Menggambar 20 Tahun ke Depan

Catatan dari Kuliah Tamu “Desain Arsitektur dan Konektivitas Indonesia: sebuah Alternatif Pendekatan Merancang Rest Area di Gerbang Tol Lampung ITERA”, ITERA Webinar Series, Perancangan Pasar dan Perancangan Rest Area, Kamis, 18 November 2021

Materi Presentasi: Ekomadyo (2021) – Perancangan Rest Area (ITERA Webinar Series)

Apa sih hebatnya merancang sebuah area peristirahatan (rest area)? Apa manfaatnya berpikir visioner untuk merancang arsitektur? Mengapa tidak berpikir pragmatis saja: membuat rancangan yang bagus dan layak untuk dibangun? Simpel-simpel aja, mas…

Namun, saat diundang memberikan kuliah tamu di Institut Teknologi Sumatra (ITERA), saya mencoba mengantarkan cara berpikir visioner untuk merancang, bagaimana peran rest area dalam sebuah gagasan besar tentang pembangunan wilayah. Sejujurnya, ini juga menjadi “diclaimer” bahwa saya tidak terlalu kompeten dalam merancang rest-area yang baik dan memenuhi kaidah-kaidah arsitektur secara benar.  Pengalaman merancang sangat minim: sekali membimbing mahasiswa, dan sekali membuat proposal proyek rest area (yang kemudian tidak berlanjut). Bahkan sebagai pengamat, saya lebih punya wawasan bahwa rest area di Indonesia sebagian besar belum “excellent” secara arsitektural. Namun karena sedikit pengalaman dalam membuat proposal rest area tersebut, saya tahu bahwa ada yang lebih dominan daripada sekadar good design, yaitu “how political-economy work”.

Nah, ketika ITERA akan membangun sebuah rest area, bagi saya – ini menjadi sesuatu yang istimewa. Bagi saya secara personal, ITERA adalah “buah” dari ramalan saya. Tahun 2008 saya diminta membuat master plan Kota baru di Natar, sebuah proyek yang pragmatis karena merespon keinginan pemerintah setempat untuk membangun kawasan baru pusat pemerintahan. Namun, sebagai profesional, saya terbiasa berpikir komprehensif, mencari jawaban apa yang menghidupkan kota baru tersebut, dan saat itu saya mengusulkan universitas di kota baru tersebut. Ketika lokasi ITERA ternyata tidak jauh dari Kota Baru Lampung yang sekarang, saya sempat terkaget kok konsep saya ternyata terlaksana. Apakah saya “sakti” karena ramalan saya terbukti? Tentu tidak, namun ini menunjukkan kesamaan berpikir tentang posisi Lampung sebagai simpul konektivitas sebagai gerbang Selatan pulau Sumatra. Dari pemetaan konektivitas itu, maka dibutuhkan pusat-pusat pertumbuhan baru, dan salah satu pembangkitnya adalah universitas yang kini mewujud dalam bentuk ITERA. Dengan cara berpikir ini, maka ITERA secara spasial simpul untuk menyebarkan inovasi berbasis teknologi, dari Bandung (ITB) ke Sumatra.

Dengan “memanfaatkan” proyek akhir rest area, maka ini menjadi peluang bagaimana visi ITERA sebagai simpul inovasi di Sumatra bisa mempunyai gagasan yang terdokumentasikan. Jangan remehkan tugas akhir mahasiswa, karena betapa pun itu adalah dokumen akademis. Dan kalau melihat pergerakan ekonomi di Jalan Tol Trans-Sumatra, rest area memang akan muncul dihela oleh kebutuhan. Dan sangat mungkin, lokasinya akan berada di lahan milik ITERA. Dan kalau ini benar akan terjadi, maka akan ada bukti bahwa  ITERA pernah menggagas, dan saya sedikit memberikan kontribusi untuk itu.

Mendalami Pasar Rakyat sebagai Bagian Perjalanan Hidup

Catatan dari Kuliah Tamu “Merancang Pasar Rakyat: Kontribusi Keilmuan Desain Arsitektur untuk Permasalahan Bangsa”, ITERA Webinar Series, Perancangan Pasar dan Perancangan Rest Area, Kamis, 18 November 2021

Materi presentasi:Ekomadyo (2021) – Perancangan Pasar Rakyat (ITERA Webinar Series)

Apa peran arsitek dalam isu pasar rakyat di Indonesia? Yang jelas, karena profesinya sebagai perancang, maka jawaban pragmatisnya adalah: arsitek bisa merancang bangunan pasar rakyat sesuai dengan kaidah-kaidah perancangan arsitektur. Secara normatif, penulis sudah merumuskannya ke dalam beberapa kriteria (http://temuilmiah.iplbi.or.id/wp-content/uploads/2012/10/TI2012-01-p001-004-Isu-Tujuan-dan-Kriteria-Perancangan-Pasar-Tradisional.pdf). Kriteria ini mendapat kesempatan untuk diterapkan dalam Proyek Akhir dan Tesis mahasiswa.

Namun dalam praktiknya, desain adalah proses iteratif, sering meloncat-loncat, dan kriteria tidak diterapkan secara linear seperti menurunkan rumus secara runut dalam sains konvensional. Untuk keperluan publikasi, beberapa mahasiswa mengambil sebagaian dari kriteria itu, seperti kriteria estetika (http://temuilmiah.iplbi.or.id/wp-content/uploads/2016/12/IPLBI2016-D-081-086-Penerapan-Budaya-Sunda-dalam-Perancangan-Pasar-Rakyat.pdf, http://temuilmiah.iplbi.or.id/wp-content/uploads/2015/11/TI2015-A-001-006-Citra-Lokal-Pasar-Rakyat-pada-Pasar-Simpang-Aur-Bukittinggi.pdf) atau kriteria tentang ruang budaya (http://temuilmiah.iplbi.or.id/wp-content/uploads/2015/11/TI2015-E-067-074-Karakter-Festival-pada-Rancangan-Pasar-di-Kawasan-Bandung-Technopolis.pdf). Bahkan sekarang, bahkan bisa diterapkan kriteria bangunan hijau ke dalam rancangan (https://itbdsti-my.sharepoint.com/:w:/g/personal/25221010_mahasiswa_itb_ac_id/EfqurHnEWSJKuBj04N3L5l4BcF08q_5OYWsi-GlM1sAKEQ?e=ny1qO6)

Namun, selama mendalami pasar rakyat sebagai arsitek, ada hal yang lebih penting daripada how to design. Ada pergolakan batin. Karena, ketika melihat permasalahan pasar rakyat di Indonesia menjadi sangat politis sempit harapan idealisme ala akademis bisa ikut berpengaruh dalam tatakelolanya, penulis sempat merasa sangat ragu. Sehingga, karena “gelap”-nya tatakelola pasar rakyat, penulis punya keinginan untuk pindah ke topik lain. Siapa tahu, ada harapan baru di isu yang baru. Namun pada momentum itu, penulis mendapatkan nasihat yang sangat berharga: “jika kamu pindah ke topik yang lain, you are nothing. Namun tetap menekuni pasar rakyat, suatu saat kamu akan menjadi something

Dan nasihat itu penulis jalankan, betapa pun gelap “jalan pasar rakyat” yang saya tempuh. Hasilnya… memang something: kini penulis dikenal sebagai “Mantri Pasar” (http://dosen.ar.itb.ac.id/ekomadyo/?p=1273). Jadi buat mahasiswa, pengalaman saya pribadi menunjukkan ada yang lebih penting daripada how to design the public market. Yaitu bagaimana ketika bekerja, termasuk merancang, sebagai bagian dalam perjalanan hidup. Long live learning: proses belajar itu memang berlangsung sepanjang hayat.