Religiosities as Cultural Capital for Scientific Writing

2 Poster Workshop SIM

Disampaikan pada: Workshop Penulisan Makalah Ilmiah Simposium Ilmiah Masjid V “Menghadapi Transformasi Teknologi dan Perubahan Generasi dengan Gerakan Keberlanjutan dari Masjid”, Asosiasi Masjid Kampus Indonesia, Bandung, 25 November 2023

Artikel:Ekomadyo (2023) – Religiousity and Scientific Writing Manner (Worshop SIM)

Tulisan ini diawali dengan ungkapan “Kekuatan Iman”. Ungkapan ini disampaikan oleh Pak Hermawan K. Dipojono dalam sebuah pengajian haji di Mina, tahun 2010. Lewat metafora sebuah negara adidaya yang mengerahkan sumber daya untuk mencegah senjata nuklir di negara lain, beliau menggambarkan bahwa kepercayaan, yang belum tentu ada bukti valid, bisa menggerakkan orang. Lewat metafora itu, beliau menyatakan bahwa muslim itu punya iman, dan iman itu bisa menjadi sumber kekuatan untuk menggerakkan sesuatu.  Artinya, sebagai seorang yang beriman (as believers) iman merupakan sumber kekuatan untuk bagi diri sendiri misalnya beramal, bahkan menggerakkan orang untuk berbuas sesuatu demi kemaslahatan bersama.

Dalam perspektif inovasi, kekuatan iman itu bisa diterjemahkan sebagai  “religiousity as cultural capital for innovation and research”.  Istilah ini muncul dari temuan riset bagaimana inovasi berbasis pengetahuan astronomi bisa mampu memberikan dampak secara ekonomi dan sosial kepada masyarakat sekitar (Santri, dkk., 2019, Ekomadyo, dkk., 2020, Aditra & Ekomadyo, 2021). Cultural capital, atau modal budaya, diartikan sebagai pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skills), tatakrama (manners), dan mandat (credentials) yang didapatkan melalui pendidikan dan pengasuhan (Bourdieu, 1986, Dovey, 2010). Modal budaya tersirkulasi dan bisa saling ditransformasikan ke dalam modal sosial dan modal ekonomi (Swartz, 1997). Dalam banyak kasus, banyak orang atau komunitas yang mengembangkan inovasi dimulai dengan modal budaya dahulu, baru kemudian menjadi modal ekonomi melalui modal sosial. Ini terjadi, misalnya, pada komunitas pecinta kopi manual di Bandung, yang memulai bisnis kopi dari kedai sederhana, penyelenggaraan event komunitas, hingga mampu membangun café yang punya nilai komersial yang tinggi (Ekomadyo, 2019). Beberapa aktivis muslim ternyata mengartikulasikan kekuatan iman dalam upaya gerakan pemberdayaan masyarakat, dan artikulasi ini bersifat variatif tergantung dari latar belakang aktivis dan konteks spatio-temporal gerakan yang dilakukan.

Mengapa menulis perlu diniatkan sebagai ibadah? Mengapa keimanan muslim perlu ditransformasikan ke dalam riset dan inovasi? Apakah religiusitas muslim yang berisi keimanan terhadap penugasan sebagai manusia di bumi, bisa menjadi modal budaya untuk menghasilkan pemikiran dan pengetahuan yang bisa berdampak untuk masyarakat banyak?

Ada beberapa alasan muslim cendikia perlu mendidekasikan diri ke dalam dunia riset dan inovasi. Pertama, kemajuan suatu masyarakat ternyata ditentukan oleh penguasaannya akan teknologi yang didukung oleh temuan-temuan ilmiah berbasis sains. Contoh terbaru adalah perkembangan Cina sebagai kekuatan yang berpengaruh di dunia, yang semakin terasa ketika negeri ini mengembangkan riset dan inovasi setelah mengembangkan kekuatan buruh, petani, dan pengusaha (Iskan, 2023). Sebelumnya, negeri Jepang juga menjadi negara maju karena adanya etos adopsi teknologi dengan metode mengamati dan meniru dari apa yang dilakukan negara Barat. Bahkan negara-negara Barat pun, seperti Amerika ketika Abad ke-20 atau Eropa pada masa Kolonialisme, juga menjadi negara-negara yang berpengaruh karena penguasaannya akan teknologi dan ada ilmu pengetahuan yang menjadi dasar pengembangannya. Bahkan kemajuan peradaban Islam Abad Pertengahan pun juga ditandai dengan kemajuan dan penghargaan terhadap ilmu pengetahuan.

Kedua, munculnya kritik terhadap determinisme pengetahuan modern dan potensi kontribusi para cendekiawan muslim (muslim scholar). Modernisme yang deterministik banyak dinilai mengabaikan aspek humaniora, termasuk spiritualitas manusia, sehingga ilmu pengetahuan modern dianggap kurang memberikan ruang bagi pencarian makna tentang kehidupan. Ilmu pengetahuan modern lemah dalam menjawab hidup untuk apa. Beberapa Ilmuwan muslim mencoba melakukan harmonisasi antara spiritualitas yang dikembangkan dalam dunia islam untuk mengisi kekosongan makna dari sains modern yang dianggap terlalu deterministik dan materialistik (Guessoum, 2010).

Ketiga, adanya upaya reaktualisasi keilmuan klasik Islam agar relevan dengan ilmu pengetahuan modern saat ini. Diakui, tradisi keilmuan klasik pada Abad Pertengahan memberikan kontribusi signifikan pada semangat Pencerahan (Rennaissance) yang mendorong masyarakat Eropa untuk maju dengan mengembangkan ilmu pengetahuan. Beberapa ilmuwan muslim saat itu, seperti Ibnu Khaldun, diakui sebagai salah satu peletak dasar disiplin Ilmu Sosial Modern (Ritzer & Stepnisky, 2017). Dedikasi dalam tradisi muslim klasik sebenarnya masih berlangsung hingga saat ini, namun karena ini banyak berlangsung secara informal, etos ini tidak banyak diketahui oleh masyarakat modern (Shihab, 2020). Perlu berbagai terobosan agar etos kecintaan terhadap ilmu masih ada pada tradisi keilmuan Islam klasik agar bisa selaras (aligned) dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern (Madjid, 1999).

Dari ketiga argumen tersebut, maka menulis ilmiah, bisa menjadi ibadah karena tiga hal di atas: memajukan masyarakat, berkontribusi pada kemajuan pengetahuan modern dari aspek spiritualitas dan makna hidup, dan mereaktualisasi tradisi keilmuan Islam agar lebih diakui oleh kemajuan pengetahuan modern. Ketiganya bisa menunjukkan bagaimana Islam menjadi “Rahmat lil Alamin”. Dengan “Bismilah”, menulis ilmiah akan bisa bernilai sebagai “Ilmu yang Bermanfaat”, paling tidak etos untuk tekun dalam menuliskan pemikiran agar menjadi pengetahuan yang terstruktur, bisa menginspirasi orang lain dalam melakukan hal serupa. Ada kemanfaatan secara kultural terhadap sikap yang dibangun.

Meneladani para muslim yang menjadi ilmuwan yang berpengaruh di dunia, ternyata ditemukan ada konsistensi dan persistensi dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan (Abdullah, 2017). Konsistensi dan persistensi ini ternyata juga menjadi etos para ilmuwan secara umum, di mana pengetahuan yang mereka kembangkan kemudian memberikan manfaat kepada dunia. Dalam lingkup yang lebih kecil, penulis bersama para peneliti yang lain dalam sebuah forum diingatkan untuk memilih bersusah payah dalam menuliskan hasil penelitian dalam forum ilmiah bereputasi, daripada memilih jalan pintas lewat calo atau jurnal predator: budaya ilmiah lebih menghargai jerih payah seseorang.  Konsistensi dan persistensi ini dalam bahasa Islam disebut sebagai al istiqamah. Dalam al Quran, istilah ini kita baca secara berulang-ulang lewat “ih dina al shirath al mustaqim” (Al Quran: 1:6).

Bagi diri sendiri, menulis sebenarnya cara paling akuntabel dalam melatih cara berpikir. Dengan menulis, kita melatih diri untuk menstrukturkan pemikiran. Ada proses di dalam pikiran ketika gagasan muncul, kemudian dituliskan sementara, diendapkan, distrukturkan, dibaca ulang, lalu dituliskan kembali agar bisa dipahami oleh pembaca. Ada proses berlatih berpikir saat menulis.

Menulis ilmiah adalah cara mengembangkan diri, terutama pengembangan intelektualitas bagi seseorang. Bagi muslim, intelektualitas ini menjadi penting ketika dunia Islam perlu mendapatkan pengakuan dan penghargaan oleh masyarakat modern. Dan jika ini terasa berat karena belum menjadi kebiasaan dan budaya, maka konsistensi dan persistensi dibutuhkan agar kebiasaan dan budaya itu bisa tumbuh dan berkembang. Dan seperti ketika kita kesulitan saat mendapatkan ujian hidup yang menjadi syarat agar kita bisa menjadi lebih baik, maka saatnya ada satu tujuh ayat yang kita baca berulang-ulang yang relevan untuk kita hayati: “Ihdina al shirath al mustaqim”.

Referensi:

Al Quran al Karim

Abdullah, M. (2018). Kita Harusnya Malu dan Tersinggung. Paparan di Masjid Salman, 7 April 2018

Aditra, R.F., & Ekomadyo, A.S. (2021).  Adoption of Innovation in Segregated Construction Project. Jurnal RUAS (ISSN 1693-3702 E-ISSN 2477-6033), 19 (1) 57-67, https://ruas.ub.ac.id/index.php/ruas/article/view/304/0

Bourdieu, P. (1986). The Forms of Capital. Richardson, J.G. (ed). Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education, New York: Greenwood Press.

Dovey, K. (2009). Becoming places: urbanism/architecture/identity/power. Routledge.

Ekomadyo, A.S., dkk. (2020). Membina Lingkungan Lewat Inovasi Sosial, Belajar dari Imahnoong dan Pasar Purnama Lembang. Penerbit YPM Salman ITB Bidang Pengkajian dan Penerbitan. ISBN 978-623-91847-2-8

Ekomadyo, A.S. (2019).  Bandung Kota Kafe: Produksi Ruang Kafe oleh Komunitas Kopi di Kota Paris van Java. Book Chapter pada Novianto, M., Nuzir, F.A., dan Maha Putra, I N.G (2019). Antologi Kota Indonesia #2. ISBN: 978-602-5615-832. OMAH Library, Jakarta.

Guessoum, N. (2010). Islam’s Quantum Question: Reconciling Muslim Tradition and Modern Science. London: LB Tauris and Co,

Iskan, D. (2023). Teladan Dari Tiongkok. Pustaka Obor Indonesia.

Madjid, N. (1999). Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Mizan

Ritzer, G. & Stepnisky, J.N. (2017). Modern Sociological Theory. SAGE Publications

Saliba, G. (2007). Islamic Science and the Making of the European Renaissance. The MIT Press

Santri, T., Ekomadyo, A.S., Aditra, R.F. (2019). Genius Loci Kampung Areng di Lembang. Studi Kasus: Wisata Astronomi Imah Noong di Desa Wangunsari Kampung Eduwisata Areng Lembang Kabupaten Bandung Barat.  Jurnal TIARSIE, 16 (4), 121-124. DOI: https://doi.org/10.32816/tiarsie.v16i4.68,

Swartz, D. (1997). Culture and Power: The Sociology of Pierre Bourdieu.  The University of Chicago Press.

Shihab, N. (2020).  Lebih Dekat dengan Gus Baha (Part 1), Shihab & Shihab. https://www.youtube.com/watch?v=TDspKy-JHNU&t=851s

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *