Religiusitas dan Lingkungan Binaan: Menelusuri Aktivis Muslim dalam Perubahan Sosial

Cover Latour

Book Chapter “Perspektif Latourian untuk Artikulasi Religiositas dalam Membina Lingkungan untuk Perubahan Masyarakat” dalam buku Membaca Latour (2023)  Penerbit Antinomi

Artikel: Ekomadyo (2023) – Latour unt Lingkungan Binaan Aktivis Muslim (Antinomi_Membaca-Latour)

Konsepsi ANT yang digunakan dalam tulisan ini yaitu problematisasi oleh aktivis, framing strategi perubahan masyarakat, artikulasi religiositas dan dikaitkan dengan artikulasi lainnya, serta dan perubahan yang terjadi dan bagaimana script religiositas ter-lokal-kan pada lingkungan yang terbina.

Saat mahasiswa dulu, ada perdebatan menarik tentang Islam dan Arsitektur. Pertama, istilah yang paling populer adalah “Arsitektur Islam”: sebenarnya istilah ini diberikan para Scholar dari Barat yang mencoba memetakan dunia arsitektur di luar barat: ada Arsitektur Cina, Arsitektur India, dan Arsitektur Islam. Kedua, Arsitektur Masyarakat Islam: yang digunakan oleh Aga Khan Award for Architecture untuk mencari arsitektur yang “excellence” di masyarakat Islam: kadang ada yang terkait dengan nilai-nilai Islam (seperti Pondok Pesantren di Pabelan atau Masjid Said Naum), atau yang tak terkait dan dilihat hanya masyarakat Islam-nya saja (misalnya Citra Niaga di Samarinda atau Kampung Kali Code di Yogyakarta). Nah, yang ketiga adalah mazhab Achmad Noeman: melihat “arsitektur” dan “Islam” tidak dalam perspektif yang “sumpek”: beliau menafsir nilai-nilai Islam dalam perspektif Arsitektur Modern, misalnya prinsip anti kemubaziran (ornament is crime), anti kubah (kejujuran struktur), masjid tanpa tiang (rasionalitas struktur), dll.

Bagi arsitek yang juga aktivis, Pondok Pesantren di Pabelan bisa menjadi benchmark bagaimana “seharusnya” Islam dan Arsitektur itu berpadu. Pada masa itu (1980-an), memang masa-masa ketika upaya gerakan perubahan masyarakat cukup kuat di kalangan aktivis Islam. Dan Pondok Pesantren di Pabelan, beserta pesantren-pesantren lain, menjadi semacam “social laboratory”. Di sini, ada Gus Dur membawa pesantren ini ke dalam jejaring internasional. Dengan masyarakat setempat, ketokohan diperankan oleh Kyai Hammam Da’far yang mendorong para santri untuk “mengislamkan batu-batu di kali” untuk bangunan pesantren. Dan para santri ini diajari seni bertukang lewat kaidah arsitektur yang sederhana oleh Arsitek Achmad Fanani. Ya, betapa gerakan perubahan masyarakat bisa menghasilkan arsitektur yang excellence.

Namun masa berganti, isu perubahan masyarakat di Indonesia sebagai dunia ketiga tak semenarik masa itu. Dan lagi, apakah upaya perubahan masyarakat harus menghasilkan arsitektur yang excellence? Dan apakah upaya perubahan masyarakat tidak melibatkan arsitektur?

Untuk menjawab pertanyaan peran arsitektur dalam upaya perubahan masyarakat, saya menggunakan pendekatan artikulasi dari ANT (Actor-Network Theory). Ada 7 kasus gerakan perubahan masyarakat yang diteliti, termasuk bagaimana peran arsitektur di dalamnya. Dalam perspektif ANT, arsitektur merupakan aktor nonhuman yang bisa menjadi mediator dalam relasi-relasi aktor-aktor manusia (human).

Dari penelusuran tersebut ditemukan, bahwa artikulasi nilai-nilai Islam oleh para aktivis ditentukan oleh dua hal: latar belakang dan konteks spatio temporal. Artinya, artikulasi nilai-nilai Islam untuk perubahan akan sangat variatif, tergantung kedua hal tersebut. Dan wujud arsitektural dalam lingkungan yang terbina juga akan ditentukan oleh kedua hal tersebut.

Dari temuan ini, justru membuat saya melihat perspektif ketiga tentang “arsitektur” dan “Islam”, yaitu following muslim architects in action. Ya, meskipun menafsir Islam dalam perspektif Modern, namun Achmad Noeman tidak kehilangan etos keislamannya. Itu seperti cara menafsir Islam dari aspek kemanfaatan oleh Kyai di Ciwidey ketika membangun pesantren pertanian atau alumni Santri Tebuireng ketika membangun observatorium komunitas. Atau arsitek yang menafsirkan Akhlak al Karimah ketika membangun eco-pesantren. Atau penafsiran dari beberapa aktivis tentang Civic Islam ketika membuat gerakan pengentasan kemiskinan di perdesaan. Dan artikulasi ini ada yang bersifat personal, ada yang bersifat kelembagaan. Yang bersifat kelembagaan, seperti Muhammadiyah, artikulasinya cenderung top-down: menerapkan misi organisasi untuk dakwah di lapangan. Ada lembaga tertentu yang bergerak dengan mengirim aktivis ke pelosok daerah, dan identitas Islam digunakan sebagai dukungan moral terhadap aktivis yang ditugaskan, meskipu di lapangan harus banyak melakukan penyesuaian dan memberikan ruang bagi pelaku setempat dalam kegiatan dakwah tersebut. Ada juga technopark yang dibangun di perdesaan, yang diawali dengan niat kepala desa untuk memperbaiki akhlak warga desanya. Dan aneka artikulasi tersebut melibatkan lingkungan binaan dimana script-script keimanan itu ter-lokal-kan.

Dari pelacakan “muslic activists in action”, ditemukan bagaimana religious script itu ter-lokal-kan dalam lingkungan binaan. Apa itu religious script? Simpelnya adalah bagaimana nilai-nilai religius itu dibaca (kembali) sebagai petunjuk dalam bertindak. Oleh muslim, religiousity itu sering disebut dengan iman. Dulu saat berhaji, Pak Hermawan K. Dipojono mengingatkan kita untuk selalu memperbaharui dan meningkatkan kekuatan iman. Kekuatan iman ini kalau dalam disiplin sosial bisa disebut “religiousity as cultural capital”. Dan lewat ANT, bagaimana kekuatan iman ini mendasari para aktivis dalam bertindak melakukan perubahan masyarakat, dilacak bagaimana script-script keimanan ini tersirkulasi di antara pelaku, dan bagaimana ter-lokal-kan dalam lingkungan yang terbina.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *