Pasar Rakyat sebagai Agen Keberlanjutan Pangan

Foto FGD Kemendag

Catatan dari Diskusi Kelompok Terfokus Pasar Rakyat sebagai Simpul Food Resilience Mendukung Tata Kelola Rantai Pasok yang lebih Optimal dan Efisien. Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan RI, 7 Oktober 2022

Materi Presentasi: Ekomadyo Cahyono Sudrajat (2022) – Pasar Rakyat dan Kelenturan Pasokan Pangan 20221007

Link kegiatan: https://ditjenpdn.kemendag.go.id/detail/subslider2/1406/slider, https://www.youtube.com/watch?v=64WMaNG5p8I

Secara arsitektural, fenomena pasar rakyat adalah fenomena ruang keseharian. Namun, oleh pandangan determinisme modernisme, pasar rakyat sering luput oleh perhatian profesionalisme arsitek. Ada bias “capital flow” dalam praktik profesi arsitek: arsitek akan bekerja jika ada economic capital, akhirnya concern arsitek akan lebih dideterminasi oleh pada objek-objek arsitektural dimana akumulasi kapital ekonomi lebih besar. Seperti gula yang menarik perhatian semut, sementara semut mustinya bisa hidup tanpa tergantung pada gula. Akibatnya, ketika arsitek melihat suatu fenomena “pasar rakyat”, maka yang ter-determinasi adalah “rancangan arsitektur pasar rakyat”. Dan, tanpa disadari, dibalik suatu pandangan “rancangan arsitektur pasar rakyat” ada suatu “proyek desain”, dan suatu “proyek”, akan melibatkan aliran capital (capital flow) di dalamnya.

Sementara, sebagai suatu “objek arsitektural”, suatu pasar rakyat mengandung banyak sekali pengetahuan. Bukan hanya suatu “ruang” yang berisi kumpulan barang dan jasa, sebuah pasar rakyat terbangun oleh suatu jejaring mereka-mereka yang menghidupkan pasar tersebut. Ada aliran modal (capital flows), baik modal ekonomi, sosial, dan budaya. Karena ada aliran (flows), maka akan ada aneka sirkulasi dari barang dan jasa. Ketika ada sirkulasi, akan ada aneka translasi: ketika para agen-agen pasar (market agencements) melakukan aneka penyesuaian dalam membangun relasi untuk sirkulasi tersebut. Di sini, pasar sebagai sebuah jejaring terbentuk, dan bangunan pasar adalah simpul dari jejaring tersebut.

Dalam perspektif pengetahuan arsitektural, maka bangunan pasar adalah “wadah” dari aktivitas pasar. Tentu bukan bangunan tanpa makna, seperti bangunan pasar yang sepi dan menjadikan pasar seperti tanpa “ruh”. Bangunan pasar menyediakan aneka ruang, yang disebut “place”: karena ruang-ruang-ruang tersebut “hidup” oleh aneka aktivitas. Aktivitas ini yang menciptakan “ruh” pada bangunan pasar.

Ketika muncul isu tentang keberlanjutan pangan (food sustainability), maka pasar rakyat pun bisa dilihat sebagai simpul dalam kelenturan pasokan pangan (food-supply resilience) untuk masyarakat. Pasar menjadi tempat di mana masyarakat bisa secara lentur mendapatkan sumber-sumber pasokan pangan yang berkelanjutan. Karena di pasar, para pedagang tidak akan tinggal diam ketika ada masalah dalam pasokan pangan, mereka akan mencari sumber-sumber yang memadai untuk mendapatkan pasokan tersebut. Jadi kelenturan ini bukan sekadar menjaga keberlanjutan pasokan pangan untuk masyarakat, namun juga keberlanjutan ekonomi dari para pedagang pasar.

Namun, seperti masalah klise di Indonesia, apakah kelenturan ini atas usaha pedagang, atau ada intervensi dari institusi? Mungkin sesekali negara hadir, antara lain lewat operasi pasar. Ya, sesekali, itu kalau ada masalah yang penting. Nah, bisakah negara hadir setiap hari?

Keseharian negara di pasar rakyat sebenarnya terepresentasikan lewat kehadiran pengelola. Selain masalah mismanagement yang belum sepenuhnya terselesaikan dalam program revitalisasi pasar rakyat di Indonesia, ada masalah relasi yang kurang mutual antara pedagang dan pengelola. Pengelola hanya sekadar menjadi agen pasar penerima retribusi saja. Sementara, jejaring pasar begitu luas terhampar di hadapan pengelola pasar. Banyak kendala, sehingga peluang untuk lebih berperan sebagai agen pasar tidak bisa termanfaatkan.

Apa hubungannya dengan arsitektur? Nah, jika pengelola pasarnya mumpuni, maka akan terepresentasi pada bangunan arsitektur yang baik. Seperti halnya pengelola, bangunan pasar juga hadir dalam keseharian pasar. Namun pengelola pasar juga merupakan fenomena jaringan, keberadaannya di pasar juga dalam situasi sosial yang kompleks. Bangunan pasar memang menjadi kerangka agar pengelola pasar bisa bekerja dengan baik, termasuk ketika akan mengambil peran sebagai agen penjaga keberlanjutan pasokan pangan. Di sini pendekatan sosial tidak akan memadai karena akan menghadapi kerumitan yang luar biasa. Pendekatan teknis juga tak memadai, karena akan lebih banyak aspek non-teknis yang berperan. Yang dibutuhkan adalah pendekatan sosioteknis, di mana ada objek teknis yang cenderung stabil, namun menjadi delegasi dari para pelaku pasar dalam bekerja.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *