“Ngewongke” Pasar lewat Teknologi

Catatan dari “Peningkatan Kemampuan Pengelola Pasar Rakyat”, Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan RI, Selasa 15 Juni 2021

Materi presentasi:Ekomadyo (2021) – SiMantri Pasar menuju Tatakelola Pasar Berkelanjutan

 

“Technology is nothing. What’s important is that you have a faith in people, that they’re basically good and smart, and if you give them tools, they’ll do wonderful things with them”. Itu kata Steve Jobs, dan dunia terinspirasi. Namun Bruno Latour punya bahasa lain: “fourth kind technical mediation is delegation”. Kalau dalam bahasa saya, puncak tertinggi peran teknologi adalah ketika ia bisa menjadi “delegasi kehendak manusia”. Pada tingkat yang lebih “rendah”, teknologi berperan mengintervensi, membangun komposisi, dan menciptakan suasana lewat melipat ruang dan waktu.

Dalam diskursus tentang revitalisasi pasar rakyat, pak Joko Widodo, waktu itu masih walikota Surakarta, menyebut istilah “ngewongke” sebagai konsep revitalisasi Pasar Rakyat di Surakarta. Diceritakan kembali kepada penulis oleh mantan Komandan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Surakarta (yang kemudian menjadi Kepala Dinas Pasar Surakarta) saat “menertibkan” Pedagang Kaki Lima (PKL) di Lapangan Banjarsari, walikota –dan didukung oleh wakil walikota Surakarta saat itu- berpesan, berapa dan apa pun senjata yang dipunya oleh Satpol PP, tak satu pun boleh digunakan untuk “menertibkan”. “Ngewongke” harus menjadi pendekatan utama, dan ini terbukti. Masyarakat Surakarta mengadakan kirab untuk memindahkan PKL dari Lapangan Banjarsari ke Pasar Klithikan. Dan ini menjadi salah satu prestasi yang kemudian membawa Walikota Surakarta saat itu dipercaya rakyat menjadi Presiden Republik Indonesia

Namun, apakah “ngewongke” Pasar Rakyat ini masih menjadi concern beliau saat menjadi presiden? Pertanyaan ini saya ajukan ke Staf Ahli Menteri Perdagangan RI bidang Perdagangan dan Jasa, dan beliau menjawab, bahwa Standar Nasional Indonesia (SNI) Pasar Rakyat itu salah satu bentuk “ngewongke” pasar rakyat. Dengan SNI, maka pengelola punya acuan bagaimana kriteria pasar yang baik dan nyaman untuk dikunjungi. Ketika pasar menjadi nyaman dikunjungi, maka ini merupakan bentuk untuk “memanusiakan” atau “ngewongke” pengunjung pasar rakyat.

Dalam perspektif Actor-Network Theory (ANT), SNI merupakan non-human actors, yang bisa berujud abstrak (seperti gagasan, teks, prosedur) atau konkrit (berupa objek-objek teknis c.q. teknologi). Dalam bahasa lain, SNI merupakan soft teknologi yang berperan dalam “memanusiakan” pasar rakyat. Namun demikian, teknologi yang “soft” kurang mampu “memaksa” kehendak manusia. Maka perlu ada teknologi yang lebih “hard”, yang lebih bisa mem-frame kehendak pelaku pasar rakyat untuk memenuhi SNI agar pasar nyaman untuk dikunjungi.

Dan teknologi ini saya namakan “Si Mantri Pasar”. Merupakan akronim dari Sistem Manajemen Informasi Transparansi Pasar Rakyat. Tujuannya, agar tatakelola pasar rakyat bisa transparan, sehingga uang yang beredar di pasar bisa disisihkan untuk perbaikan sarana dan prasarana serta pengembangan sumber daya manusia untuk mewujudkan pasar rakyat yang sesuai dengan SNI secara berkelanjutan. Dan ini masih ujicoba. Namun ketika pra-purwarupa saya cobakan pada “Peningkatan Kemampuan Pengelola Pasar Rakyat”, Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan RI, ternyata respon peserta, para pengelola pasar, ternyata sangat baik. Si Mantri Pasar sebenarnya sebutan untuk “ngewongke” pengelola pasar, karena mereka sesungguhnya adalah “Mantri”, atau “Menteri” yang berwenang dan bertanggungjawab terhadap tatakelola pasar.

Foto Workshop

Keilmuan Real Estate: Perlukah?

Catatan dari  “Webinar SAPPK + SBM ITB Seri 1: ‘What is Real Estate’”, Sabtu, 14 November 2020.

Matei presentasi: Ekomadyo (2020) – Real Estate Actors go to School (Webinar SBM SAPPK)

Apakah ada disiplin khusus yang mendalami keilmuan Real Estate? Bukankah ilmu Real Estate itu lebih banyak ada di lapangan? Yang jelas, satu problematika yang terjadi di lapangan, seperti yang diungkap dalam diskusi penulis bersama Aswin Rahadi, adalah, mereka yang biasa menjual (tugas marketing) selalu kebingungan kalau diminta membuat produk yang bagus, sementara mereka yang biasa membuat produk yang bagus (tugas engineer dan arsitek) sering tidak bisa menjual. Atas dasar pemikiran dari lapangan itulah, dibuat Webinar kerjasama antara SAPPK ITB sebagai institusi yang concern pada produk lingkungan binaan yang baik, dan SBM ITB sebagai institusi yang concern pada marketing.

Lalu apa sumbangan pendidikan tinggi untuk dunia Real Estate. Pertama, tentu saja adalah sumber daya manusia (human resources). Ada keunggulan ketika belajar di universitas dibanding belajar di lapangan, yaitu susana akademik: suasana yang mendorong manusia di dalam universitas untuk tetap belajar. Ini seperti diungkapkan oleh Pak Ignesz Kemalawarta, tokoh Real Estate di Indonesia, lewat jaringan pribadi ke penulis “Perjuangannya kita lanjutkan pak untuk mendidik mahasiswa yang mumpuni”.

Kedua, pengetahuan (knowledge). Ini lebih penting, karena menyangkut substansi apa yang akan diajarkan. Seperti kata Piere Bourdieu, pengetahuan merupakan salah satu modal budaya dari seseorang. Dan watak pengetahuan ini akan selalu berkembang dan berubah. Maka, di sini universitas bukan sekadar mencetak sumber daya manusia, namun juga memproduksi dan mengembangkan pengetahuan.

Memang, cara paling sahih dalam memproduksi ilmu pengetahuan adalah meneliti, suatu tradisi yang berkembang pada disiplin sains ketika mengamati fenomena alam. Namun, ternyata ada cara lain dalam mendapatkan pengetahuan, menurut Bruce Archer dan Nigel Cross, yaitu cara penghayatan ala seni dan sastra, dan cara coba-dan-ralat ala disiplin desain. Ini yang kemudian menginspirasi Pak Yuswadi Saliya mengenalkan konsep “Pragma”: pengetahuan dari tradisi berbuat. Memang ada pemikir-pemikir lain yang juga mengembangkan pengetahuan bukan dari fenomena alam, namun dari fenomena manusia bertindak sesuatu. Seperti Piere Bourdieu yang mengembangkan “Theory of Practice”, atau Bruno Latour malah meneliti bagaimana saintis dan insinyur meneliti fenomena alam, membuat formulasi, dan menciptakan aneka teknologi. Meneliti para peneliti, itu yang dilakukan Bruno Latour.

Ketika para pemikir sudah mampu mengembangkan kerangka teoretis untuk meneliti tindakan manusia, maka praktik-praktik para pelaku Real Estate di lapangan merupakan sumber pengetahuan yang bisa dikembangkan oleh universitas. Sesuai dengan namanya, universitas merupakan institusi yang mencoba mengamati, mencari tahu, dan menemukan jawaban dari “universe”, alam semesta. Dan dunia Real Estate merupakan bagian dari “universe”, maka di dalamnya pun banyak muatan-muatan yang bisa menjadi sumber produksi pengetahuan.