Teori untuk Desainer

Poster Agustinus Ariko

Tanggapan atas “Separuh Teori Separuh Desain” oleh Agustinus Sutanto, 23 Oktober 2020 dan “Teks Dan Konteks” oleh Ariko Andikabina, Kuliah Tamu AR3112 Teori Desain Arsitektur, Program Studi Arsitektur Institut Teknologi Bandung, 23 dan 27 November 2020.

Teori untuk Desainer: Untuk Apa

Tanggapan atas “Separuh Teori Separuh Desain” oleh Agustinus Sutanto

Ada konotasi negatif kata “teori” buat kebanyakan orang Indonesia. Seolah-olah orang berteori itu mengawang-ngawang, jauh dari realitas. Misalnya, di sebuah iklan sampo tahun 1990-an, dikisahkan seorang dosen tengah menjelaskan tentang mikroorganisma yang ada di kulit kepala, lalu mahasiswa berbicara sinis, “…ah, teori”, lalu sang dosen membalas dengan “…ini buktinya”, sembari menyodorkan botol sampo. Beberapa tahun lalu ungkapan “teori hungkul (teori saja – bahasa Sunda)” populer di kalangan desainer, ketika seorang desainer lebih memfokuskan diri pada dunia pemikiran daripada praktik membuat sesuatu.

Mengapa teori seperti asing buat masyarakat, termasuk arsitek, Indonesia? Kim Dovey, menjawab pertanyaan saya, menyebutkan “if not practical it it is not good theory”. Sebagai seorang design theorist yang berpengaruh, tentu pernyataan Dovey ini sedikit memberikan gambaran kepada saya mengapa istilah “teori” membuat alergi bagi sebagian orang Indonesia: karena teori disajikan bukan memandu praktik namun malah memperumit keadaan dan mempersulit suatu kerja. Bandingkan dengan teori “Silent Complicities”-nya Dovey, menggunakan pemikiran Bourdieu tentang “field of capital” yang bisa memandu kerja arsitek sebagai cultural producers, yang dengan kompetensi artistik-nya arsitek berperan menaikkan kelas dari kelompok masyarakat yang menggunakan jasanya dalam mendesain. Sangat praktikal!

Di antara sedikit design thinkers di Indonesia, Agustinus Sutanto merupakan seorang desainer pemikir yang sangat produktif menuliskan dan mendesimenasikan pemikirannya. Konsistensi, itu yang saya pelajari dari beliau. Arsitek boleh malas membaca, namun beliau terus membaca, dan membagikan bacaannya ke publik, dan beberapa arsitek muda ternyata tertarik mengikutinya. Dulu, dalam diskursus desain sebagai ilmu, pak Yuswadi mengungkapkan adanya dilektika antara “the doers and the thinkers”, yang berbuat dan yang bernubuat. Sebenarnya, pak Yuswadi dipengaruhi oleh pemikiran Hannah Arendt bahwa manusia itu bekerja (vita activa) namun juga berpikir mendalam (vita contemplativa).

Pasca kuliah tamu Agustinus Sutanto di ITB, ada dua hal yang bisa menjadi tindak lanjut. Pertama,  design thinkers peer, sekelompok orang yang mendalami pemikiran desain, paling tidak untuk Indonesia. Ada sedikit arsitek pemikir, namun sedikit ini akan menjadi sesuatu bila bertemu, berdiskusi, berbagi pengetahuan, dan membangun pengetahuan secara bersama-sama, secara kolektif. Kata kuncinya adalah “peer”, yang secara harfiah adalah “sebaya”, namun dalam dunia akademis digunakan untuk menyebut sekelompok orang dengan minat yang sama dan berkelompok untuk membangun pengetahuan tertentu.

