Composition in Architecture: Form FORM to FUTURE

Catatan dari Kuliah Publik Compositing Better Future Perspektif Kewirausahaan untuk Mahasiswa Arsitektur

Universitas Trisakti, 17 Maret 2023

Materi Presentasi: Ekomadyo (2023) – Compositing Better Future (Kuliah Tamu Trisakti)

 

Ada beberapa keistimewaan yang dimiliki oleh arsitek, yang sering arsitek sendiri tidak terlalu menyadarinya.Pertama, sebagai desainer, arsitek mempunyai cara pemikiran unik yang sering mempu menyelesaikan masalah yang rumit (wicked problems). Cara berpikir desain, yang kemudian terkenal dengan sebutan “design thinking”, diadopsi oleh disiplin lain untuk mengembangkan pemikiran dalam menyelesaikan masalah yang rumit, termasuk dalam dunia inovasi. Pemikir Desain Brian Lawson punya kutipan tentang ini: “Design thinking is a way of understanding the world that begins with the way we experience it. It is a process of inquiry that seeks to understand the dynamics of the world around us and to use that understanding to develop new ways of solving problems.” (Lawson, How Designers Think, 2006, p. 1)

Kedua, kemampuan dalam  membayangkan masa depan. Mari kita ambil contoh sebuah proyek rumah tinggal yang dirancang oleh arsitek. Pada awalnya, rumah tinggal tersebut berupa site kosong. Kemudian, dengan pengetahuan yang dimilikinya, arsitek mampu membuat gambar tentang desain rumah tinggal. Lalu, desain digunakan sebagai panduan membangun, dan terbangunlah rumah tinggal seperti yang dibayangkan arsitek. Tanpa disadari, arsitek dibekali dengan kemampuan untuk membayangkan masa depan.

Kemampuan membayangkan masa depan tersebut  menjadi kontribusi penting arsitek dalam membuat dokumen gambar yang memandu proses pembangunan untuk mewujudkan sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Misalnya, dari site kosong menjadi rumah tinggal yang nyaman dan indah buat suatu keluarga tertentu. Arsitek tidak membuat bayangan berdasarkan imajinasinya sendiri, namun merangkum berbagai masalah dari banyak orang yang terlibat agar desain yang dihasilkan mampu memandu harapan orang-orang tersebut tentang suatu kondisi masa depan yang lebih baik (a better future). Di sini, Kim Dovey menyebutkan desain merupakan “assemblage desire for better future”. “”Design is an assemblage of material, social, and discursive elements that together produce a particular kind of place. It is also an assemblage of desires – a desire for a better future, a better society, a better world. Design is not simply a matter of solving problems or accommodating human needs. It is a way of imagining and realizing alternative futures, of creating new possibilities for human life.” (Dovey, Becoming Places, 2010, p. 9)

Anugerah yang sering luput membuat asyik merancang “masa depan” dari suatu objek semata, yang dinamakan objek arsitektural. Membuat gubahan yang baik, dengan prinsip-prinsip teknis, fungsi, dan estetika. Sebagus apa pun gubahannya, objek arsitektural adalah benda mati. Sementara, yang akan membangun, menggunakan, dan terdampak terhadap objek arsitektural tersebut adalah manusia. Beberapa arsitek memang sudah secara eksplisit menyebutkan pentingnya relasi manusia dan gubahan arsitektur, seperti Arsitek Denny Setiawan yang memperjuangkan “arsitektur yang membahagiakan”: membahagiakan klien, membahagiakan arsitek, dan membahagiakan orang lain: “Only happy architect can make architecture of happiness”

Menggubah masa depan yang lebih baik sebenarnya merupakan tindakan kolektif. Gubahan arsitektur sebenarnya menjadi delegasi dari kehendak aktor-aktor yang terlibat. Arsitek akan happy jika mereka yang terlibat pekerjaan arsitektural tersebut akan happy juga: desain adalah menjadi peraantara untuk kebahagiaan itu. Masa depan akan dijembatani oleh objek arsitekur, namun hal yang lebih baik akan dirasakan oleh terlibat: pemilik, pengguna, para pekerja, publik, dan tentu saja, arsitek itu sendiri.

Dalam perspektif kewirausahaan, maka kemampuan yang dimiliki oleh arsitek merupakan pengetahuan, dan bagaimana pengetahuan ini bisa mempunyai dampak ekonomi. Kemampuan merancang arsitek bisa diperluas dari sekadar mengkomposisi bentuk menjadi mengkomposisi aneka hal agar bisa menghasilkan ekonomi. Dari mendesain rumah menjadi mendesain usaha.

Namun hal penting dari perspektif kewirausahaan adalah bagaimana arsitek bisa menjadi lebih baik setelah merancang.  Dan ini merupakan hal yang tidak mudah, dan sering kurang diarancang oleh arsitek itu sendiri. Arsitek lebih sering merancang objek, dan terlewat untuk merancang masa depan dirinya sendiri. Dengan perspektif kewirausahaan, maka arsitek bisa lebih aware untuk merancang masa depan ekonomi bagi dirinya. Hanya arsitek yang mampu meningkatkan ekonomi dirinya yang akan mampu meningkatkan ekonomi dari orang-orang di sekitarnya.

Pasar Rakyat sebagai Agen Keberlanjutan Pangan

Catatan dari Diskusi Kelompok Terfokus Pasar Rakyat sebagai Simpul Food Resilience Mendukung Tata Kelola Rantai Pasok yang lebih Optimal dan Efisien. Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan RI, 7 Oktober 2022

Materi Presentasi: Ekomadyo Cahyono Sudrajat (2022) – Pasar Rakyat dan Kelenturan Pasokan Pangan 20221007

Link kegiatan: https://ditjenpdn.kemendag.go.id/detail/subslider2/1406/slider, https://www.youtube.com/watch?v=64WMaNG5p8I

Secara arsitektural, fenomena pasar rakyat adalah fenomena ruang keseharian. Namun, oleh pandangan determinisme modernisme, pasar rakyat sering luput oleh perhatian profesionalisme arsitek. Ada bias “capital flow” dalam praktik profesi arsitek: arsitek akan bekerja jika ada economic capital, akhirnya concern arsitek akan lebih dideterminasi oleh pada objek-objek arsitektural dimana akumulasi kapital ekonomi lebih besar. Seperti gula yang menarik perhatian semut, sementara semut mustinya bisa hidup tanpa tergantung pada gula. Akibatnya, ketika arsitek melihat suatu fenomena “pasar rakyat”, maka yang ter-determinasi adalah “rancangan arsitektur pasar rakyat”. Dan, tanpa disadari, dibalik suatu pandangan “rancangan arsitektur pasar rakyat” ada suatu “proyek desain”, dan suatu “proyek”, akan melibatkan aliran capital (capital flow) di dalamnya.

Sementara, sebagai suatu “objek arsitektural”, suatu pasar rakyat mengandung banyak sekali pengetahuan. Bukan hanya suatu “ruang” yang berisi kumpulan barang dan jasa, sebuah pasar rakyat terbangun oleh suatu jejaring mereka-mereka yang menghidupkan pasar tersebut. Ada aliran modal (capital flows), baik modal ekonomi, sosial, dan budaya. Karena ada aliran (flows), maka akan ada aneka sirkulasi dari barang dan jasa. Ketika ada sirkulasi, akan ada aneka translasi: ketika para agen-agen pasar (market agencements) melakukan aneka penyesuaian dalam membangun relasi untuk sirkulasi tersebut. Di sini, pasar sebagai sebuah jejaring terbentuk, dan bangunan pasar adalah simpul dari jejaring tersebut.

Dalam perspektif pengetahuan arsitektural, maka bangunan pasar adalah “wadah” dari aktivitas pasar. Tentu bukan bangunan tanpa makna, seperti bangunan pasar yang sepi dan menjadikan pasar seperti tanpa “ruh”. Bangunan pasar menyediakan aneka ruang, yang disebut “place”: karena ruang-ruang-ruang tersebut “hidup” oleh aneka aktivitas. Aktivitas ini yang menciptakan “ruh” pada bangunan pasar.

Ketika muncul isu tentang keberlanjutan pangan (food sustainability), maka pasar rakyat pun bisa dilihat sebagai simpul dalam kelenturan pasokan pangan (food-supply resilience) untuk masyarakat. Pasar menjadi tempat di mana masyarakat bisa secara lentur mendapatkan sumber-sumber pasokan pangan yang berkelanjutan. Karena di pasar, para pedagang tidak akan tinggal diam ketika ada masalah dalam pasokan pangan, mereka akan mencari sumber-sumber yang memadai untuk mendapatkan pasokan tersebut. Jadi kelenturan ini bukan sekadar menjaga keberlanjutan pasokan pangan untuk masyarakat, namun juga keberlanjutan ekonomi dari para pedagang pasar.

Namun, seperti masalah klise di Indonesia, apakah kelenturan ini atas usaha pedagang, atau ada intervensi dari institusi? Mungkin sesekali negara hadir, antara lain lewat operasi pasar. Ya, sesekali, itu kalau ada masalah yang penting. Nah, bisakah negara hadir setiap hari?

Keseharian negara di pasar rakyat sebenarnya terepresentasikan lewat kehadiran pengelola. Selain masalah mismanagement yang belum sepenuhnya terselesaikan dalam program revitalisasi pasar rakyat di Indonesia, ada masalah relasi yang kurang mutual antara pedagang dan pengelola. Pengelola hanya sekadar menjadi agen pasar penerima retribusi saja. Sementara, jejaring pasar begitu luas terhampar di hadapan pengelola pasar. Banyak kendala, sehingga peluang untuk lebih berperan sebagai agen pasar tidak bisa termanfaatkan.

Apa hubungannya dengan arsitektur? Nah, jika pengelola pasarnya mumpuni, maka akan terepresentasi pada bangunan arsitektur yang baik. Seperti halnya pengelola, bangunan pasar juga hadir dalam keseharian pasar. Namun pengelola pasar juga merupakan fenomena jaringan, keberadaannya di pasar juga dalam situasi sosial yang kompleks. Bangunan pasar memang menjadi kerangka agar pengelola pasar bisa bekerja dengan baik, termasuk ketika akan mengambil peran sebagai agen penjaga keberlanjutan pasokan pangan. Di sini pendekatan sosial tidak akan memadai karena akan menghadapi kerumitan yang luar biasa. Pendekatan teknis juga tak memadai, karena akan lebih banyak aspek non-teknis yang berperan. Yang dibutuhkan adalah pendekatan sosioteknis, di mana ada objek teknis yang cenderung stabil, namun menjadi delegasi dari para pelaku pasar dalam bekerja.