“Design Thought”: Berpikir Mendalam Melalui Desain

 by 

Agus S. Ekomadyo, Kelompok Keahlian Perancangan Arsitektur SAPPK ITB, aekomadyo00(at)gmail.com

Format artikel pdf: Ekomadyo 2017 – Design Thought (Footprint)

Di mana pendidikan tinggi (PT) arsitektur dalam era teknologi disruptif seperti saat ini? Apakah produksi arsitektur, termasuk oleh para mahasiswa, akan semakin didominasi penggunaan perangkat lunak, sebagai keniscayaan zaman, yang dikhawatirkan akan menyebabkan produksi desain arsitektur yang semakin instan? Tulisan Sudaryono (2017) tentang “Pendidikan Asembling” menggambarkan dilema peran pendidikan di universitas saat ini, apakah tetap memainkan peran penemuan-penemuan (discovery) dalam ilmu pengetahuan, atau ikut dalam arus utama kebutuhan industri yang lebih berorientasi pada cara berpikir merakit (assembling). Dilema ini sebenarnya sudah sejak berlangsung sejak lama, ketika pola pendidikan tinggi lebih mengajarkan pengetahuan  praktis untuk menyelesaikan permasalahan, sementara filosofi universitas adalah lembaga yang mengembangkan pengetahuan yang universal. Istilah kuliah sendiri diadopsi dari tradisi pembelajaran masyarakat Islam, yaitu “kulliyyah” yang berarti mempelajari hal-hal yang bersifat holistik, dan ini berbeda dengan pelajaran tentang penggalan pengetahuan khusus yang disebut “juz-iyyah”

Kontroversi peran PT apakah sebagai lembaga untuk pengembangan ilmu pengetahuan ataukah sebagai lembaga pemasok sumber daya manusia untuk kebutuhan industri sebenarnya telah berlangsung lama. Di Indonesia, ketika masih menjabat sebagai Menristek, B.J. Habibie mengritik keras sistem pendidikan tinggi yang tidak berorientasi pada pasar, yang kemudian direspon oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu Wardiman Djojonegoro dengan kebijakan “Link and Match” yang mendekatkan lulusan PT dengan kebutuhan industri. Kontroversi peran PT sebenarnya telah muncul sejak awal didirikannya PT di Eropa. Di awal abad ke-19, dengan dipelopori oleh Wilhelm von Humbold, para akademia membentuk perguruan tinggi yang berorientasi pada pengabdian pada pengembangan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai luhur kemanusian. Kemudian muncul PT berbasis riset untuk kepentingan penyelenggaraan negara yang berkembang di Jerman pada pertengahan abad ke-19, namun PT model ini mendapat reaksi dengan munculnya PT berbentuk Technische Hochschule untuk menghasilkan sarjana teknik untuk memasok tenaga kerja  industri (Yuliar dan Djodikusumo, 2011:70-71).

Dilihat dari sejarahnya, PT Arsitektur terbentuk dari tradisi pemenuhan akan kebutuhan industri. Berkembangnya PT Arsitektur sering dikaitkan dengan Gerakan “Art and Craft” dan Bauhaus di Eropa, sebagai bagian dari gerakan Modernisme di awal abad ke-20. Modernisme sendiri merupakan lahir dari merepresentasikan perkembangan industrialisasi di dunia. Di Indonesia, PT Arsitektur lahir di dalam sebuah Technischne Hoegeschool, yang awalnya didirikan untuk memasok kebutuhan insinyur yang dihasilkan di dalam negeri Hindia Belanda saat itu. Hal ini sangat wajar, mengingat karena disiplin arsitektur dari awal peradaban manusia tumbuh dari tradisi kerja. “Tecton” sebagai akar kata arsitektur mempunyai makna yang dekat dengan “techne”, yang dalam Bahasa Yunani berarti pengetahuan yang didapatkan melalu proses bekerja, yang dibedakan dengan “episteme” yang berarti pengetahuan yang didapatkan melalui proses pengamatan dan pemikiran mendalam.

Dalam buku Footprints: Sarjana Volume 2/2017 ini, memang “techne” terlihat kuat pada produk-produk arsitektural yang dihasilkan oleh mahasiswa Arsitektur Institut Teknologi Bandung ini. Ada pengetahuan tentang kekuatan, kegunaan, dan keindahan yang dieksplorasi melalui tugas-tugas studio. Para mahasiswa bekerja dan mencoba menyelesaikan aneka permasalahan ke dalam karya-karya desain arsitektur yang dihasilkan. Rangkaian produk arsitektur yang disajikan dalam buku ini memberikan gambaran tentang lingkup kerja arsitek beserta pengetahuan arsitektural yang menyertai.

Meski demikian, dalam beberapa foto terdapat ekspresi dominan saat mahasiswa bekerja, yaitu ekspresi rasa ingin tahu. Ekspresi rasa ingin tahu adalah bentuk komunikasi non-verbal yang menunjukkan bahwa mahasiswa tengah mempelajari sesuatu. Lebih sekadar kumpulan produk-produk arsitektur, buku Footprints ini merupakan dokumentasi tentang  “belajar” (learning). Belajar sendiri digambarkan sebagai sebuah upaya untuk “menemukan jalan”: belajar merupakan proses orang untuk merasakan jalan menemukan suatu “dunia” lewat usaha berkesinambungan melalui tindakan gabungan dari pihak manusia dan non-manusia (human and nonhuman agencies) (McFarlane, 2011:1-2). Produk-produk arsitektural yang tersaji sesungguhnya merupakan mediator bagi proses belajar yang terjadi di benak mahasiswa (dan juga dosennya). Sorot mata saat menggambar atau membuat maket menggambarkan adanya tambahan pengetahuan saat berbuat.

Desain sebenarnya juga merupakan kegiatan belajar, karena setiap bekerja  desainer akan memperoleh pengetahuan sifat dasar suatu masalah dan aneka cara terbaik untuk mendapatkan solusinya (Dorst, 2003:16). Belajar lewat desain merupakan proses untuk mendapatkan pengetahuan yang berorientasi pada kecocokan (Saliya, 2003: 204-205). Melihat desain sebagai proses belajar inilah konsep “design thought” yang menjadi judul tulisan ini dimunculkan, yang diartikan sebagai “proses berpikir yang mendalam”. Istilah ini dikembangkan penulis hasil diskusi dengan Ilya Maharika yang mengritik penggunaan istilah “design thinking” yang dianggap kurang mencerminkan orientasi akademis yang kuat.

Dengan pendekatan “design thought”, bisa dijelaskan mengapa pemikiran beberapa arsitek banyak dirujuk oleh arsitek lainnya. Berbeda dengan para saintis yang mengungkapkan pemikiran mendalamnya lewat aneka tulisan ilmiah, arsitek mengungkapkannya melalui karya-karyanya. Dalam beberapa kali kuliah Teori Desain Arsitektur yang diampu penulis bersama Basauli Umar Lubis, ditampilkan beberapa arsitek yang mempunyai pemikiran-pemikiran yang sangat berpengaruh bagi perkembangan dunia. Para arsitek peraih penghargaan Pritzker, seperti Jean Nouvel, yang banyak mengeksplorasi aspek puitis dalam arsitektur, atau Glenn Murcutt yang mengeksplorasi materialitas arsitektur, dinilai mempunyai pengaruh kuat bagi pengetahuan arsitektur dunia karena adanya pemikiran yang mendalam yang terepresentasi pada karya-karya desain mereka. Beberapa arsitek selain berkarya juga menuliskan pemikiran-pemikiran arsitekturalnya, seperti Bernard Tschumi atau Rem Koolhas, yang menyebabkan pemikiran keduanya bukan sekadar dirujuk oleh kalangan arsitek tetapi oleh disiplin-disiplin lain.

Apakah mungkin pemikiran mendalam (thought) dikembangkan dalam PT Arsitektur, mengingat lembaga ini terbangun lebih berorientasi pada kerja? Selama pendidikan arstitektur masih berada dalam insititusi universitas, maka jawabannya adalah ya. Sebagai bagian dari universitas, maka pendidikan Arsitektur juga punya tanggung jawab untuk mempelajari fenomena yang bersifat universal dan menyebarkan temuan-temuannya kepada masyarakat. Kembali ke isu pendidikan asembling di awal tulisan ini, Sudaryono (2017) menyebut dua arus utama peran universitas: yang berorientasi pada “discovery” untuk membuat penemuan-penemuan baru melalui kegiatan ilmiah secara kolektif untuk menyelesaikan masalah-masalah mendasar dalam kehidupan manusia, dan yang berorientasi pada “assembling” untuk menghasilkan sumber daya yang kompetitif merepson perkembangan industri. “Design thought” akan lebih cocok berkembang pada PT dalam arus pertama, di mana desain merupakan proses belajar untuk mendapatkan pengetahuan-pengetahuan baru yang merespon permasalahan-permasalahan kehidupan.

Menilik perkembangan pendidikan tinggi di dunia dan di Indonesia, ada tantangan bagi ITB untuk semakin bertransformasi dari Technische Hoegeschool yang berorientasi penyediaan tenaga kerja handal menjadi universitas yang berorientasi pada pengembangan pengetahuan. Hal ini tercermin dalam visi ITB “menjadi Perguruan Tinggi yang unggul, bermartabat, mandiri, dan diakui dunia serta memandu perubahan yang mampu meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia dan dunia” dan misi ITB untuk “menciptakan, berbagi dan menerapkan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, ilmu sosial, dan ilmu humaniora serta menghasilkan sumber daya insani yang unggul untuk menjadikan Indonesia dan dunia lebih baik” (Rencana Strategis ITB 2016-2020). Dengan demikian, maka mulai ada tuntutan agar agenda perkuliahan bukan sekadar pemberian pengetahuan praktis untuk mahasiswa, tetapi ada aspek sumbangsih untuk permasalahan dan kemajuan bangsa Indonesia dan masyarakat dunia. Sebagaimana sebuah upaya “discovery”, maka kegiatan akademis dalam Pendidikan Tinggi Arsitektur pun menuntut kerja kolektif, sehingga semakin dimungkinkan agar tugas-tugas mahasiswa bersinergi dengan kegiatan penelitain dan pengabdian masyarakat dari para dosen demi pengembangan dan kemanfaatan ilmu pengetahuan.

Dengan demikian, buku Footprints menjadi penting sebagai suatu inskripsi dari proses belajar dan mengembangkan pengetahuan melalui kegiatan desain arsitektur. Di sini mulai terlihat pola, bahwa pada tingkat-tingkat awal mahasiswa mulai belajar tentang pengetahuan praktis untuk menyelesaikan permasalahan desain. Pada tingkat akhir, mahasiswa mulai mampu merespon suatu permasalahan dalam kehidupan masyarakat dan mengujicobakan gagasan-gagasannya dalam proyek-proyek desain. Di sini pemikiran mendalam melalui desain bisa berperan penting, ketika mahasiswa (dan dosennya) mencoba mengartikulasikan aneka solusi desain dengan mengaitkannya  aneka pemikiran lain yang relevan

Ketika menjadi bagian dari universitas, maka desain arsitektur perlu diletakkan juga sebagai proses belajar (learning), bukan sekadar ekspresi kreativitas atau penyelesaian masalah-masalah praktis semata. Bahkan lebih dari itu, desain arsitektur perlu dilihat sebagai evolusi, bagaimana proses belajar yang terjadi merupakan bagian dari proses perkembangan dan perbaikan terus menerus. Sejatinya, desain merupakan kerja manusia untuk mendapatkan kecocokan sebagai upaya adaptasi terhadap berbagai kemungkinan dan perubahan. Buku Footprint adalah inskripsi bangaimana pengetahuan arsitektur berkembang dari masa ke masa di dalam Program Studi Arsitektur ITB. Ia hadir sebagai sebuah penanda manusia yang berpikir mendalam (vita contemplativa) dalam sebuah kerja (vita activa).

 

Referensi

Cross, N. (1982). Designerly Ways of Knowing, Design Studies. Vol.3 No.4 October 1982

Dorst, Kees (2003). Understanding Design: 175 Reflection on Being Designer. Bis Publishers, Sydney

McFarlane, C. (2011). Learning the City: Knowledge and Translocal Assemblage. West Sussex, UK: Blackwell Publishing.

Rencana Strategis Institut Teknologi Bandung 2016 – 2020

Saliya, Y. (2003) Perjalanan Malam Hari. Lembaga Sejarah Arsitektur Indonesia dan Ikatan Arsitek Indonesia Jawa Barat, Bandung.

Sudaryono (2017). Pendidikan Asembling. Artikel dalam Kompas, 29 Agustus 2017.

Yuliar, S. dan Djodikusumo, I. (2009). Tech-Novation. Pemikiran tentang Perluasan Peran ITB dalam Sistem Inovasi Bangsa. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Teknologi Bandung.

 

(Tulisan dipublikasikan dalam Kusyala et al. (2017). Footprint Sarjana: Dokumentasi Studio 2016-2017. Volume 2/2017. Program Studi Arsitektur Institut Teknologi Bandung, https://ar.itb.ac.id/2017/11/29/footprint-2017/)