“Merancang” Riset Kecil bagi Mahasiswa Sarjana Arsitektur

Link untuk buku antologi Seminar Arsitektur ITB: https://iplbi.or.id/buku-transformasi-dan-resiliensi-dalam-perspektif-mahasiswa-sarjana-arsitektur/

Ada “kehebohan” kecil dalam dunia pendidikan tinggi sekitar tahun 2012, yaitu dengan terbitnya Surat Keputusan Dirjen Dikti nomor 152/E/T/2012 yang mewajibkan mahasiswa S-1, S-2, dan S-3 untuk mempublikasikan tulisan ilmiah dalam jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan. Kebijakan ini, meski meski bertujuan meningkatkan kualitas penelitian ilmiah pendidikan tinggi, tetapi mengundang kontroversi, pro dan kontra, ketika dihadapkan pada realitas yang ada. Yang pro menganggap kebijakan ini penting untuk meningkatkan mutu skripsi, tesis, dan disertasi mahasiswa. Yang kontra menganggap kebijakan ini terlalu dipaksakan dan justru memberatkan penyelenggaraan pendidikan

Untuk mahasiswa S-1 arsitektur, kebijakan ini juga menuai kontroversi. Selama ini, tradisi pendidikan sarjana arsitektur berorientasi pada praktis, menyiapkan anak didik untuk bekerja sebagai arsitek junior, sehingga kemampuan menulis ilmiah tidak serta merta menjadi prioritas utama. Pendidikan sarjana arsitektur lebih berorientasi pada pemecahan masalah, bukan memproduksi pengetahuan dengan metode ilmiah yang didiseminasikan lewat aneka bentuk publikasi ilmiah.

Penyelenggaraan Mata Kuliah (MK) Seminar Arsitektur di ITB juga tidak luput dari kontroversi. Di satu sisi, beberapa kali muncul keinginan dari sebagian pengajar untuk meletakkan matakuliah ini bagian dari persiapan Tugas Akhir (TA), dengan pertimbangan untuk meningkatkan kualitas persiapan TA menyiasati keterbatasan waktu kuliah/ SKS yang tersedia. Namun di sisi lain, beberapa pengajar ingin agar MK ini tetap bersifat independen, di mana mahasiswa bisa lebih bebas menyalurkan rasa ingin tahu akan fenomena tertentu melalui riset kecil dan menghasilkan paper yang dipresentasikan di kalangan terbatas. Pilihan ini mendapat dukungan sebagian mahasiswa yang memilih menjadikan MK ini sebagai sarana untuk sejenak melepaskan diri (being away) dari rutinitas produksi desain melalui studio arsitektur. Namun ada sisi positif dari suatu kontroversi, yaitu terpicunya proses belajar dari kedua belah pihak baik yang pro maupun yang kontra. Proses belajar ini terjadi karena masing-masing akan menelaah dan memperkuat argumen masing-masing sekaligus mencari titik temu dari perbedaan yang ada. Selayanya dialektika, di mana pengetahuan sebagai sebuah tesis baru dihasilkan melalui sintesis terhadap antitesis dari suatu tesis lama yang dianggap mapan. Dengan demikian, proses dialektika akan mendorong proses belajar dan menghasilkan pengetahuan secara terus menerus.

Sebagai koordinator matakuliah seminar, berbagai kontroversi ini mendorong penulis untuk terus belajar dan menghasilkan sesuatu sebagai upaya memproduksi pengetahuan secara terus menerus. Permasalahan utama matakuliah Seminar Arsitektur adalah bagaimana mendorong mahasiswa untuk menghasilkan tulisan berkualitas melalui riset kecil dengan waktu yang sumber daya yang terbatas. Keterbatasan ini  muncul karena riset kecil yang harus dilakukan oleh mahasiswa dalam 2 SKS (artinya 2 jam tatap muka, 2 jam belajar terstuktur, dan 1 jam belajar mandiri), sementara secara institusional mahasiswa tidak mendapat kuliah khusus tentang metodologi riset. Di luar itu, aneka studio dan kuliah dan studio lebih berorientasi pada kompetensi mahasiswa dalam merancang dalam konteks profesi arsitek atau memperkaya wawasan tentang isu-isu nasional dan global. Meminjam istilah Peter Rowe, penyelenggaraan kuliah Seminar Arsitektur menghadapi wicked problems (Rowe, 1987).

Bagi desainer, wicked problems justru menjadi tantangan. Pada umumnya, desainer bekerja dengan informasi yang minim namun dituntut memecahkan suatu masalah secara kreatif. Dan ini sering berhasil! Maka, cara berpikir desainer ini kemudian banyak menginspirasi disiplin-disiplin lain dalam menyelesaikan masalah-masalah yang rumit secara kreatif. Dan dari sinilah konsep “Design Thinking” mulai menarik perhatian disiplin-disiplin lain dalam mengembangkan cara berpikir kreatif untuk menyelesaikan masalah-masalah yang rumit. Kunci “design thinking” adalah bagaimana para desainer mampu membingkai (to frame) “how” yang mengarahkan pada “value” dalam suatu cara berpikir yang logis (Dorst, 2011). Artinya, desainer terbiasa berpikir bagaimana menyelesaikan masalah sekaligus memberikan nilai pada produk-produk yang dihasilkan. Dari sini, penulis mencoba menggunakan pendekatan “design thinking” untuk menyelesaikan “wicked problems” dalam penyelenggaraan matakuliah Seminar Arsitektur. Tantangannya adalah bagaimana menghasilkan paper-paper bermutu bagi mahasiswa sarjana arsitektur di tengah keterbatasan waktu dan bekal pengetahuan mahasiswa. Kata kuncinya adalah, merancang perkuliahan. Analogi dengan bangunan, dengan dirancang dengan baik, maka segala keterbatasan bisa disiasati dan dikalkulasi agar bangunan yang dihasilkan tetap berkualitas. Dengan demikian, jika dirancang dengan baik, segala keterbatasan perkuliahan bisa disiasati dan dikalkulasi agar matakuliah seminar bisa menghasilkan paper-paper yang berkualitas.

Sepanjang menjadi koordinator pada tahun 2014, ada beberapa isu yang menjadi tema seminar. Tema-tema seminar selalu dicari yang bisa mewakili seluas mungkin minat riset kecil dalam dunia arsitektur.Tema-tema tersebut adalah “Kreativitas Lokal dalam Arsitektur” untuk tahun 2014, “Aspek-aspek Perancangan Arsitektur dan Implementasinya” untuk tahun 2016, “Transformasi Arsitektur di Lingkungan Perkotaan” untuk tahun 2017, dan “Resiliensi dalam Arsitektur” untuk tahun 2019 (gambar 1)

 

Gambar (1)

Gambar 1: Tema dan poster MK Seminar Arsitektur dari tahun 2014 sampai 2018

Untuk penyelenggaraan tahun 2018, ada beberapa “prestasi” yang dicapai dalam penyelenggaraan matakuliah seminar arsitektur. Merespon berbagai kasus bencana di tanah air, topik seminar tahun 2018 adalah “Resiliensi dalam Arsitektur”. Pada akhir semester, diselenggarakan seminar pleno yang mengundang publik dengan mempresentasikan 8 paper terbaik dari 4 kelas paralel. Untuk tahun ini, seminar pleno melibatkan peninjau eksternal (external reviewers) anggota Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI) untuk memilih satu paper terbaik (gambar 2). Selain itu, beberapa paper karya mahasiswa sarjana arsitektur bisa terbit dalam seminar nasional (Cahyaningtyas dkk., 2018, Claudia dkk., 2018, Khamim dkk., 2018, dan Maulani dkk., 2018), dan satu paper terbit dalam konferensi internasional (Saputra dkk, 2018).

Gambar (2)

Gambar 2: Mahasiswa yang mendapatkan penghargaan untuk paper terbaik (kiri) dan penyerahan piagam kepada peninjau eksternal anggota IPLBI

Sebagai sebuah tulisan reflektif, ada beberapa kesamaan cara berpikir, ketika penulis merancang bangunan, selayaknya seorang arsitek, dengan merancang perkuliahan, sebagai koordinator matkuliah. Pertama, adalah berpikir preskriptif, memulai dengan bayangan akan hasil akhir. Sebagaimana seorang arsitek yang sudah punya bayangan tentang hasil akhir bangunan, penyelenggaraan kuliah pun dirancang dengan bayangan terhadap hasil akhir, yaitu paper-paper yang berkualitas. Jika merancang arsitek dibantu dengan studi presedens, maka presedens untuk penyelenggaraan matakuliah ini adalah paper-paper terbaik tahun sebelumnya. Kata kunci di sini adalah benchmarking.

Kedua, desain adalah proses iteratif untuk mencapai kesesuaian (appropriateness) dari berbagai pertimbangan (Cross, 1982, Saliya, 2003). Merancang bangunan juga dilakukan dengan proses bolak-balik sehingga mendapatkan rancangan yang diinginkan. Penyelenggaraan matakuliah ini juga melibatkan perbaikan berkelanjutan baik secara taktis dalam kurun pelaksanaan kuliah maupun secara strategis melalui evaluasi pelaksanaan tahun-tahun sebelumnya. Kata kunci di sini adalah continuous improvement.

Ketiga, desain memikirkan keterbangunan (constructability) dari elemen-elemen yang dirancang. Jika elemen terpenting dalam bangunan adalah elemen fisik (batu-bata, pintu, kolom, dll), elemen terpenting dalam penyelenggaraan perkuliahan adalah manusianya: dosen dan mahasiswa. Konstruksi sosial mempunyai tantangan tersendiri daripada konstruksi material, karena variabel perilaku manusia lebih banyak daripada material. Desainer yang baik akan punya pengetahuan memadai tentang material, maka perancang mata kuliah juga perlu pengetahuan yang memadai dari karakter dan perilaku manusia yang terlibat dalam kuliah tersebut.  Merancang matakuliah adalah membuat orkestrasi bagaimana para pelaku bergerak dengan cara dan karakter masing-masing untuk mencapai tujuan bersama. Selayaknya arsitek yang mengorkestrasi material menjadi suatu bangunan yang baik. Kata kunci di sini adalah social engineering.

Tantangan ke depan adalah meletakkan seminar dalam kerangka riset untuk mendukung desain arsitektur (research based design).Pengetahuan arsitektur berkembang dalam tradisi praktik, yaitu merancang bangunan. Tuntutan universitas-lah yang mendorong pendidikan arsitektur agar mempunyai disiplin ilmiah dengan aneka kegiatan riset. Menjadi sebuah tantangan bagaimana kegiatan riset yang bermuara pada diseminasi pengetahuan melalui seminar bisa juga berperan dalam memberikan informasi dan pertimbangan yang matang untuk desain. Ini menjadi hal yang tidak mudah, karena pada umumnya informasi dan pertimbangan desain oleh arsitek lebih berbasis pada pengalaman dan belum terlalu banyak yang didasarkan pada hasil riset ilmiah.

Mengujicobakan research based design untuk mahasiswa S-1 tentu mempunyai tantangan dan kesulitan tersendiri. Namun ini mungkin, jika desain menjadi sarana untuk melatih olah pikir (Ekomadyo, 2017). A kind of wicked problem? Sekali lagi, design thinking lahir karena cara berpikir linear atau sistemis (linear and systemic thinking) dianggap tidak memadai untuk memecahkan aneka permasalahan yang rumit. Sepanjang sejarahnya, banyak arsitek yang mampu mengembangkan cara berpikir desainnya untuk merancang kota, merancang perubahan masyarakat, bahkan merancang negara. Beberapa negara, seperti Amerika Serikat dan Indonesia, didirikan dan dirancang oleh beberapa Bapak Bangsa (Founding Fathers) yang punya latar belakang ilmu Arsitektur. Merancang negara jauh lebih rumit daripada merancang perkuliahan. Artinya, dengan cara berpikir desain, merancang perkuliahan tidak sulit-sulit amat. Kata kuncinya adalah benchmarking, continuous improvement, dan social engineering

 

Referensi

  1. Cahyaningtyas, M.A., Tazkia, A.M., Fitriani, T., Ekomadyo, A.S., Ardiani, N.A. (2018). Telaah Parameter Desain Untuk Kawasan Rawan Kriminalitas Di Kampung Kota Studi Kasus: RW 05 Kebon Bibit, Bandung. Seminar Nasional Teknologi Terapan Berbasis Kearifan Lokal (SNT2BKL) Program Pendidikan Vokasi Universitas Halu Oleo (PPV-UHO), Kendari, 1 Desember 2018, http://ojs.uho.ac.id/index.php/snt2bkl/article/view/5247
  2. Claudia, T., Agung, K.A., Nathania, G., Ekomadyo, A.S. Ardiani, N.A. (2018). Heritage Building As A Third Place: Sebuah Strategi Keberlanjutan Arsitektur Kolonial Di Era Modern. Seminar Nasional Teknologi Terapan Berbasis Kearifan Lokal (SNT2BKL) Program Pendidikan Vokasi Universitas Halu Oleo (PPV-UHO), Kendari, 1 Desember 2018. http://ojs.uho.ac.id/index.php/snt2bkl/article/view/5238
  3. Cross, N. (1982). Designerly Ways of Knowing, Design Studies. Vol.3 No.4 October 1982
  4. Dorst, K. (2011). The core of ‘design thinking’ and its Application. Design Studies 32 (2011) 521-532, doi:10.1016/j.destud.2011.07.006
  5. Ekomadyo, A.S. (2017). “Design Thought”: Berpikir Mendalam Melalui Desain. Dalam Kusyala et al. (2017). Footprint Sarjana: Dokumentasi Studio 2016-2017. Volume 2/2017. Program Studi Arsitektur Institut Teknologi Bandung. http://ar.itb.ac.id/2017/11/29/footprint-2017/. (https://iplbi.or.id/design-thought-berpikir-mendalam-melalui-desain/)
  6. Khamim, A.N., Ramadhanty, D.N., Ruby, R., Ekomadyo, A.S. Ardiani, N.A. (2018). Pengaruh Ruang Arsitektur Terhadap Rehabilitasi Residen Dengan Pendekatan Terapi Komunitas Di Kota Bandung. Seminar Nasional Teknologi Terapan Berbasis Kearifan Lokal (SNT2BKL) Program Pendidikan Vokasi Universitas Halu Oleo (PPV-UHO), Kendari, 1 Desember 2018 http://ojs.uho.ac.id/index.php/snt2bkl/article/view/5250
  7. Maulani, F.A., Tsabita, S.,Yudanti, A.N., Ekomadyo, A.S. Ardiani, N.A. (2018). Analisis Aspek Keberlanjutan Pada Produk Inovasi Kayu Modular. Seminar Nasional Teknologi Terapan Berbasis Kearifan Lokal (SNT2BKL) Program Pendidikan Vokasi Universitas Halu Oleo (PPV-UHO), Kendari, 1 Desember 2018. http://ojs.uho.ac.id/index.php/snt2bkl/article/view/5242
  8. Rowe, P.G. (1987). Design Thinking. The MIT Press, Massachussets.
  9. Saliya, Y. (2003) Perjalanan Malam Hari. Lembaga Sejarah Arsitektur Indonesia dan Ikatan Arsitek Indonesia Jawa Barat, Bandung.
  10. Saputra, A.N., Lineker, D.G., Hibaturrahim, H.E., Nilla, Sobandi, R., dan Ekomadyo, A.S. (2019). Space Utilization and Transformable Architecture of Peri-Urban Co-Living Concept in Rancaekek, Bandung. IOP Conference Series: Earth and Environmental ScienceVolume 328conference 1: The 4th International Conference in Planning in the 2019 Era of Uncertainty
    12–13 March 2019, Malang City, Indonesia. https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1755-1315/328/1/012058

Sayembara Arsitektur sebagai Inovasi

Refleksi dari Sayembara Pasar Godean, penyelenggara: Ikatan Arsitek Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta dan Pemerintah Kabupaten Sleman, Juli 2020

Poster desain Pasar Godean:Ekomadyo Silmi Orlando Rachman & Maulana (2020) – Ngewongke Godean

Animasi desain Pasar Godean: https://www.youtube.com/watch?v=iTOFlFHGTPc

Presentasi karya pemenang: https://www.youtube.com/watch?v=t-ioC3npjjg

 

Apa kaitannya sayembara arsitektur dengan inovasi? Apakah sayembara arsitektur bisa secara otomatis dianggap sebagai inovasi? Kalau pun bisa, mengapa sayembara arsitekur harus dikaitkan dengan inovasi?

Namun, jika sayembara arsitektur akan dijadikan sebagai inovasi, tentu ada ketentuannya. Ada beberapa definisi inovasi yang bisa dirujuk. Schumpeter (1994) mendefinisikan inovasi sebagai “kombinasi baru (new combination)” dari pengetahuan, sumber daya, peralatan, dan faktor-faktor lain yang sudah ada. Rogers (1962) merujuk inovasi pada serangkaian ide, produk, layanan, atau perilaku yang baru.  Sementara Etzkowitz dan Leydesdorff (1995) melihat inovasi sebagai proses multifacet dan kolaboratif, bukan sekadar hasil dari usaha individual pada industri swasta atau dunia akademis, namun lebih pada proses kolektif dan dinamis yang melibatkan aneka pelaku dan institusi. Dari berbagai definisi tersebut, ada empat kata kunci dari inovasi: kebaruan, pengetahuan dan sumber daya, kolektivitas antar pelaku, dan dampak.

Dari perspektif akademis, inovasi bisa diartikan sebagai rekonsiliasi antara “dunia di dalam laboratororium” dengan “dunia di luar laboratorium” (Yuliar, 2011). Dengan perspektif ini, maka sayembara arsitektur akan dilihat sebagai inovasi jika terjadi rajutan antara pengetahuan yang dibangun di kampus dengan praktik di dunia nyata. Sayembara arsitektur bisa menjadi inovasi, jika pengetahuan akademis bisa dibawa ke dunia praktis arsitektur dengan membawa kebaruan, memberikan dampak, dan diselenggarakan secara kolektif dan kolaboratif.

Dengan kerangka tersebut, maka ada beberapa hal yang bisa dibaca sebagai inovasi dalam kegiatan Sayembara Pasar Godean. Pertama, rekonsiliasi pengetahuan dari kampus dengan dunia praktik arsitek lewat konsep bagaimana desain arsitektur menjadi produksi budaya (cultural production), merujuk pada pemikiran dari Dovey (2010). Secara konseptual, peran sebagai sebagai produsen budaya diterjemahkan ke dalam konsep “Ngewongke Godean”, artinya desain pasar dimaksudkan untuk mengangkat “kelas” pedagang pasar Godean yang ada lewat desain arsitektur. Dengan desain yang artistik, maka pengunjung pasar bukan hanya dari penduduk sekitar, namun juga menarik pengunjung yang lebih luas, seperti wisatawan. Aspek artistik merupakan kebaruan dari suatu desain pasar rakyat.

Kedua, dampak dari pengetahuan dalam sayembara bisa dilacak bukan hanya dari penghargaan yang didapatkan (juara III), namun bagaimana pengetahuan yang dibangun bisa memberikan dampak. Karena hanya juara III, maka hasil sayembara tidak terbangun. Maka dampak hanya bisa dilacak pada internal tim sayembara. Karena tim sayembara melibatkan dua startup enterprise, maka pengetahuan tentang desain pasar akan memberikan portofolio kepada startup tersebut.

Ketiga, keterlibatan dua startup enterprise mendorong sayembara dikerjakan secara kolektif dan kolaboratif. Sebagai akademisi, penulis berperan dalam mentransfer pengetahuan, terutama desain arsitektur sebagai produksi budaya, untuk di-exercise ke dalam desain arsitektur. Sementara startup pertama, yaitu Suatudio Arsitektur, berperan dalam mengelaborasi desain arsitektur secara kreatif, dengan menerjemahkan “produksi budaya” melalui konsep “Ngewongke Godean”. Sementara startup kedua, yaitu Nawabha Architecture Studio, berperan meng-exercise aspek-aspek teknis aneka gagasan kreatif ke dalam solusi-solusi teknis.

Dengan menempatkan sayembara arsitektur sebagai inovasi, maka muncul suatu pertanyaan, apakah suatu proses arsitektur itu merupakan proses kreatif dan sekaligus inovatif? Jika suatu proses desain arsitektur merupakan proses kreatif, maka jawabannya iya. Karena, sudah menjadi etos para arsitek untuk menghasilkan sesuatu yang baru, sesuatu yang berbeda dengan karya-karya sebelumnya, karena ini menjadi habitus dari profesi arsitek. Namun apakah kreativitas arsitektur itu otomatis akan bernilai inovatif? Jawabannya, belum tentu. Dalam kerangka inovasi, kreativitas baru mempunyai nilai inovasi jika kebaruan yang dihasilkan mampu memberikan dampak, apalagi jika dampaknya memberikan nilai tambah (added values) secara ekonomi dan sosial.

Singkatnya, inovasi membutuhkan kreativitas, namun kreativitas belum tentu bernilai inovasi, kalau tidak memberikan dampak, terutama dampak nilai tambah secara ekonomi dan/ atau sosial. Dengan membawa sayembara arsitektur ke diskursus tentang inovasi, maka kreativitas arsitektur perlu diperluas bukan hanya menghasilkan kebaruan, namun bagaimana kebaruan itu bisa memberikan dampak. Ketika memikirkan dampak, maka proses desain arsitektur perlu diperluas bukan hanya menghasilkan produk semata, namun bagaimana produk arsitektur bisa bermanfaat seluas mungkin.

 

Referensi

Dovey, K. (2010). Becoming Places: Urbanism/ Architecture/ Identity/ Power. Routledge.

Etzkowitz, H., & Leydesdorff, L. (1995). The triple helix–university-industry-government relations: A laboratory for knowledge-based economic development. EASST Review, 14(1), 14-19.

Rogers, E. (1962). Diffusion of Innovation. Free Books.

Schumpeter, J.A., 1934 (2008), The Theory of Economic Development: An Inquiry into Profits, Capital, Credit, Interest and the Business Cycle, New Brunswick (U.S.A) and London (U.K.): Transaction Publishers.

Yuliar, S. (2011). Transformasi Penelitian ke dalam Inovasi. Dewan Riset Nasional, Jakarta.