Kreativitas vs Prosedur dalam Desain Pasar Rakyat

Catatan dari Sosialisasi Persiapan Pasar Rakyat ber-SNI, Cirebon, 20 Agustus 2019 dan Depok, 12 September 2019, dan Pelatihan Manajemen Pasar Rakyat di Kabupaten Bandung, 14 November 2019

Bagi arsitek, kreativitas seolah-olah adalah segalanya. Bayangkan kalau tidak kreatif, tentu arsitek tidak terlalu dibutuhkan. Maka sering arsitek agak alergi dengan perancangan yang diikat dengan prosedur tertentu. Sebagai contoh, rumusan tentang kriteria rancangan pasar rakyat yang dibuat penulis tidak banyak dijadikan panduan bagi mahasiswa untuk mengukur kinerjanya dalam merancang pasar rakyat. Mahasiswa lebih memilih mengujicobakan olah-logika dan olah-bentuk-ruang yang lebih mengasyikkan dalam dalam merancang pasar, daripada mengecek hasil rancangan menurut kriteria tersebut. Arsitek eksis karena mampu menghasilkan hal-hal yang baru dalam rancangan lingkungan binaan. Mahasiswa arsitektur pun lebih membuat pembimbing terkesan atas kreativitasnya daripada ketaatannya pada kriteria dan prosedur tertentu.

Namun pada kenyataannya, pengetahuan tentang wujud arsitektur yang baik tidak dipunyai oleh semua orang. Maka, muncul suatu pernyataan bahwa, karya arsitektur yang baik bukan hanya ditentukan oleh arsitek yang kompeten, namun juga klien yang punya pengetahuan memadai tentang arsitektur. Ketika berhadapan dengan klien yang tidak punya pengetahuan memadai tentang wujud arsitektur yang baik, arsitek akan menghadapi dilema: antara idealisme mewujudkan karya atau pragmatisme menuruti keinginan pemberi tugas.

Dalam perancangan pasar rakyat, kreativitas arsitek akan berhadapan dengan banyak kepentingan dari stakeholder, yang belum tentu semuanya punya pengetahuan yang sama tentang wujud arsitektur yang baik. Ketika diminta menjadi ketua tim perumus SNI tahun 2015 lalu, paper penulis tentang kriteria desain pasar rakyat (https://temuilmiah.iplbi.or.id/wp-content/uploads/2012/10/TI2012-01-p001-004-Isu-Tujuan-dan-Kriteria-Perancangan-Pasar-Tradisional.pdf) pun mengalami reduksi luar biasa setelah mengalami pembahasan dengan stakeholder. Dan ketika harus men-sosialisasikan SNI tersebut, reduksi kembali terjadi, agar substansi menjadi ringkas dan bisa secara instan dipahami dan dilaksanakan oleh para pemangku kepentingan pasar rakyat. Tentu menjadikan pasar rakyat ber-SNI adalah cita-cita para pemangku kepentingan, namun dengan kesibukan mengelola pasar sehari-hari dan keterbatasan kapasitas yang dimiliki, mereka tidak punya waktu dan kapasitas cukup untuk melakukan olah-logika dan olah-bentuk-ruang seperti para arsitek dan mahasiswa arsitektur.

Menurunkan substansi perancangan arsitektur ke dalam prosedur yang ringkas merupakan tantangan tersendiri bagi penulis. Reduksi terhadap kualitas arsitektur? Sebentar dulu… Sebagai arsitek yang mendalami Actor-Network Theory (ANT), ini bukan reduksi, tetapi membuat “script” baru. Dalam ANT, “script” dipahami sebagai serangkaian gagasan, teks, prosedur, dan objek-objek teknis yang dibuat oleh aktor agar orang lain untuk berbuat tertentu. Nah, prosedur ini penulis buat agar para pengelola “melek” desain pasar secara “instan”. Metode “checklist” dan “command and control” bisa jadi lebih efektif untuk memasukkan desain arsitektural menjadi bagian penting dalam tatakelola pasar rakyat.

Show must go on. Sejauh mana pendekatan ini berhasil menciptakan pasar-pasar dengan desain arsitektur yang baik, hasilnya kita tunggu. Sebagai peneliti pasar, apa pun wujudnya, tetap akan menghasilkan pengetahuan baru. Mengutip Latour: “.. the social is further detected through the surprising movements from one association to the next; those movements can either be suspended or resumed…”. Artinya, pendekatan Latourian dalam desain arsitektur membuka ruang bagi desain arsitektur untuk diletakkan dalam suatu relasi sosio-teknis yang terus bergerak…

 

Materi sosialisasi SNI dapat diunduh di sini:

Ekomadyo (2019) – Prosedur Menyiapkan Pasar yang Ber-SNI

Ekomadyo (2019) – Manajemen Pengelolaan Pasar Ber-SNI (Pelatihan Manajemen Pasar Kab Bandung)

Menulis sebagai Refleksi

(Catatan dari materi pelatihan “School of Intellectual Writing Skills: Writing Has Been Never Easier”, Keluarga Muslim Pascasarjana ITB [KAMIL], 31 Agustus 2019)

Mengapa menulis itu penting? Ada segudang argumentasi: mulai dari bahwa sejarah manusia dimulai dari tulisan, bagaimana tulisan itu representasi paling akurat dari pengetahuan, sampai motivasi pragmatis untuk kewajiban mahasiswa atau dosen. Namun menulis bias dilihat sebagai sesuatu yang mengasyikkan, karena menjadi sarana untuk mengekspresikan diri. Menulis bisa juga menjadi sarana untuk menstrukturkan aneka gagasan yang berkecamuk di dalam benak.

Namun menulis bisa jadi sarana refleksi. Seperti kata Ebiet G. Ade, menulis bisa menjadi sarana untuk “… tengoklah ke dalam sebelum bicara, singkirkan debu yang masih melekat…”. Dan bagi saya, setelah hampir 30 tahun serius menulis, saya membagi menulis menjadi dua hal: menulis sebagai ekspresi diri dan menulis sebagai bagian dari pekerjaan. Yang pertama biasanya menjadi materi dari berbagai training tentang penulisan, yang bertujuan memberikan motivasi peserta untuk menulis. Yang kedua, ini ketika dunia akademis, termasuk dosen dan mahasiswa, ditarget untuk membuat tulisan ilmiah dalam jurnal bereputasi. Kadang keduanya baur, kadang yang satu mempengaruhi yang lain. Sebuah hobby bisa menjadi profesi, namun sebaliknya, profesi bisa dinikmati selayaknya hobby.

Dunia tulis menulis memang berkembang terus. Apa yang diajarkan dulu, bisa kadaluwarsa kini. Maka ketika menulis menjadi sarana refleksi, kita tahu sekarang kita ada di mana, dengan melihat apa yang terjadi di sekitar kita, pergerakan dan perubahan apa yang tengah berlangsung.

Materi Pelatihan: Ekomadyo 2019 – Menulis Sebagai Refleksi (School Intellectual KAMIL)