Kedua, collective experiment. Istilah ini digunakan Bruno Latour untuk membawa sains ke dalam demokrasi. Arsitek boleh tidak suka dengan teori, namun tentu akan ada beberapa yang ingin mencobanya, termasuk beberapa mahasiswa arsitektur. Proyek Akhir atau Tesis bisa menjadi ajang ujicoba tersebut. Namanya juga ujicoba, bisa berhasil, dan bisa gagal. Di antara banyak temuan alat listrik yang kemudian banyak bermanfaat bagi umat manusia, aneka percobaan Thomas Alva Edison lebih banyak gagalnya. Namun selayaknya ilmuwan, dia mencatat aneka kegagalan tersebut sebagai pengetahuan, dan pengetahuan ini yang kemudian memandu eksperimen selanjutnya yang kemudian berhasil menciptakan aneka alat listrik yang bermanfaat. Namun dalam demokrasi, orang boleh berpendapat apa pun, termasuk merendahkan nilai dari hasil eksperimen yang gagal. Namun ketika kegagalan ini mampu menghasilkan pengetahuan, maka ini akan menarik orang-orang lain yang mengalami kegagalan serupa. Lalu terjadilah perkumpulan orang-orang yang gagal bereksperimen dan berbagi pengetahuan untuk mencari jalan keluar. Sebuah tindakan kolektif! Seperti pak Budi Rahardjo yang bangga sebagai ahli start-up yang gagal. Perhatikan kata “ahli”-nya, bukan kata “gagal”-nya, karena kalau berbicara tentang start-up di Indonesia tidak afdol kalau tidak bertanya kepada pak Budi Rahardjo, dan setiap berdiskusi selalu ada saja pengetahuan yang baru. Beliau selalu belajar. Dari sini, para arsitek –seperti diungkapkan oleh Kees Dorst- perlu menempatkan desain tidak hanya sekadar penerapan kreativitas dan penyelesaian masalah, namun sebagai proses belajar. “Design as learning.”

 

Memecah Dikotomi Teori Dan Praktik Dalam Dunia Arsitektur Di Indonesia

Tanggapan atas “Teks Dan Konteks” oleh Ariko Andikabina

Apakah terjadi dikotomi antara teori dan praktik, antara dunia akademis dengan dunia praktik, pada Arsitektur di Indonesia? Kalau memang terjadi dikotomi, lalu bagaimana cara memecahnya? Apakah pendekatan personal seperti yang terjadi ini, yaitu dosen yang berpraktik atau kuliah tamu dari praktisi, cukup untuk memecah dikotomi tersebut secara efektif dan berkelanjutan?

Sebagai Sekjen Pengurus Nasional Ikatan Arsitek Indonesia sejak 2019, Ariko punya peluang sekaligus kapasitas untuk memecah dikotomi dan membangun keutuhan –atau bahasa kekiniannya adalah “rajutan” – antara dunia akademis dengan dunia praktis –secara institusional dan berkelanjutan. Beberapa orang memberikan julukan Arikopedia: meski arsitek praktisi, beliau punya banyak pengetahuan tentang praktik arsitek di Indonesia, khususnya di Jakarta, bahkan pengetahuan yang tidak dipunyai semua orang. Ariko juga sosok arsitek “pencari”, setiap karyanya adalah representasi dari pencarian tentang “sesuatu”.

Dalam Arsitek harus berpolitik? Tentu bukan politik praktis, seperti kebanyakan persepsi orang awam, kata Ariko. Namun Arsitek harus memperjuangkan sesuatu. Sesuatu, dalam bahasa Inggris disebut sebagai “Thing”, yang dalam kosa kata perdaban masa lalu ditemukan kembali oleh Heidegger untuk menjalaskan “Being”, alasan untuk menjadi “Ada” dalam kehidupan kini. Kalau dalam bahasa saya, mengutip Bruno Latour, politik bukan sekadar “struggle and compromises between interests and human passions” yang disebutkan “politics of the (Platonian) Cave”, tetapi sebagai “progressive composition of the common world and all the competencies exercised by the collective”. Belajar dari Ariko, arsitek harus “berpolitik”. Namun bukan sekadar memperjuangkan eksistensi dirinya lewat karya desain, namun setiap karya desain merupakan representasi dari perjalanan untuk mengkomposisi “a common world”, dunia bersama.

Lalu, apakah “common world” antara dunia teori dan dunia praktik arsitektur? Isitilah “teks” dan “konteks” sebenarnya bisa menjadi pernyataan kolektif baik oleh para akademisi dan para akademisi arsitektur. Para akademisi membaca “teks”, sebagian besar adalah literatur, termasuk literatur yang memuat karya arsitektur, dan memahami “konteks” bagaimana teks tersebut ditulis dan dibaca kembali relevansinya dengan dunia yang dihadapi. Sementara, ketika membuat karya, arsitek sedang membuat “teks”, yang dihasilkan atas pembacaan atas aneka “konteks”. Oleh para akademisi, teks ini akan menarik jika konteksnya relevan: sebuah karya arsitektur akan menarik  akan dipelajari jika konteks yang direpresentasikan mengandung nilai-nilai yang sama dengan apa yang menjadi perhatian para akademisi. It is a way to compose the common world?

Let’s move.

 

Materi Presentasi Agustinus Sutanto:Sutanto (2020) – Separuh Teori Separuh Desain (Kuliah Tamu Arsitektur ITB)

Materi Presentasi Ariko Andikabina:Andikabina (2020) – Teks dan Konteks (Kuliah Tamu Arsitektur ITB)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *