Small is Beautiful? Potential of Cimahi and its Public Markets

Catatan materi “Pengembangan Kewirausahaan dalam Tatakelola Pasar Rakyat” disampaikan pada Sosialisasi Program Peningkatan Sarana Distribusi Perdagangan Kegiatan Pembinaan terhadap Pengelola Sarana Distribusi Perdagangan Masyarakat, Dinas Perdagangan Koperasi UKM dan Perindustrian Pemerintah Kota Cimahi, 13 Juli 2022

Materi presentasi:Ekomadyo 2022 – Kewirausahaan Tatekelola Pasar Rakyat (Disdagkoperin Cimahi)

Saat awal didibentuknya, ada pertanyaan tentang masa depan Kota Cimahi: apakah Cimahi akan berada di bawah bayang-bayang kota Bandung? Memang kota ini seolah seperti satelit bagi kota Bandung: warga Cimahi tinggal di kota ini, namun bekerja di kota Bandung. Memang Cimahi merupakan kota kecil dan terjepit, namun justru kecil-nya Cimahi bisa menjadi potensi dan kekuatan. Dan memang setelah menjadi kota yang mandiri, secara visual kota Cimahi terlihat menjadi sebuah “kota” yang berkarakter, yang memang punya karakter yang khas dan tidak melulu dianggap di bawah bayang-bayang kota Bandung.

Kecil-nya Cimahi bisa jadi terepresentasikan pada tatakelola pasar rakyat. Bandung, sebagai kota besar, memang tingkat kompleksitas tatakelola pasar rakyat menjadi lebih luas dan lebih rumit. Banyak pelaku yang terlibat dengan kepentingannya masing-masing. Ini juga membuat lebih rumit tatakelola pasar rakyat di kota ini.

Apakah kecil-nya Cimahi bisa mendorong pasar-pasar yang lebih kompetitif? Dalam tatakelola pasar rakyat, permasalahan utamanya adalah transparansi, dan semakin rumit relasi sosial, semakin sulit pasar dikelola secara transparan, karena banyak kepentingan yang harus dilindungi. “Small is Beautiful”, kata pakar ekonomi E.F. Schumacher. Beliau menerbitkan pemikiran ini ke dalam buku yang diterbitkan tahun 1970-an, dan rasanya saat ini –dalam beberapa kasus- masih relevan.

SiMantri Pasar: Ketika Teknologi Menjadi Delegasi Kehendak Pelaku Pasar

Catatan materi “ SNI Pasar Rakyat 8152:2021 dan Tatakelola Pasar Juara yang Berkelanjutan, disampaikan pada Sosialisasi Sosialisasi Pasar Rakyat menuju Pasar Ber-SNI,  Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat, Bandung, 9-10 Maret 2022

Materi sosialisasi: Ekomadyo (2022) – SNI untuk Pasar Juara (Sosialisasi Indag Jabar)

Ada yang menarik dari refleksi teman-teman dari teknologi informasi ketika membantu membuat SiMantri Pasar: “membuat aplikasi itu muda, rekayasa sosial agar aplikasi ini bisa diimplementasikan secara berlanjut itu lebih rumit”. Meski rumit, namun seru. Belajar dari Pasar Ciborelang di Jatiwangi, Majalengka, SiMantri Pasar menjadi aplikasi yang relevan dengan kondisi sosial di pasar tersebut.

Dalam Actor-Network Theory (ANT), ada 4 tingkat peran teknologi: interfensi, komposisi, pelipatan ruang-waktu, dan delegasi. Artinya, ketika manusia bertindak sesuatu, dan tindakan itu melibatkan manusia lain untuk bertindak sesuatu yang lain, peran teknologi tertinggi adalah sebagai delegasi dari kehendak manusia. Dengan pemahaman ini, maka diharapkan SiMantri Pasar bisa menjadi produk teknologi yang menjadi delegasi dari pedagang dan pengelola pasar.

Dalam kosa kata ANT, istilah “rekayasa sosio-teknis” lebih pas digunakan daripada sekadar “rekayasa sosial”. Artinya, perubahan masyarakat dilakukan lewat penciptaan objek-objek teknis, dan dalam pengertian lebih luas kita sebut sebagai teknologi. Namun sekali lagi, ketika teknologi bisa berperan dalam perubahan masyarakat, maka ia perlu menjadi delegasi dari kehendak manusia itu.

 

Survival of the Fittest: Public Market in Pandemic Times

Catatan sebagai Narasumber dengan judul paparan “Merevitalisasi Pasar di Masa Pandemi”, disampaikan pada Pelatihan Manajemen Pengelolaan Pasar Terwujudnya Pasar Rakyat yang Bersih, Nyaman, Aman, dan Sehat dengan Sarana dan Prasarana yang Memadai dan Berwawasan Lingkungan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bandung, Soreang, 21 Oktober 2020

Materi presentasi: Ekomadyo (2020) – Kelanjutan Hidup Pasar masa Pandemi (Pelatihan Pasar Kab Bandung)

Ada yang menarik dari pemberitaan sebuah koran media massa nasional di masa pandemi, yaitu naiknya pemberitaan tentang pasar rakyat. Pasar menjadi bahan berita yang penting karena di tempat itu terlihat bagaimana aktivitas ekonomi konvensional tetap berjalan meski terjadi pemberlakuan sosial berskala besar. Ada banyak pemberitaan, seperti pasar yang ditutup karena ada pedagang yang terkena Covid-19, ada kegiatan disinfektan pada fasilitas pasar, ada inovasi pemindahan aktivitas pasar di ruang terbuka dengan jarak antar pedagang yang lebar, ada inovasi penggunaan teknologi digital, dsb. Artinya, banyak upaya yang dilakukan agar aktivitas ekonomi pasar rakyat tetap selamat, dan orang-orang yang melakukan aktivitas tersebut juga selamat.

Para pelaku pasar adalah manusia. Berbeda dengan makhluk hidup yang bertahan hidup karena kemampuannya beradaptasi dengan lingkungan (survival of the fittest), manusia punya satu syarat tambahan dalam bertahan hidup: bijak (survival of the wisest). Begitu Sir Alexander Flemming mencoba mengoreksi teori evolusi Darwin untuk keberlangsungan hidup manusia. Belajar dari survive-nya pasar rakyat di Indonesia, ada nilai-nilai bijak yang menjadi pelajaran. Manusia selalu punya cara untuk bertahan hidup: bukan sekadar lewat naluri, namun dengan mengolah pikiran dan hati.

SNI Pasar Rakyat dan Pembangunan Berkelanjutan

Catatan dari materi “SNI dan Keberlanjutan Tatakelola Pasar Rakyat”, disampaikan pada Pelatihan Manajemen Pengelolaan Pasar Terwujudnya Pasar Rakyat yang Bersih, Nyaman, Aman, dan Sehat dengan Sarana dan Prasarana yang Memadai dan Berwawasan Lingkungan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bandung, Soreang, 15 Oktober 2020

Materi Pelatihan:Ekomadyo (2020) – SNI dan Keberlanjutan Pasar Rakyat

 

Apa hubungan antara Pasar Rakyat, SNI Pasar Rakyat, dan Pembangunan Berkelanjutan? Pertama, konsep pembangunan berkelanjutan disusun sebagai pesan kepada para pembangunan di seluruh dunia, bahwa meski orientasi jangka pendek pembangunan adalah ekonomi, namun jangan dilupakan efek jangka panjang, yaitu keberlanjutan lingkungan. Di tengahnya ada keberlanjutan sosial, karena dalam domain sosial, aspek keadilan dalam proses pembangunan bisa terperhatikan. Jika tidak adil, tentu ada resistensi yang sangat tinggi, dan pembangunan tidak berlanjut. Jika merusak lingkungan, maka pembangunan pun terhenti (tidak berlanjut) karena daya dukung lingkungan untuk kehidupan manusia pun terganggu.

Kedua, isu pasar rakyat penting dalam konsep pembangunan berkelanjutan, karena pasar selain sebagai ruang ekonomi juga menjadi ruang sosial. Fakta di lapangan menunjukkan, meski tersaingi oleh fasilitas perbelanjaan yang lebih modern, tetap saja orang datang berbelanja ke pasar rakyat, karena ada nilai-nilai sosial yang di dalamnya. Keberlanjutan ekonomi ternyata ditentukan oleh keberlanjutan sosial. Namun urusan keberlanjutan lingkungan, masih menjadi tantangan ke depan untuk pasar rakyat di Indonesia.

Ketiga, keberlanjutan SNI Pasar Rakyat. Ini merupakan problem yang krusial, karena SNI harus diperbaharui secara berkala. Standar Nasional ini mengatur tentang kualitas minimal yang harus dipenuhi oleh pasar rakyat, dan pembaharuan secara berkala menjadi penting karena kualitas perlu terus dijaga. Dan upaya ini membutuhkan biaya, baik biaya untuk penerbitan SNI, maupun biaya untuk keberlanjutan SNI.

Biayanya dari mana? Ini menjadi pertanyaan yang perlu dijawab pengelola pasar. Jika SNI ingin terus berlanjut, maka pengelola perlu menganggarkan biaya untuk perawatan, pemeliharaan, dan penambahan sarana dan prasarana sesuai dengan SNI, dan pembiayaan untuk sertifikasi dan resertifikasi. Artinya, SNI harus berkorelasi dengan peningkatan kinerja ekonomi dari pasar yang dikelola. Logikanya sederhana, pasar yang baik akan mengundang banyak pengunjung. Namun ini tidak mudah dilaksanakan di lapangan. Perlu pengelola pasar yang berjiwa entrepreneur.

Inovasi dan Pengembangan Budaya

Naskah untuk bagian buku “Inovasi, Budaya, dan Desain: Kontribusi Desain Arsitektur untuk Inovasi Budaya, sedang dalam proses penyusunan. Ekomadyo (2022) – Inovasi dan Pengembangan Budaya (Materi Buku Inovasi Budaya Desain)

Pada kajian budaya lokal dalam perancangan arsitektur, perspektif inovasi disisipkan dengan maksud agar kajian ini relevan dengan agenda penguatan daya saing bangsa melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Semakin meningkatnya interaksi global mendorong terjadinya kompetisi antar bangsa yang masing-masing didukung oleh kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki. Pemikiran mengenai inovasi budaya dikembangkan untuk mencari kemungkinan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berbasis nilai-nilai yang tumbuh dari dalam bangsa itu sendiri. Dengan perspektif inovasi, dinamika masyarakat akan menjadi fokus pada suatu kajian budaya. Lebih dari sekadar warisan masa lalu, budaya dilihat sebagai sumber inspirasi untuk aneka upaya kreatif merespon kondisi masa kini dan masa depan. Dengan pemahaman ini, maka perancangan arsitektur bisa berperan dalam upaya kreatif dalam pengembangan budaya lokal agar bisa mempunyai pengaruh secara lebih luas.

Kota Terakota sebagai Diskursus

Disampaikan pada Forum 27-an Jatiwangi Art Factory “Seni dan Wilayah Berkelanjutan”. Senin 27 September 2021

Materi presentasi: Ekomadyo (2020) – Kota Terakota sebagai Diskursus (presentasi Forum 27-an JAF)

Tulisan ini juga menjadi bagian dalam naskah buku berjudul “Milieu Inovasi Dan Budaya Kreatif” yang sedang dalam proses penulisan: Ekomadyo (2020) – Kota Terakota sebagai Diskursus (Naskah untuk Buku Mileu Inovasi Jatiwangi)

Kota Terakota, adalah sebuah gagasan yang yang diinisiasi oleh Jatiwangi Art Factory (JAF) untuk merevitalisasi kembali budaya tanah liat di Jatiwangi dan sekitarnya. Meski  tidak eksplisit menyebut dirinya gerakan kreatif, namun pada kenyataannya komunitas ini banyak menggunakan kreativitas, terutama aktivitas seni dan budaya, untuk memperjuangkan budaya terakota ketika industri genteng tanah liat mengalami penurunan yang signifikan pada masa kini. Lalu apakah Kota Terakota bisa disebut sebagai Diskursus? Jika “gerakan kreatif” bisa disebut sebagai diskursus, maka apakah inovasi pun bisa juga disebut juga sebagai diskursus?  Dalam kerangka inovasi Schumpeterian inilah, universitas ditempatkan sebagai agen penting dalam inovasi suatu masyarakat. Sebelumnya, dikenal istilah “social hub”, yang merujuk pada seseorang atau sekelompok orang yang menjadi penghubung antara pengetahuan yang dibangun para peneliti di universitas dengan pemanfaatannya pada kelompok masyarakat tertentu. Konsep “social hub” kemudian berkembang menjadi “social lab”: jika “social hub” merujuk pada orang, “social lab” merujuk pada aktivitas yang dilakukan oleh orang-orang tersebut. Sepanjang tahun 2020 hingga 2022, tim peneliti dari ITB melakukan kegiatan workshop, penelitian, dan pengabdian masyarakat merespon isu Kota Terakota di Jatiwangi. Meletakkan Kota Terakota sebagai diskursus menunjukkan bahwa meski ada relasi dengan kekuasaan sebagai konsekuensi gerakan di wilayah publik, suatu diskursus digerakkan oleh pengetahuan tertentu. Jadi, Kota Terakota dan arsitektur terakota di Desa Jatisura hanyalah kasus, namun ada proses pembelajaran dan produksi pengetahuan secara kolektif yang perlu menjadi perhatian utama.

Menggambar 20 Tahun ke Depan

Catatan dari Kuliah Tamu “Desain Arsitektur dan Konektivitas Indonesia: sebuah Alternatif Pendekatan Merancang Rest Area di Gerbang Tol Lampung ITERA”, ITERA Webinar Series, Perancangan Pasar dan Perancangan Rest Area, Kamis, 18 November 2021

Materi Presentasi: Ekomadyo (2021) – Perancangan Rest Area (ITERA Webinar Series)

Apa sih hebatnya merancang sebuah area peristirahatan (rest area)? Apa manfaatnya berpikir visioner untuk merancang arsitektur? Mengapa tidak berpikir pragmatis saja: membuat rancangan yang bagus dan layak untuk dibangun? Simpel-simpel aja, mas…

Namun, saat diundang memberikan kuliah tamu di Institut Teknologi Sumatra (ITERA), saya mencoba mengantarkan cara berpikir visioner untuk merancang, bagaimana peran rest area dalam sebuah gagasan besar tentang pembangunan wilayah. Sejujurnya, ini juga menjadi “diclaimer” bahwa saya tidak terlalu kompeten dalam merancang rest-area yang baik dan memenuhi kaidah-kaidah arsitektur secara benar.  Pengalaman merancang sangat minim: sekali membimbing mahasiswa, dan sekali membuat proposal proyek rest area (yang kemudian tidak berlanjut). Bahkan sebagai pengamat, saya lebih punya wawasan bahwa rest area di Indonesia sebagian besar belum “excellent” secara arsitektural. Namun karena sedikit pengalaman dalam membuat proposal rest area tersebut, saya tahu bahwa ada yang lebih dominan daripada sekadar good design, yaitu “how political-economy work”.

Nah, ketika ITERA akan membangun sebuah rest area, bagi saya – ini menjadi sesuatu yang istimewa. Bagi saya secara personal, ITERA adalah “buah” dari ramalan saya. Tahun 2008 saya diminta membuat master plan Kota baru di Natar, sebuah proyek yang pragmatis karena merespon keinginan pemerintah setempat untuk membangun kawasan baru pusat pemerintahan. Namun, sebagai profesional, saya terbiasa berpikir komprehensif, mencari jawaban apa yang menghidupkan kota baru tersebut, dan saat itu saya mengusulkan universitas di kota baru tersebut. Ketika lokasi ITERA ternyata tidak jauh dari Kota Baru Lampung yang sekarang, saya sempat terkaget kok konsep saya ternyata terlaksana. Apakah saya “sakti” karena ramalan saya terbukti? Tentu tidak, namun ini menunjukkan kesamaan berpikir tentang posisi Lampung sebagai simpul konektivitas sebagai gerbang Selatan pulau Sumatra. Dari pemetaan konektivitas itu, maka dibutuhkan pusat-pusat pertumbuhan baru, dan salah satu pembangkitnya adalah universitas yang kini mewujud dalam bentuk ITERA. Dengan cara berpikir ini, maka ITERA secara spasial simpul untuk menyebarkan inovasi berbasis teknologi, dari Bandung (ITB) ke Sumatra.

Dengan “memanfaatkan” proyek akhir rest area, maka ini menjadi peluang bagaimana visi ITERA sebagai simpul inovasi di Sumatra bisa mempunyai gagasan yang terdokumentasikan. Jangan remehkan tugas akhir mahasiswa, karena betapa pun itu adalah dokumen akademis. Dan kalau melihat pergerakan ekonomi di Jalan Tol Trans-Sumatra, rest area memang akan muncul dihela oleh kebutuhan. Dan sangat mungkin, lokasinya akan berada di lahan milik ITERA. Dan kalau ini benar akan terjadi, maka akan ada bukti bahwa  ITERA pernah menggagas, dan saya sedikit memberikan kontribusi untuk itu.

Mendalami Pasar Rakyat sebagai Bagian Perjalanan Hidup

Catatan dari Kuliah Tamu “Merancang Pasar Rakyat: Kontribusi Keilmuan Desain Arsitektur untuk Permasalahan Bangsa”, ITERA Webinar Series, Perancangan Pasar dan Perancangan Rest Area, Kamis, 18 November 2021

Materi presentasi:Ekomadyo (2021) – Perancangan Pasar Rakyat (ITERA Webinar Series)

Apa peran arsitek dalam isu pasar rakyat di Indonesia? Yang jelas, karena profesinya sebagai perancang, maka jawaban pragmatisnya adalah: arsitek bisa merancang bangunan pasar rakyat sesuai dengan kaidah-kaidah perancangan arsitektur. Secara normatif, penulis sudah merumuskannya ke dalam beberapa kriteria (http://temuilmiah.iplbi.or.id/wp-content/uploads/2012/10/TI2012-01-p001-004-Isu-Tujuan-dan-Kriteria-Perancangan-Pasar-Tradisional.pdf). Kriteria ini mendapat kesempatan untuk diterapkan dalam Proyek Akhir dan Tesis mahasiswa.

Namun dalam praktiknya, desain adalah proses iteratif, sering meloncat-loncat, dan kriteria tidak diterapkan secara linear seperti menurunkan rumus secara runut dalam sains konvensional. Untuk keperluan publikasi, beberapa mahasiswa mengambil sebagaian dari kriteria itu, seperti kriteria estetika (http://temuilmiah.iplbi.or.id/wp-content/uploads/2016/12/IPLBI2016-D-081-086-Penerapan-Budaya-Sunda-dalam-Perancangan-Pasar-Rakyat.pdf, http://temuilmiah.iplbi.or.id/wp-content/uploads/2015/11/TI2015-A-001-006-Citra-Lokal-Pasar-Rakyat-pada-Pasar-Simpang-Aur-Bukittinggi.pdf) atau kriteria tentang ruang budaya (http://temuilmiah.iplbi.or.id/wp-content/uploads/2015/11/TI2015-E-067-074-Karakter-Festival-pada-Rancangan-Pasar-di-Kawasan-Bandung-Technopolis.pdf). Bahkan sekarang, bahkan bisa diterapkan kriteria bangunan hijau ke dalam rancangan (https://itbdsti-my.sharepoint.com/:w:/g/personal/25221010_mahasiswa_itb_ac_id/EfqurHnEWSJKuBj04N3L5l4BcF08q_5OYWsi-GlM1sAKEQ?e=ny1qO6)

Namun, selama mendalami pasar rakyat sebagai arsitek, ada hal yang lebih penting daripada how to design. Ada pergolakan batin. Karena, ketika melihat permasalahan pasar rakyat di Indonesia menjadi sangat politis sempit harapan idealisme ala akademis bisa ikut berpengaruh dalam tatakelolanya, penulis sempat merasa sangat ragu. Sehingga, karena “gelap”-nya tatakelola pasar rakyat, penulis punya keinginan untuk pindah ke topik lain. Siapa tahu, ada harapan baru di isu yang baru. Namun pada momentum itu, penulis mendapatkan nasihat yang sangat berharga: “jika kamu pindah ke topik yang lain, you are nothing. Namun tetap menekuni pasar rakyat, suatu saat kamu akan menjadi something

Dan nasihat itu penulis jalankan, betapa pun gelap “jalan pasar rakyat” yang saya tempuh. Hasilnya… memang something: kini penulis dikenal sebagai “Mantri Pasar” (http://dosen.ar.itb.ac.id/ekomadyo/?p=1273). Jadi buat mahasiswa, pengalaman saya pribadi menunjukkan ada yang lebih penting daripada how to design the public market. Yaitu bagaimana ketika bekerja, termasuk merancang, sebagai bagian dalam perjalanan hidup. Long live learning: proses belajar itu memang berlangsung sepanjang hayat.

Budaya sebagai Modal Inovasi

Naskah untuk bagian buku “Inovasi, Budaya, dan Desain: Kontribusi Desain Arsitektur untuk Inovasi Budaya, sedang dalam proses penyusunan. Ekomadyo (2022) – Budaya Modal Inovasi (Materi Buku Inovasi Budaya Desain)

Pemahaman budaya, termasuk budaya, secara esensial diperlukan agar kajian tentang inovasi budaya bisa diposisikan secara tepat. Fenomena yang ada di masyarakat merupakan realitas yang kompleks. Apalagi jika kajian tentang budaya dikaitkan dengan inovasi dan dalam perspektif desain arsitektur, kompleksitas realitas menjadi konteks yang harus  diperhatikan. Pandangan normatif-romantis –atau bahkan stereotipikal- tentang budaya tidak akan memadai untuk mengkaji suatu fenomena dalam realitas yang kompleks tersebut. Memposisikan budaya dengan tepat diharapkan bisa mendorong kajian inovasi budaya secara cermat (dan cerdik). Kompleksitas permasalahan bisa dipetakan dengan baik, untuk kemudian dibingkai atau dibatasi untuk keperluan kajian tertentu.

Pendahuluan: Inovasi Budaya dan Kontribusi Desain Arsitektur

Naskah untuk bagian buku “Inovasi, Budaya, dan Desain: Kontribusi Desain Arsitektur untuk Inovasi Budaya, sedang dalam proses penyusunan. Ekomadyo (2020) – Inovasi Budaya dan Kontribusi Desain Arsitektur (Materi Buku Inovasi Budaya Desain)

Pengetahuan tentang desain arsitektur, sebagaimana pengetahuan pada umumnya, dikembangkan dan disusun sebagai respon terhadap konteks tertentu. Artikel ini, dan serangkaian materi perkuliahan, juga disusun menurut konteks tertentu, yaitu konteks Keindonesiaan, terutama menghadapi tantangan globalisasi. Konteks ini diharapkan bisa menjadi gambaran, mengapa budaya lokal dalam perancangan arsitektur perlu untuk dipelajari. Isu inovasi, terutama transformasi riset ke dalam inovasi, disisipkan dengan maksud agar kajian budaya lokal dalam perancangan arsitektur relevan dengan agenda nasional tentang penguatan riset dan teknologi untuk daya saing bangsa. Inovasi menjadi kata kunci, ketika riset harus bersinergi dengan kebutuhan pasar melalui industri untuk aneka tujuan nasional (Yuliar, 2011). Jika inovasi bisa menjadi dasar bagi proses riset agar bisa memproduksi pengetahuan yang bisa diterapkan untuk tujuan ekonomi dan sosial, maka inovasi juga bisa dijadikan dasar bagi suatu proses perancangan arsitektur (yang sudah bersifat terapan) agar dirumuskan kembali aneka pengetahuan yang diproduksi.