Budaya Kreatif dan Rekayasa Sosioteknis

Catatan dari Gelar Wicara ITB untuk Masyarakat Karsa Loka: “Eksplorasi Budaya Kreatif untuk Konstruksi Arsitektur Ruang Publik”. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Teknologi Bandung,  Jumat, 21 Oktober 2022

Link materi presentasi: Ekomadyo 2022 – Budaya Kreatif dan Rekayasa Sosioteknis (Karsa Loka ITB)

Link video: https://youtu.be/98XqGG0RNWc

Link informasi acara: https://pengabdian.lppm.itb.ac.id/karsaloka/eksplorasi_budaya_kreatif_untuk_konstruksi_arsitektur_ruang_publik_kasus_budaya_tanah_liat_di_jat

Perkembangan pesat diskursus Kota Kreatif ternyata menimbulkan kontroversi. Gerakan kreatif oleh pegiat seni dan budaya yang mampu menarik kunjungan ke kawasan kota tertentu ternyata juga menarik investasi kapital besar yang kemudian memarginalkan para pegiat seni dan budaya tersebut. Kontroversi memang niscaya dalam kehidupan kota, karena ruang-ruang kota bukan merupakan ruang-ruang yang steril namun penuh kontestasi dari mereka yang memproduksi ruang kota tersebut. Relasi kuasa dalam suatu fenomena budaya, termasuk kontestasi dalam gerakan yang menggunakan budaya kreatif, menjadi salah satu isu utama dalam Cultural Studies.

Dalam perspektif Cultural Studies, budaya kreatif bisa didefiniskan dengan menggabungkan pemikiran Cziksenmihalyi tentang “field of creativity” dan Bourdieu tentang “field of capital” Menurut Cziksenmihalyi, kreativitas hadir dalam 3 hal: person, domain, dan field, di mana field merujuk pada arena sosial di mana kreativitas seseorang dalam bidang tertentu bisa diterima dan dikembangkan lebih lanjut. Sedangkan menurut Bourdieu, dalam arena sosial (field) aneka bentuk modal, yaitu modal ekonomi, modal sosial, dan modal budaya disirkulasikan, dikontestasikan, dan ditransformasikan. Dari sini budaya kreatif dapat didefinisikan sebagai “bagaimana modal budaya (berupa ketrampilan, pengetahuan, tatakrama, dan mandat) disirkulasikan, dikontestasikan, dan ditransformasikan dengan modal ekonomi dan modal sosial untuk menghasilkan sesuatu yang baru dalam suatu arena sosial tertentu”.

Dalam suatu rekayasa sosial, atau tepatnya rekayasa sosioteknikal – rekayasa sosial dengan melibatkan secara khusus objek-objek teknis-, modal budaya berperan dalam menggerakkan masyarakat. Artinya, serangkaian pengetahuan, ketrampilan, tatakrama, dan mandat (sebagai modal budaya) dalam menciptakan aneka objek teknis bisa ditransformasikan dengan modal ekonomi dan modal sosial untuk menggerakkan masyarakat. Di sini, masalah rekayasa sosioteknikal akan menyangkut nilai-nilai tertentu yang digunakan sebagai referensi dalam upaya menggerakkan masyarakat.

Dalam hal ini, ada dua hal yang perlu dilakukan. Pertama, perlunya rumusan pengetahuan yang lebih terstruktur (structural knowledge) dari berbagai pengalaman praktis rekayasa sosioteknikal. Hal yang pertama ini memerlukan pendekatan ontologis, dan menjadi penting buat para peneliti. Kedua, menurunkan aspek ontologis dari berbagai kasus praktis ke dalam kerangka yang lebih praktis. Yang kedua ini penting buat mahasiswa.

Ini sebuah batu pijakan (stepping stones) dari rangkaian pemikiran bagaimana desain bisa menjadi agen untuk perubahan yang lebih baik untuk masyarakat luas.

 

Arsitektur Terakota sebagai “Social Lab”

Artikel dipublikasikan dalam Media Indonesia, Selasa, 18 Oktober 2022

Ekomadyo dkk (2022) – Arsitektur Terakota Social Lab (Media Indonesia 18 Okt 2022)

 

Berbeda dengan kalangan saintis, pengetahuan yang dibangun dalam disiplin arsitektur lebih banyak didapatkan dari praktik desain dalam menyelesaikan persoalan tertentu.  Jika para saintis mengandalkan laboratorium untuk membangun pengetahuannya, maka “laboratorium” bagi arsitek adalah dunia aneka tempat di mana arsitek berpraktik dan bekerja. Meski banyak mengandalkan pengetahuan tacit yang melekat pada dirinya, saat berpraktik dalam “laboratorium masyarakat” arsitek sebenarnya tengah membangun pengetahuan, selayaknya seorang ilmuwan, ketika ia bisa merefleksikan pengalamannya tersebut  (Ekomadyo, 2017).

Konsep “laboratorium masyarakat” muncul ketika para peneliti berinteraksi dengan masyarakat, melakukan banyak negosiasi, untuk bereksperiman terhadap pengetahuan tertentu dalam menyelesaikan permasalahan di masyarakat (Yuliar, 2011). Dalam praktik pengabdian masyarakat, dikenal istilah “social hub”, yaitu orang-orang yang mampu menghubungkan pemikiran yang dikembangkan di universitas dengan praktik keseharian di masyarakat (Ihsan & Sachari, 2015). Jika istilah “social hub” merujuk pada keberadaan orang, sekelompok orang, atau tempat tertentu, “social lab” lebih merujuk pada aktivitas orang pada tempat tersebut. Maka selayaknya laboratorium, konsep “social lab” memfokuskan diri pada bagaimana pengetahuan diproduksi lewat aneka upaya ujicoba gagasan baru dari interaksi para intelektual saat berinteraksi dengan masyarakat dalam rangka menyelesaikan suatu permasalahan tertentu.

Tulisan ini merupakan  refleksi dari tim ITB dalam melaksanakan kegiatan pengabdian kepada masyrakat tahun 2021-2022 tentang desain dan konstruksi Arsitektur Terakota di alun-alun Desa Jatisura, Jatiwangi, Majalengka. Kegiatan ini dimaksudkan untuk merespon gerakan Kota Terakota yang diinisiasi oleh komunitas seni Jatiwangi Art Factory (JAF) untuk mengangkat kembali harkat budaya tanah liat di kawasan ini yang telah terdisrupsi oleh aneka industri. Gerakan Kota Terakota pada prinsipnya mendorong pembangunan sarana dan prasarana kota yang menggunakan aneka ragam produk terakota, sehingga diversifikasi produk ini diharapkan mampu menghela produksi dan meningkatkan nilai produk dari usaha berbasis tanah liat di kawasan ini. Dari riset yang telah dilaksanakan sebelumnya (Ekomadyo, dkk. 2023), ditemukan bahwa gerakan ini telah memberikan dampak bagi sebagaian besar pengusaha terakota di Jatiwangi dan sekitarnya secara sosial, sebagai promosi akan budaya terakota, namun belum memberikan dampak ekonomi yang bisa menggerakkan aneka usaha diversifikasi produk terakota. Berbasis temuan tersebut, maka arsitektur terakota di alun-alun Desa Jatisura dimaksudkan sebagai etalase dari aneka produk diversifikasi terakota yang sudah diinisiasi oleh beberapa pengusaha terakota, agar bisa dilihat dan menginspirasi publik dalam membangun sarana dan prasarana bertema terakota.

Sebagai sebuah upaya ujicoba dalam kerangka inovasi, proses desain dan konstruksi arsitektur terakota ini menemui banyak jalan berliku, meski tetap membawa banyak pengetahuan. Desain sendiri merupakan proses percakapan, sehingga dalam mendialogkan material, bentuk, pengguna, dan konstruksi menjadi pertimbangan penting dalam pemikiran desain. Sedangkan proses konstruksi yang melibatkan masyarakat juga menemui aneka kendala terutama dalam mempertahankan misi pemberdayaan saat berhadapan dengan keterbatasan pengetahuan dan kompetensi teknis masyarakat setempat. Namun ketika diniatkan sebagai social lab, aneka strategi dan taktik yang dikembangkan oleh tim ITB dalam menyiasati aneka permasalahan dan kendala merupakan sumber pengetahuan tersendiri. Tulisan ini pun merupakan bentuk diseminasi pengetahuan sebagai hasil refleksi praktik desain dan konstruksi, dengan Arsitektur Terakota di alun-alun Desa Jatisura sebagai kasus studi.

Sebagai sebuah social lab, maka proses desain dan konstruksi Arsitektur Terakota di alun-alun Desa Jatisura dilihat sebagai proses pembelajaran kolektif. Istilah kolektif, dalam tulisan ini, diturunkan dari Teori Jaringan-Aktor (Actor-Network Theory/ ANT), yang melihat fenomena sosial  yang sarat dengan objek-objek teknis (Latour, 2005, Yuliar, 2009). Sebagai proses sosial, desain selalu melibatkan banyak pihak dengan sudut pandang, kepentingan, dan preferensi masing-masing (Dorst, 2003). Dengan perspektif pembelajaran kolektif, maka objek arsitektur yang dirancang dan dibangun menjadi proses pembelajaran masing-masing, ketika berinteraksi dengan orang-orang lain. (Ekomadyo, dkk., 2019). Dengan berinteraksi dengan masyarakat, maka yang terjadi adalah rajutan pembelajaran (learning assemblage), di mana terjadi translasi dan koordinasi antar pelaku yang terlibat (McFarlane, 2006).

 

Referensi

  1. Dorst, K. (2003). Understanding Design: 175 Reflections on Being a Designer. BIS Publisher.
  2. Ekomadyo, A.S. (2017). Reflective Practitioning: Belajar Menarik Nilai-nilai dari Pengalaman Kerja Arsitek. Artikel dalam media Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia, 9 Agustus 2017 (https://iplbi.or.id/reflective-practitioning-menarik-nilai-nilai-dari-praktik-arsitek/)
  3. Ekomadyo, A.S., Riyadi, A., Rusli, S. Aditra, R.A. (2019), The Role of Built Environment In Collective Learning: The Case of Rumah Sahabat Salman. MIMBAR: Journal of Social and Development. Vol. 35, No. 2, hlm. 309-316, doi: https://doi.org/10.29313/mimbar.v35i2.4811
  4. Ekomadyo, A.S., Wijaya, N., Vardhani, V.J., Maulana, A.T., Suhendar, H., Susanto, V. (2023). Field of Creative Culture: A Study of Creative Movement and Innovation of Terracotta Culture in Jatiwangi, West Java, Indonesia. Paper submitted to Creativity Studies. Status: accepted (will be published in early of 2023).
  5. Ihsan, M. & Sachari, A. (2015). ‘Catalyst Institute’ as a Bridge Between Craftsmen and Markets In Indonesian Craft Industry. Arts and Design Studies,33, https://www.iiste.org/Journals/index.php/ADS/article/view/23712/24283
  6. Latour, B. (2005). Reassembling the Social: An Introduction to Actor-Network-Theory. Oxford University Press
  7. McFerlane, C. (2006). Learning the City: Knowledge and Translocal Assemblage. Wiley-Blackwell.
  8. Silmi, G.F. (2020). Tentang Terakota: Mengetalasekan Terakota. Suatudio, Bandung
  9. Yuliar, S. (2009) Tata Kelola Teknologi: Perspektif Teori Jaringan-Aktor. ITB Press, Bandung.
  10. Yuliar, S. (2011). Transformasi Penelitian ke dalam Inovasi. Dewan Riset Nasional, Jakarta