Pesantren sebagai “Social Lab” untuk Inovasi

website pesantren social lab (gambar)

(Artikel dipublikasikan di Media Indonesia, Selasa, 21 September 2021)

Download artikel:Ekomadyo dkk (2021) – Pesantren Social Lab – Epaper Media Indonesia – Selasa, 21 September 2021

 

Istilah “social lab” atau “laboratorium masyarakat” dikenal dalam kegiatan inovasi ketika suatu inisiasi, bisa dari penelitian atau pengabdian masyarakat universitas, berjumpa dengan kompleksitas permasalahan ketika diujicobakan dalam suatu kelompok masyarakat tertentu. Dalam kerangka jejaring inovasi, Yuliar (Transformasi Penelitian ke dalam Inovasi, 2011) menawarkan konsep “pembentangan ruang pembelajaran”, menyempurnakan konsep inisasi-adopsi dalam difusi inovasi dari Rogers (Diffusion of Innovation, 1962). Pada kenyataannya proses difusi inovasi tidak berlangsung secara linier, banyak terjadi variasi lintasan gagasan dan aktivitas, dan sering hasil inovasi muncul dari proses interaksi antar pelaku yang bisa jadi berubah dari inisiasi awal, sehingga yang perlu menjadi perhatian adalah terjadinya perluasan jejaring inovasi karena adanya pembentangan ruang pembelajaran.

Termasuk ketika inisiasi inovasi dari universitas melibatkan masyarakat pesantren. Misalnya, saat sebuah inisiasi tentang penciptaan Pasar Tani di Perdesaan lewat kegiatan pengabdian masyarakat ITB tahun 2015 dengan melibatkan Pesantren Al Ittifaq di Ciwidey. Pesantren ini dikenal sebagai pesantren yang “berdakwah” lewat pertanian selayaknya “Tarekat Sayuriyah” (Mansur, Entrepreneur Organik, 2005). Ide awalnya adalah penciptaan pasar wisata bertema pertanian dengan menggabungkan kekuatan pesantren dan potensi wisata di  Ciwidey, namun desain pasar yang dihasilkan belum bisa terlaksana karena kompleksitas permasalahan saat implementasi. Namun dalam proses interaksi antara tim peneliti dan pesantren mampu menghasilkan pembentangan ruang-ruang pembelajaran, yang menghasilkan produk inovasi di luar inisiasi awal, seperti desain dan pembangunan minimarket dan kuliah publik Islam dan Perubahan Masyarakat, yang menunjukkan terjadinya perluasan jejaring antara tim ITB dengan pesantren.

Contoh lain adalah pada Penelitian Terapan Unggulan Perguruan Tinggi (PTUPT) tahun 2018-2019 tentang Pasar Bertema Astronomi di kawasan eduwisata Imahnoong di Lembang. Ide awalnya adalah menciptakan pasar temporer, bertajuk “Pasar Purnama”, yang melibatkan masyarakat sekitar dengan memanfaatkan kunjungan wisatawan yang ingin melihat fenomena astronomi tertentu di kawasan ini. Namun setelah ujicoba pertama, ternyata pengunjung astronomi tidak berminat membeli dagangan di pasar temporer, dan Pasar Purnama versi 1.0 hanya ramai oleh penduduk sekitar saja. Karena kebetulan pemilik Imahnoong merupakan alumni ITB yang juga alumni Pesantren Tebuireng, maka jejaring pesantren akhirnya digunakan untuk menarik massa yang lebih besar, lewat kegiatan Tabligh Akbar yang menyertai event astronomi tertentu. Gabungan antara event astronomi dan tabligh akbar akhirnya membuat Pasar Purnama menjadi ramai, mampu memberikan dampak ekonomi signifikan terhadap masyarakat sekitar, namun belum bisa dilanjutkan karena pandemi.

Berbagai pengalaman dalam berinteraksi dengan kalangan pesantren membawa pada temuan bahwa ternyata religiusitas bisa menjadi modal budaya dalam pengembangan inovasi. Lewat Seri Kuliah Publik Islam dan Pengembangan Masyarakat oleh Studia Humanika Salman ITB tahun 2019, disusun berbagai pengalaman praktis pelaku keagamaan dalam pengembangan masyarakat. Dalam forum ini muncul pertanian terpadu sebagai isu yang mempertemukan religiusitas, inovasi, dan pengembangan masyarakat. Dari forum ini, berlanjut berbagai forum yang mempertemukan peneliti dan mitra-mitra pesantren, termasuk forum-forum daring yang menjadi intensif pada saat pandemi.

Isu pertanian terpadu mulai dikembangkan dalam kegiatan pengabdian masyarakat tahun 2020 dengan melibatkan Badan Wakaf Muhammadiyah Jawa Barat dalam pengembangan fasilitas eduwisata pertanian di kawasan Cisarua, Cimahi. Keterkaitan dengan pesantren adalah, ada seorang santri yang mengembangkan pertanian terpadu didukung oleh teknologi yang dikembangkan oleh peneliti ITB, yaitu pupuk cair Masaro. Dalam proses pengabdian masyarakat ini, ternyata teknologi Masaro bisa menyatukan perhatian pada isu pertanian terpadu oleh kelompok Muhammadiyah dengan kekuatan wakaf-nya dan kelompok Nahdlatul Ulama dengan kekuatan pesantren-nya.

Berbagai forum daring antara tim peneliti dan pesantren ternyata mendorong aneka kegiatan pengabdian termasuk di masa pandemi. Misalnya, ketika terjadi masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tahun 2020, tim peneliti bisa bisa tetap melaksanakan pengabdian masyarakat lewat koordinasi daring dengan pengelola pesantren di lapangan. Lewat komunikasi daring, maka peneliti bisa membantu keterlibatan pesantren, pada kasus ini adalah Pesantren Sirojul Huda di Soreang, dalam program Citarum Harum lewat desain kawasan eduwisata perikanan. Pada tahun 2021, pengabdian masyarakat Citarum Harum dikembangkan dengan melibatkan banyak pesantren di Kabupaten Bandung di bawah koordinasi asosiasi pesantren setempat. Isu yang diangkat adalah bagaimana mensinergikan konservasi area sungai dengan pertanian terpadu.

Secara organisasi, aneka proses bottom-up agar pesantren bisa menjadi “social lab” bagi pengembangan inovasi di ITB kemudian mendapatkan dukungan institusional. Diawali dengan diskusi antara dosen ITB dengan ketua PW GP Ansor Jabar tentang potensi sinergi ITB dengan pesantren untuk pengembangan masyarakat. Diskusi dilanjutkan dengan Focus Group Discussion di Imahnoong Lembang – sebagai contoh bagaimana teknologi mendorong pengembangan masyarakat – yang dihadiri oleh sivitas ITB, PW Ansor Jabar, kyai muda se-Bandung Raya, dan perwakilan dari Kodam III Siliwangi sebagai koordinator Citarum Harum. Dapat disimpulkan bahwa sinergi ITB-pesantren dalam pengembangan masyarakat disekitar DAS Citarum akan berdampak signifikan untuk kelestarian sungai Citarum. Diskusi akademik kemudian dilanjutkan dengan melibatkan beberapa dosen dari Program Studi Pembangunan ITB, dan di sini dipilih terpadu merupakan teknologi yang paling tepat untuk diujicobakan di Pesantren. Teknologi tersebut kemudian didiseminasikan dalam sebuah lokakarya daring “Pesantren, Teknologi dan Pemberdayaan Masyarakat” kepada 30 kyai muda yang memimpin pesantren di Jawa Barat. Inovasi serupa kemudian dibawa ke tingkat nasional setelah terdapat kesepahaman antara ketua LPPM ITB, Dr. Joko Sarwono, dengan asosiasi pesantren Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI-PBNU). Sinergi ITB sebagai penyedia teknologi dan pesantren-pesantren RMI sebagai “social lab” diawali dengan lokakarya daring: Karsa Loka Spesial Ramadan dengan tema “Pesantren sebagai Social Lab untuk Inovasi Berbasis Pertanian Terpadu”.

Dari webinar Karsa Loka yang diselenggarakan tanggal 7 Mei 2021, ada beberapa catatan yang menjadi pembelajaran dan potensi untuk tindak lanjut. Dalam Undang-undang nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, disebutkan bahwa ruang lingkup fungsi pesantren tidak terbatas pada pendidikan dan dakwah saja, tetapi juga pemberdayaan masyarakat. Menurut data Kementerian Agama RI pada tahun 2020 terdapat setidaknya 26.973 pesantren yang tersebar di seluruh propinsi di Indonesia. Jawa Barat dengan jumlah pesantren terbesar mencapai lebih dari 8 ribu, disusul oleh Banten, Jawa Timur, Jawa Tengah, Aceh, dan NTB. Sementara itu, RMI pada minggu pertama bulan Mei 2021 melakukan asesmen terhadap lebih dari 130 pesantren yang tersebar dari beberapa propinsi dan kab/kota dan mendapatkan data bahwa pesantren di lingkungan NU selain menyelenggarakan fungsi utama seperti pendidikan dan tahfidz (hafalan Al-Quran), juga memiliki spesialisasi atau program unggulan di bidang pertanian (45,6%), kewirausahaan (41,9%), peternakan (27,2%), perikanan (23,5%), dan teknologi informasi (19,9%). Potensi pengembangan dan inovasi pemanfaatan teknologi bagi pesantren juga didukung oleh adanya lahan yang dimiliki oleh pesantren baik untuk kegiatan pertanian, peternakan, atau perikanan mayoritas belum dimanfaatkan secara maksimal. Padahal potensi produktivitasnya sangat tinggi.

Potensi pesantren menjadi peluang bagi ITB untuk menjalankan fungsi penelitian dan pengabdian masyarakatnya. Pesantren yang memiliki modal ekonomi sosial budaya seperti lahan,  sumberdaya manusia (santri), dan sikap resiliensi terhadap perubahan zaman dan juga modal kapital.  Di sisi lain Pesantren akan mendapatkan manfaat yang dapat meningkatkan potensi ekonomi dan kemandirian Pesantren.. Pada asesmen yang dilakukan oleh RMI pada Agustus 2020 dan diikuti oleh lebih dari 700 pesantren, 80% pesantren yang sudah mempunyai kegiatan produktif dari sektor pertanian, peternakan, perikanan, retail/ koperasi, dan produksi makanan mengalami dampak negatif berupa penurunan omset.

Sebagai “social lab” ada potensi interaksi mutual antara peneliti ITB dengan masyarakat pesantren. Dengan pendekatan jejaring inovasi, peneliti perlu memilih lintasan-lintasan yang bersifat terbuka dan “reversible” agar responsif terhadap dinamika dan kompleksitas masyarakat Pesantren. Bagi masyarakat pesantren, religiusitas bisa menjadi modal budaya agar aneka teknologi yang diujicobakan bisa bermanfaat untuk peningkatan kapasitas pesantren secara berkelanjutan. Beberapa semangat inovasi yang berasal dari pesantren seperti “istiqra” (riset) untuk “sa’adatuddarain” (kesejahteran dunia dan akhirat) (Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, 1994), perlu terus digali demi terwujudnya  “taswir al afkar” (kebangkitan pemikiran) dan  “nahdat al tujjar” (kebangkitan ekonomi) bagi pesantren dan bangsa Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *