Sayembara Arsitektur sebagai Inovasi

Poster Pasar Godean

Refleksi dari Sayembara Pasar Godean, penyelenggara: Ikatan Arsitek Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta dan Pemerintah Kabupaten Sleman, Juli 2020

Poster desain Pasar Godean:Ekomadyo Silmi Orlando Rachman & Maulana (2020) – Ngewongke Godean

Animasi desain Pasar Godean: https://www.youtube.com/watch?v=iTOFlFHGTPc

Presentasi karya pemenang: https://www.youtube.com/watch?v=t-ioC3npjjg

 

Apa kaitannya sayembara arsitektur dengan inovasi? Apakah sayembara arsitektur bisa secara otomatis dianggap sebagai inovasi? Kalau pun bisa, mengapa sayembara arsitekur harus dikaitkan dengan inovasi?

Namun, jika sayembara arsitektur akan dijadikan sebagai inovasi, tentu ada ketentuannya. Ada beberapa definisi inovasi yang bisa dirujuk. Schumpeter (1994) mendefinisikan inovasi sebagai “kombinasi baru (new combination)” dari pengetahuan, sumber daya, peralatan, dan faktor-faktor lain yang sudah ada. Rogers (1962) merujuk inovasi pada serangkaian ide, produk, layanan, atau perilaku yang baru.  Sementara Etzkowitz dan Leydesdorff (1995) melihat inovasi sebagai proses multifacet dan kolaboratif, bukan sekadar hasil dari usaha individual pada industri swasta atau dunia akademis, namun lebih pada proses kolektif dan dinamis yang melibatkan aneka pelaku dan institusi. Dari berbagai definisi tersebut, ada empat kata kunci dari inovasi: kebaruan, pengetahuan dan sumber daya, kolektivitas antar pelaku, dan dampak.

Dari perspektif akademis, inovasi bisa diartikan sebagai rekonsiliasi antara “dunia di dalam laboratororium” dengan “dunia di luar laboratorium” (Yuliar, 2011). Dengan perspektif ini, maka sayembara arsitektur akan dilihat sebagai inovasi jika terjadi rajutan antara pengetahuan yang dibangun di kampus dengan praktik di dunia nyata. Sayembara arsitektur bisa menjadi inovasi, jika pengetahuan akademis bisa dibawa ke dunia praktis arsitektur dengan membawa kebaruan, memberikan dampak, dan diselenggarakan secara kolektif dan kolaboratif.

Dengan kerangka tersebut, maka ada beberapa hal yang bisa dibaca sebagai inovasi dalam kegiatan Sayembara Pasar Godean. Pertama, rekonsiliasi pengetahuan dari kampus dengan dunia praktik arsitek lewat konsep bagaimana desain arsitektur menjadi produksi budaya (cultural production), merujuk pada pemikiran dari Dovey (2010). Secara konseptual, peran sebagai sebagai produsen budaya diterjemahkan ke dalam konsep “Ngewongke Godean”, artinya desain pasar dimaksudkan untuk mengangkat “kelas” pedagang pasar Godean yang ada lewat desain arsitektur. Dengan desain yang artistik, maka pengunjung pasar bukan hanya dari penduduk sekitar, namun juga menarik pengunjung yang lebih luas, seperti wisatawan. Aspek artistik merupakan kebaruan dari suatu desain pasar rakyat.

Kedua, dampak dari pengetahuan dalam sayembara bisa dilacak bukan hanya dari penghargaan yang didapatkan (juara III), namun bagaimana pengetahuan yang dibangun bisa memberikan dampak. Karena hanya juara III, maka hasil sayembara tidak terbangun. Maka dampak hanya bisa dilacak pada internal tim sayembara. Karena tim sayembara melibatkan dua startup enterprise, maka pengetahuan tentang desain pasar akan memberikan portofolio kepada startup tersebut.

Ketiga, keterlibatan dua startup enterprise mendorong sayembara dikerjakan secara kolektif dan kolaboratif. Sebagai akademisi, penulis berperan dalam mentransfer pengetahuan, terutama desain arsitektur sebagai produksi budaya, untuk di-exercise ke dalam desain arsitektur. Sementara startup pertama, yaitu Suatudio Arsitektur, berperan dalam mengelaborasi desain arsitektur secara kreatif, dengan menerjemahkan “produksi budaya” melalui konsep “Ngewongke Godean”. Sementara startup kedua, yaitu Nawabha Architecture Studio, berperan meng-exercise aspek-aspek teknis aneka gagasan kreatif ke dalam solusi-solusi teknis.

Dengan menempatkan sayembara arsitektur sebagai inovasi, maka muncul suatu pertanyaan, apakah suatu proses arsitektur itu merupakan proses kreatif dan sekaligus inovatif? Jika suatu proses desain arsitektur merupakan proses kreatif, maka jawabannya iya. Karena, sudah menjadi etos para arsitek untuk menghasilkan sesuatu yang baru, sesuatu yang berbeda dengan karya-karya sebelumnya, karena ini menjadi habitus dari profesi arsitek. Namun apakah kreativitas arsitektur itu otomatis akan bernilai inovatif? Jawabannya, belum tentu. Dalam kerangka inovasi, kreativitas baru mempunyai nilai inovasi jika kebaruan yang dihasilkan mampu memberikan dampak, apalagi jika dampaknya memberikan nilai tambah (added values) secara ekonomi dan sosial.

Singkatnya, inovasi membutuhkan kreativitas, namun kreativitas belum tentu bernilai inovasi, kalau tidak memberikan dampak, terutama dampak nilai tambah secara ekonomi dan/ atau sosial. Dengan membawa sayembara arsitektur ke diskursus tentang inovasi, maka kreativitas arsitektur perlu diperluas bukan hanya menghasilkan kebaruan, namun bagaimana kebaruan itu bisa memberikan dampak. Ketika memikirkan dampak, maka proses desain arsitektur perlu diperluas bukan hanya menghasilkan produk semata, namun bagaimana produk arsitektur bisa bermanfaat seluas mungkin.

 

Referensi

Dovey, K. (2010). Becoming Places: Urbanism/ Architecture/ Identity/ Power. Routledge.

Etzkowitz, H., & Leydesdorff, L. (1995). The triple helix–university-industry-government relations: A laboratory for knowledge-based economic development. EASST Review, 14(1), 14-19.

Rogers, E. (1962). Diffusion of Innovation. Free Books.

Schumpeter, J.A., 1934 (2008), The Theory of Economic Development: An Inquiry into Profits, Capital, Credit, Interest and the Business Cycle, New Brunswick (U.S.A) and London (U.K.): Transaction Publishers.

Yuliar, S. (2011). Transformasi Penelitian ke dalam Inovasi. Dewan Riset Nasional, Jakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *