Inovasi dan Pengembangan Budaya

Naskah untuk bagian buku “Inovasi, Budaya, dan Desain: Kontribusi Desain Arsitektur untuk Inovasi Budaya, sedang dalam proses penyusunan. Ekomadyo (2022) – Inovasi dan Pengembangan Budaya (Materi Buku Inovasi Budaya Desain)

Pada kajian budaya lokal dalam perancangan arsitektur, perspektif inovasi disisipkan dengan maksud agar kajian ini relevan dengan agenda penguatan daya saing bangsa melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Semakin meningkatnya interaksi global mendorong terjadinya kompetisi antar bangsa yang masing-masing didukung oleh kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki. Pemikiran mengenai inovasi budaya dikembangkan untuk mencari kemungkinan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berbasis nilai-nilai yang tumbuh dari dalam bangsa itu sendiri. Dengan perspektif inovasi, dinamika masyarakat akan menjadi fokus pada suatu kajian budaya. Lebih dari sekadar warisan masa lalu, budaya dilihat sebagai sumber inspirasi untuk aneka upaya kreatif merespon kondisi masa kini dan masa depan. Dengan pemahaman ini, maka perancangan arsitektur bisa berperan dalam upaya kreatif dalam pengembangan budaya lokal agar bisa mempunyai pengaruh secara lebih luas.

Kota Terakota sebagai Diskursus

Disampaikan pada Forum 27-an Jatiwangi Art Factory “Seni dan Wilayah Berkelanjutan”. Senin 27 September 2021

Materi presentasi: Ekomadyo (2020) – Kota Terakota sebagai Diskursus (presentasi Forum 27-an JAF)

Tulisan ini juga menjadi bagian dalam naskah buku berjudul “Milieu Inovasi Dan Budaya Kreatif” yang sedang dalam proses penulisan: Ekomadyo (2020) – Kota Terakota sebagai Diskursus (Naskah untuk Buku Mileu Inovasi Jatiwangi)

Kota Terakota, adalah sebuah gagasan yang yang diinisiasi oleh Jatiwangi Art Factory (JAF) untuk merevitalisasi kembali budaya tanah liat di Jatiwangi dan sekitarnya. Meski  tidak eksplisit menyebut dirinya gerakan kreatif, namun pada kenyataannya komunitas ini banyak menggunakan kreativitas, terutama aktivitas seni dan budaya, untuk memperjuangkan budaya terakota ketika industri genteng tanah liat mengalami penurunan yang signifikan pada masa kini. Lalu apakah Kota Terakota bisa disebut sebagai Diskursus? Jika “gerakan kreatif” bisa disebut sebagai diskursus, maka apakah inovasi pun bisa juga disebut juga sebagai diskursus?  Dalam kerangka inovasi Schumpeterian inilah, universitas ditempatkan sebagai agen penting dalam inovasi suatu masyarakat. Sebelumnya, dikenal istilah “social hub”, yang merujuk pada seseorang atau sekelompok orang yang menjadi penghubung antara pengetahuan yang dibangun para peneliti di universitas dengan pemanfaatannya pada kelompok masyarakat tertentu. Konsep “social hub” kemudian berkembang menjadi “social lab”: jika “social hub” merujuk pada orang, “social lab” merujuk pada aktivitas yang dilakukan oleh orang-orang tersebut. Sepanjang tahun 2020 hingga 2022, tim peneliti dari ITB melakukan kegiatan workshop, penelitian, dan pengabdian masyarakat merespon isu Kota Terakota di Jatiwangi. Meletakkan Kota Terakota sebagai diskursus menunjukkan bahwa meski ada relasi dengan kekuasaan sebagai konsekuensi gerakan di wilayah publik, suatu diskursus digerakkan oleh pengetahuan tertentu. Jadi, Kota Terakota dan arsitektur terakota di Desa Jatisura hanyalah kasus, namun ada proses pembelajaran dan produksi pengetahuan secara kolektif yang perlu menjadi perhatian utama.

Menggambar 20 Tahun ke Depan

Catatan dari Kuliah Tamu “Desain Arsitektur dan Konektivitas Indonesia: sebuah Alternatif Pendekatan Merancang Rest Area di Gerbang Tol Lampung ITERA”, ITERA Webinar Series, Perancangan Pasar dan Perancangan Rest Area, Kamis, 18 November 2021

Materi Presentasi: Ekomadyo (2021) – Perancangan Rest Area (ITERA Webinar Series)

Apa sih hebatnya merancang sebuah area peristirahatan (rest area)? Apa manfaatnya berpikir visioner untuk merancang arsitektur? Mengapa tidak berpikir pragmatis saja: membuat rancangan yang bagus dan layak untuk dibangun? Simpel-simpel aja, mas…

Namun, saat diundang memberikan kuliah tamu di Institut Teknologi Sumatra (ITERA), saya mencoba mengantarkan cara berpikir visioner untuk merancang, bagaimana peran rest area dalam sebuah gagasan besar tentang pembangunan wilayah. Sejujurnya, ini juga menjadi “diclaimer” bahwa saya tidak terlalu kompeten dalam merancang rest-area yang baik dan memenuhi kaidah-kaidah arsitektur secara benar.  Pengalaman merancang sangat minim: sekali membimbing mahasiswa, dan sekali membuat proposal proyek rest area (yang kemudian tidak berlanjut). Bahkan sebagai pengamat, saya lebih punya wawasan bahwa rest area di Indonesia sebagian besar belum “excellent” secara arsitektural. Namun karena sedikit pengalaman dalam membuat proposal rest area tersebut, saya tahu bahwa ada yang lebih dominan daripada sekadar good design, yaitu “how political-economy work”.

Nah, ketika ITERA akan membangun sebuah rest area, bagi saya – ini menjadi sesuatu yang istimewa. Bagi saya secara personal, ITERA adalah “buah” dari ramalan saya. Tahun 2008 saya diminta membuat master plan Kota baru di Natar, sebuah proyek yang pragmatis karena merespon keinginan pemerintah setempat untuk membangun kawasan baru pusat pemerintahan. Namun, sebagai profesional, saya terbiasa berpikir komprehensif, mencari jawaban apa yang menghidupkan kota baru tersebut, dan saat itu saya mengusulkan universitas di kota baru tersebut. Ketika lokasi ITERA ternyata tidak jauh dari Kota Baru Lampung yang sekarang, saya sempat terkaget kok konsep saya ternyata terlaksana. Apakah saya “sakti” karena ramalan saya terbukti? Tentu tidak, namun ini menunjukkan kesamaan berpikir tentang posisi Lampung sebagai simpul konektivitas sebagai gerbang Selatan pulau Sumatra. Dari pemetaan konektivitas itu, maka dibutuhkan pusat-pusat pertumbuhan baru, dan salah satu pembangkitnya adalah universitas yang kini mewujud dalam bentuk ITERA. Dengan cara berpikir ini, maka ITERA secara spasial simpul untuk menyebarkan inovasi berbasis teknologi, dari Bandung (ITB) ke Sumatra.

Dengan “memanfaatkan” proyek akhir rest area, maka ini menjadi peluang bagaimana visi ITERA sebagai simpul inovasi di Sumatra bisa mempunyai gagasan yang terdokumentasikan. Jangan remehkan tugas akhir mahasiswa, karena betapa pun itu adalah dokumen akademis. Dan kalau melihat pergerakan ekonomi di Jalan Tol Trans-Sumatra, rest area memang akan muncul dihela oleh kebutuhan. Dan sangat mungkin, lokasinya akan berada di lahan milik ITERA. Dan kalau ini benar akan terjadi, maka akan ada bukti bahwa  ITERA pernah menggagas, dan saya sedikit memberikan kontribusi untuk itu.

Mendalami Pasar Rakyat sebagai Bagian Perjalanan Hidup

Catatan dari Kuliah Tamu “Merancang Pasar Rakyat: Kontribusi Keilmuan Desain Arsitektur untuk Permasalahan Bangsa”, ITERA Webinar Series, Perancangan Pasar dan Perancangan Rest Area, Kamis, 18 November 2021

Materi presentasi:Ekomadyo (2021) – Perancangan Pasar Rakyat (ITERA Webinar Series)

Apa peran arsitek dalam isu pasar rakyat di Indonesia? Yang jelas, karena profesinya sebagai perancang, maka jawaban pragmatisnya adalah: arsitek bisa merancang bangunan pasar rakyat sesuai dengan kaidah-kaidah perancangan arsitektur. Secara normatif, penulis sudah merumuskannya ke dalam beberapa kriteria (http://temuilmiah.iplbi.or.id/wp-content/uploads/2012/10/TI2012-01-p001-004-Isu-Tujuan-dan-Kriteria-Perancangan-Pasar-Tradisional.pdf). Kriteria ini mendapat kesempatan untuk diterapkan dalam Proyek Akhir dan Tesis mahasiswa.

Namun dalam praktiknya, desain adalah proses iteratif, sering meloncat-loncat, dan kriteria tidak diterapkan secara linear seperti menurunkan rumus secara runut dalam sains konvensional. Untuk keperluan publikasi, beberapa mahasiswa mengambil sebagaian dari kriteria itu, seperti kriteria estetika (http://temuilmiah.iplbi.or.id/wp-content/uploads/2016/12/IPLBI2016-D-081-086-Penerapan-Budaya-Sunda-dalam-Perancangan-Pasar-Rakyat.pdf, http://temuilmiah.iplbi.or.id/wp-content/uploads/2015/11/TI2015-A-001-006-Citra-Lokal-Pasar-Rakyat-pada-Pasar-Simpang-Aur-Bukittinggi.pdf) atau kriteria tentang ruang budaya (http://temuilmiah.iplbi.or.id/wp-content/uploads/2015/11/TI2015-E-067-074-Karakter-Festival-pada-Rancangan-Pasar-di-Kawasan-Bandung-Technopolis.pdf). Bahkan sekarang, bahkan bisa diterapkan kriteria bangunan hijau ke dalam rancangan (https://itbdsti-my.sharepoint.com/:w:/g/personal/25221010_mahasiswa_itb_ac_id/EfqurHnEWSJKuBj04N3L5l4BcF08q_5OYWsi-GlM1sAKEQ?e=ny1qO6)

Namun, selama mendalami pasar rakyat sebagai arsitek, ada hal yang lebih penting daripada how to design. Ada pergolakan batin. Karena, ketika melihat permasalahan pasar rakyat di Indonesia menjadi sangat politis sempit harapan idealisme ala akademis bisa ikut berpengaruh dalam tatakelolanya, penulis sempat merasa sangat ragu. Sehingga, karena “gelap”-nya tatakelola pasar rakyat, penulis punya keinginan untuk pindah ke topik lain. Siapa tahu, ada harapan baru di isu yang baru. Namun pada momentum itu, penulis mendapatkan nasihat yang sangat berharga: “jika kamu pindah ke topik yang lain, you are nothing. Namun tetap menekuni pasar rakyat, suatu saat kamu akan menjadi something

Dan nasihat itu penulis jalankan, betapa pun gelap “jalan pasar rakyat” yang saya tempuh. Hasilnya… memang something: kini penulis dikenal sebagai “Mantri Pasar” (http://dosen.ar.itb.ac.id/ekomadyo/?p=1273). Jadi buat mahasiswa, pengalaman saya pribadi menunjukkan ada yang lebih penting daripada how to design the public market. Yaitu bagaimana ketika bekerja, termasuk merancang, sebagai bagian dalam perjalanan hidup. Long live learning: proses belajar itu memang berlangsung sepanjang hayat.

Budaya sebagai Modal Inovasi

Naskah untuk bagian buku “Inovasi, Budaya, dan Desain: Kontribusi Desain Arsitektur untuk Inovasi Budaya, sedang dalam proses penyusunan. Ekomadyo (2022) – Budaya Modal Inovasi (Materi Buku Inovasi Budaya Desain)

Pemahaman budaya, termasuk budaya, secara esensial diperlukan agar kajian tentang inovasi budaya bisa diposisikan secara tepat. Fenomena yang ada di masyarakat merupakan realitas yang kompleks. Apalagi jika kajian tentang budaya dikaitkan dengan inovasi dan dalam perspektif desain arsitektur, kompleksitas realitas menjadi konteks yang harus  diperhatikan. Pandangan normatif-romantis –atau bahkan stereotipikal- tentang budaya tidak akan memadai untuk mengkaji suatu fenomena dalam realitas yang kompleks tersebut. Memposisikan budaya dengan tepat diharapkan bisa mendorong kajian inovasi budaya secara cermat (dan cerdik). Kompleksitas permasalahan bisa dipetakan dengan baik, untuk kemudian dibingkai atau dibatasi untuk keperluan kajian tertentu.

Pendahuluan: Inovasi Budaya dan Kontribusi Desain Arsitektur

Naskah untuk bagian buku “Inovasi, Budaya, dan Desain: Kontribusi Desain Arsitektur untuk Inovasi Budaya, sedang dalam proses penyusunan. Ekomadyo (2020) – Inovasi Budaya dan Kontribusi Desain Arsitektur (Materi Buku Inovasi Budaya Desain)

Pengetahuan tentang desain arsitektur, sebagaimana pengetahuan pada umumnya, dikembangkan dan disusun sebagai respon terhadap konteks tertentu. Artikel ini, dan serangkaian materi perkuliahan, juga disusun menurut konteks tertentu, yaitu konteks Keindonesiaan, terutama menghadapi tantangan globalisasi. Konteks ini diharapkan bisa menjadi gambaran, mengapa budaya lokal dalam perancangan arsitektur perlu untuk dipelajari. Isu inovasi, terutama transformasi riset ke dalam inovasi, disisipkan dengan maksud agar kajian budaya lokal dalam perancangan arsitektur relevan dengan agenda nasional tentang penguatan riset dan teknologi untuk daya saing bangsa. Inovasi menjadi kata kunci, ketika riset harus bersinergi dengan kebutuhan pasar melalui industri untuk aneka tujuan nasional (Yuliar, 2011). Jika inovasi bisa menjadi dasar bagi proses riset agar bisa memproduksi pengetahuan yang bisa diterapkan untuk tujuan ekonomi dan sosial, maka inovasi juga bisa dijadikan dasar bagi suatu proses perancangan arsitektur (yang sudah bersifat terapan) agar dirumuskan kembali aneka pengetahuan yang diproduksi.

Pendekatan Humanistik untuk Desain Arsitektur: Sebuah Penjelajahan Ontologis

Materi Kuliah Kuliah Instruksional AR3290 Studio Perancangan Arsitektur IV, Program Studi Arsitektur Institut Teknologi Bandung, 21 Januari 2020, tentang “Pengalaman Manusia, Tempat, dan Desain Arsitektur: Sebuah Penjelajahan Ontologis”

Apa itu ontologi? Apa kaitannya ontologi dengan desain arsitektur? Dan ketika desain arsitektur berorientasi pada pemecahan masalah, bagaimana penjelajahan ontologis bisa menjadi sesuatu yang konkrit?

Pertanyaan tersebut dicoba untuk dijawab melalui sebuah kuliah instruksional dalam studio perancangan. Karena konteksnya adalah perancangan arsitektur yang berorientasi pada pemecahan masalah, maka penjelajahan ontologis ini pun seketika harus menukik ke dalam langkah-langkah perancangan yang lebih konkrit. Menyajikan dua spektrum yang luas dalam sekali penyajian memang beresiko. Namun, kalau kita berpikir positif, rentang spektrum yang luas ini akan mampu menjadi bingkai ketertarikan dari pembacanya: siapa yang lebih berminat ke hal-hal yang abstrak dan filosofis, dan siapa yang cenderung memilih hal-hal yang konkrit dan praktis.

Penjelajahan ontologis ini adalah tentang pendekatan humanistik dalam desain arsitektur. Ya, tidak mungkin berbicara humanity dalam era modern tanpa berbicara fenomenologi, terutama yang dikembangkan oleh Heidegger: “Being in the world”. Ini ontologi dari pendekatan humanistik di era modern: mencari makna terdalam dari manusia, yang didapatkan lewat aneka pengalaman inderawi. Romo Mangunwijaya memberikan bahasa yang sangat pas: Ragawidya.

Lalu, bagaimana ragawidya ini harus diimplemantasikan sebagai langkah-langkah perancangan arsitektur? Dalam kuliah instruksional tersebut, saya menyarankan 4 langkah. Pertama: mengedepankan kepekaan (sense). Kedua: berlatih membayangkan (imagining, prescribing). Ketiga: empati, merasakan apa yang akan pengguna rasakan saat menggunakan karya arsitektur yang dirancang. Keempat: mentransformasikan pengalaman manusia ke dalam rancangan lingkungan binaan. Yang keempat ini pun masih saya turunkan ke dalam 3 langkah praktis selanjutnya: a) membayangkan suasana, b) menghadirkan suasana ke dalam gubahan ruang, dan c) menggubah massa dan detail yang membentuk ruang tersebut.

Materi kuliah:Ekomadyo (2021) – Human Experiences, Place, and Architectural Design (AR3290 Lecture) for web

Sungai Dan Artefak Arsitektural: Catatan dari “Blusukan” dan “Keseharian”

(bagian dalam buku antologi “Budaya Riparian dan Arsitektur” [masih dalam penyusunan])


Istilah “blusukan” menjadi terkenal, ketika seorang pemimpin daerah menggunakan “metode” ini dalam mengunjungi aneka tempat di wilayah kerjanya, sambil menyapa masyarakat. Sebenarnya ini bukan model baru, karena dalam peribahasa Jawa dikenal istilah “Jajah Desa Milang Kori” (menjelajah desa menghitung pintu), yang menggambarkan bagaimana para pemimpin berkeliling dan menghitung, mengkalkulasi, permasalahan warganya. Namun “blusukan” lebih punya konotasi yang informal dan spontan (Ekomadyo, 2012). Bahkan karena mudah diucapkan, kata ini kemudian menjadi jenama (brand) yang membawa popularitas yang bersangkutan hingga menjadi pemimpin negara.

Dalam dunia arsitektur, istilah “blusukan” pun dipinjam untuk menjelaskan kegiatan berjalan-jalan secara informal dan spontan dalam menjelajahi aneka objek arsitektur. Dengan istilah “blusukan” jalan-jalan arsitektur jadi terkesan lebih “heroik”, karena punya konotasi menyapa fenomena. Arsitek punya istilah sendiri saat menyapa fenomena, yaitu “sense”; istillah ini misalnya muncul dalam “sense of place”, “sense of community”, atau “sense of unity”. Dalam bahasa lain, arsitek menyebutnya dengan “mencerap suasana”. Nah, istilah “blusukan” membuat metode-metode tersebut lebih terasa membumi.

Metode mengamati fenomena secara spontan dan informal, ikut menggerakkan raga kita untuk menelusuri aneka makna (Mangunwijaya, 1986) bahkan bisa menjadi sesuatu yang ilmiah. Misalnya yang dilakukan oleh Henry Lefebvre (1992) ketika mebuat buku “Rhythmanalysis”. Bedanya, selain banyak berjalan-jalan atau blusukan, dengan lokasi beberapa kota di tepi Laut Mediterania (Mediterranean cities), Lefebvre mendedikasikan waktu menulisnya juga dengan duduk santai, meminum kopi, berbincang-bincang dengan warga: di situ ia mengamati irama yang terjadi dalam suatu fenomena sosial. Lewat duduk, berbincang, dan berjalan-jalan, Lefebvre menyebut temuannya sebagai “sains”, sebuah pengetahuan yang terstruktur (knowledge), yang dalam bahasa Perancis disebut “savoir” , dan bukan sekadar pemahaman (know-how) yang disebut “connaissance”. Pemikiran Lefebvre ini banyak berpengaruh dalam dunia arsitektur, yang melihat arsitektur hadir dalam keseharian dengan merepresentasikan sesuatu (Lefebvre, 1974). Sesuatu ini sering merujuk pada apa yang diperjuangkan oleh sekelompok masyarakat. Arsitektur dalam keseharian ini menarik beberapa mahasiswa saya untuk diamati lebih jauh, misalnya pengamatan terhadap fenomena rumah usaha pada permukiman di sekitar universitas (Prasetyo, dkk., 2020), adaptasi kebisingan pada perumahan di sepanjang rel kereta (Dewi & Ekomadyo, 2021) keseharian tradisi pada permukiman masa kini (Aisha & Ekomadyo, 2021), atau ruang-ruang pencurahan kasih sayang pada fasilitas perbelanjaan (Lina & Ekomadyo, 2021)

Untuk antologi buku “Budaya Riparian dan Arsitektur”, ada 4 artikel yang saya kontribusikan. Artikel ini dituliskan kembali dari tulisan spontan saya dalam sebuah media sosial saat “blusukan” dan menemukan fenomena sungai dan arsitektur. Karena awalnya ditulis dalam media sosial, maka tulisan-tulisan di bawah sengaja ditulis dengan bahasa ringan, informal, spontan, dan banyak menyisipkan bahasa canda. Kesan “tidak serius” sengaja diciptakan, supaya materi yang sebenarnya “berat” tersajikan dengan lebih ringan dan bisa dibawa bercanda. Meskipun disajikan dengan “tidak serius”, tulisan ini tetap dijaga keilmiahannya, antara lain dengan memasukkan beberapa referensi ilmiah.

Ada empat tulisan dan 3 lokasi yang saya sajikan. Ada dua tulisan tentang Kali Semarang, sebuah sungai yang oleh masyarakat dikenal sebagai “kali banger” (sungai yang berbau busuk), namun ternyata menyimpan cerita sejarah tentang peran ini sebagai akses penting bagi perdagangan darat dan laut di Semarang di masa lalu. Satu tulisan tentang sungai di kota Cirebon, merupakan fenomena yang tipikal dengan tulisan sebelumnya, bagaimana peran sungai yang dulu penting namun sekarang  terlupakan. Dan terakhir adalah tulisan tentang dua monumen yang dibangun pada masa yang berbeda di Sungai Ciwidey, Bandung.

Two Towers Van Semarang: Kampung Layur dan Pelabuhan Lama

Meski sebenarnya malu sebagai “cah” Semarang yang dulu suka blusukan, saya membuka google map waktu mau mengunjungi Masjid Menara di Kampung Layur; daripada nyasar…

Namun justru google map memberi saya pengetahuan baru: bahwa ternyata Masjid Menara ternyata berada di sumbu yang sama dengan Mercusuar Willem III di Pelabuhan Lama Semarang yang kami kunjungi kemarinnya (gambar 1 kiri). Google map juga menunjukkan bangunan lain bernama “Menara Syahbandar” (padahal nggak jelas menaranya) di dekat Masjid Menara. Di sebelah utara Kampung Layur ada kampung yang bernama Boom Lama: “boom” berarti pelabuhan dalam bahasa Balanda. Sumbu yang menyatukan bangunan-bangunan dan kawasan-kawasan itu adalah Kali Semarang, yang memanjang dari pesisir laut Jawa hingga menembus sisi timur Pasar Djohar (dikenal dengan sebutan Sendowo, pool angkutan kota [atau disebut “daihatsu” oleh orang Semarang] untuk kawasan ini).

Sungai Artefak Arsitektur (1)

Gambar 1: Menara Masjid Layur (kiri) dan Menara Masjid Layur (kanan)

Hmmm… saya jadi mereka-reka apa yg terjadi di masa lalu. Kali Semarang menjadi akses barang ke pusat kota. Pada masa Kesultanan Islam, pelabuhan ada di kawasan Layur, sehingga ada Menara Syahbandar dan mercusuar. Pada masa kolonial Belanda, dibangun pelabuhan yang baru (sehingga pelabuhan sebelumnya disebut Boom Lama) dan mercusuar yang baru pula (gambar 1 kiri).

Saat jalan-jalan ke Istambul dulu mas Revianto Budi Santosa (dosen Arsitektur Universitas Islam Indonesia) banyak bercerita tentang konsep minaret pada Arsitektur Utsmani. Nah, ternyata menara di Masjid Menara Layur tidak mirip dengan minaret-minaret masjid, malah mirip dengan Galata Tower di Istanbul, yang fungsinya adalah…mercusuar!

Hmmm…mungkinkah menara Masjid Layur ini awalnya adalah mercusuar, yang kemudian dialihfungsikan sebagai menara masjid? (gambar 1 kanan). Wah, kalau cerita tentang sumbu-sumbu di kota Semarang, musti mengajak ex-native Semarang pak Wijanarka Arka (dosen di Universitas Palangka Raya) untuk ikut berbagi cerita. Kalau dilanjutkan, rasanya ceritanya tidak kalah seru dengan cerita tentang sumbu-sumbu ala Illuminati di kota Washington yang jadi bahan cerita novel laris manis karya Dan Brown…

 

Kampung Layur Semarang: Antara Ikan Asin, Masjid, Dan Klenteng

Mana yang “Layur”-nya lebih dulu: ikan (asin) atau kampungnya? Kalau secara “subjectivo-empirico-temporal” (maksudnya pengalaman pribadi saat ini), ikan (asin) Layur ada lebih dulu dari kampungnya. Ya iya, lah, soalnya kemarin saya makan nasi hangat ikan asin (gereh-Jawa) Layur dan sambal (ya, hanya 3 itu) dan kenikmatannya menginspirasi saya untuk mengunjungi Kampung Layur di keesokan harinya…

Tetapi secara logika memang ikan layur lebih dulu ada daripada Kampung Layur. Iya, karena lokasinya di dekat pantai, maka jalan-jalan di kawasan Boom Lama Semarang diberi nama-nama  ikan: kakap, kerapu, patek, dan…layur! Yang terakhir menjadi lebih terkenal karena ada masjid tua di situ. Dan masjid ini terletak di tepi sungai, memberikan aura imajinasi bahwa dulu masjid ini pernah berperan dalam mengontol perahu-perahu yang melintas (gambar 2 kiri atas bawah).

Namun ketika mengunjungi masjid menara di Kampung Layur, perhatian saya tertarik dengan beberapa rumah Cina, bahkan klenteng, di seberang masjid (gambar 2 kanan atas bawah). Ini mulai membuka jawaban ketika semalam sebelumnya muncul pertanyaan mengapa banyak toko-toko material yang dimiliki oleh pengusaha Tionghoa di sepanjang koridor utama kampung Arab Pekojan. Mengapa pula ditemukan sebuah masjid tua di dalam kampung Pecinan Jagalan.

Sungai Artefak Arsitektur (2)

Gambar 2: Arsitektur Arab dan Cina di Kampung Layur

Ada informasi, terjadi perkawinan lintas etnis Arab-Islam dengan Tionghoa-Konghucu di Semarang pada masa lalu. Alasannya sederhana: Kampung Arab dan Kampung Cina lokasinya bersebelahan, mosok ya, tidak ada pergaulan antar muda mudi dan beberapa di antaranya saling jatuh cinta?

Hmmm…informasi ttg rajutan sosio-kultural Arab-Tionghoa memang belum banyak. Tetapi ini menarik untuk ditelusuri, apalagi ada representasi artifak arsitekturalnya. Penelusuran bisa diawali dengan melacak kampung-kampung di sepanjang Kali Semarang: mulai Kampung Layur, hingga Kampung Jagalan dan Kampung Pekojan. Apalagi kalau setelah menelusuri, akhirnya lapar, lalu makan nasi putih dengan sambal dan gereh Layur. Wah, bakal Semarangan tuenan, ik…

 

Pasar dan Sungai di Pusat Kota Cirebon

Sekali lagi saya berterima kasih kepada google map yg menunjukkan bahwa ada sungai di samping bangunan pasar yg saya kunjungi (gambar 3 kiri atas). Dan google map juga memberitahu saya kalau sungai ini bermuara di pelabuhan cirebon. Di lapangan, sungai ini hampir tak terlihat, tertutup oleh lapak-lapak pedagang informal.

Sungai Artefak Arsitektur (3)

Gambar 3: Sungai dan Pasar Pagi Cirebon

Di sini sekali lagi saya menemukan  suatu  kota punya morfologi sungai-pasar. Sebelumnya, di Solo secara tidak sengaja saya “menemukan” adanya Kali Pepe (nama sungai tersebut diberitahu mas Mohamad Muqoffa, teman yang menjadi dosen Arsitektur di Universitas Sebelas Maret Surakarta) yang  menghubungkan Pasar Gede di wilayah Kasunanan dan Pasar Legi di wilayah Mangkunegaran. Kali Pepe sebenarnya kanal, yg menghubungkan kota Solo dgn Bengawan Solo. Hmmm…mungkin di sungai ini Gesang mendapat inspirasi “…kaum pedagang naik itu perahu..” pada  syair lagu Bengawan Solo.

Namun relasi sungai dan Pasar Pagi di Cirebon lebih mirip relasi sungai Pasar Banjarsari di Pekalongan dan Pasar Djohar di Semarang. Sungai-sungai itu menjadi akses pasar ke pelabuhan di kota itu. Bayangkan, bagaimana ramainya sungai oleh aktivitas bongkar muat barang.

Tetapi itu dulu. Kini sungai-sungai yang dekat pasar nasibnya merana. Sungai tersebut kini lebih menjadi sarana pembuangan. Jadi “kali banger”, sungai yang bau. Tertutup lapak-lapak temporer (gambar 3 kiri bawah).  Kini sungai tersebut tidak membuat bangga lagi. Padahal kalau melihat papan penanda/ signage-nya, ada artefak penting yang menentukan peran penting sungai ini bagi kota Cirebon (gambar 3 kanan atas bawah).

Sekali lagi, google map memberitahu saya satu hal: area sungai itu adalah berwarna paling hijau di antara area lainnya. Iya, sungai adalah Ruang Terbuka Hijau (RTH). Artinya, meski merana, ia tetap setia menjadi paru-paru kota.

Mengapa nggak sekalian dijadikan public park saja, ya, biar warga kota berekreasi di hijaunya area sungai. Dan ini sudah terjadi di Kali Pele Solo. Kali Semarang mungkin sebentar lagi, karena bersebelahan persis dgn Kota Lama Semarang yg pesonanya baru saja memukau warganet. Cirebon, juga Pekalongan, juga kota Budaya, dan tengah berkembang mjd kota wisata. Kita tunggu saja nanti, apakah akan terjadi integrasi pasar dan sungai sebagai ruang publik.

Peluang, tuh, buat arsitek…

 

Sungai Dan Peradaban: Di Jembatan Kereta Api Ciwidey

Setelah beberapa kali hanya bisa melihat sembari mengemudi, akhirnya kesampaian juga untuk berhenti dan memotret jembatan ini. Aduhai, makhluk semolek ini tetap berdiri anggun meski tak lagi berfungsi seperti awalnya. Meski sedikit lekang karena waktu, cantik tetaplah cantik: sebuah representasi  artistika engineering hadir di sini dari masa lalu.

Sungai Artefak Arsitektur (4)

Gambar 4: Jembatan dan Bendungan di Sungai Ciwidey

Jembatan ini terletak tepat di tikungan sempit: kiri tebing, kanan jurang. Perlu beberapa kali mengamati untuk bisa dapat tempat cukup luas untuk parkir secara nyaman. Dan, ternyata di area lapang tepi jalan ternyata ada artefak engineering lainnya: bendungan.

Bendung Cibeurem namanya. Produk rekayasa di zaman yang berbeda dengan jembatan. Dua-dua nya pun hadir dengan konteks ekonomi-politik yang berbeda: yang satu menjadi penanda pengangkutan hasil kebun ke kota, yang satu menandakan program pertanian hingga swasembada beras.

Namun kedua artefak ini disatukan oleh elemen alam: sungai. Ya, sejak lama sungai menjadi sarana penghidupan masyarakat. Mulai dari perkampungan, hingga jembatan kereta dan bendungan. Sungai bisa menjadi alasan manusia membangun landmark. Dan sering landmark lebih menarik perhatian daripada sungainya.

Ah, sebagai arsitek, saya bisa saja berandai ada tempat beristirahat yang lebih layak di titik ini. Ke kanan memandang jembatan, ke kiri melihat bendungan, di bawah ada gemercik suara sungai, di kejauhan ada sawah membentang. Kata Agus Kurniawan, kawan saya yang dulu sama-sama menjadi awak Jurnal Peradaban Islam SKAU, yang penting imajinasi: tempat asyik seperti ini bisa kita nikmati dengan membayangkannya.

Referensi

Aisha, H. & Ekomadyo, A.S. (2021). Translokalitas Budaya Sorkam pada Penggunaan Ruang Untuk Kegiatan Sehari-hari Masyarakat di Perumahan Bumi Yapemas Indah, Bekasi. Arsitektura: Jurnal Ilmiah Arsitektur dan Lingkungan Binaan, Vol  19, No 1,  April 2021, pages: 37-50,  DOI: https://doi.org/10.20961/arst.v19i1.48283,

Dewi, M. & Ekomadyo, A.S. (2021). Housing adaptation in response to high-noise environment a case study: Jalan Maleber Utara settlement. Adaptasi hunian di dalam kawasan dengan kebisingan tinggi studi kasus: permukiman Jalan Maleber Utara. EMARA: Indonesian Journal of Architecture Vol 6, No 2, 2020, Page: 105-118, DOI: 10.29080/eija.v6i2.1010

Ekomadyo, A.S. (2012). Fenomena Jokowi dan Prospek Penelitian Lingkungan Binaan di Indonesia Sebuah Opini. Artikel dalam media IPLBI http://iplbi.or.id/2012/08/fenomena-jokowi-dan-prospek penelitian-lingkungan-binaan-di-indonesia-sebuah-opini/, Oktober 2012

Heidegger, M. (1927) Being and Time

Lina, H. M, & Ekomadyo, A.S. (2021). Ruang Representasional untuk Pencurahan Kasih Sayang pada Pusat Perbelanjaan (Studi Kasus: Festival Citylink, Bandung). Jurnal Ruas Vol 19, No 2 (2021). https://ruas.ub.ac.id/index.php/ruas/article/view/375

Lefebvre, H. (1974). The Production of Space

Lefebvre, H. (1992). Rhythmanalysis

Mangunwijaya, Y.B. (1986). Ragawidya: Religiositas Hal Sehari-hari. Kanisius, Jakarta

Prasetyo, E.B., Putra, A.C., Rahmaputra, Ekomadyo, A.S. (2020). Strategi adaptasi arsitektural pada rumah usaha di Jalan Tubagus Ismail, Bandung : ARTEKS : Jurnal Teknik Arsitektur, Vol 5 No 1 (2020) https:// doi.org/10.30822/arteks.v5i1.72

 

Seni untuk Sains dan Inovasi

Disampaikan  pada  Kelas Filsafat Seni dan Strategi Seni Gerbong Bawah Tanah, 23 dan 30 Oktober 2021

Materi 1: Seni sebagai Disiplin, Playlist: https://www.youtube.com/playlist?list=PLt09rsPvkeJXLr-LIoaEzNZkRmcgKVCS3, Materi presentasi (pdf):Ekomadyo (2021) – Seni Sains Inovasi 1 – Seni sebagai Disiplin (Gerbong BT)_compressed

Materi 2: Kontribusi Seni untuk Inovasi, Playlist: https://www.youtube.com/playlist?list=PLt09rsPvkeJXFedJj4UHCxmGcprOOwLux, Materi presentasi (pdf):Ekomadyo (2021) – Seni Sains Inovasi 2 – Kontribusi Seni u Inovasi (Gerbong BT)_compressed

 

Sering Seni dan Riset ditempatkan dalam 2 kutub yang berseberangan. Yang satu berorientasi pada subjektivitas dan mengandalkan intuisi, yang satunya lagi berorientasi pada objektivitas dan harus rasional, bahkan ada prosedur ilmiah tertentu. Namun, adakah kesempatan kedua disiplin ini disambungkan.

Ketika Nigel Cross dan Bruce Archer membagi cara mendapatkan pengetahuan lewat 3 disiplin: sains, kemanusiaan, dan desain, maka terbuka desain menjadi disiplin yang bisa menjembatani sains dan kemanusiaan. Untuk itu, desain perlu dilihat dari aspek ontologi: bagaimana orang secara cerdik (ingenuity) memecahkan suatu permasalahan yang rumit. Maka dalam desain muncul istilah “pemecahan masalah secara kreatif” atau “pengembangan artistik secara logis”.

Namun ada cara lain untuk memasukkan unsur kemanusiaan lewat seni ke dalam sains. Ini dilakukan oleh Bruno Latour dkk sebagai antropolog yang mengunjungi laboratorium, mencoba mendeskripsikan bagaimana kehidupan para saintis dan budaya laboratorium. Di lain waktu, Latour mengembangkan ontologi sosialnya dengan mengikuti para ilmuwan dan insinyur saat mereka bertindak. Artinya, ada sebuah cara baru pendekatan kemanusiaan dalam mempelajari sains, yaitu mempelajari ilmuwan.

Dalam dunia entertainment, kita mengenal bagaimana pergolakan batin beberapa ilmuwan menjadi inspirasi dari sebuah karya seni. Misalnya film the “Beautiful Mind”, yang mengisahkan pergolakan batin salah satu penemu Game Theory, John Nash. Atau film “Imitation Game”, yang mengisahkan pergolakan batin dari Alan Touring, penemu mesin Touring, yang menjadi cikal bakal  komputer. Di Indonesia ada film “Habibie dan Ainun”, namun sayang karya seni ini lebih menonjolkan kehebatan Habibie, sementara pergolatan batin beliau sebagai manusia biasa, kurang banyak mendapat perhatian.

Sisi manusiawi ilmuwan bisa menjadi sumber pagi penciptaan karya seni. Menemukan sesuatu yang kemudian mempengaruhi orang banyak, ternyata melibatkan pergulatan batin yang sangat dalam. Dan beberapa seniman mampu menghadirkan pergulatan batin beberapa ilmuwan, bagaimana sains yang ia hasilnya berpengaruh bagi masyarakat banyak, dalam sebuah karya seni yang bisa dinikmati banyak orang.

Ketika kemajuan masyarakat pada masa kini ditentukan oleh penguasaaannya oleh sains dan inovasi, dan proses penciptaan sains dan inovasi ternyata melibatkan pergulatan batin dari penciptanya, apakah ini bisa menjadi inspirasi untuk penciptaan karya-karya seni? Jika tantangan ini bisa dijawab, maka kita akan mempunyai landasan yang kuat, bagaimana bangsa kita maju, karena menguasai sains untuk inovasi, tanpa kehilangan etos perjuangan untuk kemanusiaan dan keadilan, yang sesungguhnya menjadi domain perjuangan seni dan kemanusian. Kemajuan yang bermakna.

Panduan Membuat Pasar Tematik Kreatif Perdesaan

Disampaikan pada Kelas Rutinan”Pasar Desa, Pusat Ekonomi Desa “ Akademi Konstruksi dan Tata Ruang (AKSITARU) Indonesia, Sabtu 7 November 2020

Materi presentasi: Ekomadyo (2020) – Panduan Pasar Tematik Kreatif Perdesaan (webinar Aksitaru)

Pasar tematik kreatif perdesaan merupakan sebuah kegiatan pasar yang diciptakan dengan tujuan mengaktualisasi potensi ekonomi kawasan perdesaan berbasis keunikan lokasi yang dibangkitkan secara kreatif oleh para pelaku penggerak masyarakat desa. Istilah tematik ini merujuk pada keunikan yang dipunyai desa yang bisa dikembangkan sebagai daya tarik pasar yang diciptakan. Kreatif merujuk pada aspek artistik untuk memperkuat keunikan pasar, yang dikembangkan melalui jejaring para penggerak pasar tersebut.

Target pengguna panduan ini ini adalah para penggerak desa sebagai inisiator penciptaan pasar tematik kreatif perdesaan. Diharapkan panduan ini bisa membantu inisiator pasar untuk bekerja dengan lebih terarah dan sistematik. Panduan ini diharapkan juga membantu inisiator pasar untuk memperluas jejaring untuk mendukung pelaksanaan pasar, seperti kegiatan tanggung jawab sosial perusaahaan, promosi produk, atau publikasi massa. Panduan ini telah diujicobakan untuk menciptakan pasar bertema Astronomi di Kampung Areng, Desa Wangunsari, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, yang dinamakan “Pasar Purnama”.