. Sudah saatnya kita membuka diri pada cara berpikir bebas, outside the box, berdasarkan kerangka berpikir yang fleksibel.

Iwan Sudradjat Menjadi Pemandu dalam Rangkaian Kuliah Daring Penjelajahan Menuju Arsitektur Indonesia

Rangkaian Kuliah Daring LSAI 2020 Penjelajahan Menuju Arsitektur Indonesia ke 5 pada hari Sabtu, 24 Oktober 2020 pukul 15.00 WIB akan menghadirkan tajuk “Architecture as Instrument” oleh Prof. Stephen Cairns dari Future Cities Laboratory, Singapura.  Stephen Cairns seorang arsitek yang tertarik pada interaksi antara bangunan, kota, dan masyarakat. Sekarang menjabat sebagai Direktur Future Cities Laboratory (FCL), Singapura, Professor of Architecture di ETH Zurich, dan Peneyelidik Utama (Principal Investigator) pada Urban-Rural Systems design-research group di Future Cities Laboratory. Bersama Jane M. Jacobs menulis Buildings Must Die: A Perverse View of Architecture (MIT Press 2014), penyunting bersama Devisari Tunas The Future Cities Laboratory: Indicia series (Lars Müller Press dan NUS Press 2017, 2019 and 2021). ‘Urban-Rural Systems’ pilot project untuk suatu ‘expandable house’ meraih Best Living Space (Indo-Pacific) pada Inde Awards (2020).

“Bedah Buku Sejarah Perumahan dan Kamus Istilah Perumahan” oleh Himasari Hanan

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menyelenggarakan Seminar Daring Bedah Buku Sejarah Perumahan dan Kamus Istilah Perumahan. Himasari Hanan menjadi pembicara dalam seminar daring ini dengan memberikan materi berjudul Jejak Langkah Hunian Layak Indonesia (Sejarah Perumahan). Pemaparan dan diskusi lengkap bisa dilihat dengan klik tautan berikut: Bedah Buku Sejarah Perumahan dan Kamus Istilah Perumahan.

Arsitektur Setelah Pandemi: Menuju Kesadaran dan Ruang Hidup Baru

Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) ITB kembali mengadakan webinar seri ke-9 pada kamis tanggal 13 Agustus 2020 pukul 09.00 – 11.00 sebagai upaya pembentukan diskursus dan sumbangsih pemikiran menyikapi situasi pandemi covid-19 dalam menyongsong era kenormalan baru, khususnya pada lingkungan binaan. Seminar daring kali ini diisi oleh Kelompok Keahlian Sejarah, Teori dan Kritik Arsitektur (KK STKA) dengan tema Arsitektur Setelah Pandemi: Menuju Kesadaran dan Ruang Hidup Baru, yang dibawakan oleh Prof. Iwan Sudradjat, Dr.-Ing. Himasari Hanan, dan Indah Widiastuti, Ph.D. dari KK STKA serta Danny Wicaksono dari Biro Arsitektur Studio Dasar. Narasumber yang berasal dari akademisi dan praktisi diharapkan dapat memberikan gambaran nyata terhadap situasi yang sedang kita hadapi bersama ini. Rekaman pemaparan dan diskusi dapat diakses melalui laman berikut: https://www.youtube.com/watch?v=elgOv5-8EnQ.

Menarik dalam sesi kali ini adalah menghadirkan para pembicara yang mewakili tiga generasi, yaitu babyboomer, generasi X, dan generasi milenial. Sesi ini tidak menyuguhi presentasi hasil penelitian, tetapi lebih pada curahan gagasan kritis mengenai bagaimana harus menyikapi arsitektur dan kota setelah masa pandemi. Mengawali pemaparan dan diskusi, Prof. Iwan menjabarkan gagasannya pada sesi Pra-Wacana Arsitektur Setelah Pandemi. Beliau menggarisbawahi bahwa semua peristiwa pandemi yang pernah terjadi di bumi ini selalu berdampak pada kehidupan manusia selanjutnya, baik dalam skala yang besar atau kecil, maupun yang sifatnya sementara ataupun permanen. Pandemi mengubah sikap manusia dalam ‘memperlakukan’ lingkungan binaan serta mendorong lahirnya inovasi dan konsep perencanaan kota.

Pandemi Covid-19 memaksa umat manusia untuk beradaptasi dengan ‘kenormalan baru’ yang dirasa masih sangat asing. Pandemi Covid-19 berdampak serius pada kehidupan manusia khususnya yang tinggal di perkotaan dengan tingkat kepadatan yang tinggi. Pandemi Covid-19 mematahkan konsep desain arsitektur yang ideal dan kini justru menjadi setting yang dihindari, seperti high density living, interactive social public space, integrated air condition system. Pandemi Covid-19 menyadarkan kembali pentingnya kehidupan yang alami. Bisa disaksikan bagaimana masyarakat yang kini berbondong-bondong melakukan kegiatan urban farming sebagai bentuk kesadarannya untuk kembali hidup dan mendekatkan diri dengan alam ciptaan.

Dr.-Ing. Himasari Hanan mencoba memaparkan tentang interaksi manusia dan ruang yang selama ini terjadi dan yang harus diantisipasi di masa mendatang. Beliau menyebutkan bahwa arsitektur sebenarnya tidak pernah terlepas dari kondisi di luar arsitektur. Arsitektur bukan independent body yang berdiri sendiri, tetapi dipengaruhi faktor eksternal. Masyarakat era saat ini dengan Industri 4.0 dihadapkan pada era informasi sistem fisik cyber yang dengan dimensi virtual mampu melahirkan artificial intelegencedan internet of change. Manusia 4.0 berada pada arus transformasi menuju kehidupan bermasyarakat yang baru, yang dikenal dengan Society 5.0. Masyarakat 5.0 memiliki sensitifitas pada bangkitnya kesadaran nilai kolektif dan moral dari kemanusiaan. Sisi kemanusiaan kembali diangkat dan dimunculkan sehingga kreativitas, empati, dan stewardship untuk merawat alam lingkungan menjadi isu ke depan. Arsitektur sendiri sedang berada dalam proses perubahan oleh situasi industry 4.0 dan society 5.0 dan selanjutnya digoncangkan dengan kehadiran pandemi covid-19. Hal ini menunjukkan tekanan-tekanan bersifat global yang sedang dihadapi oleh arsitektur.

Society 5.0 menunjukkan perubahan mendasar pada gaya hidup dan kehidupan bermasayarat. Tiga tuntutan pada aspek kenyamanan, kualitas kehidupan yang lebih baik (high quality), dan vitalitas akan mendominasi kehidupan masyarakat di masa mendatang. Kebutuhan pada situasi yang aman, nyaman, dan lebih terjamin terus meningkat. Semangat dan keceriaan dalam hidup menjadi tujuan dari setiap individu. Banyak hal yang terkait dengan kerja fisik yang melelahkan kini digantikan oleh robot dan komputerisasi. Dapat dibayangkan bahwa pola kehidupan masyarakat 5.0 akan sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini berdampak pada apresiasi dan penghargaan terhadap keragaman individu. Peluang akses individu terhadap hal-hal yang terbatas pada tempat dan waktu menjadi kabur, sehingga kini cyberspace dan physical space menyatu di dalam kehidupan. Disadari atau tidak, kombinasi ruang fisik dan ruang cyber menjadi bagian dari sehari-hari. Gaya hidup akan berubah menyikapi tuntutan peningkatan kualitas kehidupan.

Arsitektur jika dihadapkan pada kondisi pandemi kali ini selanjutnya menyadarkan/membangunkan kembali bahwa persoalan arsitektur adalah persoalan interaksi manusia dengan spatial settingnya, yang di dalamnya terkandung dimensi afeksi, interaksi, dan kognisi. Setelah pandemi, arsitektur akan banyak berhubungan dengan interface, yakni interface dengan public space dan interface antara manusia dengan mesin. Interface kedua ini yang masih menjadi tanda tanya besar, karena sedang berproses. Jika belajar dari sejarah, kota Paris pada tahun 1853 – 1870 setelah mengalami epidemi kolera, mereka melakukan perubahan/renovasi terhadap kotanya dengan menyelaraskan kepentingan ekomoni (aksesibilitas barang dan orang) dengan kebutuhan insfrastruktur yang lebih sehat. Epidemi ini melahirkan perubahan sikap bagaimana arsitektur harus mengambil peran. Perubahan secara fisik itu turut membawa perubahan yang besar yakni budaya urban street life/street culture. Unsur fisik balkon pada apartemen-apartemen menjadi salah satu interface baru antara ruang publik dan ruang privat serta menciptakan budaya-budaya baru seperti mejeng/show off di balkoni sambil mengamati hal-hal yang terjadi di ruang kota sepanjang jalan. Budaya kafe di tepi jalan selanjutnya juga menjadi fenomena baru yang muncul dan sampai sekarang menjadi image dari kota Paris.

Munculnya budaya baru pada urban street life turut memunculkan pendekatan baru yang disebut dengan Flanerie. Orang-orang mulai keluar dan turun ke jalan untuk menikmati dan mengobservasi ruang-ruang kotanya yang telah berubah. Bagi para pelakunya, kegiatan ini mampu memberikan energi untuk membangkitkan kreatifitas. Hal ini bisa menjadi inspirasi awal bagi kita bagaimana untuk bisa keluar dari ‘depresi’ akibat pandemi dengan menjalankan kegiatan-kegiatan sejenis lainnya. Jika mencoba melihat lingkungan sekitar, masih banyak ruang-ruang, bangunan-bangunan, dan pola/gaya kehidupan yang bisa mendorong untuk mengalami ruang dengan lebih baik. Ini menjadi modal kita bersama untuk bisa membaca ruang menjadi lebih komprehensif.

Indah, Ph.D. mencoba memetakan sejarah pandemi terhadap perkembangan arsitektur, yakni bagaimana arsitektur pada masanya berkaitan dengan peristiwa pandemi. Secara umum, sejak awal abad masehi dikenal 20 epidemi besar dengan empat di antaranya menyebabkan peristiwa pandemi. Pandemi-pandemi tersebut terjadi sangat erat kaitannya dengan pola globalisasi, yakni globalisasi pada masa Romawi, Medieval, di Asia Tengah sedang terjadi penakhlukan Mongol, dan Wuhan. Jika direfleksikan dengan sejarah arsitektur, pandemi-pandemi tersebut terjadi bertepatan dengan berbagai perkembangan kota. Nampaknya perkembangan pandemi tidak selamanya berkorelasi dengan kemajuan teknologi.

Pandemi pertama terjadi di Romawi Timur (Turki yang sekarang) yaitu Wabah Justinian. Pada masa ini, perkembangan arsitektur dan kota meskipun teratur tetapi masih relatif organik, sehingga kota-kota yang tidak berhasil bertahan dengan sendirinya akan hilang. Model rumah sakit muncul meskipun tidak selalu berkorelasi dengan pandemi. Biara-biara Budha di Sri Lanka selanjutnya menjadi tipologi yang banyak digunakan untuk perawatan para korban. Model rumah sakit Romawi yang disebut sebagai Valetudinarium selanjutnya menjadi dasar pengembangan rumah sakit karantina. Selain itu, di Atena mulai dikenal pemakaman secara dibakar. Pandemi kedua terjadi ketika kota-kota di Mediterania berkembang sangat padat sehingga penularan menjadi lebih cepat. Semula, Gereja sangat memonopoli semua aktivitas termasuk perawatan kesehatan. Melalui pandemi kedua ini, Gereja semakin tidak mampu lagi mengatasi sehingga dibutuhkan fasilitas-fasilitas lain serta memunculkan general hospital yang mengambil tipologi arsitektur biara untuk membuat arsitektur rumah sakit.

Pandemi ketiga terjadi dalam dua peristiwa, yaitu di Cina dan Amerika. Pandemi di Cina diperkuat dengan perkembangan teknologi industri dan penularannya dipicu oleh kecepatan arus transportasi. Dengan perkembangan teknologi sains, paradigma kesehatan dan kebersihan mulai disadari dan menjadi nilai dasar dalam menentukan kebijakan. Revolusi insfrastruktur hadir sebagai bentuk pemahaman pada penularan yang terjadi melalui patogen yang melekat. Tipologi rumah sakit dan pengelolaan air menjadi kian berkembang. Peristiwa pandemi di Amerika disebut dengan Spanish Flu yang selanjutnya merebak di Spanyol dan bersamaan juga dengan wabah malaria yang muncul di daerah tropis. Paradigma kesehatan dan kebersihan menjadi warna pembentukan Arsitektur Modern, seperti Central Park yang dirancang untuk memberikan ruang seluas mungkin untuk berjemur, lalu arsitektur modern dengan flat roof, balcony, dan terrace, selain sebagai karakter Arsitektur Modern tetapi juga dianggap sehat. Pandemi keempat berasal dari Wuhan pada tahun 2020. Beberapa literatur menyebutkan bahwa pandemi ini erat kaitannya dengan kerusakan lingkungan. Hewan-hewan yang semula hidup liar di hutan, namun kini tinggal di lingkungan yang sangat mengkota sehingga patogen yang biasanya berpindah ke inang yang lain seperti tanah dan tumbuhan, namun sekarang berpindah ke manusia. Pola-pola inilah yang selanjutnya memunculkan penyakit-penyakit baru.

Secara umum, diperlihatkan bahwa teknologi selalu dapat mengatasi segalanya. Pertanyaan yang selanjutnya muncul adalah apakah betul jika teknologi bisa menjawab /mengatasi semua permasalahan itu? Sebab jika berbicara tentang konsep isolasi, konsep tersebut sudah ada dan diterapkan dari abad 1 mediaval. Jika dilihat dari aspek teknologi, masing-masing peristiwa pandemi memiliki teknologinya sendiri. Secara holistik, perkembangan arsitektur dan arsitektur kota semakin advance tetapi juga disertai dengan bencana lingkungan yang erat. Keberadaan teknologi yang mencapai dimensi nano, juga turut memunculkan pengetahuan pada keberadaan kuman-kuman pada skala nano. Dengan demikian, peran teknologi, arsitektur, dan perencanaan kota kontemporer nampaknya perlu diperiksa ulang dalam merefleksikan permasalahan lingkungan, kemanusiaan, dan bumi. Penyelesaikan yang dilakukan jangan hanya sekadar menyelesaikan permasalahan yang bersifat teknis saja. Pelajaran yang dapat dipetik dari pandemi 1-4 adalah adanya dialektika antara lingkungan dan manusia yang selanjutnya melahirkan kualitas lingkungan yang berbeda dan membentuk arsitektur dan kota yang berbeda pula dari zaman ke zaman. Sebaiknya kata ‘the normal’ dimaknai sebagai mencari keseimbangan baru. Upaya untuk mencapai keseimbangan baru ini akan diwarnai dengan konflik antara hal-hal yang berkaitan dengan isu teknis dan keadilan. Di satu sisi, ada yang dapat berkompromi dengan budaya baru, tetapi ada pula yang resisten.

Danny memberikan pemaparan berupa tawaran dan berbagi tentang apa yang sedang mereka kerjakan. Judul yang ia pakai lebih pada sebuah ajakan daripada pernyataan dengan harapan lebih banyak lagi penduduk Indonesia yang bisa menemukan perubahan-perubahan baik berikutnya untuk arsitektur dan ruang hidup. Jika berbicara tentang perubahan di kepulauan ini, nampaknya bukan hal yang asing/baru. Indonesia mengalami perubahan-perubahan fundamental dalam perjalanan sejarahnya, dengan tiga peristiwa yang difokuskan yakni peristiwa migrasi, kolonialisme, dan nasionalisme.

Ketika situasi pandemi saat ini, yang pertama hadir dalam benak mungkin adalah menghadapi masa depan yang tidak pasti dengan masa kini yang juga tidak pasti. Sebelumnya masing-masing dari kita selalu memiliki landasan berpijak yang ajeg untuk menghadapi masa depan yang selalu tidak pasti, tetapi sekarang kita semua tidak tahu kapan peristiwa ini akan selesai. Kita tidak tahu kapan keadaan ini membaik dan kita juga harus menghadapi masa depan yang rasanya harus diperbaiki. Keadaan ini juga membawa kesadaran lain yang pada waktu-waktu sebelumnya tidak dimiliki, bahwa ternyata bisa kerja dari rumah dan sama produktifnya dengan bekerja di kantor. Namun, perancangan rumah-rumah saat ini tidak dirancang untuk mengakomodir kebutuhan-kebutuhan itu dalam jangka waktu yang panjang. Bahkan akhir-akhir ini, pemahaman yang luas tentang rumah justru adalah sebagai tempat singgah karena manusia menghabiskan sebagian waktunya di luar rumah. Saat ini terjadi kesadaran yang berbalik, yakni individu menjadi lebih merasa aman ketika di rumah. Kesadaran kedua adalah kesadaran mengenai hidup yang lebih sehat dan higienis. Masa PSBB beberapa waktu lalu menyadarkan bahwa langit biru yang biasa terjadi hanya ketika lebaran khususnya di daerah Jakarta, namun sekarang bisa dinikmati bahkan lebih dari satu minggu dengan sangat menyenangkan. Kesadaran pada kesehatan pribadi juga terus meningkat dengan adanya pandemi ini.

Lalu, apa yang mungkin bisa berubah? Danny dan Studio Dasar memformulasikan tiga hal penting sebagai bentuk tawarannya, yaitu tentang perumahan kecil, ruang hidup kota, dan sistem pendidikan. Persamaan ketiga aspek tersebut adalah hal-hal generik yang biasa dibangun oleh masyarakat Indonesia pada masa sekarang. Perumahan kecil adalah tipe  perumahan yang banyak sekali diusahakan oleh warga Indonesia. Kebutuhan pada alternatif ruang hidup kota sangat diperlukan untuk peningkatan kualitas kehidupan. Sistem pendidikan berkontribusi pada kualitas manusia-manusia sebagai pemecah permasalahan di masa mendatang.

Aspek fundamental yang perlu dilihat kembali adalah Pendidikan Arsitektur, agar Indonesia di masa mendatang memiliki generasi muda yang dapat memikirkan dan menjadi agen perubahan yang lebih baik, khususnya dalam hubungannya dengan arsitektur dan ruang hidup untuk masa dua sampai tiga dekade ke depan. Hal ini penting untuk dipikirkan karena pendidikan arsitektur di Indonesia tidak berada di yang terbaik di dunia, walaupun jumlahnya diantara yang terbanyak di Asia, yakni sekitar 174 sekolah arsitektur. Sekolah arsitektur di Singapura yang berjumlah dua buah justru mampu masuk ke dalam jajaran terbaik di dunia. Patut dicurigai bahwa hal ini terjadi karena pendidikan arsitektur di Indonesia berkembang di era mental militer kapitalis. Era ini merupakan era ketika terjadi keterputusan hubungan dengan kaum intelektual revolusioner yang turut berperan dalam berdirinya negara Indonesia.

Kini, pengembangan pendirian jurusan arsitektur di Indonesia meningkat dengan sangat pesat dalam 32 tahun, dengan lebih dari 70 sekolah arsitektur baru. Situasi yang terjadi selanjutnya adalah seketika penduduk tanah ini menjadi kehilangan keberaniannya untuk menjadi otentik dalam melihat keadaan-keadaan yang terjadi di sekelilingnya dan memberikan solusi-solusi yang relevan atas permasalahan hidupnya dengan kapasitas sumber daya yang dimiliki. Kelatahan untuk harus selalu melihat apa yang sudah orang luar lakukan/kerjakan untuk memberanikan diri membuat solusi atas permasalahan pribadi perlu dipikirkan ulang. Aspek lain yang turut disorot adalah lebih kentalnya motif kerja untuk finansial daripada motif kerja untuk membentuk budaya dan kebudayaan. Menjadi kecurigaan bahwa mental inilah yang terbentuk di universitas, yakni mentalitas para mahasiswa di universitas-universitas di Indonesia yang hanya bertujuan mengejar nilai sehingga lulus dengan nilai tinggi. Mendapatkan nilai yang tinggi seakan menjadi tujuan hidup yang seringkali tidak ada hubungannya dengan mengumpulkan informasi untuk mendapatkan pemahaman supaya mampu menghasilkan gagasan-gagasan yang bisa meningkatkan kualitas hidup bersama. Motif mencari keuntungan pribadi menjadi dominan. Mungkin hal ini terjadi karena sejak awal pendidikan tinggi di Indonesia dibuat untuk mencetak karyawan, bukan menciptakan penduduk muda yang penasaran untuk membuka misteri alam semesta.

Pengetahuan yang diberikan di pendidikan tinggi adalah pengetahuan yang sama/disamakan sehingga menjadikan budaya leluhur yang dimiliki oleh kelompok-kelompok etnis sudah tidak dilanjutkan/dikembangkan. Manusia masa kini menjadi terlepas dari ‘beban’ untuk meneruskan budaya leluhur. Hal ini berdampak pada sistem kerja yang cenderung sebagai bentuk ekspresi dan aktualisasi diri daripada bekerja untuk melayani masyarakat yang lebih besar. Maka, kembali ke poin sebelumnya bahwa motifnya adalah untuk keuntungan diri sendiri.

Sesi diskusi memunculkan pertanyaan reflektif dari Dibya: “Apa saran Anda untuk institusi pendidikan arsitektur dan lingkungan binaan dalam menyambut era baru pascapandemi? Kebetulan webinar ini diikuti oleh banyak pengajar dari jurusan arsitektur. Nuhun.” Masing-masing pembicara memberikan jawabannya.

Himasari Hanan:

Arsitektur harus lebih multidimensi. Selama ini yang bekerja di arsitektur lebih pada aspek kognisi/pemikiran/logika, namun tidak berhenti di situ, dimensi kognisi harus diperkaya dengan dimensi afeksi dan behaviour. Dimensi afeksi berkaitan erat dengan emosi, rasa simpati-empati, kebersamaan untuk kehidupan bersama. Dimensi-dimensi itu yang harus diaktifkan dalam pendidikan arsitektur. Selama ini mungkin pendidikan yang terjadi terlalu teknis/logis/rasional, tetapi bagaimana mendidik/mengasah emosi/feeling mahasiswa menjadi suatu tantangan. Perlu disadari bahwa hal itu tidak menjadi perhatian pada masa pendidikan di perguruan tinggi.

Dimensi yang lain adalah behaviour, yakni dengan menjadikan kegiatan-kegiatan sesehari sebagai sumber pengetahuan. Kebiasaan-kebiasaan umum yang selama ini dianggap ‘biasa’ coba dicermati kembali. Kepekaan ini yang harus ditingkatkan dan didalami dalam proses pendidikan arsitektur, yang saat ini barangkali belum cukup memadai. Tantangan yang muncul adalah bisakah dalam waktu empat tahun (lama studi sarjana) semua materi dapat diajarkan? Bagaimana pengelolaannya?

Indah Widiastuti:

Menurut saya, dimensi kritis menjadi pijakan dalam mengembangkan pengetahuan. Selain melatih skill, hendaknya selalu melatih tingkat kritikalitas. Banyak hal yang tertantang dengan adanya pandemi ini. Semula kita percaya dengan globalisasi, tetapi pandemi ini membawa orang kembali dan harus tumbuh di lokalnya masing-masing. Arsitektur sebelumnya selalu mengajarkan aspek konektivitas tetapi sekarang dihadapkan pada sisi-sisi yang disconnected. Hal ini merupakan sesuatu yang bertolak belakang dengan yang biasa dipahami. Usaha-usaha untuk melakukan kritik menjadi upaya yang penting.

Danny Wicaksono:

Kalau dari saya, saya ingin kembali mengembalikan ke institusi pendidikannya sendiri. Apakah keadaan ini dianggap penting atau tidak? Apakah keadaan ini dianggap keadaan kritis atau tidak? Dan apakah keadaan hari ini dianggap sebuah potensi untuk bisa menghasilkan perubahan kehidupan yang lebih baik di masa depan atau tidak? Dalam pikiran saya, jika keadaan hari ini dianggap penting, maka hal pertama kali yang harus dilakukan oleh seluruh universitas, dalam hal ini jurusan arsitektur adalah berkonsolidasi untuk saling berbicara satu sama lain dan bersepakat bahwa ini adalah keadaan kritis yang bisa membawa kesempatan pada perubahan pendidikan dan kehidupan yang lebih baik. Berawal dari situ, selanjutnya dapat dilihat kembali keadaan sistem pendidikan yang ada, baik kelebihan maupun kekurangannya. Fakta bahwa sistem pendidikan saat ini banyak menghasilkan mahasiswa-mahasiswa yang tidak memiliki keberanian berpikir otentik, memiliki masalah dengan berpikir secara logis-rasional-kritis perlu disadari dan dicari jalan keluarnya. Sistem pendidikan yang ‘berhenti’ ini memicu timbulnya empati yang hilang. Empati akan sulit sekali untuk hadir pada penduduk muda jika pada umur 18 tahun, setiap hari yang ada dibenaknya adalah bagaimana mencari keuntungan untuk diri sendiri, dalam hal ini mencari nilai tinggi dan lulus dengan nilai setinggi-tingginya. Hal tersebut nampaknya menunjukkan kesejatian pendidikan tinggi di Indonesia, yakni lulus dengan nilai tinggi. Empati akan sulit sekali timbul pada keadaan yang seperti itu, karena yang biasa dilakukan adalah ‘apa untungnya buat kita sendiri’, ‘gimana pengetahuan ini menguntungkan kita sendiri dan kita pergunakan untuk mendapat nilai yang tinggi supaya kita terlihat baik dan bagus, lalu setelah lulus banyak dari kita yang tidak lagi terikat dengan pengetahuan itu’. Lulusan tidak mengerti tentang pengetahuan itu dan menggunakan pengetahuan yang diperoleh untuk keuntungan diri sendiri.

Jika hal ini dirasa penting, maka universitas harus kembali mengevaluasi tujuan pendidikan tingginya. Bukan lagi menghasilkan lulusan-lulusan yang nilainya cumlaude, tetapi benar-benar menghasilkan penduduk muda yang berguna untuk menghasilkan gagasan-gagasan untuk memperbaiki kualitas hidup bersama. Hal ini dilakukan agar kita bisa meninggalkan ruang hidup yang baik untuk anak cucu kita. Kita sangat berhutang kepada anak cucu kita. Kita melakukan ini bukan semata-mata untuk memiliki rekening 5 milyar. Rasanya sempit sekali jika tujuannya untuk memperkaya diri sendiri sementara yang kita tinggalkan untuk anak cucu kita adalah Bantar Gebang. Jika hal ini tidak berubah, maka pada waktu berikutnya yang akan diingat dari keberadaan kita saat ini adalah Bantar Gebang, jalanan yang tidak berhenti macet, langit yang tidak lagi biru, dan bintang yang sudah tidak ada lagi ketika malam. Itu yang akan diingat dari generasi kita dan dari 4500 universitas yang sudah dihasilkan oleh Indonesia Modern. Jadi mohon sekali pada universitas-universitas yang ada di Indonesia ini untuk memikirkan kembali tujuan keberadannya di Indonesia hari ini karena kita butuh sekali universitas yang peduli pada kualitas hidup yang lebih baik daripada hari ini. Saya harap hal ini bukan untuk menyemangati, tetapi berpikir untuk bisa berubah. Yang dibutuhkan saat ini adalah pikiran untuk mau berubah dan menghasilkan ruang hidup yang lebih baik.

(tulisan ini juga diterbitkan di laman web sappk.itb.ac.id)

“Kritisisme” oleh Indah Widiastuti

Arsitektur Nusantara menjadi terminologi yang kemunculannya kerap kembali dibahas setelah tahun 2000-an. Menanggapi hal ini, Omah Library menyelenggarakan Kelas Wacana Arsitektur Nusantara bersama dengan 11 orang narasumber. Indah Widiastuti memberikan pemaparannya tentang Kritisisme, dengan sinopsisnya sebagai berikut:

“Arsitektur Nusantara mungkin adalah salah satu topik “terseksi” dalam gelangang wacana arsitektur di Indonesia. Terlepas dari tanggapan pro-kontra nya wacana ini seperti tak terelakan untuk mendapat lirikan, bahkan dari yang memandangnya secara kritis. Diskusi ini diawali dengan sebagai sebuah upaya positif mewacanakan keunikan karakter arsitektur yang berada di dalam wilayah teritori Indonesa. Namun wacana arsitektur Arsitektur Nusantara berkembang lewat berbagai bentuk apresiasi dan kritik. Bagi berbagai pihak, Arsitektur Nusatnara adalah sebuah tawaran formulasi pengetahuan arsitektur asli Indonesia, sebagai jalan emansipasi tata pikir mengenai arsitektur, sebagai upaya menyelamatkan hal yang esensial mengenai keindonesiaan dalam arsitektur. Beberapa pihak lainya juga melihatnya sebagai peristiwa ideologisasi, labelisasi branding, dan bagian dari agenda politik identitas. Sementara justru bagi kebanyakan kalayak mungkin tak lebih dari sarana identifikasi dalam percakapan mengenai arsitektur yang ada di Indonesia. Terlepas dari apapun penilaiannya, hal paling menggelitik adalah, mengapa si mahluk “seksi” ini bisa hadir mengejawantah dalam beragam reaksi, pencerahan, kebahagiaan, juga kegaduhan dan kontroversi?”

“Kritik Arsitektur” oleh Indah Widiastuti

Indah Widiastuti memberikan pemaparannya tentang Kritik Arsitektur pada Kelas Kritisisme yang diselenggarakan oleh Omah Library. Kelas Kritisisme ini terdiri atas tiga seri, yaitu Teori – Nanda Widyarta, Sejarah – Robin Hartanto, dan Kritik – Indah Widiastuti. Berikut adalah sinopsis Kelas Kritik oleh Indah Widiastuti:

“Ketika sebuah arsitektur tengah diperbincangkan, pada dasarnya penutur, pendengar atau partisipannya seolah-olah “sedang berenang” di sebuah kolam pemikiran yang dialami bersama. Di dalam kolam itu, beberapa perenang akan berenang dengan merdeka, beberapa akan memilih bagian yang tak dalam, beberapa akan memilih untuk menyelam ketimbang berenang, beberapa mungkin merasa kolam terlalu dingin lalu beranjak dan berlalu dari kolam renang, dan beberapa lainya mungkin berenang untuk motivasi yang lain. Kolam pemikiran ini bisa berupa gagasan atau ide pribadi atau kelompok yang terus menerus dibicarakan – mungkin berdasarkan kebiasaan praxis tertentu- kebiasaan tukang, kebiasaan arsitek, penggunaan strategi atau representasi arsitektur tertentu. Lebih normatif lagi kolam ini bisa berupa teori, paradigma, ideologi, atau filsafat. Pertanyaan mendasarnya: seberapa sadarkah kita akan medium pemikiran yang merendam tubuh pikiran kita  dalam setiap perbincangan arsitektur tersebut? Lalu apa sikap yang mesti diambil untuk menangapinya?”