Religiosities as Cultural Capital for Scientific Writing

Disampaikan pada: Workshop Penulisan Makalah Ilmiah Simposium Ilmiah Masjid V “Menghadapi Transformasi Teknologi dan Perubahan Generasi dengan Gerakan Keberlanjutan dari Masjid”, Asosiasi Masjid Kampus Indonesia, Bandung, 25 November 2023

Artikel:Ekomadyo (2023) – Religiousity and Scientific Writing Manner (Worshop SIM)

Tulisan ini diawali dengan ungkapan “Kekuatan Iman”. Ungkapan ini disampaikan oleh Pak Hermawan K. Dipojono dalam sebuah pengajian haji di Mina, tahun 2010. Lewat metafora sebuah negara adidaya yang mengerahkan sumber daya untuk mencegah senjata nuklir di negara lain, beliau menggambarkan bahwa kepercayaan, yang belum tentu ada bukti valid, bisa menggerakkan orang. Lewat metafora itu, beliau menyatakan bahwa muslim itu punya iman, dan iman itu bisa menjadi sumber kekuatan untuk menggerakkan sesuatu.  Artinya, sebagai seorang yang beriman (as believers) iman merupakan sumber kekuatan untuk bagi diri sendiri misalnya beramal, bahkan menggerakkan orang untuk berbuas sesuatu demi kemaslahatan bersama.

Dalam perspektif inovasi, kekuatan iman itu bisa diterjemahkan sebagai  “religiousity as cultural capital for innovation and research”.  Istilah ini muncul dari temuan riset bagaimana inovasi berbasis pengetahuan astronomi bisa mampu memberikan dampak secara ekonomi dan sosial kepada masyarakat sekitar (Santri, dkk., 2019, Ekomadyo, dkk., 2020, Aditra & Ekomadyo, 2021). Cultural capital, atau modal budaya, diartikan sebagai pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skills), tatakrama (manners), dan mandat (credentials) yang didapatkan melalui pendidikan dan pengasuhan (Bourdieu, 1986, Dovey, 2010). Modal budaya tersirkulasi dan bisa saling ditransformasikan ke dalam modal sosial dan modal ekonomi (Swartz, 1997). Dalam banyak kasus, banyak orang atau komunitas yang mengembangkan inovasi dimulai dengan modal budaya dahulu, baru kemudian menjadi modal ekonomi melalui modal sosial. Ini terjadi, misalnya, pada komunitas pecinta kopi manual di Bandung, yang memulai bisnis kopi dari kedai sederhana, penyelenggaraan event komunitas, hingga mampu membangun café yang punya nilai komersial yang tinggi (Ekomadyo, 2019). Beberapa aktivis muslim ternyata mengartikulasikan kekuatan iman dalam upaya gerakan pemberdayaan masyarakat, dan artikulasi ini bersifat variatif tergantung dari latar belakang aktivis dan konteks spatio-temporal gerakan yang dilakukan.

Mengapa menulis perlu diniatkan sebagai ibadah? Mengapa keimanan muslim perlu ditransformasikan ke dalam riset dan inovasi? Apakah religiusitas muslim yang berisi keimanan terhadap penugasan sebagai manusia di bumi, bisa menjadi modal budaya untuk menghasilkan pemikiran dan pengetahuan yang bisa berdampak untuk masyarakat banyak?

Ada beberapa alasan muslim cendikia perlu mendidekasikan diri ke dalam dunia riset dan inovasi. Pertama, kemajuan suatu masyarakat ternyata ditentukan oleh penguasaannya akan teknologi yang didukung oleh temuan-temuan ilmiah berbasis sains. Contoh terbaru adalah perkembangan Cina sebagai kekuatan yang berpengaruh di dunia, yang semakin terasa ketika negeri ini mengembangkan riset dan inovasi setelah mengembangkan kekuatan buruh, petani, dan pengusaha (Iskan, 2023). Sebelumnya, negeri Jepang juga menjadi negara maju karena adanya etos adopsi teknologi dengan metode mengamati dan meniru dari apa yang dilakukan negara Barat. Bahkan negara-negara Barat pun, seperti Amerika ketika Abad ke-20 atau Eropa pada masa Kolonialisme, juga menjadi negara-negara yang berpengaruh karena penguasaannya akan teknologi dan ada ilmu pengetahuan yang menjadi dasar pengembangannya. Bahkan kemajuan peradaban Islam Abad Pertengahan pun juga ditandai dengan kemajuan dan penghargaan terhadap ilmu pengetahuan.

Kedua, munculnya kritik terhadap determinisme pengetahuan modern dan potensi kontribusi para cendekiawan muslim (muslim scholar). Modernisme yang deterministik banyak dinilai mengabaikan aspek humaniora, termasuk spiritualitas manusia, sehingga ilmu pengetahuan modern dianggap kurang memberikan ruang bagi pencarian makna tentang kehidupan. Ilmu pengetahuan modern lemah dalam menjawab hidup untuk apa. Beberapa Ilmuwan muslim mencoba melakukan harmonisasi antara spiritualitas yang dikembangkan dalam dunia islam untuk mengisi kekosongan makna dari sains modern yang dianggap terlalu deterministik dan materialistik (Guessoum, 2010).

Ketiga, adanya upaya reaktualisasi keilmuan klasik Islam agar relevan dengan ilmu pengetahuan modern saat ini. Diakui, tradisi keilmuan klasik pada Abad Pertengahan memberikan kontribusi signifikan pada semangat Pencerahan (Rennaissance) yang mendorong masyarakat Eropa untuk maju dengan mengembangkan ilmu pengetahuan. Beberapa ilmuwan muslim saat itu, seperti Ibnu Khaldun, diakui sebagai salah satu peletak dasar disiplin Ilmu Sosial Modern (Ritzer & Stepnisky, 2017). Dedikasi dalam tradisi muslim klasik sebenarnya masih berlangsung hingga saat ini, namun karena ini banyak berlangsung secara informal, etos ini tidak banyak diketahui oleh masyarakat modern (Shihab, 2020). Perlu berbagai terobosan agar etos kecintaan terhadap ilmu masih ada pada tradisi keilmuan Islam klasik agar bisa selaras (aligned) dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern (Madjid, 1999).

Dari ketiga argumen tersebut, maka menulis ilmiah, bisa menjadi ibadah karena tiga hal di atas: memajukan masyarakat, berkontribusi pada kemajuan pengetahuan modern dari aspek spiritualitas dan makna hidup, dan mereaktualisasi tradisi keilmuan Islam agar lebih diakui oleh kemajuan pengetahuan modern. Ketiganya bisa menunjukkan bagaimana Islam menjadi “Rahmat lil Alamin”. Dengan “Bismilah”, menulis ilmiah akan bisa bernilai sebagai “Ilmu yang Bermanfaat”, paling tidak etos untuk tekun dalam menuliskan pemikiran agar menjadi pengetahuan yang terstruktur, bisa menginspirasi orang lain dalam melakukan hal serupa. Ada kemanfaatan secara kultural terhadap sikap yang dibangun.

Meneladani para muslim yang menjadi ilmuwan yang berpengaruh di dunia, ternyata ditemukan ada konsistensi dan persistensi dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan (Abdullah, 2017). Konsistensi dan persistensi ini ternyata juga menjadi etos para ilmuwan secara umum, di mana pengetahuan yang mereka kembangkan kemudian memberikan manfaat kepada dunia. Dalam lingkup yang lebih kecil, penulis bersama para peneliti yang lain dalam sebuah forum diingatkan untuk memilih bersusah payah dalam menuliskan hasil penelitian dalam forum ilmiah bereputasi, daripada memilih jalan pintas lewat calo atau jurnal predator: budaya ilmiah lebih menghargai jerih payah seseorang.  Konsistensi dan persistensi ini dalam bahasa Islam disebut sebagai al istiqamah. Dalam al Quran, istilah ini kita baca secara berulang-ulang lewat “ih dina al shirath al mustaqim” (Al Quran: 1:6).

Bagi diri sendiri, menulis sebenarnya cara paling akuntabel dalam melatih cara berpikir. Dengan menulis, kita melatih diri untuk menstrukturkan pemikiran. Ada proses di dalam pikiran ketika gagasan muncul, kemudian dituliskan sementara, diendapkan, distrukturkan, dibaca ulang, lalu dituliskan kembali agar bisa dipahami oleh pembaca. Ada proses berlatih berpikir saat menulis.

Menulis ilmiah adalah cara mengembangkan diri, terutama pengembangan intelektualitas bagi seseorang. Bagi muslim, intelektualitas ini menjadi penting ketika dunia Islam perlu mendapatkan pengakuan dan penghargaan oleh masyarakat modern. Dan jika ini terasa berat karena belum menjadi kebiasaan dan budaya, maka konsistensi dan persistensi dibutuhkan agar kebiasaan dan budaya itu bisa tumbuh dan berkembang. Dan seperti ketika kita kesulitan saat mendapatkan ujian hidup yang menjadi syarat agar kita bisa menjadi lebih baik, maka saatnya ada satu tujuh ayat yang kita baca berulang-ulang yang relevan untuk kita hayati: “Ihdina al shirath al mustaqim”.

Referensi:

Al Quran al Karim

Abdullah, M. (2018). Kita Harusnya Malu dan Tersinggung. Paparan di Masjid Salman, 7 April 2018

Aditra, R.F., & Ekomadyo, A.S. (2021).  Adoption of Innovation in Segregated Construction Project. Jurnal RUAS (ISSN 1693-3702 E-ISSN 2477-6033), 19 (1) 57-67, https://ruas.ub.ac.id/index.php/ruas/article/view/304/0

Bourdieu, P. (1986). The Forms of Capital. Richardson, J.G. (ed). Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education, New York: Greenwood Press.

Dovey, K. (2009). Becoming places: urbanism/architecture/identity/power. Routledge.

Ekomadyo, A.S., dkk. (2020). Membina Lingkungan Lewat Inovasi Sosial, Belajar dari Imahnoong dan Pasar Purnama Lembang. Penerbit YPM Salman ITB Bidang Pengkajian dan Penerbitan. ISBN 978-623-91847-2-8

Ekomadyo, A.S. (2019).  Bandung Kota Kafe: Produksi Ruang Kafe oleh Komunitas Kopi di Kota Paris van Java. Book Chapter pada Novianto, M., Nuzir, F.A., dan Maha Putra, I N.G (2019). Antologi Kota Indonesia #2. ISBN: 978-602-5615-832. OMAH Library, Jakarta.

Guessoum, N. (2010). Islam’s Quantum Question: Reconciling Muslim Tradition and Modern Science. London: LB Tauris and Co,

Iskan, D. (2023). Teladan Dari Tiongkok. Pustaka Obor Indonesia.

Madjid, N. (1999). Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Mizan

Ritzer, G. & Stepnisky, J.N. (2017). Modern Sociological Theory. SAGE Publications

Saliba, G. (2007). Islamic Science and the Making of the European Renaissance. The MIT Press

Santri, T., Ekomadyo, A.S., Aditra, R.F. (2019). Genius Loci Kampung Areng di Lembang. Studi Kasus: Wisata Astronomi Imah Noong di Desa Wangunsari Kampung Eduwisata Areng Lembang Kabupaten Bandung Barat.  Jurnal TIARSIE, 16 (4), 121-124. DOI: https://doi.org/10.32816/tiarsie.v16i4.68,

Swartz, D. (1997). Culture and Power: The Sociology of Pierre Bourdieu.  The University of Chicago Press.

Shihab, N. (2020).  Lebih Dekat dengan Gus Baha (Part 1), Shihab & Shihab. https://www.youtube.com/watch?v=TDspKy-JHNU&t=851s

Jalan Ilmu Pengetahuan: Belajar Lewat Tindakan

Catatan dari Seminar Ilmiah Pascasarjana #3, Menjadi Peneliti Profesional dengan Etos Kerja Tinggi dan Beretika, Keluarga Mahasiswa Islam (KAMIL) Pascasarjana ITB, Sabtu, 21 Oktober 2023

Materi Presentasi: Ekomadyo (2023) – Jalan Ilmu Pengetahuan Muslim Cendekia (Seminar KAMIL)

Sebagai orang yang dididik menjadi arsitek, perlu ada beberapa strategi ketika diminta berbicara tentang ethos dan ethics dalam penelitian. Ada tiga “dunia yang berbeda”: dunia arsitektur, dunia penelitian, dan dunia ethos dan ethics. Apalagi jika dikaitkan dengan Islam, tentu semakin beraneka dunia yang perlu dilihat dan coba untuk dirajut. Untuk melihat sesuatu yang berbeda dalam suatu kesatuan, pendekatan filosofis menjadi penting.

Pendekatan filosofis ini perlu dilakukan karena tradisi meneliti bukan menjadi tradisi profesi arsitek yang lebih berorientasi pada penerapan kreativitas untuk pemecahan masalah. Menjadi peneliti adalah kewajiban pengajar di universitas pada masa kini, termasuk dalam bidang arsitektur. Di dunia profesi arsitektur memang ada kode etik arsitek, namun rasanya kode-kode (aturan yang disepakati bersama) dalam dunia profesi arsitek rasanya berbeda dengan ethics dan ethos dalam penelitian.

Lalu, pendekatan filosofis apa yang saya pilih? Tentu tidak jauh dari ontologi Teori Jaringan-Aktor, yang mendasarkan kajiannya dengan “following someone doing something”. Dengan ontologi ini, maka belajar arsitektur sejatinya adalah “following architect design something”, atau “following architect in action”. Dalam bahasa praktisnya adalah magang, nyantrik, atau apprentices. Artinya, beyond code, belajar etika dalam dunia arsitektur adalah lewat magang dari arsitek: nilai-nilai apa yang dia anut, bagaiama jika ada pertentangan nilai, dan bagaimana konsisten dan membangun adaptasi dari pertentangan nilai tersebut.

Dari pendekatan ini, maka cara mem-follow arsitek dalam membangun ethics dan ethos saya transformasikan untuk berbicara tentang ethics dan ethos dalam penelitian: following scientists in action. Sama seperti arsitek, ketika mereka bekerja dan bertindak, bagaimana membangun nilai-nilai, penyesuaian-penyesuaian, dan konsistensi, menjadi hal yang penting untuk dipelajari. Learning ethics and ethos from someone’s action.

Dengan demikian, metode ini tidak terlalu sulit untuk menjelaskan bagaimana ethics dan ethos untuk dunia Islam: following Muslim Scholar in Action. Bagaimana para Muslim Scholar membangun ethos dan ethic mereka. Sebagai muslim, tentu mereka mengambil al Quran sebagai referensi. Dan ternyata, banyak variasi dalam artikulasi nilai-nilai Islam dalam tindakan, dan ini ditentukan oleh dua hal: latar belakang sang Muslim dan konteks ruang waktu yang dihadapi. Dalam ANT dikenal circulating references: ini bisa menjelaskan bagaimana para Muslim Cendekia mengartikulasikan pesan-pesan dalam al Quran dalam menempuh jalan Ilmu Pengetahuan.

Modal Budaya dalam Tatakelola Pasar Rakyat Menghadapi Disrupsi Teknologi

Catatan dari Sosialisasi  Pembinaan Pasar Rakyat Strategi Pengelolaan Pasar Rakyat di Era Digitalisasi, Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, Pekanbaru, 12 Oktober 2023

Materi presentasi: Ekomadyo (2023) – Modal Budaya Era Digital Pasar Rakyat

 

Sebagai arsitek yang mendalami pasar rakyat, adalah menjadi tantangan tersendiri untuk membawa discourse tentang pasar rakyat ke dalam discourse arsitektur dan begitu pula sebaliknya. Sampai saat ini, dunia arsitektur lebih banyak berorientasi pada masalah teknis tentang wujud bangunan yang baik. Di sisi lain, di Indonesia, masalah pasar rakyat masih lebih banyak pada aspek tatakelola: lebih banyak masalah sosial daripada masalah teknis. Menjadi pertanyaan yang perlu dijawab, bagaimana aspek-aspek teknis yang menjadi concern arsitektur bisa relate dengan permasalahan sosial yang lebih banyak berada di pasar rakyat.

Adalah Kim Dovey (2010), pemikir Arsitektur dan Urbanisme, yang mampu memformulasikan aspek teknis, dalam hal ini ruang arsitektural, dengan aspek sosial. Kata beliau: “if space is socially constructed, the social is spatially constructed”. Artinya, ada relasi mutual antara ruang arsitektural dengan ruang sosial: ruang arsitektur membentuk karakter sosial, dan sebaliknya, ruang sosial juga membentuk representasi arsitekturalnya. Arsitektur pasar yang baik akan dihasilkan oleh tatakelola yang baik, dan sebaliknya, tatakelola pasar yang baik akan mewujudkan arsitektur pasar yang baik pula.

Selanjutnya, dengan mengutip Bourdieu (1986), Dovey menyebut peran arsitek dan karya arsitekturnya sebagai Cultural Producters (Produsen Budaya). Peran ini saya sederhanakan dengan peran arsitek lewat karya arsitekturnya adalah membuat suatu kelompok masyarakat menjadi “naik kelas”. Arsitek yang mampu menjalankan perannya sebagai cultural producer bagi pasar rakyat adalah Thomas Karsten. Lewat pengetahuannya tentang lokalitas dan budaya masyarakat setempat, dipadukan dengan kompetensi teknis sebagai arsitek, Karsten bisa menjadikan pasar-pasar yang ia rancang, antara lain Pasar Djohar Semarang dan Pasar Gede Surakarta, sebagai kebanggaan warga kota tersebut.

Ketika berbicara disrupsi, saya memilih berbicara tentang modal budaya (cultural capital) daripada teknologi. Menurut Bourdieu (1986), modal budaya adalah pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill), tatakrama (manners), dan mandat (credentials) yang didapatkan lewat pendidikan, pengasuhan, dan pemagangan. Modal budaya tersirkulasi dan saling bisa ditransformasikan dalam arena sosial bersama modal ekonomi dan modal sosial. Dengan demikian, modal budaya relatif ada dalam kendali dari orang-orang yang mempunyainya. Berbeda dengan teknologi, bisa berubah setiap saat, dan sering di luar kendali dari orang-orang yang terkena dampak teknologi tersebut. Pengalaman seorang kepala pasar, ketika mengenalkan teknologi baru ke pedagang pasar, perlu kesabaran tertentu, karena sebagian besar pedagang sudah sepuh. Kesabaran, merupakan bentuk tatakrama (manners), sebagai modal budaya yang dipunyai kepala pasar tersebut.

Lebih dalam dari itu, Widiastuti (2018) memilih perjalanan spiritual manusia saat menjelaskan industri 4.0. Dengan mengambil metafora dari cerita Pinokio si Boneka Kayu, Widiastuti menjelaskan bahwa teknologi bisa membuat manusia terdistraksi dalam aneka kesenangan sementara, seperti pinokio yang terdistraksi dari perjalanan ke sekolah seperti permintaan penciptanya, Gepeto. Distraksi tersebut kemudian membuat Pinokio terjebak menjadi keledai yang justru tereksploitasi oleh kesenangan sementara tersebut. Di akhir cerita, Pinokio si Boneka Kayu menjadi anak manusia, karena mampu mengarung ke dalam samudra menyelematkan sang pencipta, Gepeto. Lewat cerita ini, Widiastuti mengingatkan, apa pun perkembangan teknologi, perjalanan untuk menjadi manusia seutuhnya: jatidiri sebagai manusia

Lalu, apa jatidiri pasar rakyat di Indonesia? Ketika sedang memulai program revitalisasi di Indonesia, terbit sebuah buku yang ditulis oleh para akademisi, pengambil kebijakan tingkat pusat dan daerah, perwakilan pengelola, dan perwakilan pedagang. Buku itu berjudul “Rumah Ekonomi Rumah Budaya” (Basri, dkk., 2016). Judul tersebut menunjukkan, ada nilai-nilai budaya yang tercipta dalam aktivitas jual beli di pasar rakyat. Salah satu kontributor buku itu adalah mantan Walikota Surakarta yang kemudian menjadi presiden RI, yang menyebutkan konsep “ngewongke” (memuliakan manusia) sebagai kunci dalam aneka program revitalisasi pasar. Dalam tradisi masyarakat Jawa, dikenal istilah “Mantri Pasar”, di mana konsep “ngewongke” perlu diartikulasikan oleh kepala pasar dalam tataran praktis: mengelola kepentingan para pelaku pasar. Seorang Mantri Pasar perlu kapasitas menata relasi kuasa, dan ini akan terkait dengan menata ruang-ruang di pasar rakyat (Kuntowijoyo, 1994).

Dalam tatakelola pasar rakyat, modal budaya terbentuk karena relasi antar manusia yang terlibat dalam aktivitas pasar rakyat tersebut. Relasi antar manusia tersebut dimediasi oleh keberadaan aneka objek-objek teknis. Di sini, arsitektur tersusun sebagai komposisi dari aneka-aneka objek teknis tersebut yang memerankan perannya sebagai mediator modal budaya dari para pelaku pasar. Bangunlah jiwanya, bangunlah raganya. Sebagai sebuah raga, arsitektur pasar rakyat yang “excellence” akan mencerminkan jiwa tatakelola pasar yang “excellence” juga. Arsitektur pasa jwa tatakelola pasar rakyat yang excellence juga.

 

Referensi:

Basri, C. (2018). Rumah Ekonomi Rumah Budaya: Membaca Kebijakan Perdagangan Indonesia. Gramedia.

Bourdieu, P. (1986). Form of Capital. Dalam Richardson, J. Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education. Westport, CT.

Dovey, K. (2010). Becoming Places: Architecture/ Urbanism/ Identity/ Power. Routledge.

Kuntowijoyo (1994). Pasar. Gramedia

Widiastuti, I. (2018). Pembangunan, Manusia Indonesia, dan Petualangan Pinokio. Talkshow “Future Challenge”, Homecoming Alumni Magiser Studi Pembangunan, SAPPK ITB, 8 Desember 2018, Gedung CRCS ITB.

Composition in Architecture: Form FORM to FUTURE

Catatan dari Kuliah Publik Compositing Better Future Perspektif Kewirausahaan untuk Mahasiswa Arsitektur

Universitas Trisakti, 17 Maret 2023

Materi Presentasi: Ekomadyo (2023) – Compositing Better Future (Kuliah Tamu Trisakti)

 

Ada beberapa keistimewaan yang dimiliki oleh arsitek, yang sering arsitek sendiri tidak terlalu menyadarinya.Pertama, sebagai desainer, arsitek mempunyai cara pemikiran unik yang sering mempu menyelesaikan masalah yang rumit (wicked problems). Cara berpikir desain, yang kemudian terkenal dengan sebutan “design thinking”, diadopsi oleh disiplin lain untuk mengembangkan pemikiran dalam menyelesaikan masalah yang rumit, termasuk dalam dunia inovasi. Pemikir Desain Brian Lawson punya kutipan tentang ini: “Design thinking is a way of understanding the world that begins with the way we experience it. It is a process of inquiry that seeks to understand the dynamics of the world around us and to use that understanding to develop new ways of solving problems.” (Lawson, How Designers Think, 2006, p. 1)

Kedua, kemampuan dalam  membayangkan masa depan. Mari kita ambil contoh sebuah proyek rumah tinggal yang dirancang oleh arsitek. Pada awalnya, rumah tinggal tersebut berupa site kosong. Kemudian, dengan pengetahuan yang dimilikinya, arsitek mampu membuat gambar tentang desain rumah tinggal. Lalu, desain digunakan sebagai panduan membangun, dan terbangunlah rumah tinggal seperti yang dibayangkan arsitek. Tanpa disadari, arsitek dibekali dengan kemampuan untuk membayangkan masa depan.

Kemampuan membayangkan masa depan tersebut  menjadi kontribusi penting arsitek dalam membuat dokumen gambar yang memandu proses pembangunan untuk mewujudkan sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Misalnya, dari site kosong menjadi rumah tinggal yang nyaman dan indah buat suatu keluarga tertentu. Arsitek tidak membuat bayangan berdasarkan imajinasinya sendiri, namun merangkum berbagai masalah dari banyak orang yang terlibat agar desain yang dihasilkan mampu memandu harapan orang-orang tersebut tentang suatu kondisi masa depan yang lebih baik (a better future). Di sini, Kim Dovey menyebutkan desain merupakan “assemblage desire for better future”. “”Design is an assemblage of material, social, and discursive elements that together produce a particular kind of place. It is also an assemblage of desires – a desire for a better future, a better society, a better world. Design is not simply a matter of solving problems or accommodating human needs. It is a way of imagining and realizing alternative futures, of creating new possibilities for human life.” (Dovey, Becoming Places, 2010, p. 9)

Anugerah yang sering luput membuat asyik merancang “masa depan” dari suatu objek semata, yang dinamakan objek arsitektural. Membuat gubahan yang baik, dengan prinsip-prinsip teknis, fungsi, dan estetika. Sebagus apa pun gubahannya, objek arsitektural adalah benda mati. Sementara, yang akan membangun, menggunakan, dan terdampak terhadap objek arsitektural tersebut adalah manusia. Beberapa arsitek memang sudah secara eksplisit menyebutkan pentingnya relasi manusia dan gubahan arsitektur, seperti Arsitek Denny Setiawan yang memperjuangkan “arsitektur yang membahagiakan”: membahagiakan klien, membahagiakan arsitek, dan membahagiakan orang lain: “Only happy architect can make architecture of happiness”

Menggubah masa depan yang lebih baik sebenarnya merupakan tindakan kolektif. Gubahan arsitektur sebenarnya menjadi delegasi dari kehendak aktor-aktor yang terlibat. Arsitek akan happy jika mereka yang terlibat pekerjaan arsitektural tersebut akan happy juga: desain adalah menjadi peraantara untuk kebahagiaan itu. Masa depan akan dijembatani oleh objek arsitekur, namun hal yang lebih baik akan dirasakan oleh terlibat: pemilik, pengguna, para pekerja, publik, dan tentu saja, arsitek itu sendiri.

Dalam perspektif kewirausahaan, maka kemampuan yang dimiliki oleh arsitek merupakan pengetahuan, dan bagaimana pengetahuan ini bisa mempunyai dampak ekonomi. Kemampuan merancang arsitek bisa diperluas dari sekadar mengkomposisi bentuk menjadi mengkomposisi aneka hal agar bisa menghasilkan ekonomi. Dari mendesain rumah menjadi mendesain usaha.

Namun hal penting dari perspektif kewirausahaan adalah bagaimana arsitek bisa menjadi lebih baik setelah merancang.  Dan ini merupakan hal yang tidak mudah, dan sering kurang diarancang oleh arsitek itu sendiri. Arsitek lebih sering merancang objek, dan terlewat untuk merancang masa depan dirinya sendiri. Dengan perspektif kewirausahaan, maka arsitek bisa lebih aware untuk merancang masa depan ekonomi bagi dirinya. Hanya arsitek yang mampu meningkatkan ekonomi dirinya yang akan mampu meningkatkan ekonomi dari orang-orang di sekitarnya.

Pasar Rakyat sebagai Agen Keberlanjutan Pangan

Catatan dari Diskusi Kelompok Terfokus Pasar Rakyat sebagai Simpul Food Resilience Mendukung Tata Kelola Rantai Pasok yang lebih Optimal dan Efisien. Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan RI, 7 Oktober 2022

Materi Presentasi: Ekomadyo Cahyono Sudrajat (2022) – Pasar Rakyat dan Kelenturan Pasokan Pangan 20221007

Link kegiatan: https://ditjenpdn.kemendag.go.id/detail/subslider2/1406/slider, https://www.youtube.com/watch?v=64WMaNG5p8I

Secara arsitektural, fenomena pasar rakyat adalah fenomena ruang keseharian. Namun, oleh pandangan determinisme modernisme, pasar rakyat sering luput oleh perhatian profesionalisme arsitek. Ada bias “capital flow” dalam praktik profesi arsitek: arsitek akan bekerja jika ada economic capital, akhirnya concern arsitek akan lebih dideterminasi oleh pada objek-objek arsitektural dimana akumulasi kapital ekonomi lebih besar. Seperti gula yang menarik perhatian semut, sementara semut mustinya bisa hidup tanpa tergantung pada gula. Akibatnya, ketika arsitek melihat suatu fenomena “pasar rakyat”, maka yang ter-determinasi adalah “rancangan arsitektur pasar rakyat”. Dan, tanpa disadari, dibalik suatu pandangan “rancangan arsitektur pasar rakyat” ada suatu “proyek desain”, dan suatu “proyek”, akan melibatkan aliran capital (capital flow) di dalamnya.

Sementara, sebagai suatu “objek arsitektural”, suatu pasar rakyat mengandung banyak sekali pengetahuan. Bukan hanya suatu “ruang” yang berisi kumpulan barang dan jasa, sebuah pasar rakyat terbangun oleh suatu jejaring mereka-mereka yang menghidupkan pasar tersebut. Ada aliran modal (capital flows), baik modal ekonomi, sosial, dan budaya. Karena ada aliran (flows), maka akan ada aneka sirkulasi dari barang dan jasa. Ketika ada sirkulasi, akan ada aneka translasi: ketika para agen-agen pasar (market agencements) melakukan aneka penyesuaian dalam membangun relasi untuk sirkulasi tersebut. Di sini, pasar sebagai sebuah jejaring terbentuk, dan bangunan pasar adalah simpul dari jejaring tersebut.

Dalam perspektif pengetahuan arsitektural, maka bangunan pasar adalah “wadah” dari aktivitas pasar. Tentu bukan bangunan tanpa makna, seperti bangunan pasar yang sepi dan menjadikan pasar seperti tanpa “ruh”. Bangunan pasar menyediakan aneka ruang, yang disebut “place”: karena ruang-ruang-ruang tersebut “hidup” oleh aneka aktivitas. Aktivitas ini yang menciptakan “ruh” pada bangunan pasar.

Ketika muncul isu tentang keberlanjutan pangan (food sustainability), maka pasar rakyat pun bisa dilihat sebagai simpul dalam kelenturan pasokan pangan (food-supply resilience) untuk masyarakat. Pasar menjadi tempat di mana masyarakat bisa secara lentur mendapatkan sumber-sumber pasokan pangan yang berkelanjutan. Karena di pasar, para pedagang tidak akan tinggal diam ketika ada masalah dalam pasokan pangan, mereka akan mencari sumber-sumber yang memadai untuk mendapatkan pasokan tersebut. Jadi kelenturan ini bukan sekadar menjaga keberlanjutan pasokan pangan untuk masyarakat, namun juga keberlanjutan ekonomi dari para pedagang pasar.

Namun, seperti masalah klise di Indonesia, apakah kelenturan ini atas usaha pedagang, atau ada intervensi dari institusi? Mungkin sesekali negara hadir, antara lain lewat operasi pasar. Ya, sesekali, itu kalau ada masalah yang penting. Nah, bisakah negara hadir setiap hari?

Keseharian negara di pasar rakyat sebenarnya terepresentasikan lewat kehadiran pengelola. Selain masalah mismanagement yang belum sepenuhnya terselesaikan dalam program revitalisasi pasar rakyat di Indonesia, ada masalah relasi yang kurang mutual antara pedagang dan pengelola. Pengelola hanya sekadar menjadi agen pasar penerima retribusi saja. Sementara, jejaring pasar begitu luas terhampar di hadapan pengelola pasar. Banyak kendala, sehingga peluang untuk lebih berperan sebagai agen pasar tidak bisa termanfaatkan.

Apa hubungannya dengan arsitektur? Nah, jika pengelola pasarnya mumpuni, maka akan terepresentasi pada bangunan arsitektur yang baik. Seperti halnya pengelola, bangunan pasar juga hadir dalam keseharian pasar. Namun pengelola pasar juga merupakan fenomena jaringan, keberadaannya di pasar juga dalam situasi sosial yang kompleks. Bangunan pasar memang menjadi kerangka agar pengelola pasar bisa bekerja dengan baik, termasuk ketika akan mengambil peran sebagai agen penjaga keberlanjutan pasokan pangan. Di sini pendekatan sosial tidak akan memadai karena akan menghadapi kerumitan yang luar biasa. Pendekatan teknis juga tak memadai, karena akan lebih banyak aspek non-teknis yang berperan. Yang dibutuhkan adalah pendekatan sosioteknis, di mana ada objek teknis yang cenderung stabil, namun menjadi delegasi dari para pelaku pasar dalam bekerja.

Modal Budaya untuk Ilmuwan, Insinyur, dan Desainer

Menuju Sinergi antara Cultural Studies dan Science and Technology Studies

Seri Kuliah Publik AR6112 Budaya Lokal dalam Perancangan Arsitektur tahun 2020

Sesi 1: Pengantar: Budaya dan Perancangan Arsitektur: dari Pendekatan Tradisional ke Kontemporer

Pembahasan budaya dengan arsitektur sering diasosiasikan dengan budaya tradisional. Padahal arsitektur hadir dalam konteks masa kini. Kuliah publik ini akan berisi berbagai alternatif pendekatan membawa tradisi ke dalam budaya kontemporer.

Materi Presentasi: Ekomadyo (2020) – Sesi 1 Budaya Desain Arsitektur Tradisional Kontemporer

Link video: https://www.youtube.com/watch?v=wE5ZxSltLBA&feature=youtu.be

 

Sesi 2:Desainer sebagai Produsen Budaya

Cultural Studies muncul sebagai disiplin untuk membahas budaya kontemporer. Kuliah publik ini berusaha menggunakan Cultural Studies untuk desain arsitektur, terutama teori field of capital dari Bourdieu.

Materi Presentasi: Ekomadyo (2020) – Sesi 2 Desainer Produsen Budaya

Link video: https://www.youtube.com/watch?v=kd9twR7J7Rc

 

Sesi 3:  Pendekatan Budaya untuk Sains dan Teknologi: Belajar dari Teori Jaringan-Aktor

Actor-Network Theory (ANT) muncul karena melihat budaya kerja dari para saintis dan engineer. Bisakah ANT menjadi metode ilmiah untuk mengkaji desainer dalam praktik?

Materi Presentasi: Ekomadyo (2020) – Sesi 3 Pendekatan Budaya untuk Teknologi ANT

Link video: https://www.youtube.com/watch?v=iILXZ2QMzDg

 

Sesi 4: Pendekatan Budaya untuk Inovasi dan Kemaslahatan Teknologi dan Desain

Berbeda dengan Cultural Studies yang cenderung membongkar struktur yang ada, maka ANT lebih memilih untuk merajut kembali pecahan-pecahan realitas yang dipetakan dalam sebuah kolektif. Apakah ANT bisa menjadi dasar ilmiah bagi saintis, engineers, dan desainer untuk bekerja dengan pendekatan budaya?

Materi Presentasi: Ekomadyo (2020) – Sesi 4 Budaya untuk Kemaslahatan Teknologi dan Desain

Link video: https://www.youtube.com/watch?v=8btQzptVQkA&t=16s