Pendekatan Humanistik untuk Desain Arsitektur: Sebuah Penjelajahan Ontologis

Materi Kuliah Kuliah Instruksional AR3290 Studio Perancangan Arsitektur IV, Program Studi Arsitektur Institut Teknologi Bandung, 21 Januari 2020, tentang “Pengalaman Manusia, Tempat, dan Desain Arsitektur: Sebuah Penjelajahan Ontologis”

Apa itu ontologi? Apa kaitannya ontologi dengan desain arsitektur? Dan ketika desain arsitektur berorientasi pada pemecahan masalah, bagaimana penjelajahan ontologis bisa menjadi sesuatu yang konkrit?

Pertanyaan tersebut dicoba untuk dijawab melalui sebuah kuliah instruksional dalam studio perancangan. Karena konteksnya adalah perancangan arsitektur yang berorientasi pada pemecahan masalah, maka penjelajahan ontologis ini pun seketika harus menukik ke dalam langkah-langkah perancangan yang lebih konkrit. Menyajikan dua spektrum yang luas dalam sekali penyajian memang beresiko. Namun, kalau kita berpikir positif, rentang spektrum yang luas ini akan mampu menjadi bingkai ketertarikan dari pembacanya: siapa yang lebih berminat ke hal-hal yang abstrak dan filosofis, dan siapa yang cenderung memilih hal-hal yang konkrit dan praktis.

Penjelajahan ontologis ini adalah tentang pendekatan humanistik dalam desain arsitektur. Ya, tidak mungkin berbicara humanity dalam era modern tanpa berbicara fenomenologi, terutama yang dikembangkan oleh Heidegger: “Being in the world”. Ini ontologi dari pendekatan humanistik di era modern: mencari makna terdalam dari manusia, yang didapatkan lewat aneka pengalaman inderawi. Romo Mangunwijaya memberikan bahasa yang sangat pas: Ragawidya.

Lalu, bagaimana ragawidya ini harus diimplemantasikan sebagai langkah-langkah perancangan arsitektur? Dalam kuliah instruksional tersebut, saya menyarankan 4 langkah. Pertama: mengedepankan kepekaan (sense). Kedua: berlatih membayangkan (imagining, prescribing). Ketiga: empati, merasakan apa yang akan pengguna rasakan saat menggunakan karya arsitektur yang dirancang. Keempat: mentransformasikan pengalaman manusia ke dalam rancangan lingkungan binaan. Yang keempat ini pun masih saya turunkan ke dalam 3 langkah praktis selanjutnya: a) membayangkan suasana, b) menghadirkan suasana ke dalam gubahan ruang, dan c) menggubah massa dan detail yang membentuk ruang tersebut.

Materi kuliah:Ekomadyo (2021) – Human Experiences, Place, and Architectural Design (AR3290 Lecture) for web

Sungai Dan Artefak Arsitektural: Catatan dari “Blusukan” dan “Keseharian”

(bagian dalam buku antologi “Budaya Riparian dan Arsitektur” [masih dalam penyusunan])


Istilah “blusukan” menjadi terkenal, ketika seorang pemimpin daerah menggunakan “metode” ini dalam mengunjungi aneka tempat di wilayah kerjanya, sambil menyapa masyarakat. Sebenarnya ini bukan model baru, karena dalam peribahasa Jawa dikenal istilah “Jajah Desa Milang Kori” (menjelajah desa menghitung pintu), yang menggambarkan bagaimana para pemimpin berkeliling dan menghitung, mengkalkulasi, permasalahan warganya. Namun “blusukan” lebih punya konotasi yang informal dan spontan (Ekomadyo, 2012). Bahkan karena mudah diucapkan, kata ini kemudian menjadi jenama (brand) yang membawa popularitas yang bersangkutan hingga menjadi pemimpin negara.

Dalam dunia arsitektur, istilah “blusukan” pun dipinjam untuk menjelaskan kegiatan berjalan-jalan secara informal dan spontan dalam menjelajahi aneka objek arsitektur. Dengan istilah “blusukan” jalan-jalan arsitektur jadi terkesan lebih “heroik”, karena punya konotasi menyapa fenomena. Arsitek punya istilah sendiri saat menyapa fenomena, yaitu “sense”; istillah ini misalnya muncul dalam “sense of place”, “sense of community”, atau “sense of unity”. Dalam bahasa lain, arsitek menyebutnya dengan “mencerap suasana”. Nah, istilah “blusukan” membuat metode-metode tersebut lebih terasa membumi.

Metode mengamati fenomena secara spontan dan informal, ikut menggerakkan raga kita untuk menelusuri aneka makna (Mangunwijaya, 1986) bahkan bisa menjadi sesuatu yang ilmiah. Misalnya yang dilakukan oleh Henry Lefebvre (1992) ketika mebuat buku “Rhythmanalysis”. Bedanya, selain banyak berjalan-jalan atau blusukan, dengan lokasi beberapa kota di tepi Laut Mediterania (Mediterranean cities), Lefebvre mendedikasikan waktu menulisnya juga dengan duduk santai, meminum kopi, berbincang-bincang dengan warga: di situ ia mengamati irama yang terjadi dalam suatu fenomena sosial. Lewat duduk, berbincang, dan berjalan-jalan, Lefebvre menyebut temuannya sebagai “sains”, sebuah pengetahuan yang terstruktur (knowledge), yang dalam bahasa Perancis disebut “savoir” , dan bukan sekadar pemahaman (know-how) yang disebut “connaissance”. Pemikiran Lefebvre ini banyak berpengaruh dalam dunia arsitektur, yang melihat arsitektur hadir dalam keseharian dengan merepresentasikan sesuatu (Lefebvre, 1974). Sesuatu ini sering merujuk pada apa yang diperjuangkan oleh sekelompok masyarakat. Arsitektur dalam keseharian ini menarik beberapa mahasiswa saya untuk diamati lebih jauh, misalnya pengamatan terhadap fenomena rumah usaha pada permukiman di sekitar universitas (Prasetyo, dkk., 2020), adaptasi kebisingan pada perumahan di sepanjang rel kereta (Dewi & Ekomadyo, 2021) keseharian tradisi pada permukiman masa kini (Aisha & Ekomadyo, 2021), atau ruang-ruang pencurahan kasih sayang pada fasilitas perbelanjaan (Lina & Ekomadyo, 2021)

Untuk antologi buku “Budaya Riparian dan Arsitektur”, ada 4 artikel yang saya kontribusikan. Artikel ini dituliskan kembali dari tulisan spontan saya dalam sebuah media sosial saat “blusukan” dan menemukan fenomena sungai dan arsitektur. Karena awalnya ditulis dalam media sosial, maka tulisan-tulisan di bawah sengaja ditulis dengan bahasa ringan, informal, spontan, dan banyak menyisipkan bahasa canda. Kesan “tidak serius” sengaja diciptakan, supaya materi yang sebenarnya “berat” tersajikan dengan lebih ringan dan bisa dibawa bercanda. Meskipun disajikan dengan “tidak serius”, tulisan ini tetap dijaga keilmiahannya, antara lain dengan memasukkan beberapa referensi ilmiah.

Ada empat tulisan dan 3 lokasi yang saya sajikan. Ada dua tulisan tentang Kali Semarang, sebuah sungai yang oleh masyarakat dikenal sebagai “kali banger” (sungai yang berbau busuk), namun ternyata menyimpan cerita sejarah tentang peran ini sebagai akses penting bagi perdagangan darat dan laut di Semarang di masa lalu. Satu tulisan tentang sungai di kota Cirebon, merupakan fenomena yang tipikal dengan tulisan sebelumnya, bagaimana peran sungai yang dulu penting namun sekarang  terlupakan. Dan terakhir adalah tulisan tentang dua monumen yang dibangun pada masa yang berbeda di Sungai Ciwidey, Bandung.

Two Towers Van Semarang: Kampung Layur dan Pelabuhan Lama

Meski sebenarnya malu sebagai “cah” Semarang yang dulu suka blusukan, saya membuka google map waktu mau mengunjungi Masjid Menara di Kampung Layur; daripada nyasar…

Namun justru google map memberi saya pengetahuan baru: bahwa ternyata Masjid Menara ternyata berada di sumbu yang sama dengan Mercusuar Willem III di Pelabuhan Lama Semarang yang kami kunjungi kemarinnya (gambar 1 kiri). Google map juga menunjukkan bangunan lain bernama “Menara Syahbandar” (padahal nggak jelas menaranya) di dekat Masjid Menara. Di sebelah utara Kampung Layur ada kampung yang bernama Boom Lama: “boom” berarti pelabuhan dalam bahasa Balanda. Sumbu yang menyatukan bangunan-bangunan dan kawasan-kawasan itu adalah Kali Semarang, yang memanjang dari pesisir laut Jawa hingga menembus sisi timur Pasar Djohar (dikenal dengan sebutan Sendowo, pool angkutan kota [atau disebut “daihatsu” oleh orang Semarang] untuk kawasan ini).

Sungai Artefak Arsitektur (1)

Gambar 1: Menara Masjid Layur (kiri) dan Menara Masjid Layur (kanan)

Hmmm… saya jadi mereka-reka apa yg terjadi di masa lalu. Kali Semarang menjadi akses barang ke pusat kota. Pada masa Kesultanan Islam, pelabuhan ada di kawasan Layur, sehingga ada Menara Syahbandar dan mercusuar. Pada masa kolonial Belanda, dibangun pelabuhan yang baru (sehingga pelabuhan sebelumnya disebut Boom Lama) dan mercusuar yang baru pula (gambar 1 kiri).

Saat jalan-jalan ke Istambul dulu mas Revianto Budi Santosa (dosen Arsitektur Universitas Islam Indonesia) banyak bercerita tentang konsep minaret pada Arsitektur Utsmani. Nah, ternyata menara di Masjid Menara Layur tidak mirip dengan minaret-minaret masjid, malah mirip dengan Galata Tower di Istanbul, yang fungsinya adalah…mercusuar!

Hmmm…mungkinkah menara Masjid Layur ini awalnya adalah mercusuar, yang kemudian dialihfungsikan sebagai menara masjid? (gambar 1 kanan). Wah, kalau cerita tentang sumbu-sumbu di kota Semarang, musti mengajak ex-native Semarang pak Wijanarka Arka (dosen di Universitas Palangka Raya) untuk ikut berbagi cerita. Kalau dilanjutkan, rasanya ceritanya tidak kalah seru dengan cerita tentang sumbu-sumbu ala Illuminati di kota Washington yang jadi bahan cerita novel laris manis karya Dan Brown…

 

Kampung Layur Semarang: Antara Ikan Asin, Masjid, Dan Klenteng

Mana yang “Layur”-nya lebih dulu: ikan (asin) atau kampungnya? Kalau secara “subjectivo-empirico-temporal” (maksudnya pengalaman pribadi saat ini), ikan (asin) Layur ada lebih dulu dari kampungnya. Ya iya, lah, soalnya kemarin saya makan nasi hangat ikan asin (gereh-Jawa) Layur dan sambal (ya, hanya 3 itu) dan kenikmatannya menginspirasi saya untuk mengunjungi Kampung Layur di keesokan harinya…

Tetapi secara logika memang ikan layur lebih dulu ada daripada Kampung Layur. Iya, karena lokasinya di dekat pantai, maka jalan-jalan di kawasan Boom Lama Semarang diberi nama-nama  ikan: kakap, kerapu, patek, dan…layur! Yang terakhir menjadi lebih terkenal karena ada masjid tua di situ. Dan masjid ini terletak di tepi sungai, memberikan aura imajinasi bahwa dulu masjid ini pernah berperan dalam mengontol perahu-perahu yang melintas (gambar 2 kiri atas bawah).

Namun ketika mengunjungi masjid menara di Kampung Layur, perhatian saya tertarik dengan beberapa rumah Cina, bahkan klenteng, di seberang masjid (gambar 2 kanan atas bawah). Ini mulai membuka jawaban ketika semalam sebelumnya muncul pertanyaan mengapa banyak toko-toko material yang dimiliki oleh pengusaha Tionghoa di sepanjang koridor utama kampung Arab Pekojan. Mengapa pula ditemukan sebuah masjid tua di dalam kampung Pecinan Jagalan.

Sungai Artefak Arsitektur (2)

Gambar 2: Arsitektur Arab dan Cina di Kampung Layur

Ada informasi, terjadi perkawinan lintas etnis Arab-Islam dengan Tionghoa-Konghucu di Semarang pada masa lalu. Alasannya sederhana: Kampung Arab dan Kampung Cina lokasinya bersebelahan, mosok ya, tidak ada pergaulan antar muda mudi dan beberapa di antaranya saling jatuh cinta?

Hmmm…informasi ttg rajutan sosio-kultural Arab-Tionghoa memang belum banyak. Tetapi ini menarik untuk ditelusuri, apalagi ada representasi artifak arsitekturalnya. Penelusuran bisa diawali dengan melacak kampung-kampung di sepanjang Kali Semarang: mulai Kampung Layur, hingga Kampung Jagalan dan Kampung Pekojan. Apalagi kalau setelah menelusuri, akhirnya lapar, lalu makan nasi putih dengan sambal dan gereh Layur. Wah, bakal Semarangan tuenan, ik…

 

Pasar dan Sungai di Pusat Kota Cirebon

Sekali lagi saya berterima kasih kepada google map yg menunjukkan bahwa ada sungai di samping bangunan pasar yg saya kunjungi (gambar 3 kiri atas). Dan google map juga memberitahu saya kalau sungai ini bermuara di pelabuhan cirebon. Di lapangan, sungai ini hampir tak terlihat, tertutup oleh lapak-lapak pedagang informal.

Sungai Artefak Arsitektur (3)

Gambar 3: Sungai dan Pasar Pagi Cirebon

Di sini sekali lagi saya menemukan  suatu  kota punya morfologi sungai-pasar. Sebelumnya, di Solo secara tidak sengaja saya “menemukan” adanya Kali Pepe (nama sungai tersebut diberitahu mas Mohamad Muqoffa, teman yang menjadi dosen Arsitektur di Universitas Sebelas Maret Surakarta) yang  menghubungkan Pasar Gede di wilayah Kasunanan dan Pasar Legi di wilayah Mangkunegaran. Kali Pepe sebenarnya kanal, yg menghubungkan kota Solo dgn Bengawan Solo. Hmmm…mungkin di sungai ini Gesang mendapat inspirasi “…kaum pedagang naik itu perahu..” pada  syair lagu Bengawan Solo.

Namun relasi sungai dan Pasar Pagi di Cirebon lebih mirip relasi sungai Pasar Banjarsari di Pekalongan dan Pasar Djohar di Semarang. Sungai-sungai itu menjadi akses pasar ke pelabuhan di kota itu. Bayangkan, bagaimana ramainya sungai oleh aktivitas bongkar muat barang.

Tetapi itu dulu. Kini sungai-sungai yang dekat pasar nasibnya merana. Sungai tersebut kini lebih menjadi sarana pembuangan. Jadi “kali banger”, sungai yang bau. Tertutup lapak-lapak temporer (gambar 3 kiri bawah).  Kini sungai tersebut tidak membuat bangga lagi. Padahal kalau melihat papan penanda/ signage-nya, ada artefak penting yang menentukan peran penting sungai ini bagi kota Cirebon (gambar 3 kanan atas bawah).

Sekali lagi, google map memberitahu saya satu hal: area sungai itu adalah berwarna paling hijau di antara area lainnya. Iya, sungai adalah Ruang Terbuka Hijau (RTH). Artinya, meski merana, ia tetap setia menjadi paru-paru kota.

Mengapa nggak sekalian dijadikan public park saja, ya, biar warga kota berekreasi di hijaunya area sungai. Dan ini sudah terjadi di Kali Pele Solo. Kali Semarang mungkin sebentar lagi, karena bersebelahan persis dgn Kota Lama Semarang yg pesonanya baru saja memukau warganet. Cirebon, juga Pekalongan, juga kota Budaya, dan tengah berkembang mjd kota wisata. Kita tunggu saja nanti, apakah akan terjadi integrasi pasar dan sungai sebagai ruang publik.

Peluang, tuh, buat arsitek…

 

Sungai Dan Peradaban: Di Jembatan Kereta Api Ciwidey

Setelah beberapa kali hanya bisa melihat sembari mengemudi, akhirnya kesampaian juga untuk berhenti dan memotret jembatan ini. Aduhai, makhluk semolek ini tetap berdiri anggun meski tak lagi berfungsi seperti awalnya. Meski sedikit lekang karena waktu, cantik tetaplah cantik: sebuah representasi  artistika engineering hadir di sini dari masa lalu.

Sungai Artefak Arsitektur (4)

Gambar 4: Jembatan dan Bendungan di Sungai Ciwidey

Jembatan ini terletak tepat di tikungan sempit: kiri tebing, kanan jurang. Perlu beberapa kali mengamati untuk bisa dapat tempat cukup luas untuk parkir secara nyaman. Dan, ternyata di area lapang tepi jalan ternyata ada artefak engineering lainnya: bendungan.

Bendung Cibeurem namanya. Produk rekayasa di zaman yang berbeda dengan jembatan. Dua-dua nya pun hadir dengan konteks ekonomi-politik yang berbeda: yang satu menjadi penanda pengangkutan hasil kebun ke kota, yang satu menandakan program pertanian hingga swasembada beras.

Namun kedua artefak ini disatukan oleh elemen alam: sungai. Ya, sejak lama sungai menjadi sarana penghidupan masyarakat. Mulai dari perkampungan, hingga jembatan kereta dan bendungan. Sungai bisa menjadi alasan manusia membangun landmark. Dan sering landmark lebih menarik perhatian daripada sungainya.

Ah, sebagai arsitek, saya bisa saja berandai ada tempat beristirahat yang lebih layak di titik ini. Ke kanan memandang jembatan, ke kiri melihat bendungan, di bawah ada gemercik suara sungai, di kejauhan ada sawah membentang. Kata Agus Kurniawan, kawan saya yang dulu sama-sama menjadi awak Jurnal Peradaban Islam SKAU, yang penting imajinasi: tempat asyik seperti ini bisa kita nikmati dengan membayangkannya.

Referensi

Aisha, H. & Ekomadyo, A.S. (2021). Translokalitas Budaya Sorkam pada Penggunaan Ruang Untuk Kegiatan Sehari-hari Masyarakat di Perumahan Bumi Yapemas Indah, Bekasi. Arsitektura: Jurnal Ilmiah Arsitektur dan Lingkungan Binaan, Vol  19, No 1,  April 2021, pages: 37-50,  DOI: https://doi.org/10.20961/arst.v19i1.48283,

Dewi, M. & Ekomadyo, A.S. (2021). Housing adaptation in response to high-noise environment a case study: Jalan Maleber Utara settlement. Adaptasi hunian di dalam kawasan dengan kebisingan tinggi studi kasus: permukiman Jalan Maleber Utara. EMARA: Indonesian Journal of Architecture Vol 6, No 2, 2020, Page: 105-118, DOI: 10.29080/eija.v6i2.1010

Ekomadyo, A.S. (2012). Fenomena Jokowi dan Prospek Penelitian Lingkungan Binaan di Indonesia Sebuah Opini. Artikel dalam media IPLBI http://iplbi.or.id/2012/08/fenomena-jokowi-dan-prospek penelitian-lingkungan-binaan-di-indonesia-sebuah-opini/, Oktober 2012

Heidegger, M. (1927) Being and Time

Lina, H. M, & Ekomadyo, A.S. (2021). Ruang Representasional untuk Pencurahan Kasih Sayang pada Pusat Perbelanjaan (Studi Kasus: Festival Citylink, Bandung). Jurnal Ruas Vol 19, No 2 (2021). https://ruas.ub.ac.id/index.php/ruas/article/view/375

Lefebvre, H. (1974). The Production of Space

Lefebvre, H. (1992). Rhythmanalysis

Mangunwijaya, Y.B. (1986). Ragawidya: Religiositas Hal Sehari-hari. Kanisius, Jakarta

Prasetyo, E.B., Putra, A.C., Rahmaputra, Ekomadyo, A.S. (2020). Strategi adaptasi arsitektural pada rumah usaha di Jalan Tubagus Ismail, Bandung : ARTEKS : Jurnal Teknik Arsitektur, Vol 5 No 1 (2020) https:// doi.org/10.30822/arteks.v5i1.72

 

Seni untuk Sains dan Inovasi

Disampaikan  pada  Kelas Filsafat Seni dan Strategi Seni Gerbong Bawah Tanah, 23 dan 30 Oktober 2021

Materi 1: Seni sebagai Disiplin, Playlist: https://www.youtube.com/playlist?list=PLt09rsPvkeJXLr-LIoaEzNZkRmcgKVCS3, Materi presentasi (pdf):Ekomadyo (2021) – Seni Sains Inovasi 1 – Seni sebagai Disiplin (Gerbong BT)_compressed

Materi 2: Kontribusi Seni untuk Inovasi, Playlist: https://www.youtube.com/playlist?list=PLt09rsPvkeJXFedJj4UHCxmGcprOOwLux, Materi presentasi (pdf):Ekomadyo (2021) – Seni Sains Inovasi 2 – Kontribusi Seni u Inovasi (Gerbong BT)_compressed

 

Sering Seni dan Riset ditempatkan dalam 2 kutub yang berseberangan. Yang satu berorientasi pada subjektivitas dan mengandalkan intuisi, yang satunya lagi berorientasi pada objektivitas dan harus rasional, bahkan ada prosedur ilmiah tertentu. Namun, adakah kesempatan kedua disiplin ini disambungkan.

Ketika Nigel Cross dan Bruce Archer membagi cara mendapatkan pengetahuan lewat 3 disiplin: sains, kemanusiaan, dan desain, maka terbuka desain menjadi disiplin yang bisa menjembatani sains dan kemanusiaan. Untuk itu, desain perlu dilihat dari aspek ontologi: bagaimana orang secara cerdik (ingenuity) memecahkan suatu permasalahan yang rumit. Maka dalam desain muncul istilah “pemecahan masalah secara kreatif” atau “pengembangan artistik secara logis”.

Namun ada cara lain untuk memasukkan unsur kemanusiaan lewat seni ke dalam sains. Ini dilakukan oleh Bruno Latour dkk sebagai antropolog yang mengunjungi laboratorium, mencoba mendeskripsikan bagaimana kehidupan para saintis dan budaya laboratorium. Di lain waktu, Latour mengembangkan ontologi sosialnya dengan mengikuti para ilmuwan dan insinyur saat mereka bertindak. Artinya, ada sebuah cara baru pendekatan kemanusiaan dalam mempelajari sains, yaitu mempelajari ilmuwan.

Dalam dunia entertainment, kita mengenal bagaimana pergolakan batin beberapa ilmuwan menjadi inspirasi dari sebuah karya seni. Misalnya film the “Beautiful Mind”, yang mengisahkan pergolakan batin salah satu penemu Game Theory, John Nash. Atau film “Imitation Game”, yang mengisahkan pergolakan batin dari Alan Touring, penemu mesin Touring, yang menjadi cikal bakal  komputer. Di Indonesia ada film “Habibie dan Ainun”, namun sayang karya seni ini lebih menonjolkan kehebatan Habibie, sementara pergolatan batin beliau sebagai manusia biasa, kurang banyak mendapat perhatian.

Sisi manusiawi ilmuwan bisa menjadi sumber pagi penciptaan karya seni. Menemukan sesuatu yang kemudian mempengaruhi orang banyak, ternyata melibatkan pergulatan batin yang sangat dalam. Dan beberapa seniman mampu menghadirkan pergulatan batin beberapa ilmuwan, bagaimana sains yang ia hasilnya berpengaruh bagi masyarakat banyak, dalam sebuah karya seni yang bisa dinikmati banyak orang.

Ketika kemajuan masyarakat pada masa kini ditentukan oleh penguasaaannya oleh sains dan inovasi, dan proses penciptaan sains dan inovasi ternyata melibatkan pergulatan batin dari penciptanya, apakah ini bisa menjadi inspirasi untuk penciptaan karya-karya seni? Jika tantangan ini bisa dijawab, maka kita akan mempunyai landasan yang kuat, bagaimana bangsa kita maju, karena menguasai sains untuk inovasi, tanpa kehilangan etos perjuangan untuk kemanusiaan dan keadilan, yang sesungguhnya menjadi domain perjuangan seni dan kemanusian. Kemajuan yang bermakna.

Panduan Membuat Pasar Tematik Kreatif Perdesaan

Disampaikan pada Kelas Rutinan”Pasar Desa, Pusat Ekonomi Desa “ Akademi Konstruksi dan Tata Ruang (AKSITARU) Indonesia, Sabtu 7 November 2020

Materi presentasi: Ekomadyo (2020) – Panduan Pasar Tematik Kreatif Perdesaan (webinar Aksitaru)

Pasar tematik kreatif perdesaan merupakan sebuah kegiatan pasar yang diciptakan dengan tujuan mengaktualisasi potensi ekonomi kawasan perdesaan berbasis keunikan lokasi yang dibangkitkan secara kreatif oleh para pelaku penggerak masyarakat desa. Istilah tematik ini merujuk pada keunikan yang dipunyai desa yang bisa dikembangkan sebagai daya tarik pasar yang diciptakan. Kreatif merujuk pada aspek artistik untuk memperkuat keunikan pasar, yang dikembangkan melalui jejaring para penggerak pasar tersebut.

Target pengguna panduan ini ini adalah para penggerak desa sebagai inisiator penciptaan pasar tematik kreatif perdesaan. Diharapkan panduan ini bisa membantu inisiator pasar untuk bekerja dengan lebih terarah dan sistematik. Panduan ini diharapkan juga membantu inisiator pasar untuk memperluas jejaring untuk mendukung pelaksanaan pasar, seperti kegiatan tanggung jawab sosial perusaahaan, promosi produk, atau publikasi massa. Panduan ini telah diujicobakan untuk menciptakan pasar bertema Astronomi di Kampung Areng, Desa Wangunsari, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, yang dinamakan “Pasar Purnama”.

Pesantren sebagai “Social Lab” untuk Inovasi

(Artikel dipublikasikan di Media Indonesia, Selasa, 21 September 2021)

Download artikel:Ekomadyo dkk (2021) – Pesantren Social Lab – Epaper Media Indonesia – Selasa, 21 September 2021

 

Istilah “social lab” atau “laboratorium masyarakat” dikenal dalam kegiatan inovasi ketika suatu inisiasi, bisa dari penelitian atau pengabdian masyarakat universitas, berjumpa dengan kompleksitas permasalahan ketika diujicobakan dalam suatu kelompok masyarakat tertentu. Dalam kerangka jejaring inovasi, Yuliar (Transformasi Penelitian ke dalam Inovasi, 2011) menawarkan konsep “pembentangan ruang pembelajaran”, menyempurnakan konsep inisasi-adopsi dalam difusi inovasi dari Rogers (Diffusion of Innovation, 1962). Pada kenyataannya proses difusi inovasi tidak berlangsung secara linier, banyak terjadi variasi lintasan gagasan dan aktivitas, dan sering hasil inovasi muncul dari proses interaksi antar pelaku yang bisa jadi berubah dari inisiasi awal, sehingga yang perlu menjadi perhatian adalah terjadinya perluasan jejaring inovasi karena adanya pembentangan ruang pembelajaran.

Termasuk ketika inisiasi inovasi dari universitas melibatkan masyarakat pesantren. Misalnya, saat sebuah inisiasi tentang penciptaan Pasar Tani di Perdesaan lewat kegiatan pengabdian masyarakat ITB tahun 2015 dengan melibatkan Pesantren Al Ittifaq di Ciwidey. Pesantren ini dikenal sebagai pesantren yang “berdakwah” lewat pertanian selayaknya “Tarekat Sayuriyah” (Mansur, Entrepreneur Organik, 2005). Ide awalnya adalah penciptaan pasar wisata bertema pertanian dengan menggabungkan kekuatan pesantren dan potensi wisata di  Ciwidey, namun desain pasar yang dihasilkan belum bisa terlaksana karena kompleksitas permasalahan saat implementasi. Namun dalam proses interaksi antara tim peneliti dan pesantren mampu menghasilkan pembentangan ruang-ruang pembelajaran, yang menghasilkan produk inovasi di luar inisiasi awal, seperti desain dan pembangunan minimarket dan kuliah publik Islam dan Perubahan Masyarakat, yang menunjukkan terjadinya perluasan jejaring antara tim ITB dengan pesantren.

Contoh lain adalah pada Penelitian Terapan Unggulan Perguruan Tinggi (PTUPT) tahun 2018-2019 tentang Pasar Bertema Astronomi di kawasan eduwisata Imahnoong di Lembang. Ide awalnya adalah menciptakan pasar temporer, bertajuk “Pasar Purnama”, yang melibatkan masyarakat sekitar dengan memanfaatkan kunjungan wisatawan yang ingin melihat fenomena astronomi tertentu di kawasan ini. Namun setelah ujicoba pertama, ternyata pengunjung astronomi tidak berminat membeli dagangan di pasar temporer, dan Pasar Purnama versi 1.0 hanya ramai oleh penduduk sekitar saja. Karena kebetulan pemilik Imahnoong merupakan alumni ITB yang juga alumni Pesantren Tebuireng, maka jejaring pesantren akhirnya digunakan untuk menarik massa yang lebih besar, lewat kegiatan Tabligh Akbar yang menyertai event astronomi tertentu. Gabungan antara event astronomi dan tabligh akbar akhirnya membuat Pasar Purnama menjadi ramai, mampu memberikan dampak ekonomi signifikan terhadap masyarakat sekitar, namun belum bisa dilanjutkan karena pandemi.

Berbagai pengalaman dalam berinteraksi dengan kalangan pesantren membawa pada temuan bahwa ternyata religiusitas bisa menjadi modal budaya dalam pengembangan inovasi. Lewat Seri Kuliah Publik Islam dan Pengembangan Masyarakat oleh Studia Humanika Salman ITB tahun 2019, disusun berbagai pengalaman praktis pelaku keagamaan dalam pengembangan masyarakat. Dalam forum ini muncul pertanian terpadu sebagai isu yang mempertemukan religiusitas, inovasi, dan pengembangan masyarakat. Dari forum ini, berlanjut berbagai forum yang mempertemukan peneliti dan mitra-mitra pesantren, termasuk forum-forum daring yang menjadi intensif pada saat pandemi.

Isu pertanian terpadu mulai dikembangkan dalam kegiatan pengabdian masyarakat tahun 2020 dengan melibatkan Badan Wakaf Muhammadiyah Jawa Barat dalam pengembangan fasilitas eduwisata pertanian di kawasan Cisarua, Cimahi. Keterkaitan dengan pesantren adalah, ada seorang santri yang mengembangkan pertanian terpadu didukung oleh teknologi yang dikembangkan oleh peneliti ITB, yaitu pupuk cair Masaro. Dalam proses pengabdian masyarakat ini, ternyata teknologi Masaro bisa menyatukan perhatian pada isu pertanian terpadu oleh kelompok Muhammadiyah dengan kekuatan wakaf-nya dan kelompok Nahdlatul Ulama dengan kekuatan pesantren-nya.

Berbagai forum daring antara tim peneliti dan pesantren ternyata mendorong aneka kegiatan pengabdian termasuk di masa pandemi. Misalnya, ketika terjadi masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tahun 2020, tim peneliti bisa bisa tetap melaksanakan pengabdian masyarakat lewat koordinasi daring dengan pengelola pesantren di lapangan. Lewat komunikasi daring, maka peneliti bisa membantu keterlibatan pesantren, pada kasus ini adalah Pesantren Sirojul Huda di Soreang, dalam program Citarum Harum lewat desain kawasan eduwisata perikanan. Pada tahun 2021, pengabdian masyarakat Citarum Harum dikembangkan dengan melibatkan banyak pesantren di Kabupaten Bandung di bawah koordinasi asosiasi pesantren setempat. Isu yang diangkat adalah bagaimana mensinergikan konservasi area sungai dengan pertanian terpadu.

Secara organisasi, aneka proses bottom-up agar pesantren bisa menjadi “social lab” bagi pengembangan inovasi di ITB kemudian mendapatkan dukungan institusional. Diawali dengan diskusi antara dosen ITB dengan ketua PW GP Ansor Jabar tentang potensi sinergi ITB dengan pesantren untuk pengembangan masyarakat. Diskusi dilanjutkan dengan Focus Group Discussion di Imahnoong Lembang – sebagai contoh bagaimana teknologi mendorong pengembangan masyarakat – yang dihadiri oleh sivitas ITB, PW Ansor Jabar, kyai muda se-Bandung Raya, dan perwakilan dari Kodam III Siliwangi sebagai koordinator Citarum Harum. Dapat disimpulkan bahwa sinergi ITB-pesantren dalam pengembangan masyarakat disekitar DAS Citarum akan berdampak signifikan untuk kelestarian sungai Citarum. Diskusi akademik kemudian dilanjutkan dengan melibatkan beberapa dosen dari Program Studi Pembangunan ITB, dan di sini dipilih terpadu merupakan teknologi yang paling tepat untuk diujicobakan di Pesantren. Teknologi tersebut kemudian didiseminasikan dalam sebuah lokakarya daring “Pesantren, Teknologi dan Pemberdayaan Masyarakat” kepada 30 kyai muda yang memimpin pesantren di Jawa Barat. Inovasi serupa kemudian dibawa ke tingkat nasional setelah terdapat kesepahaman antara ketua LPPM ITB, Dr. Joko Sarwono, dengan asosiasi pesantren Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI-PBNU). Sinergi ITB sebagai penyedia teknologi dan pesantren-pesantren RMI sebagai “social lab” diawali dengan lokakarya daring: Karsa Loka Spesial Ramadan dengan tema “Pesantren sebagai Social Lab untuk Inovasi Berbasis Pertanian Terpadu”.

Dari webinar Karsa Loka yang diselenggarakan tanggal 7 Mei 2021, ada beberapa catatan yang menjadi pembelajaran dan potensi untuk tindak lanjut. Dalam Undang-undang nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, disebutkan bahwa ruang lingkup fungsi pesantren tidak terbatas pada pendidikan dan dakwah saja, tetapi juga pemberdayaan masyarakat. Menurut data Kementerian Agama RI pada tahun 2020 terdapat setidaknya 26.973 pesantren yang tersebar di seluruh propinsi di Indonesia. Jawa Barat dengan jumlah pesantren terbesar mencapai lebih dari 8 ribu, disusul oleh Banten, Jawa Timur, Jawa Tengah, Aceh, dan NTB. Sementara itu, RMI pada minggu pertama bulan Mei 2021 melakukan asesmen terhadap lebih dari 130 pesantren yang tersebar dari beberapa propinsi dan kab/kota dan mendapatkan data bahwa pesantren di lingkungan NU selain menyelenggarakan fungsi utama seperti pendidikan dan tahfidz (hafalan Al-Quran), juga memiliki spesialisasi atau program unggulan di bidang pertanian (45,6%), kewirausahaan (41,9%), peternakan (27,2%), perikanan (23,5%), dan teknologi informasi (19,9%). Potensi pengembangan dan inovasi pemanfaatan teknologi bagi pesantren juga didukung oleh adanya lahan yang dimiliki oleh pesantren baik untuk kegiatan pertanian, peternakan, atau perikanan mayoritas belum dimanfaatkan secara maksimal. Padahal potensi produktivitasnya sangat tinggi.

Potensi pesantren menjadi peluang bagi ITB untuk menjalankan fungsi penelitian dan pengabdian masyarakatnya. Pesantren yang memiliki modal ekonomi sosial budaya seperti lahan,  sumberdaya manusia (santri), dan sikap resiliensi terhadap perubahan zaman dan juga modal kapital.  Di sisi lain Pesantren akan mendapatkan manfaat yang dapat meningkatkan potensi ekonomi dan kemandirian Pesantren.. Pada asesmen yang dilakukan oleh RMI pada Agustus 2020 dan diikuti oleh lebih dari 700 pesantren, 80% pesantren yang sudah mempunyai kegiatan produktif dari sektor pertanian, peternakan, perikanan, retail/ koperasi, dan produksi makanan mengalami dampak negatif berupa penurunan omset.

Sebagai “social lab” ada potensi interaksi mutual antara peneliti ITB dengan masyarakat pesantren. Dengan pendekatan jejaring inovasi, peneliti perlu memilih lintasan-lintasan yang bersifat terbuka dan “reversible” agar responsif terhadap dinamika dan kompleksitas masyarakat Pesantren. Bagi masyarakat pesantren, religiusitas bisa menjadi modal budaya agar aneka teknologi yang diujicobakan bisa bermanfaat untuk peningkatan kapasitas pesantren secara berkelanjutan. Beberapa semangat inovasi yang berasal dari pesantren seperti “istiqra” (riset) untuk “sa’adatuddarain” (kesejahteran dunia dan akhirat) (Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, 1994), perlu terus digali demi terwujudnya  “taswir al afkar” (kebangkitan pemikiran) dan  “nahdat al tujjar” (kebangkitan ekonomi) bagi pesantren dan bangsa Indonesia.

Tiga Jurus “Si Mantri Pasar” Berdayakan Pasar Rakyat

Artikel dipublikasikan di Pikiran Rakyat 7 Juli 2021.

Download artikel asli: Junaidi (2021) – Tiga Jurus Si Mantri Pasar (Artikel Pikiran Rakyat)

 

PASAR adalah nadi setiap kota, meski sering kali kerap terlupakan. Sorotan tajam tertuju hanya ketika pasar sudah nyaris mati, kumuh, kotor, dan bau membuat orang menjauh. “Dulu yang ke pasar ibu-ibu. Kemudian setelah generasi ibu bekerja, yang ke pasar jadi pembantunya, ibunya ke supermarket. Efeknya, kinerja pasar jadi menurun,” kata peneliti Kelompok Keahlian Perancangan Arsitektur Institut Teknologi Bandung (ITB) Agus S.Ekomadyo, S.T, M.T. saat diwawancara Jumat, 16 Juli 2021.Persoalan pasar tak sesederhana kelihatannya. Ambruknya pasar rakyat atau yang lebih sering disebut dengan pasar tradisional ini, tak semata-mata karena gagal bersaing dengan pasar modern. Mengutip kajian SMERU Research Institute, Agus menyatakan, terpuruknya pasar rakyat di Indonesia lantaran kesalahan manajemen. “Ini yang menjadi akar ketidakberdayaan pasar rakyat. Mereka jadi tidak memiliki cukup sumber daya untuk bersaing dengan pasar modern, ditambah lagi kini hadirnya pasar-pasar virtual,” katanya.

Saat sorotan kian kencang dirasakan, barulah pemerintah memusatkan perhatiannya pada perbaikan pasar. Program-program revitalisasi pasar kemudian digalakkan oleh pemerintah pusat, dan diikuti oleh pemerintah daerah. Ketika masih menjadi wali kota Surakarta, Presiden RI saat ini, Joko Widodo berhasil merevitalisasi pasar rakyat di Surakarta tanpa diwarnai konflik dengan pedagang. Selain itu, revitalisasi pasar yang biasanya mengandalkan dana swasta pun ditangani APBD. “Konsep beliau adalah ‘ngewongke’: memanusiakan para pelaku di dalamnya,” kata Agus.

Konsep memanusiakan itu tak serta merta bisa diterapkan oleh kota lain, maupun ditarik sebagai kebijakan skala nasional. Persoalan pasar rakyat di setiap kota ini sudah menahun, bahkan jauh sebelum para pemimpin daerah saat ini memegang tampuk pimpinan.  “Di pasar itu ada perputaran uang. Uang dari retribusi seharusnya bisa digunakan untuk pemeliharaan dan pengembangan sarana dan prasarana pasar . Namun, uang yang berputar di pasar ini tidak semua kembali ke pasar, bocornya ada di mana-mana,” tutur Agus.

Berangkat dari persoalan ini, Agus berpendapat, masalah pasar rakyat tak bisa selesai dengan pendekatan politik semata. Menurut dia, pendekatan teknologi bisa diujicobakan dalam tatakelola pasar rakyat di Indonesia. Ini yang ia cobakan dalam penelitiannya tentang Si Mantri Pasar (Sistem Manajeman Transparansi Pasar Rakyat).

Agus menjelaskan, Si Mantri Pasar merupakan sebuah platform yang dirancang sesuai dengan karakter pengelolaan pasar  rakyat di Indonesia. Pasar rakyat di Indonesia lazimnya dijalankan oleh pengelola pasar, tidak langsung oleh pemerintah atau mandiri oleh pedagang sendiri. Platform ini tidak menghilangkan aktor-aktor yang ada di pasar saat ini. Teknologi justru membuat hubungan antar-manusianya menjadi stabil. “Si Mantri Pasar ini dirancang supaya bisa jadi sistem yang menjadi delegasi dari pengelola pasar,” katanya.

Secara teknis, platform ini nantinya bisa diakses lewat ponsel. Terdapat tiga fitur utama yang dijalankan oleh platform ini. Pertama, sebagai penilaian mandiri pasar rakyat. Fitur ini untuk mendorong pasar memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI). “Sertifikatnya ini mahal, kalau dinilai assesor dan hasilnya gagal, uangnya hilang,” ujar Agus.

Dalam Si Mantri Pasar, pengelola pasar bisa melihat indikator-indikator SNI. Lalu mengisi mana yang sudah terpenuhi dan mana yang belum dan aplikasi akan menunjukkan, seberapa banyak indikator yang sudah terpenuhi. “Kalau masih kurang jauh, jangan ajukan sertifikasi dulu. Self assesment juga bisa menjadi dasar saat berkomunikasi dengan Pemda. Penilaian pasar berdasarkan aplikasi akan lebih objektif. Memang, menatakelola pasar perlu tindakan politik, namun dengan data-data yang objektif, proses politik ini akan lebih stabil,” ucapnya. Beberapa indikator SNI pasar ini antara lain berkaitan dengan persyaratan umum antara lain dokumen legalitas, lokasi, kebersihan dan kesehatan, keamanan dan kenyamanan. Kemudian terkait persyaratan teknis, seperti misalnya pengaturan ruang dagang, aksesibilitas dan zonasi, pos ukur ulang dan sidang tera, fasilitas umum, elemen bangunan, keselamatan dalam bangunan, pencahayaam, sirkulasi udara, drainase, ketersediaan air bersih, pengelolaan air limbah, pengelolaan sampah, sarana teknologi informasi dan komunikasi, serta digitalisasi pasar rakyat. Terakhir tentang persyaratan pengelolaan yang mencakup tentang pengelola pasar, struktur pengelola pasar, dan pemberdayaan pedagang.

Fitur kedua Si Mantri Pasar adalah sebagai market place digital. Bedanya dengan market place umumnya saat ini, aplikasi menghubungkan langsung antara pembeli dan penjual, sementara Si Mantri Pasar ini menghubungkan pembeli dengan pengelola pasar. Pembeli tidak bertransaksi dengan pedagang, tetapi dengan pengelola pasar yang ia kehendaki. Sebuah pasar berubah menjadi sebuah toko serba ada digital di market place. Cara ini diharapkan mampu menghidupi semua aktor yang ada di pasar. Penjual mendapatkan pembeli, pengelola pasar akan mendapatkan insentif dari setiap barang yang terjual. “Misalnya harga dari penjual Rp 5.000, bisa dijual dengan Rp 5.500, ini bisa jadi insentif bagi pengelola,” katanya. Nantinya, pengelola juga bisa memberdayakan tukang ojek yang ada di pasar untuk pengantarannya. Dengan cara ini, pengelola dituntut mempunyai kemampuan wirausaha, karena ia harus berusaha untuk mendapatkan pembeli, misalnya promo-promo menarik. Pengelola juga bisa menggandeng pihak-pihak lain untuk menyokong aktivitas ini. Menurut Agus, fitur ini bisa jadi akan dilepas dan dikembangkan bersama dengan market place yang telah ada. Langkah ini akan mempermudah promosi kepada pembeli yang sudah akrab dengan market place yang sudah tumbuh saat ini.

Fitur ketiga adalah pengelolaan keuangan pasar. Si Mantri Pasar bisa digunakan untuk mengelola retribusi secara transparan. Uang yang sudah masuk ini kemudian digunakan untuk menyokong kebutuhan operasional pasar, misalnya perawatan sarana dan prasarana, gaji pegawai, dan lainnya.

Riset Si Mantri Pasar ini dimulai pada Maret lalu bermitra dengan Kementerian Perdagangan dan risetnya akan dikembangkan selama tiga tahun ke depan. Sebagai tahap awal, riset ini akan diujicobakan di Pasar Ciborelang, Kabupaten Majalengka. “Saya memahami, riset seperti ini tidak bisa selesai sekali saja. Kalau nanti sudah selesai (tiga tahun) dan platform harus dilanjutkan, siapa yang akan membiayai? Ini akan jadi PR saya. Bisa jadi nanti akan membutuhkan angel investor, dan itu sudah mulai dipikirkan di awal riset, ” tutur Agus. Ia berharap penelitiannya ini bisa mendorong pengelola pasar untuk lebih kompetitif. Tidak hanya pedagang dan pembeli yang merasakannya manfaatnya. Pengelola pasar dan pemerintah daerah pun melangkah maju bersama.

Desain Arsitektur dan Rekayasa Sosial di Masa Pandemi : “Creating New Trajectories”

Belajar dari Pengabdian Masyarakat ITB untuk Sungai Citarum lewat Pemberdayaan Pesantren

 

Lock Down! Ini adalah sebuah kata yang membuat semua kegiatan nyaris berhenti saat Covid-19 mulai menyebar ke seluruh dunia. Ketika nyawa banyak terenggut dan ketika pengobatan belum ditemukan, mencegah penyebaran  –secara radikal- dengan mengkarantina diri, menjadi cara survive yang paling dipercaya. Bahkan metode pencegahan penyebaran ini mendapatkan landasan hukumnya: lockdown di beberapa negara dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Indonesia. Dalam dunia pendidikan, kuliah harus dilakukan tanpa tatap muka. Kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat, yang membawa risiko penularan, pun dibatalkan.

But, life must go on! Orang bule menyebutnya “new normal”, kita punya bahasa yang lebih apik: “Adaptasi Kebiasaan Baru”. Bagaimana hidup harus berjalan terus, namun persebaran virus tetap bisa dikurangi. Di Indonesia, istilah yang populer adalah “tetap beraktivitas dengan protokol kesehatan” melalui 3M:  menjaga jarak, memakai masker, dan mencuci tangan.

Memang hidup penuh, sangat penuh, dengan ketidakpastian. Bruno Latour, tokoh Teori Jaringan-Aktor (Actor-Network Theory/ ANT) menyebutkan ada 5 sumber ketidakpastian, yaitu tentang 1) bagaimana orang  selalu membuat kelompok yang terus berubah dan muncul kelompok baru/ hilang kelompok lama, 2) tindakan selalu berlebihan, karena setiap tindakan dipengaruhi dan mempengaruhi tindakan lain dalam kelompok tersebut, 3) tindakan tersebut terwujud pada objek, dan terlalu banyak orang yang terlibat dalam objek tersebut, 4) fakta terhadap objek sesungguhnya terkonstruksi secara sosial tergantung dari concern terhadap objek tersebut, dan 5) mengkaji ketidakpastian itu juga merupakan suatu yang mengandung kerumitan dan ketidakpastian juga.  Akan banyak lintasan dalam kehidupan, dan ini sumber ketidakpastian. Maka memperhatikan “lintasan” (trajectories) bisa menjadi cara pandang yang tepat dalam menghadapi ketidakpastian.

Maka, ketika suatu kegiatan Pengabdian Masyarakat di Sungai Citarum hampir tidak bisa dilaksanakan karena survey lapangan tidak bisa dilakukan karena PSBB, maka saya memilih membuat lintasan baru agar kegiatan ini bisa berlangsung. Creating new trajectories, utilizing the existing network. Berikut adalah langkah-langkah, bagaimana lintasan baru terbentuk:

Pertama, Pengabdian Masyarakat Citarum diusulkan oleh beberapa peneliti di ITB di bawah naungan LPPM ITB dengan memilih satu lokasi tertentu, yaitu desa Cinangsi Kabupaten Cianjur, di tepi waduk Cirata. Pada masa PSBB, hal ini tidak bisa dilakukan, karena akan menimbulkan kerumunan. Terlalu berisiko

Kedua, sebelumnya, secara informal peneliti bersama teman lain sudah merespon isu Citarum dengan melibatkan pesantren. Konsolidasi pelaku dan survey ke Pesantren yang berkait dengan Citarum sudah dilakukan sebelum pandemi. Jejaring sudah terbentuk (gambar 1)

Gambar 01 Foto FGD ITB NUGambar 1: berbagai konsolidasi peneliti ITB dengan tokoh-tokoh pesantren membahas pemanfaatan teknologi, termasuk teknologi untuk program Citarum

Ketiga, pada masa pandemi, konsolidasi tetap dilakukan, meskipun lewat daring. Kegiatan informal ini menjadi formal karena didukung oleh LPPM ITB. Jadilah sebuah lokakarya daring yang diikuti oleh para kyai muda dari berbagai pesantren di Jawa Barat (gambar 2). Satu pesantren mengajukan follow up untuk program Citarum, dengan mengaktualkan kolam ikan yang dipunyai dari sekadar fungsi sosial menjadi fungsi ekonomi. Kebetulan pesantren ini, yaitu Pesantren Sirojul Huda Soreang, juga telah dikunjungi peneliti sebelum pandemi

Gambar 02 LoKa PesantrenGambar 2: Lokakarta daring Pesantren Teknologi dan Pemberdayaan Masyarakat kerja sama LPPM ITB dan PW Ansor Jawa Barat

Keempat, apakah bisa memindahkan lokasi PM Citarum dari desa Cinangsi ke Pesantren Sirojul Huda Soerang. Izin harus didapatkan dari LPPM ITB. Pertimbangan pimpinan ITB adalah “safety first”, artinya jika kegiatan pengabdian masyarakat bisa dilaksanakan secara daring, maka kegiatan Pengabdian Masyarakat bisa dipindahkan lokasinya. Dan izin pemindahan lokasi dan perubahan judul pun didapatkan. Judul pengabdian masyarakat pun menyesuaikan menjadi: Perancangan Fasilitas Eduwisata Perikanan pada Pesantren Sirojul Huda Soreang Kabupaten Bandung

Kelima, ketika lokasi disetujui untuk pindah, dan judul pun bisa disesuaikan, muncul masalah baru: apakah visi dari pengelola pesantren dan kompetensi dari tim pengabdian masyarakat, bisa dirajut? Pengelola pesantren mempunyai visi menjadikan kolam ikan dari fungsi sosial menjadi fungsi ekonomi, sementara tim pengabdian sebagian besar latar belakangnya adalah arsitektur. Di mana bisa mempertemukannya? Di sini, kembali Teori Jaringan-Aktor kembali digunakan. Artinya, akan perlu mediator –bisa dalam bentuk aktor manusia- yang akan menjembatani desain arsitektur dengan visi peningkatan ekonomi. Jejaring yang dipunyai tim pengabdian masyarakat dan pengelola pesantren dimanfaatkan sebagai pemangku kepentingan untuk pengabdian masyarakat ini.

Keenam, diskusi kelompok terfokus dilakukan secara daring antara tim pengabdian masyarakat dan para pemangku kepentingan. Dalam forum ini, berbagai gagasan pengembangan dielaborasi secara bersama-sama (gambar 3).

Gambar 03 FGD StakeholderGambar : Diskusi kelompok terfokus secara daring dengan para pemangku

Ketujuh, tantangan survey pada masa pandemi adalah, bisakah teknik survey dari tim pengabdian masyarakat ditransfer ke pengelola pesantren untuk mengambil data? Artinya, pandemi mengharuskan aneka adaptasi, termasuk adaptasi dalam melakukan survey. Survey tidak langsung bisa menjadi alternatif: pengelola pesantren mengambil data berdasarkan arahan tim pengabdian masyarakat. Di sini, teknologi informasi berperan penting dalam metode survey tidak angsung seperti ini (gambar 4).

Gambar 04 Pengambilan Data

Gambar 4: pengambilan data lokasi oleh pengelola pesantren

Kedelapan, survey Lapangan pasca PSBB. Ketika sudah mulai beradaptasi untuk beraktivitas pada masa pendemi, maka Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pun mulai dilonggarkan. Aktivitas bisa berlangsung asal mengikuti protokol kesehatan dengan 3M: Memakai Masker, Mencuci Tangan, Menjaga Jarak. Dengan berinteraksi langsung, aspirasi pengelola pesantren bisa lebih tergali (gambar 5).

Gambar 05 Survey

Gambar 5: Survey lapangan pasca PSBB

Kesembilan, diskusi dan elaborasi desain secara daring. Karena sudah terbiasa bekerja secara daring, diskusi desain pun bisa dilakukan secara daring pula (gambar 5 dan 6).

Gambar 06 Diskusi Desain

Gambar 5: Diskusi desain secara daring

Gambar 07 Sketsa

Gambar 6: Sketsa-sketsa desain

Kesepuluh, desain arsitektur pun berhasil dihasilkan. Gambar yang tersaji, seperti biasa, mampu membangkitkan harapan tentang “better future” pada lingkungan yang dirancang (Gambar 7).

Gambar 08 Desain 1

Gambar 08 Desain 2Gambar 7: Hasil desain

Meski demikian, apakah kegiatan pengabdian masyarakat sudah usai. Masih ada masalah berikutnya, bagaimana pengelola pesantren akan memaknai desain yang dihasilkan. Yang pasti mereka senang, mendapatkan inspirasi tentang masa depan fasilitas eduwisata dari pesantren yang dikelola.

Namun apakah gagasan dari arsitek ini bakal terwujud? Masih perlu jalan panjang, karena ide-ide bagus pun akan membutuhkan biaya. Tentu menjadi tantangan ketika pesantren, yang masih dikelola secara tradisional, harus mewujudkan desain arsitektur yang dikerjakan secara profesional. Ada kesenjangan, baik kesenjangan ekonomi, dan bisa jadi kesenjangan pengetahuan.

Namun, apakah desain yang bagus ini akan berakhir sia-sia? Sekali lagi, Teori Jaringan-Aktor memberikan jawaban: bahwa tingkat tertinggi dari objek teknis adalah sebagai delegasi kehendak manusia. Desain yang bagus adalah delegasi dari kehendak para arsitek yang merancang. Dan para arsitek ini adalah aktor manusia yang juga punya kemampuan membangun jejaring.

Dalam bahasa Islam, desain ini adalah wasilah (perantara) untuk silaturahmi: jejaring yang dibangun untuk kebaikan bersama. Untuk mewujudkan desain, tentu pengelola pesantren membutuhkan pendampingan dari para arsitek. Dan Teori Jejaring-Aktor memfokuskan diri pada apa yang terjadi pada relasi-relasi yang terbangun tersebut. Ya, fokus pada silaturahmi. Desain adalah mediator untuk silaturahmi. Dengan silaturahmi –dan ini akan sangat ANT sekali – akan terbuka banyak jalan untuk pengembangan dan kebaikan bersama.

Menjadi Ideolog

Catatan untuk Buku “Perayaan 65 tahun Uwan Zukri Saad: Merantau ke Kampung Halaman”

Download artikel .pdf:Ekomadyo (2020) – Menjadi Ideolog untuk 65 tahun Zukri Saad

Bagian 1: Uwan Zukri in  the Struggling

Tahun ini, ulang tahun uwan Zukri Saad dirayakan dgn “kado” tulisan dari teman-temannya, termasuk saya. Nanti akan dibukukan. Tentunya sebuah kehormatan. Agar menulis bukan menjadi beban, maka saya anggap menulis adalah bagian ber-media sosial, part of lifestyle, mengisi “waktu senggang”. Sekaligus menjadi “writing in the making”.

Karena sedang mendalami Actor-Network Theory, tentu ini mempengaruhi tulisan saya tentang beliau. Kalau Bruno Latour menggunakan “Following Scientist and Engineer in Societies” (Latour, 1988), saya coba mengikuti kiprah Uwan Zukri dalam masyarakat. Untunglah beliau orang yang gemar bercerita. Meski tidak bisa mengikuti langsung, bisa tergambarkan bagaimana relasi-relasi sosial yg mempengaruhi apa yg diperjuangkan Uwan Zukri.

Yang paling khas dari beliau bagi saya adalah menjadi “Ideolog”. Di zaman yang serba pragmatis dan artifisial seperti sekarang ini, ideologi seakan menjadi bagian dari masa lalu. Seperti runtuhnya tembok Berlin, usainya perang dingin, dan berakhirnya sejarah (Fukuyama, 1992). Namun tidak dalam relasi Uwan Zukri dan saya. Ideologi, yang secara harfiah adalah seperangkat pengetahuan tentang gagasan-gagasan, menjadikan diskusi kami jadi intensif dan hangat. Seusai berdiskusi dgn beliau, ada saja seperangkat ide yg masih tersimpan di kepala dan terbawa ke mana-mana.

Bagian 2: Ideologi Lewat Cerita

Uwan Sukri Zukri Saad ini memang gudangnya cerita. Istilah “Ideolog” ini juga saya cuplik dari beragam cerita beliau. Waktu itu beliau cerita saat dimintai saran seorang petinggi negara ketika beliau diminta menjadi rektor sebuah universitas. “Wah, Bapak nggak cocok jadi rektor, karena Bapak bukan seorang Ideolog”.  Ideolog, lho, ya, orangnya,  bukan ideologi, barangnya, seperti yang lebih diberikan kepada kita. Lewat Uwan Sukri, “ideolog” jadi kosa kata baru bagi saya, bahwa kita pun bisa membangun seperangkat ide untuk mempengaruhi orang lain, dan bukan sekadar disuruh untuk mengikuti seperangkat ide yang dibangun oleh orang atau kelompok lain.

Nah, modal cerita ini yang membuat Uwan sering bertemu para pemimpin negara. Misalnya, saat Uwan dipanggil oleh presiden kedua RI, pak Harto. Dari mahasiswa hingga kini, Uwan dikenal sebagai pengritik pemerintah. Maka, panggilan sang “Bapak ” kepada salah satu “Anak” Pembangunan adalah untuk melunakkan relasi2 antara yg mengritik dgn yg dikritik

Namanya juga seorang Ideolog, dipanggil orang paling berpengaruh di Indonesia saat itu tak membuat Uwan merasa kalah pamor. Dengan merendahkan diri, merasa tersanjung diperhatikan khusus oleh Presiden RI, Uwan tak lupa “meninggikan mutu”: “Meskipun Bapak adalah Presiden dari 130 juta rakyat Indonesia, saya presiden juga, lho, pak”. “Presiden apa, Dik”, pak Harto akhirnya terpancing kepo. Uwan menjawab (“kena deh Bapak”, dalam hati), “Presiden Friends of Earth”. Ya, ini adalah semacam LSM Internasional yg memberi nama jabatan pemimpinnya dengan sebutan presiden. Lalu Uwan bercerita, bagaimana lewat jaringan internasional yg dimiliki ia bisa menipu Paus. Dan cerita ini membuat Pak Harto tertawa-tawa mendengarnya. Ah, kok jadi ingat Gus Dur yang membuat Bill Clinton terbahak-bahak saat diceritain hantu-hantu di Gedung Putih.

Bagian 3: Kertas yang Dibakar

Apa persamaan cerita Batman dan cerita Uwan Zukri Saad? Bukan…bukan urusan daleman. Juga bukan urusan heroisme, karena Uwan bukan vigilante dan ia memilih berjuang lewat advokasi. Ini cerita tentang “No Way Back”.

Dalam film “Batman Dark Knight Rises”, dikisahkan ada sebuah penjara di dalam gua bawah tanah yang jalan keluarnya adalah lubang di atas tanah setinggi 50 meter dari dasar gua. Para tahanan mencoba peruntungan untuk melarikan diri dengan memanjat tebing gua menuju lubang. Tak ada yang berhasil, namun juga tak ada yg mati atau cedera, karena mereka memanjat tebing dengan tali pengaman. Sampai seorang anak gadis berhasil lolos, karena ia berani memanjat tebing tanpa tali pengaman. Tali ternyata juga memenjara pikiran para pemanjatnya: “nggak lolos nggak apa apa toh ada pengaman”. Beda dengan sang gadis kecil yang hanya berpikir lolos atau mati: dan ia lolos!

Menjadi aktivis di tengah masyarakat menjadi pilihan jalan hidup Uwan Zukri. Pilihan yang suatu saat menghadapkan Uwan untuk terus bersama masyarakat atau kembali beralih menjadi karyawan biasa. Di tengah hutan, Uwan Zukri akhirnya memutuskan melepas tali pengaman perjuangannya: dibakarnya kertas yang menegaskan bahwa ia telah lulus sebagai Sarjana Kimia ITB. Tak ada lagi jalan kembali, tak ada perusahaan yang percaya keahliannya tanpa kertas penanda itu. Namun itu yang membuat Uwan terus mendampingi masyarakat: di tengah hutan, dengan pasokan beras kiriman. Hingga ia dipercaya mendampingi masyarakat di seluruh dunia. Hingga ia menjadi salah pimpinan LSM terkemuka di Indonesia dan presiden suatu LSM Internasional.

Konon, ketika perang kemerdekaan Amerika, George Washington juga membakar perahu saat setelah menyeberang sungai. Karena tidak ada jalan pulang, pasukannya bertempur untuk maju terus supaya selamat dan akhirnya menang! Membakar kapal, seperti Uwan Zukri membakar kertas penanda sarjana, ternyata  jadi ungkapan populer kini: “if you do not burn the boat, you can not reach the island”.

Dan Uwan Zukri maju terus dengan gagasannya untuk memajukan masyarakat. Aneka cerita ia sisipkan dalam rangka menyebarkan ide-idenya. Orang boleh tidak sepakat dengan ide-idenya, namun tetap akan tertarik dengan cerita-ceritanya.

Menjadi Ideolog lewat cerita. Itulah legasi Uwan Zukri.

zukri saad

Referensi

Latour, B. (1988). Science in Action: How to Follow Scientists and Engineers Through Society. Harvard University Press.

Fukuyama, F. (1992). The End of History and the Last Man. The Free Press.

Relasi Arsitektur Dan Properti: Dari Personal Ke Pengetahuan

Dunia arsitektur dan dunia properti sebenarnya berkaitan erat. Relasi ini pada umumnya terjadi lewat penugasan pengembang kepada konsultan arsitek untuk merancang suatu proyek properti tertentu. Relasi seperti ini seolah bersifat asimetris: arsitek menjadi subordinat dari pengembang. Bapak Real Estate Indonesia, Ir. Ciputra, ketika awal lulus dari Departemen Arsitektur ITB mengawali karirnya sebagai arsitek, namun kemudian beliau memilih untuk mengembangkan karir sebagai pengembang, dan berhasil. Ada quote beliau yang cukup terkenal di kalangan mahasiswa arsitektur di suatu masa: “kalau Arsitek itu mencari dan mengerjakan proyek, sedangkan Pengembang menciptakan proyek”.

Namun dunia Arsitektur juga dunia yang berisi banyak pengetahuan. Bukan sekadar pengetahuan teknis dan bentuk, ada pengetahuan budaya, sosial, ekonomi, ideologi, dan politik dalam suatu rancangan arsitektur. Arsitek pada hakikatnya adalah produsen budaya: hasil pemikiran yang diterjemahkan dalam karya arsitektur merepresentasikan modal budaya dan kelas sosial dari seseorang atau sekelompok orang yang memproduksi karya arsitektur itu. Dalam dunia properti, pelibatan arsitek dengan reputasi tertentu menjadi strategi untuk manaikkan “kelas” dari suatu produk properti.

Dunia properti dan dunia arsitektur punya modus yang sama dalam mendapatkan pengetahuan, yaitu sama-sama berasal dari praktik. Kerja dulu, buat sesuatu, baru kemudian direfleksikan menjadi suatu pengetahuan yang terstruktur. Ini berbeda dengan dunia sains, yang mendapatkan pengetahuan dari mengamati suatu fenomena, dan setelah itu baru membuat sesuatu dari pengetahuan yang didapatkan.  Ketika mengalami masa pandemi, beberapa pengamat menyarankan agar dunia properti bisa menata ulang cara kerjanya, diam sejenak untuk berpikir bagaimana strategi ke depannya.  Masa ini bisa menjadi momentum ketika dunia properti memanggil dan menata kembali pengetahuan-pengetahuan yang pernah muncul lewat kerja yang pernah dilakukan.

Maka, jika dunia arsitektur dan duni properti ingin bersama-sama membangun relasi yang bersifat mutual, maka relasi personal perlu ditarik ke relasi pengetahuan. Di sini, disiplin arstitektur perlu diletakkan lebih dari sekadar hubungan klien dengan konsultan perencana, namun relasi berbasis pengetahuan untuk membangun sesuatu. Sebenarnya ini merupakan prasyarat dari inovasi: pengetahuan, industri, dan regulasi. Ke depan akan banyak isu yang harus direspon dunia properti dengan pendekatan inovasi, misalnya isu lingkungan secara global, isu preferensi lingkungan tinggal dan kerja generasi milenial, ekonomi minim kontak (Less Contact Economy/ LCE) masa pandemi, dan sebagainya. Arsitek dan pengembang sama-sama sebagai agen pembangunan dengan posisinya masing-masing. Menarik relasi dari personal ke pengetahuan, akan menjadi jalan bagaimana dunia properti bisa menghasilkan aneka inovasi demi pembangunan yang berkelanjutan.

Materi kuliah tamu: Ekomadyo 2020 – Architecture as Development Agen on Property Market

Mengamati Eksperimen Kolektif Masa Pandemi

Ketika Pemikiran Latour dibaca sambil Berjemur

(Refleksi dari Webinar Kajian Siaga Wabah/ Kiswah, YPM Salman ITB, Jumat 12 Juni 2020)

Materi paparan:Ekomadyo (2020) – Latour How to Bring the Sciences into Democratic Pandemic Policies (Kiswah 3 Salman)

Sebagai seorang arsitek, seperti kebanyakan orang awam, saya juga kebingungan saat pandemi datang. Namun sebagai seorang dosen, saya harus siap-siap jika ditanya tentang pandemi, dan jawabannya kalau bisa ada dasar ilmiahnya. Duh, pemikiran siapa yang bisa dirujuk, ya, mengingat pandemi ini merupakan fenomena yang baru, sehingga semua orang, termasuk para pemikir, masih meraba-raba.

Nah, terlintas satu buku karya Bruno Latour, “Politics of Nature: How Bring the Sciences into Democracy”. Sepertinya menarik untuk dipelajari dan dibagi, apalagi pada awal-awal pandemi muncul kesan pemerintah dan masyarakat Indonesia meremehkan Covid-19 dan data-data saintifik yang menyertainya. Dalam diskusi dengan pak Sonny Yuliar, disebut bahwa buku ini merupakan masterpiece pemikiran Latour. Walah, masterpiece bagaimana, nih, berkali-kali membaca saya nggak ngerti-ngerti juga. Untunglah ketika awal Pandemi ada gerakan “Indonesia Berjemur”. Jadi saat menganggur ketika berjemur, saya membaca bukunya Latour, tentang Politics of Nature.

Kalau membaca buku sulit, trik saya adalah menuliskan kembali teks buku tersebut, memilah kalimat penting yang tidak, dan menebalkan frasa-frasa yang menjadi kunci pemikiran. Sekalian jadi pengalihan perhatian saat jenuh dari pekerjaan lain, jadi bukan suatu upaya khusus. Dari menulis itu, saya mulai mengerti pelan-pelan apa yang menjadi perhatian Latour, dan apa yang ingin ia sampaikan ke pembaca. Di luar teks, saya coba kaitkan pemikiran ini dengan konteks sehari-hari. Mencoba menjawab aneka persoalan pandemi dengan konsisten menggunakan pemikiran Latour. Dua hari menjelang presentesi, terus terang, saya baru bisa mengerti betul apa yang sebenarnya dimaui Latour. Jadi presentasi itu saya mencoba membuat pemikiran Latour relevan dengan konteks kebijakan pandemi di Indonesia. Jadi saat ditanya, saya menjawab bukan berdasar opini saya pribadi, tetapi seolah mewakili Latour menjawab pertanyaan sesuai konteks yang dihadapi penanya. Fyuh…

Nah, satu hal yang saya pelajari adalah konsep “eksperimen kolektif”. Di sini Latour membuat analogi penerapan sains dalam politik seperti prosedur eksperimen di dalam laboratorium. Ada prosedur yang ketat, dan setiap tahap akan menghasilkan data yang menjadi bahan bagi pengetahuan. Eksperimen kolektif ini pas untuk menjelaskan penolakan pedagang pasar saat akan ditest Covid, meski data menunjukkan pasar merupakan kluster penularan virus itu. Namanya juga eksperimen, beberapa tahap bisa tidak berhasil seperti yang dirancang. Namun, kegagalan itu tetap dicatat, karena menjadi bahan belajar untuk tahap selanjutnya.

Saya percaya, cara efektif belajar adalah dengan mengajar. Setelah presentasi, rasanya saya yang paling banyak belajar tentang Latour. Menjawab pertanyaan audiens menguji kematangan pemahaman saya terhadap pemikiran Latour. Dan yang istimewa, saya mengundang satu teman yang lebih banyak membaca Latour, John Petrus Tanlan, untuk ikut hadir di sesi diskusi. Lewat beliau, saya menambah pengetahuan baru, bahwa isu Pandemi bukan barang baru dari Latour, karena lewat buku “Pasteurization of France”dia pernah bisa menjelaskan bagaimana bagaimana Perancis bisa mengatasi wabah Antrax di negara itu. Dan lewat kajian-kajian parsial seperti itu, Latour kemudian mampu membentuk corpus (batang tubuh) pemikirannya, lewat buku “We have Never been Modern”.

Setelah berjemur, rasanya saya ingin berjemur lagi. Masih banyak pemikiran Latour yang menarik untuk dijelajahi.