Unearth the Beauty: Sebuah Model Desain Kolektif untuk Pemberdayaan Masyarakat melalui Arsitektur Terakota di Desa Jatisura, Jatiwangi, Majalengka

Pengantar untuk Book Chapter “Mengetalasekan Terakota”, dalam buku Teknologi Pelestari: Budaya Ilmiah Unggul untuk SDGs. Yuli S. Indartono, dkk. ITB Press.

Link Buku: https://online.fliphtml5.com/wyysv/luri/#p=1

Dalam dunia arsitektur, dikenal konsep Perancangan Partisipatif (Participatory Design), yang diturunkan dari konsep Pembangunan Berbasis Komunitas (Community Based Development/ CBD). Meskipun punya semangat untuk memberdayakan, konsep CBD hadir tidak dalam ruang hampa, namun ada diskursus (discourse) tertentu yang menyertainya. Konsep CBD lahir dari diskursus perhatian dan bantuan dari negara-negara maju (developed countries) kepada negara-negara berkembang (developing contries) agar tidak terjadi kesenjangan pembangunan yang dalam jangka panjang bisa membahayakan bagi dunia. Dari konsep CBD, muncul konsekuensi perencanaan partisipatif (participatory planning), yang mensyaratkan perencanaan pembangunan yang melibatkan komunitas secara aktif, sebuah model bottom up yang menjadi antitesis dari model perencanaan top down dari pemerintah yang sering tidak efektif dan tidak tepat sasaran karena minimnya pelibatan masyarakat secara aktif. Ketika para arsitek dan desainer masuk ke dalam aneka proyek CBD, maka berkembanglah perencanaan partisipatif menjadi perancangan atau desain partisipatif (participatory design). Di Indonesia, tokoh utama desain partisipatif adalah Romo Mangunwijaya di Yogyakarta yang banyak dipengaruhi oleh filsafat Fenomenologi dari Martin Heidegger (1927), dan Pak Hasan Poerbo di Bandung yang banyak dipengaruhi System Thinking dari Benjamin Handler (1970).

Meskipun pada awalnya dimaksudkan sebagai kegiatan untuk memberdayakan masyarakat, namun dalam pelaksanaannya muncul banyak kritik terhadap desain partisipatif. Pertama,  selalu ada partisipasi dari orang lain selain perancang dan pemberi tugas (yang sering disebut pemangku kepentingan/ stakeholders) dengan tingkat partisipasi yang berbeda-beda. Karena pada hakikatnya, desain merupakan proses sosial (design as social process) mana akan banyak pihak yang terlibat yang mempunyai pengetahuan, sudut pandang, preferensi, dan kepentingan masing-masing (Dorst, 2003). Bahkan dalam pekerjaan desain paling sederhana sekalipun, misalnya rumah tinggal, seorang arsitek akan melibatkan para pemangku kepentingan (bapak, ibu, anak, dan pembantu kalau ada), meski sering aspirasi para pemangku kepentingan tersebut hanya diwakili oleh satu orang saja (biasanya bapak sebagai pemberi tugas). Namun dalam banyak kasus, sang bapak sebagai pemberi tugas melibatkan anggota keluarga lainnya dalam pengambilan keputusan desain, karena kenyamanan dalam menggunakan rumah sebagai hasil rancangan akan tergantung dari preferensi masing-masing anggota keluarga.

Kedua, pendekatan kedua tokoh desain partisipatif di atas, Romo Mangun dan pak Hasan Poerbo, sepeninggal keduanya, pun mendapatkan banyak kritik.  Pak Hasan, karena tujuannya adalah pengembangan komunitas secara sistematis, maka aspek artistik dalam desain sering tidak ditonjolkan. Padahal, arsitek sebagai desainer adalah makhluk kreatif, di mana aspek artistik menjadi penting sebagai delegasi dari kreativitas arsitek. Sementara Romo Mangun, pendekatan fenomenologi yang menekankan pada subjektivitas punya kelemahan ketergantungan sangat tinggi terhadap kehadiran Romo Mangun dalam proyek-proyek beliau. Kalau Romo Mangun tidak bisa hadir karena tugas lain, maka proyek berhenti. Ini yang terjadi di Sendang Sono. Di Kampung Kali Code, yang kehadiran Romo Mangun awalnya ditujukan untuk membela kelompok marginal kota (disebut Girli atau Pinggir Kali), namun sepeninggal beliau, di Kali Code sekarang ruh perjuangan beliau hilang, bahkan di kampung tersebut muncul bangunan-bangunan permanen yang justru membahayakan ekosistem sungai.

Ketiga, adalah tokenisme. Artinya perencanaan dan perencanaan partisipatif sering hanya menjadi “stempel” terhadap kebijakan pembangunan tertentu (Toker, 2007).  Ini jamak terjadi dalam proyek-proyek pemerintah di Indonesia, sekaligus menjadi self-criticism untuk penulis sebagai arsitek.

Keempat, prosedur perencanaan dan perancangan partisipatif yang “baku” sering tidak realistis jika dihadapkan dengan realitas yang ada, yaitu kompleksitas dunia sosial dan keterbatasan sumber daya yang dipunyai oleh arsitek. Misalnya, prosedur perencanaan dan perancangan partisipatif mensyaratkan terciptanya konsensus dari pemangku kepentingan terhadap rencana dan rancangan pembangunan (Luck, 2003, Richardson and Connelly, 2005), yang hampir tidak mungkin terjadi karena orang bisa jadi di depan bilang ya, di belakang bilang tidak. Dan upaya menghasilkan konsensus ini menjadi sangat tidak realistis jika dihadapkan dengan sumber daya yang dipunyai tim arsitek, yaitu biaya, waktu, dan tenaga.

Sehingga perlu ada pendekatan lain agar bagaimana desain tetap bisa menjadi agen untuk pemberdayaan masyarakat, seperti cita-cita CBD, bisa dilaksanakan. Pendekatan tersebut dinamakan pendekatan kolektif. Judul “Unearth the Beauty” tersebut merupakan salah satu brand (jenama) yang diturunkan dari konsep  pendekatan kolektif untuk desain arsitektur, di mana aspek artistika sebagai nilai-nilai dasar kreativitas arsitek dalam berkarya tetap ditonjolkan. Istilah kolektif sebelumnya  juga digunakan oleh Eleanor Ostrom, pemenang Nobel perdamaian, untuk menjelaskan perlunya tindakan kolektif dalam menciptakan “common-pool resources” (ruang-sumberdaya bersama) Secara teoretis, istilah kolektif ini  digunakan oleh Bruno Latour untuk menjelaskan apa itu sosial, dan bagaimana pengaruh seperangkat objek-objek teknis, disebut teknologi, termasuk objek arsitektur, dalam relasi-relasi antar manusia (Latour, 2005). Istilah kolektif melihat suatu relasi sosial yang selalu berubah-ubah, penuh kontroversi, bisa ada kesepakatan (consensus), namun juga pengkhianatan (betray). (Callon, 1984). Memang, keberadaan objek-objek teknis, seperti produk arsitektur yang dihasilkan lewat desain, bisa men-stabil-kan relasi antar manusia, namun keberadaan objek-objek teknis itu bersifat intermittently: bisa berganti secara tiba-tiba (Latour, 2005).

Dengan pendekatan desain kolektif, maka upaya rekayasa sosial dilakukan dengan penciptaan objek-objek teknis yang mampu menstabilkan relasi antar manusia. Karena menyangkut objek teknis, maka ada kompetensi teknis yang dibutuhkan, di mana insinyur, termasuk arsitek dan desainer, lebih mempunyai kompetensi ini dibanding pelaku-pelaku lain yang terlibat. Ini bedanya dengan desain partisipatif yang menempatkan desainer lebih menjadi fasilitator (bersifat pasif, masyarakat yang aktif, sementara sering masyarakat tidak bisa proaktif karena belum tahu persis maunya apa), dengan pendekatan kolektif desainer bisa bertindak proaktif terutama karena kompetensi teknis yang dimilikinya. Meski demikian, pendekatan kolektif mensyaratkan bahwa relasi antara objek teknis dengan manusia yang terlibat ditentukan oleh tingkat delegasi manusia terhadap objek teknis tersebut. Semakin objek teknis menjadi delegasi kehendak manusia, semakin kuat relasinya. Di sini sense of belonging bisa tergambarkan dengan lebih jelas (to be described), dengan memetakan relasi tiap manusia dengan objek teknis atau objek arsitektur yang dibuat. Menurut Bruno Latour, ada 4 tingkat mediasi objek teknis pada relasi antar manusia: 1) interference, mempengaruhi tindakan, 2) composition: menggabungkan berbagai tindakan, 3) folding space and time: ketika aneka tindakan itu terajut secara intensif, dan 4) delegasi: ketika manusia mewakilkan kehendaknya pada objek teknis yang dibuat atau digunakan (Latour, 1999).

 

Referensi

Callon, M. (1984). Some Elements of a Sociology of Translation: Domestication of the Scallops and the Fishermen of St Brieuc Bay. Sociological Review. 32(1) 196-233. https://doi.org/10.1111/j.1467-954X.1984.tb00113.x

Dorst, K. (2003). Understanding Design. BIS Publisher

Heidegger, M. (1927). Being and Time.

Handler, B. (1970). Systems Approach to Architecture. American Elsevier

Latour, B. (1999). Pandora’s Hope: Essays on the Reality of Science Studies

Latour, B. (2005). Reassembling the Social: An Introduction to Actor-Network-Theory.  Oxford University Press

Luck, R., (2003). Dialogue in participatory design. Design Studies, 24(2003) 523–535 doi: 10.1016/S0142-694X(03)00040-1

Ostrom, E. (1990). Governing the Commons: The evolution of Institutions for Collective Action. Cambridge: Cambridge University Press.

Richardson, T., and Connelly, S. (2005). Reinventing public participation: planning in the age of consensus. In Jones, B.J, Petrescu, D, and Till, J. (eds.) (2005). Architecture and participation. New York: Spon Press.

Toker, Z., (2007). Recent trends in community design: the eminence of participation. Design Studies, 28 (3) 309-323. doi: 10.1016/j.destud.2007.02.008