Jalan Ilmu Pengetahuan: Belajar Lewat Tindakan

Catatan dari Seminar Ilmiah Pascasarjana #3, Menjadi Peneliti Profesional dengan Etos Kerja Tinggi dan Beretika, Keluarga Mahasiswa Islam (KAMIL) Pascasarjana ITB, Sabtu, 21 Oktober 2023

Materi Presentasi: Ekomadyo (2023) – Jalan Ilmu Pengetahuan Muslim Cendekia (Seminar KAMIL)

Sebagai orang yang dididik menjadi arsitek, perlu ada beberapa strategi ketika diminta berbicara tentang ethos dan ethics dalam penelitian. Ada tiga “dunia yang berbeda”: dunia arsitektur, dunia penelitian, dan dunia ethos dan ethics. Apalagi jika dikaitkan dengan Islam, tentu semakin beraneka dunia yang perlu dilihat dan coba untuk dirajut. Untuk melihat sesuatu yang berbeda dalam suatu kesatuan, pendekatan filosofis menjadi penting.

Pendekatan filosofis ini perlu dilakukan karena tradisi meneliti bukan menjadi tradisi profesi arsitek yang lebih berorientasi pada penerapan kreativitas untuk pemecahan masalah. Menjadi peneliti adalah kewajiban pengajar di universitas pada masa kini, termasuk dalam bidang arsitektur. Di dunia profesi arsitektur memang ada kode etik arsitek, namun rasanya kode-kode (aturan yang disepakati bersama) dalam dunia profesi arsitek rasanya berbeda dengan ethics dan ethos dalam penelitian.

Lalu, pendekatan filosofis apa yang saya pilih? Tentu tidak jauh dari ontologi Teori Jaringan-Aktor, yang mendasarkan kajiannya dengan “following someone doing something”. Dengan ontologi ini, maka belajar arsitektur sejatinya adalah “following architect design something”, atau “following architect in action”. Dalam bahasa praktisnya adalah magang, nyantrik, atau apprentices. Artinya, beyond code, belajar etika dalam dunia arsitektur adalah lewat magang dari arsitek: nilai-nilai apa yang dia anut, bagaiama jika ada pertentangan nilai, dan bagaimana konsisten dan membangun adaptasi dari pertentangan nilai tersebut.

Dari pendekatan ini, maka cara mem-follow arsitek dalam membangun ethics dan ethos saya transformasikan untuk berbicara tentang ethics dan ethos dalam penelitian: following scientists in action. Sama seperti arsitek, ketika mereka bekerja dan bertindak, bagaimana membangun nilai-nilai, penyesuaian-penyesuaian, dan konsistensi, menjadi hal yang penting untuk dipelajari. Learning ethics and ethos from someone’s action.

Dengan demikian, metode ini tidak terlalu sulit untuk menjelaskan bagaimana ethics dan ethos untuk dunia Islam: following Muslim Scholar in Action. Bagaimana para Muslim Scholar membangun ethos dan ethic mereka. Sebagai muslim, tentu mereka mengambil al Quran sebagai referensi. Dan ternyata, banyak variasi dalam artikulasi nilai-nilai Islam dalam tindakan, dan ini ditentukan oleh dua hal: latar belakang sang Muslim dan konteks ruang waktu yang dihadapi. Dalam ANT dikenal circulating references: ini bisa menjelaskan bagaimana para Muslim Cendekia mengartikulasikan pesan-pesan dalam al Quran dalam menempuh jalan Ilmu Pengetahuan.

Modal Budaya dalam Tatakelola Pasar Rakyat Menghadapi Disrupsi Teknologi

Catatan dari Sosialisasi  Pembinaan Pasar Rakyat Strategi Pengelolaan Pasar Rakyat di Era Digitalisasi, Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, Pekanbaru, 12 Oktober 2023

Materi presentasi: Ekomadyo (2023) – Modal Budaya Era Digital Pasar Rakyat

 

Sebagai arsitek yang mendalami pasar rakyat, adalah menjadi tantangan tersendiri untuk membawa discourse tentang pasar rakyat ke dalam discourse arsitektur dan begitu pula sebaliknya. Sampai saat ini, dunia arsitektur lebih banyak berorientasi pada masalah teknis tentang wujud bangunan yang baik. Di sisi lain, di Indonesia, masalah pasar rakyat masih lebih banyak pada aspek tatakelola: lebih banyak masalah sosial daripada masalah teknis. Menjadi pertanyaan yang perlu dijawab, bagaimana aspek-aspek teknis yang menjadi concern arsitektur bisa relate dengan permasalahan sosial yang lebih banyak berada di pasar rakyat.

Adalah Kim Dovey (2010), pemikir Arsitektur dan Urbanisme, yang mampu memformulasikan aspek teknis, dalam hal ini ruang arsitektural, dengan aspek sosial. Kata beliau: “if space is socially constructed, the social is spatially constructed”. Artinya, ada relasi mutual antara ruang arsitektural dengan ruang sosial: ruang arsitektur membentuk karakter sosial, dan sebaliknya, ruang sosial juga membentuk representasi arsitekturalnya. Arsitektur pasar yang baik akan dihasilkan oleh tatakelola yang baik, dan sebaliknya, tatakelola pasar yang baik akan mewujudkan arsitektur pasar yang baik pula.

Selanjutnya, dengan mengutip Bourdieu (1986), Dovey menyebut peran arsitek dan karya arsitekturnya sebagai Cultural Producters (Produsen Budaya). Peran ini saya sederhanakan dengan peran arsitek lewat karya arsitekturnya adalah membuat suatu kelompok masyarakat menjadi “naik kelas”. Arsitek yang mampu menjalankan perannya sebagai cultural producer bagi pasar rakyat adalah Thomas Karsten. Lewat pengetahuannya tentang lokalitas dan budaya masyarakat setempat, dipadukan dengan kompetensi teknis sebagai arsitek, Karsten bisa menjadikan pasar-pasar yang ia rancang, antara lain Pasar Djohar Semarang dan Pasar Gede Surakarta, sebagai kebanggaan warga kota tersebut.

Ketika berbicara disrupsi, saya memilih berbicara tentang modal budaya (cultural capital) daripada teknologi. Menurut Bourdieu (1986), modal budaya adalah pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill), tatakrama (manners), dan mandat (credentials) yang didapatkan lewat pendidikan, pengasuhan, dan pemagangan. Modal budaya tersirkulasi dan saling bisa ditransformasikan dalam arena sosial bersama modal ekonomi dan modal sosial. Dengan demikian, modal budaya relatif ada dalam kendali dari orang-orang yang mempunyainya. Berbeda dengan teknologi, bisa berubah setiap saat, dan sering di luar kendali dari orang-orang yang terkena dampak teknologi tersebut. Pengalaman seorang kepala pasar, ketika mengenalkan teknologi baru ke pedagang pasar, perlu kesabaran tertentu, karena sebagian besar pedagang sudah sepuh. Kesabaran, merupakan bentuk tatakrama (manners), sebagai modal budaya yang dipunyai kepala pasar tersebut.

Lebih dalam dari itu, Widiastuti (2018) memilih perjalanan spiritual manusia saat menjelaskan industri 4.0. Dengan mengambil metafora dari cerita Pinokio si Boneka Kayu, Widiastuti menjelaskan bahwa teknologi bisa membuat manusia terdistraksi dalam aneka kesenangan sementara, seperti pinokio yang terdistraksi dari perjalanan ke sekolah seperti permintaan penciptanya, Gepeto. Distraksi tersebut kemudian membuat Pinokio terjebak menjadi keledai yang justru tereksploitasi oleh kesenangan sementara tersebut. Di akhir cerita, Pinokio si Boneka Kayu menjadi anak manusia, karena mampu mengarung ke dalam samudra menyelematkan sang pencipta, Gepeto. Lewat cerita ini, Widiastuti mengingatkan, apa pun perkembangan teknologi, perjalanan untuk menjadi manusia seutuhnya: jatidiri sebagai manusia

Lalu, apa jatidiri pasar rakyat di Indonesia? Ketika sedang memulai program revitalisasi di Indonesia, terbit sebuah buku yang ditulis oleh para akademisi, pengambil kebijakan tingkat pusat dan daerah, perwakilan pengelola, dan perwakilan pedagang. Buku itu berjudul “Rumah Ekonomi Rumah Budaya” (Basri, dkk., 2016). Judul tersebut menunjukkan, ada nilai-nilai budaya yang tercipta dalam aktivitas jual beli di pasar rakyat. Salah satu kontributor buku itu adalah mantan Walikota Surakarta yang kemudian menjadi presiden RI, yang menyebutkan konsep “ngewongke” (memuliakan manusia) sebagai kunci dalam aneka program revitalisasi pasar. Dalam tradisi masyarakat Jawa, dikenal istilah “Mantri Pasar”, di mana konsep “ngewongke” perlu diartikulasikan oleh kepala pasar dalam tataran praktis: mengelola kepentingan para pelaku pasar. Seorang Mantri Pasar perlu kapasitas menata relasi kuasa, dan ini akan terkait dengan menata ruang-ruang di pasar rakyat (Kuntowijoyo, 1994).

Dalam tatakelola pasar rakyat, modal budaya terbentuk karena relasi antar manusia yang terlibat dalam aktivitas pasar rakyat tersebut. Relasi antar manusia tersebut dimediasi oleh keberadaan aneka objek-objek teknis. Di sini, arsitektur tersusun sebagai komposisi dari aneka-aneka objek teknis tersebut yang memerankan perannya sebagai mediator modal budaya dari para pelaku pasar. Bangunlah jiwanya, bangunlah raganya. Sebagai sebuah raga, arsitektur pasar rakyat yang “excellence” akan mencerminkan jiwa tatakelola pasar yang “excellence” juga. Arsitektur pasa jwa tatakelola pasar rakyat yang excellence juga.

 

Referensi:

Basri, C. (2018). Rumah Ekonomi Rumah Budaya: Membaca Kebijakan Perdagangan Indonesia. Gramedia.

Bourdieu, P. (1986). Form of Capital. Dalam Richardson, J. Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education. Westport, CT.

Dovey, K. (2010). Becoming Places: Architecture/ Urbanism/ Identity/ Power. Routledge.

Kuntowijoyo (1994). Pasar. Gramedia

Widiastuti, I. (2018). Pembangunan, Manusia Indonesia, dan Petualangan Pinokio. Talkshow “Future Challenge”, Homecoming Alumni Magiser Studi Pembangunan, SAPPK ITB, 8 Desember 2018, Gedung CRCS ITB.