Pesantren sebagai “Social Lab” untuk Inovasi

(Artikel dipublikasikan di Media Indonesia, Selasa, 21 September 2021)

Download artikel:Ekomadyo dkk (2021) – Pesantren Social Lab – Epaper Media Indonesia – Selasa, 21 September 2021

 

Istilah “social lab” atau “laboratorium masyarakat” dikenal dalam kegiatan inovasi ketika suatu inisiasi, bisa dari penelitian atau pengabdian masyarakat universitas, berjumpa dengan kompleksitas permasalahan ketika diujicobakan dalam suatu kelompok masyarakat tertentu. Dalam kerangka jejaring inovasi, Yuliar (Transformasi Penelitian ke dalam Inovasi, 2011) menawarkan konsep “pembentangan ruang pembelajaran”, menyempurnakan konsep inisasi-adopsi dalam difusi inovasi dari Rogers (Diffusion of Innovation, 1962). Pada kenyataannya proses difusi inovasi tidak berlangsung secara linier, banyak terjadi variasi lintasan gagasan dan aktivitas, dan sering hasil inovasi muncul dari proses interaksi antar pelaku yang bisa jadi berubah dari inisiasi awal, sehingga yang perlu menjadi perhatian adalah terjadinya perluasan jejaring inovasi karena adanya pembentangan ruang pembelajaran.

Termasuk ketika inisiasi inovasi dari universitas melibatkan masyarakat pesantren. Misalnya, saat sebuah inisiasi tentang penciptaan Pasar Tani di Perdesaan lewat kegiatan pengabdian masyarakat ITB tahun 2015 dengan melibatkan Pesantren Al Ittifaq di Ciwidey. Pesantren ini dikenal sebagai pesantren yang “berdakwah” lewat pertanian selayaknya “Tarekat Sayuriyah” (Mansur, Entrepreneur Organik, 2005). Ide awalnya adalah penciptaan pasar wisata bertema pertanian dengan menggabungkan kekuatan pesantren dan potensi wisata di  Ciwidey, namun desain pasar yang dihasilkan belum bisa terlaksana karena kompleksitas permasalahan saat implementasi. Namun dalam proses interaksi antara tim peneliti dan pesantren mampu menghasilkan pembentangan ruang-ruang pembelajaran, yang menghasilkan produk inovasi di luar inisiasi awal, seperti desain dan pembangunan minimarket dan kuliah publik Islam dan Perubahan Masyarakat, yang menunjukkan terjadinya perluasan jejaring antara tim ITB dengan pesantren.

Contoh lain adalah pada Penelitian Terapan Unggulan Perguruan Tinggi (PTUPT) tahun 2018-2019 tentang Pasar Bertema Astronomi di kawasan eduwisata Imahnoong di Lembang. Ide awalnya adalah menciptakan pasar temporer, bertajuk “Pasar Purnama”, yang melibatkan masyarakat sekitar dengan memanfaatkan kunjungan wisatawan yang ingin melihat fenomena astronomi tertentu di kawasan ini. Namun setelah ujicoba pertama, ternyata pengunjung astronomi tidak berminat membeli dagangan di pasar temporer, dan Pasar Purnama versi 1.0 hanya ramai oleh penduduk sekitar saja. Karena kebetulan pemilik Imahnoong merupakan alumni ITB yang juga alumni Pesantren Tebuireng, maka jejaring pesantren akhirnya digunakan untuk menarik massa yang lebih besar, lewat kegiatan Tabligh Akbar yang menyertai event astronomi tertentu. Gabungan antara event astronomi dan tabligh akbar akhirnya membuat Pasar Purnama menjadi ramai, mampu memberikan dampak ekonomi signifikan terhadap masyarakat sekitar, namun belum bisa dilanjutkan karena pandemi.

Berbagai pengalaman dalam berinteraksi dengan kalangan pesantren membawa pada temuan bahwa ternyata religiusitas bisa menjadi modal budaya dalam pengembangan inovasi. Lewat Seri Kuliah Publik Islam dan Pengembangan Masyarakat oleh Studia Humanika Salman ITB tahun 2019, disusun berbagai pengalaman praktis pelaku keagamaan dalam pengembangan masyarakat. Dalam forum ini muncul pertanian terpadu sebagai isu yang mempertemukan religiusitas, inovasi, dan pengembangan masyarakat. Dari forum ini, berlanjut berbagai forum yang mempertemukan peneliti dan mitra-mitra pesantren, termasuk forum-forum daring yang menjadi intensif pada saat pandemi.

Isu pertanian terpadu mulai dikembangkan dalam kegiatan pengabdian masyarakat tahun 2020 dengan melibatkan Badan Wakaf Muhammadiyah Jawa Barat dalam pengembangan fasilitas eduwisata pertanian di kawasan Cisarua, Cimahi. Keterkaitan dengan pesantren adalah, ada seorang santri yang mengembangkan pertanian terpadu didukung oleh teknologi yang dikembangkan oleh peneliti ITB, yaitu pupuk cair Masaro. Dalam proses pengabdian masyarakat ini, ternyata teknologi Masaro bisa menyatukan perhatian pada isu pertanian terpadu oleh kelompok Muhammadiyah dengan kekuatan wakaf-nya dan kelompok Nahdlatul Ulama dengan kekuatan pesantren-nya.

Berbagai forum daring antara tim peneliti dan pesantren ternyata mendorong aneka kegiatan pengabdian termasuk di masa pandemi. Misalnya, ketika terjadi masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tahun 2020, tim peneliti bisa bisa tetap melaksanakan pengabdian masyarakat lewat koordinasi daring dengan pengelola pesantren di lapangan. Lewat komunikasi daring, maka peneliti bisa membantu keterlibatan pesantren, pada kasus ini adalah Pesantren Sirojul Huda di Soreang, dalam program Citarum Harum lewat desain kawasan eduwisata perikanan. Pada tahun 2021, pengabdian masyarakat Citarum Harum dikembangkan dengan melibatkan banyak pesantren di Kabupaten Bandung di bawah koordinasi asosiasi pesantren setempat. Isu yang diangkat adalah bagaimana mensinergikan konservasi area sungai dengan pertanian terpadu.

Secara organisasi, aneka proses bottom-up agar pesantren bisa menjadi “social lab” bagi pengembangan inovasi di ITB kemudian mendapatkan dukungan institusional. Diawali dengan diskusi antara dosen ITB dengan ketua PW GP Ansor Jabar tentang potensi sinergi ITB dengan pesantren untuk pengembangan masyarakat. Diskusi dilanjutkan dengan Focus Group Discussion di Imahnoong Lembang – sebagai contoh bagaimana teknologi mendorong pengembangan masyarakat – yang dihadiri oleh sivitas ITB, PW Ansor Jabar, kyai muda se-Bandung Raya, dan perwakilan dari Kodam III Siliwangi sebagai koordinator Citarum Harum. Dapat disimpulkan bahwa sinergi ITB-pesantren dalam pengembangan masyarakat disekitar DAS Citarum akan berdampak signifikan untuk kelestarian sungai Citarum. Diskusi akademik kemudian dilanjutkan dengan melibatkan beberapa dosen dari Program Studi Pembangunan ITB, dan di sini dipilih terpadu merupakan teknologi yang paling tepat untuk diujicobakan di Pesantren. Teknologi tersebut kemudian didiseminasikan dalam sebuah lokakarya daring “Pesantren, Teknologi dan Pemberdayaan Masyarakat” kepada 30 kyai muda yang memimpin pesantren di Jawa Barat. Inovasi serupa kemudian dibawa ke tingkat nasional setelah terdapat kesepahaman antara ketua LPPM ITB, Dr. Joko Sarwono, dengan asosiasi pesantren Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI-PBNU). Sinergi ITB sebagai penyedia teknologi dan pesantren-pesantren RMI sebagai “social lab” diawali dengan lokakarya daring: Karsa Loka Spesial Ramadan dengan tema “Pesantren sebagai Social Lab untuk Inovasi Berbasis Pertanian Terpadu”.

Dari webinar Karsa Loka yang diselenggarakan tanggal 7 Mei 2021, ada beberapa catatan yang menjadi pembelajaran dan potensi untuk tindak lanjut. Dalam Undang-undang nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, disebutkan bahwa ruang lingkup fungsi pesantren tidak terbatas pada pendidikan dan dakwah saja, tetapi juga pemberdayaan masyarakat. Menurut data Kementerian Agama RI pada tahun 2020 terdapat setidaknya 26.973 pesantren yang tersebar di seluruh propinsi di Indonesia. Jawa Barat dengan jumlah pesantren terbesar mencapai lebih dari 8 ribu, disusul oleh Banten, Jawa Timur, Jawa Tengah, Aceh, dan NTB. Sementara itu, RMI pada minggu pertama bulan Mei 2021 melakukan asesmen terhadap lebih dari 130 pesantren yang tersebar dari beberapa propinsi dan kab/kota dan mendapatkan data bahwa pesantren di lingkungan NU selain menyelenggarakan fungsi utama seperti pendidikan dan tahfidz (hafalan Al-Quran), juga memiliki spesialisasi atau program unggulan di bidang pertanian (45,6%), kewirausahaan (41,9%), peternakan (27,2%), perikanan (23,5%), dan teknologi informasi (19,9%). Potensi pengembangan dan inovasi pemanfaatan teknologi bagi pesantren juga didukung oleh adanya lahan yang dimiliki oleh pesantren baik untuk kegiatan pertanian, peternakan, atau perikanan mayoritas belum dimanfaatkan secara maksimal. Padahal potensi produktivitasnya sangat tinggi.

Potensi pesantren menjadi peluang bagi ITB untuk menjalankan fungsi penelitian dan pengabdian masyarakatnya. Pesantren yang memiliki modal ekonomi sosial budaya seperti lahan,  sumberdaya manusia (santri), dan sikap resiliensi terhadap perubahan zaman dan juga modal kapital.  Di sisi lain Pesantren akan mendapatkan manfaat yang dapat meningkatkan potensi ekonomi dan kemandirian Pesantren.. Pada asesmen yang dilakukan oleh RMI pada Agustus 2020 dan diikuti oleh lebih dari 700 pesantren, 80% pesantren yang sudah mempunyai kegiatan produktif dari sektor pertanian, peternakan, perikanan, retail/ koperasi, dan produksi makanan mengalami dampak negatif berupa penurunan omset.

Sebagai “social lab” ada potensi interaksi mutual antara peneliti ITB dengan masyarakat pesantren. Dengan pendekatan jejaring inovasi, peneliti perlu memilih lintasan-lintasan yang bersifat terbuka dan “reversible” agar responsif terhadap dinamika dan kompleksitas masyarakat Pesantren. Bagi masyarakat pesantren, religiusitas bisa menjadi modal budaya agar aneka teknologi yang diujicobakan bisa bermanfaat untuk peningkatan kapasitas pesantren secara berkelanjutan. Beberapa semangat inovasi yang berasal dari pesantren seperti “istiqra” (riset) untuk “sa’adatuddarain” (kesejahteran dunia dan akhirat) (Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, 1994), perlu terus digali demi terwujudnya  “taswir al afkar” (kebangkitan pemikiran) dan  “nahdat al tujjar” (kebangkitan ekonomi) bagi pesantren dan bangsa Indonesia.

Teori untuk Desainer

Tanggapan atas “Separuh Teori Separuh Desain” oleh Agustinus Sutanto, 23 Oktober 2020 dan “Teks Dan Konteks” oleh Ariko Andikabina, Kuliah Tamu AR3112 Teori Desain Arsitektur, Program Studi Arsitektur Institut Teknologi Bandung, 23 dan 27 November 2020.

Teori untuk Desainer: Untuk Apa

Tanggapan atas “Separuh Teori Separuh Desain” oleh Agustinus Sutanto

Ada konotasi negatif kata “teori” buat kebanyakan orang Indonesia. Seolah-olah orang berteori itu mengawang-ngawang, jauh dari realitas. Misalnya, di sebuah iklan sampo tahun 1990-an, dikisahkan seorang dosen tengah menjelaskan tentang mikroorganisma yang ada di kulit kepala, lalu mahasiswa berbicara sinis, “…ah, teori”, lalu sang dosen membalas dengan “…ini buktinya”, sembari menyodorkan botol sampo. Beberapa tahun lalu ungkapan “teori hungkul (teori saja – bahasa Sunda)” populer di kalangan desainer, ketika seorang desainer lebih memfokuskan diri pada dunia pemikiran daripada praktik membuat sesuatu.

Mengapa teori seperti asing buat masyarakat, termasuk arsitek, Indonesia? Kim Dovey, menjawab pertanyaan saya, menyebutkan “if not practical it it is not good theory”. Sebagai seorang design theorist yang berpengaruh, tentu pernyataan Dovey ini sedikit memberikan gambaran kepada saya mengapa istilah “teori” membuat alergi bagi sebagian orang Indonesia: karena teori disajikan bukan memandu praktik namun malah memperumit keadaan dan mempersulit suatu kerja. Bandingkan dengan teori “Silent Complicities”-nya Dovey, menggunakan pemikiran Bourdieu tentang “field of capital” yang bisa memandu kerja arsitek sebagai cultural producers, yang dengan kompetensi artistik-nya arsitek berperan menaikkan kelas dari kelompok masyarakat yang menggunakan jasanya dalam mendesain. Sangat praktikal!

Di antara sedikit design thinkers di Indonesia, Agustinus Sutanto merupakan seorang desainer pemikir yang sangat produktif menuliskan dan mendesimenasikan pemikirannya. Konsistensi, itu yang saya pelajari dari beliau. Arsitek boleh malas membaca, namun beliau terus membaca, dan membagikan bacaannya ke publik, dan beberapa arsitek muda ternyata tertarik mengikutinya. Dulu, dalam diskursus desain sebagai ilmu, pak Yuswadi mengungkapkan adanya dilektika antara “the doers and the thinkers”, yang berbuat dan yang bernubuat. Sebenarnya, pak Yuswadi dipengaruhi oleh pemikiran Hannah Arendt bahwa manusia itu bekerja (vita activa) namun juga berpikir mendalam (vita contemplativa).

Pasca kuliah tamu Agustinus Sutanto di ITB, ada dua hal yang bisa menjadi tindak lanjut. Pertama,  design thinkers peer, sekelompok orang yang mendalami pemikiran desain, paling tidak untuk Indonesia. Ada sedikit arsitek pemikir, namun sedikit ini akan menjadi sesuatu bila bertemu, berdiskusi, berbagi pengetahuan, dan membangun pengetahuan secara bersama-sama, secara kolektif. Kata kuncinya adalah “peer”, yang secara harfiah adalah “sebaya”, namun dalam dunia akademis digunakan untuk menyebut sekelompok orang dengan minat yang sama dan berkelompok untuk membangun pengetahuan tertentu.

Kedua, collective experiment. Istilah ini digunakan Bruno Latour untuk membawa sains ke dalam demokrasi. Arsitek boleh tidak suka dengan teori, namun tentu akan ada beberapa yang ingin mencobanya, termasuk beberapa mahasiswa arsitektur. Proyek Akhir atau Tesis bisa menjadi ajang ujicoba tersebut. Namanya juga ujicoba, bisa berhasil, dan bisa gagal. Di antara banyak temuan alat listrik yang kemudian banyak bermanfaat bagi umat manusia, aneka percobaan Thomas Alva Edison lebih banyak gagalnya. Namun selayaknya ilmuwan, dia mencatat aneka kegagalan tersebut sebagai pengetahuan, dan pengetahuan ini yang kemudian memandu eksperimen selanjutnya yang kemudian berhasil menciptakan aneka alat listrik yang bermanfaat. Namun dalam demokrasi, orang boleh berpendapat apa pun, termasuk merendahkan nilai dari hasil eksperimen yang gagal. Namun ketika kegagalan ini mampu menghasilkan pengetahuan, maka ini akan menarik orang-orang lain yang mengalami kegagalan serupa. Lalu terjadilah perkumpulan orang-orang yang gagal bereksperimen dan berbagi pengetahuan untuk mencari jalan keluar. Sebuah tindakan kolektif! Seperti pak Budi Rahardjo yang bangga sebagai ahli start-up yang gagal. Perhatikan kata “ahli”-nya, bukan kata “gagal”-nya, karena kalau berbicara tentang start-up di Indonesia tidak afdol kalau tidak bertanya kepada pak Budi Rahardjo, dan setiap berdiskusi selalu ada saja pengetahuan yang baru. Beliau selalu belajar. Dari sini, para arsitek –seperti diungkapkan oleh Kees Dorst- perlu menempatkan desain tidak hanya sekadar penerapan kreativitas dan penyelesaian masalah, namun sebagai proses belajar. “Design as learning.”

 

Memecah Dikotomi Teori Dan Praktik Dalam Dunia Arsitektur Di Indonesia

Tanggapan atas “Teks Dan Konteks” oleh Ariko Andikabina

Apakah terjadi dikotomi antara teori dan praktik, antara dunia akademis dengan dunia praktik, pada Arsitektur di Indonesia? Kalau memang terjadi dikotomi, lalu bagaimana cara memecahnya? Apakah pendekatan personal seperti yang terjadi ini, yaitu dosen yang berpraktik atau kuliah tamu dari praktisi, cukup untuk memecah dikotomi tersebut secara efektif dan berkelanjutan?

Sebagai Sekjen Pengurus Nasional Ikatan Arsitek Indonesia sejak 2019, Ariko punya peluang sekaligus kapasitas untuk memecah dikotomi dan membangun keutuhan –atau bahasa kekiniannya adalah “rajutan” – antara dunia akademis dengan dunia praktis –secara institusional dan berkelanjutan. Beberapa orang memberikan julukan Arikopedia: meski arsitek praktisi, beliau punya banyak pengetahuan tentang praktik arsitek di Indonesia, khususnya di Jakarta, bahkan pengetahuan yang tidak dipunyai semua orang. Ariko juga sosok arsitek “pencari”, setiap karyanya adalah representasi dari pencarian tentang “sesuatu”.

Dalam Arsitek harus berpolitik? Tentu bukan politik praktis, seperti kebanyakan persepsi orang awam, kata Ariko. Namun Arsitek harus memperjuangkan sesuatu. Sesuatu, dalam bahasa Inggris disebut sebagai “Thing”, yang dalam kosa kata perdaban masa lalu ditemukan kembali oleh Heidegger untuk menjalaskan “Being”, alasan untuk menjadi “Ada” dalam kehidupan kini. Kalau dalam bahasa saya, mengutip Bruno Latour, politik bukan sekadar “struggle and compromises between interests and human passions” yang disebutkan “politics of the (Platonian) Cave”, tetapi sebagai “progressive composition of the common world and all the competencies exercised by the collective”. Belajar dari Ariko, arsitek harus “berpolitik”. Namun bukan sekadar memperjuangkan eksistensi dirinya lewat karya desain, namun setiap karya desain merupakan representasi dari perjalanan untuk mengkomposisi “a common world”, dunia bersama.

Lalu, apakah “common world” antara dunia teori dan dunia praktik arsitektur? Isitilah “teks” dan “konteks” sebenarnya bisa menjadi pernyataan kolektif baik oleh para akademisi dan para akademisi arsitektur. Para akademisi membaca “teks”, sebagian besar adalah literatur, termasuk literatur yang memuat karya arsitektur, dan memahami “konteks” bagaimana teks tersebut ditulis dan dibaca kembali relevansinya dengan dunia yang dihadapi. Sementara, ketika membuat karya, arsitek sedang membuat “teks”, yang dihasilkan atas pembacaan atas aneka “konteks”. Oleh para akademisi, teks ini akan menarik jika konteksnya relevan: sebuah karya arsitektur akan menarik  akan dipelajari jika konteks yang direpresentasikan mengandung nilai-nilai yang sama dengan apa yang menjadi perhatian para akademisi. It is a way to compose the common world?

Let’s move.

 

Materi Presentasi Agustinus Sutanto:Sutanto (2020) – Separuh Teori Separuh Desain (Kuliah Tamu Arsitektur ITB)

Materi Presentasi Ariko Andikabina:Andikabina (2020) – Teks dan Konteks (Kuliah Tamu Arsitektur ITB)

Tiga Jurus “Si Mantri Pasar” Berdayakan Pasar Rakyat

Artikel dipublikasikan di Pikiran Rakyat 7 Juli 2021.

Download artikel asli: Junaidi (2021) – Tiga Jurus Si Mantri Pasar (Artikel Pikiran Rakyat)

 

PASAR adalah nadi setiap kota, meski sering kali kerap terlupakan. Sorotan tajam tertuju hanya ketika pasar sudah nyaris mati, kumuh, kotor, dan bau membuat orang menjauh. “Dulu yang ke pasar ibu-ibu. Kemudian setelah generasi ibu bekerja, yang ke pasar jadi pembantunya, ibunya ke supermarket. Efeknya, kinerja pasar jadi menurun,” kata peneliti Kelompok Keahlian Perancangan Arsitektur Institut Teknologi Bandung (ITB) Agus S.Ekomadyo, S.T, M.T. saat diwawancara Jumat, 16 Juli 2021.Persoalan pasar tak sesederhana kelihatannya. Ambruknya pasar rakyat atau yang lebih sering disebut dengan pasar tradisional ini, tak semata-mata karena gagal bersaing dengan pasar modern. Mengutip kajian SMERU Research Institute, Agus menyatakan, terpuruknya pasar rakyat di Indonesia lantaran kesalahan manajemen. “Ini yang menjadi akar ketidakberdayaan pasar rakyat. Mereka jadi tidak memiliki cukup sumber daya untuk bersaing dengan pasar modern, ditambah lagi kini hadirnya pasar-pasar virtual,” katanya.

Saat sorotan kian kencang dirasakan, barulah pemerintah memusatkan perhatiannya pada perbaikan pasar. Program-program revitalisasi pasar kemudian digalakkan oleh pemerintah pusat, dan diikuti oleh pemerintah daerah. Ketika masih menjadi wali kota Surakarta, Presiden RI saat ini, Joko Widodo berhasil merevitalisasi pasar rakyat di Surakarta tanpa diwarnai konflik dengan pedagang. Selain itu, revitalisasi pasar yang biasanya mengandalkan dana swasta pun ditangani APBD. “Konsep beliau adalah ‘ngewongke’: memanusiakan para pelaku di dalamnya,” kata Agus.

Konsep memanusiakan itu tak serta merta bisa diterapkan oleh kota lain, maupun ditarik sebagai kebijakan skala nasional. Persoalan pasar rakyat di setiap kota ini sudah menahun, bahkan jauh sebelum para pemimpin daerah saat ini memegang tampuk pimpinan.  “Di pasar itu ada perputaran uang. Uang dari retribusi seharusnya bisa digunakan untuk pemeliharaan dan pengembangan sarana dan prasarana pasar . Namun, uang yang berputar di pasar ini tidak semua kembali ke pasar, bocornya ada di mana-mana,” tutur Agus.

Berangkat dari persoalan ini, Agus berpendapat, masalah pasar rakyat tak bisa selesai dengan pendekatan politik semata. Menurut dia, pendekatan teknologi bisa diujicobakan dalam tatakelola pasar rakyat di Indonesia. Ini yang ia cobakan dalam penelitiannya tentang Si Mantri Pasar (Sistem Manajeman Transparansi Pasar Rakyat).

Agus menjelaskan, Si Mantri Pasar merupakan sebuah platform yang dirancang sesuai dengan karakter pengelolaan pasar  rakyat di Indonesia. Pasar rakyat di Indonesia lazimnya dijalankan oleh pengelola pasar, tidak langsung oleh pemerintah atau mandiri oleh pedagang sendiri. Platform ini tidak menghilangkan aktor-aktor yang ada di pasar saat ini. Teknologi justru membuat hubungan antar-manusianya menjadi stabil. “Si Mantri Pasar ini dirancang supaya bisa jadi sistem yang menjadi delegasi dari pengelola pasar,” katanya.

Secara teknis, platform ini nantinya bisa diakses lewat ponsel. Terdapat tiga fitur utama yang dijalankan oleh platform ini. Pertama, sebagai penilaian mandiri pasar rakyat. Fitur ini untuk mendorong pasar memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI). “Sertifikatnya ini mahal, kalau dinilai assesor dan hasilnya gagal, uangnya hilang,” ujar Agus.

Dalam Si Mantri Pasar, pengelola pasar bisa melihat indikator-indikator SNI. Lalu mengisi mana yang sudah terpenuhi dan mana yang belum dan aplikasi akan menunjukkan, seberapa banyak indikator yang sudah terpenuhi. “Kalau masih kurang jauh, jangan ajukan sertifikasi dulu. Self assesment juga bisa menjadi dasar saat berkomunikasi dengan Pemda. Penilaian pasar berdasarkan aplikasi akan lebih objektif. Memang, menatakelola pasar perlu tindakan politik, namun dengan data-data yang objektif, proses politik ini akan lebih stabil,” ucapnya. Beberapa indikator SNI pasar ini antara lain berkaitan dengan persyaratan umum antara lain dokumen legalitas, lokasi, kebersihan dan kesehatan, keamanan dan kenyamanan. Kemudian terkait persyaratan teknis, seperti misalnya pengaturan ruang dagang, aksesibilitas dan zonasi, pos ukur ulang dan sidang tera, fasilitas umum, elemen bangunan, keselamatan dalam bangunan, pencahayaam, sirkulasi udara, drainase, ketersediaan air bersih, pengelolaan air limbah, pengelolaan sampah, sarana teknologi informasi dan komunikasi, serta digitalisasi pasar rakyat. Terakhir tentang persyaratan pengelolaan yang mencakup tentang pengelola pasar, struktur pengelola pasar, dan pemberdayaan pedagang.

Fitur kedua Si Mantri Pasar adalah sebagai market place digital. Bedanya dengan market place umumnya saat ini, aplikasi menghubungkan langsung antara pembeli dan penjual, sementara Si Mantri Pasar ini menghubungkan pembeli dengan pengelola pasar. Pembeli tidak bertransaksi dengan pedagang, tetapi dengan pengelola pasar yang ia kehendaki. Sebuah pasar berubah menjadi sebuah toko serba ada digital di market place. Cara ini diharapkan mampu menghidupi semua aktor yang ada di pasar. Penjual mendapatkan pembeli, pengelola pasar akan mendapatkan insentif dari setiap barang yang terjual. “Misalnya harga dari penjual Rp 5.000, bisa dijual dengan Rp 5.500, ini bisa jadi insentif bagi pengelola,” katanya. Nantinya, pengelola juga bisa memberdayakan tukang ojek yang ada di pasar untuk pengantarannya. Dengan cara ini, pengelola dituntut mempunyai kemampuan wirausaha, karena ia harus berusaha untuk mendapatkan pembeli, misalnya promo-promo menarik. Pengelola juga bisa menggandeng pihak-pihak lain untuk menyokong aktivitas ini. Menurut Agus, fitur ini bisa jadi akan dilepas dan dikembangkan bersama dengan market place yang telah ada. Langkah ini akan mempermudah promosi kepada pembeli yang sudah akrab dengan market place yang sudah tumbuh saat ini.

Fitur ketiga adalah pengelolaan keuangan pasar. Si Mantri Pasar bisa digunakan untuk mengelola retribusi secara transparan. Uang yang sudah masuk ini kemudian digunakan untuk menyokong kebutuhan operasional pasar, misalnya perawatan sarana dan prasarana, gaji pegawai, dan lainnya.

Riset Si Mantri Pasar ini dimulai pada Maret lalu bermitra dengan Kementerian Perdagangan dan risetnya akan dikembangkan selama tiga tahun ke depan. Sebagai tahap awal, riset ini akan diujicobakan di Pasar Ciborelang, Kabupaten Majalengka. “Saya memahami, riset seperti ini tidak bisa selesai sekali saja. Kalau nanti sudah selesai (tiga tahun) dan platform harus dilanjutkan, siapa yang akan membiayai? Ini akan jadi PR saya. Bisa jadi nanti akan membutuhkan angel investor, dan itu sudah mulai dipikirkan di awal riset, ” tutur Agus. Ia berharap penelitiannya ini bisa mendorong pengelola pasar untuk lebih kompetitif. Tidak hanya pedagang dan pembeli yang merasakannya manfaatnya. Pengelola pasar dan pemerintah daerah pun melangkah maju bersama.

“Ngewongke” Pasar lewat Teknologi

Catatan dari “Peningkatan Kemampuan Pengelola Pasar Rakyat”, Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan RI, Selasa 15 Juni 2021

Materi presentasi:Ekomadyo (2021) – SiMantri Pasar menuju Tatakelola Pasar Berkelanjutan

 

“Technology is nothing. What’s important is that you have a faith in people, that they’re basically good and smart, and if you give them tools, they’ll do wonderful things with them”. Itu kata Steve Jobs, dan dunia terinspirasi. Namun Bruno Latour punya bahasa lain: “fourth kind technical mediation is delegation”. Kalau dalam bahasa saya, puncak tertinggi peran teknologi adalah ketika ia bisa menjadi “delegasi kehendak manusia”. Pada tingkat yang lebih “rendah”, teknologi berperan mengintervensi, membangun komposisi, dan menciptakan suasana lewat melipat ruang dan waktu.

Dalam diskursus tentang revitalisasi pasar rakyat, pak Joko Widodo, waktu itu masih walikota Surakarta, menyebut istilah “ngewongke” sebagai konsep revitalisasi Pasar Rakyat di Surakarta. Diceritakan kembali kepada penulis oleh mantan Komandan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Surakarta (yang kemudian menjadi Kepala Dinas Pasar Surakarta) saat “menertibkan” Pedagang Kaki Lima (PKL) di Lapangan Banjarsari, walikota –dan didukung oleh wakil walikota Surakarta saat itu- berpesan, berapa dan apa pun senjata yang dipunya oleh Satpol PP, tak satu pun boleh digunakan untuk “menertibkan”. “Ngewongke” harus menjadi pendekatan utama, dan ini terbukti. Masyarakat Surakarta mengadakan kirab untuk memindahkan PKL dari Lapangan Banjarsari ke Pasar Klithikan. Dan ini menjadi salah satu prestasi yang kemudian membawa Walikota Surakarta saat itu dipercaya rakyat menjadi Presiden Republik Indonesia

Namun, apakah “ngewongke” Pasar Rakyat ini masih menjadi concern beliau saat menjadi presiden? Pertanyaan ini saya ajukan ke Staf Ahli Menteri Perdagangan RI bidang Perdagangan dan Jasa, dan beliau menjawab, bahwa Standar Nasional Indonesia (SNI) Pasar Rakyat itu salah satu bentuk “ngewongke” pasar rakyat. Dengan SNI, maka pengelola punya acuan bagaimana kriteria pasar yang baik dan nyaman untuk dikunjungi. Ketika pasar menjadi nyaman dikunjungi, maka ini merupakan bentuk untuk “memanusiakan” atau “ngewongke” pengunjung pasar rakyat.

Dalam perspektif Actor-Network Theory (ANT), SNI merupakan non-human actors, yang bisa berujud abstrak (seperti gagasan, teks, prosedur) atau konkrit (berupa objek-objek teknis c.q. teknologi). Dalam bahasa lain, SNI merupakan soft teknologi yang berperan dalam “memanusiakan” pasar rakyat. Namun demikian, teknologi yang “soft” kurang mampu “memaksa” kehendak manusia. Maka perlu ada teknologi yang lebih “hard”, yang lebih bisa mem-frame kehendak pelaku pasar rakyat untuk memenuhi SNI agar pasar nyaman untuk dikunjungi.

Dan teknologi ini saya namakan “Si Mantri Pasar”. Merupakan akronim dari Sistem Manajemen Informasi Transparansi Pasar Rakyat. Tujuannya, agar tatakelola pasar rakyat bisa transparan, sehingga uang yang beredar di pasar bisa disisihkan untuk perbaikan sarana dan prasarana serta pengembangan sumber daya manusia untuk mewujudkan pasar rakyat yang sesuai dengan SNI secara berkelanjutan. Dan ini masih ujicoba. Namun ketika pra-purwarupa saya cobakan pada “Peningkatan Kemampuan Pengelola Pasar Rakyat”, Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan RI, ternyata respon peserta, para pengelola pasar, ternyata sangat baik. Si Mantri Pasar sebenarnya sebutan untuk “ngewongke” pengelola pasar, karena mereka sesungguhnya adalah “Mantri”, atau “Menteri” yang berwenang dan bertanggungjawab terhadap tatakelola pasar.

Foto Workshop

Keilmuan Real Estate: Perlukah?

Catatan dari  “Webinar SAPPK + SBM ITB Seri 1: ‘What is Real Estate’”, Sabtu, 14 November 2020.

Matei presentasi: Ekomadyo (2020) – Real Estate Actors go to School (Webinar SBM SAPPK)

Apakah ada disiplin khusus yang mendalami keilmuan Real Estate? Bukankah ilmu Real Estate itu lebih banyak ada di lapangan? Yang jelas, satu problematika yang terjadi di lapangan, seperti yang diungkap dalam diskusi penulis bersama Aswin Rahadi, adalah, mereka yang biasa menjual (tugas marketing) selalu kebingungan kalau diminta membuat produk yang bagus, sementara mereka yang biasa membuat produk yang bagus (tugas engineer dan arsitek) sering tidak bisa menjual. Atas dasar pemikiran dari lapangan itulah, dibuat Webinar kerjasama antara SAPPK ITB sebagai institusi yang concern pada produk lingkungan binaan yang baik, dan SBM ITB sebagai institusi yang concern pada marketing.

Lalu apa sumbangan pendidikan tinggi untuk dunia Real Estate. Pertama, tentu saja adalah sumber daya manusia (human resources). Ada keunggulan ketika belajar di universitas dibanding belajar di lapangan, yaitu susana akademik: suasana yang mendorong manusia di dalam universitas untuk tetap belajar. Ini seperti diungkapkan oleh Pak Ignesz Kemalawarta, tokoh Real Estate di Indonesia, lewat jaringan pribadi ke penulis “Perjuangannya kita lanjutkan pak untuk mendidik mahasiswa yang mumpuni”.

Kedua, pengetahuan (knowledge). Ini lebih penting, karena menyangkut substansi apa yang akan diajarkan. Seperti kata Piere Bourdieu, pengetahuan merupakan salah satu modal budaya dari seseorang. Dan watak pengetahuan ini akan selalu berkembang dan berubah. Maka, di sini universitas bukan sekadar mencetak sumber daya manusia, namun juga memproduksi dan mengembangkan pengetahuan.

Memang, cara paling sahih dalam memproduksi ilmu pengetahuan adalah meneliti, suatu tradisi yang berkembang pada disiplin sains ketika mengamati fenomena alam. Namun, ternyata ada cara lain dalam mendapatkan pengetahuan, menurut Bruce Archer dan Nigel Cross, yaitu cara penghayatan ala seni dan sastra, dan cara coba-dan-ralat ala disiplin desain. Ini yang kemudian menginspirasi Pak Yuswadi Saliya mengenalkan konsep “Pragma”: pengetahuan dari tradisi berbuat. Memang ada pemikir-pemikir lain yang juga mengembangkan pengetahuan bukan dari fenomena alam, namun dari fenomena manusia bertindak sesuatu. Seperti Piere Bourdieu yang mengembangkan “Theory of Practice”, atau Bruno Latour malah meneliti bagaimana saintis dan insinyur meneliti fenomena alam, membuat formulasi, dan menciptakan aneka teknologi. Meneliti para peneliti, itu yang dilakukan Bruno Latour.

Ketika para pemikir sudah mampu mengembangkan kerangka teoretis untuk meneliti tindakan manusia, maka praktik-praktik para pelaku Real Estate di lapangan merupakan sumber pengetahuan yang bisa dikembangkan oleh universitas. Sesuai dengan namanya, universitas merupakan institusi yang mencoba mengamati, mencari tahu, dan menemukan jawaban dari “universe”, alam semesta. Dan dunia Real Estate merupakan bagian dari “universe”, maka di dalamnya pun banyak muatan-muatan yang bisa menjadi sumber produksi pengetahuan.

Desain Arsitektur dan Rekayasa Sosial di Masa Pandemi : “Creating New Trajectories”

Belajar dari Pengabdian Masyarakat ITB untuk Sungai Citarum lewat Pemberdayaan Pesantren

 

Lock Down! Ini adalah sebuah kata yang membuat semua kegiatan nyaris berhenti saat Covid-19 mulai menyebar ke seluruh dunia. Ketika nyawa banyak terenggut dan ketika pengobatan belum ditemukan, mencegah penyebaran  –secara radikal- dengan mengkarantina diri, menjadi cara survive yang paling dipercaya. Bahkan metode pencegahan penyebaran ini mendapatkan landasan hukumnya: lockdown di beberapa negara dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Indonesia. Dalam dunia pendidikan, kuliah harus dilakukan tanpa tatap muka. Kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat, yang membawa risiko penularan, pun dibatalkan.

But, life must go on! Orang bule menyebutnya “new normal”, kita punya bahasa yang lebih apik: “Adaptasi Kebiasaan Baru”. Bagaimana hidup harus berjalan terus, namun persebaran virus tetap bisa dikurangi. Di Indonesia, istilah yang populer adalah “tetap beraktivitas dengan protokol kesehatan” melalui 3M:  menjaga jarak, memakai masker, dan mencuci tangan.

Memang hidup penuh, sangat penuh, dengan ketidakpastian. Bruno Latour, tokoh Teori Jaringan-Aktor (Actor-Network Theory/ ANT) menyebutkan ada 5 sumber ketidakpastian, yaitu tentang 1) bagaimana orang  selalu membuat kelompok yang terus berubah dan muncul kelompok baru/ hilang kelompok lama, 2) tindakan selalu berlebihan, karena setiap tindakan dipengaruhi dan mempengaruhi tindakan lain dalam kelompok tersebut, 3) tindakan tersebut terwujud pada objek, dan terlalu banyak orang yang terlibat dalam objek tersebut, 4) fakta terhadap objek sesungguhnya terkonstruksi secara sosial tergantung dari concern terhadap objek tersebut, dan 5) mengkaji ketidakpastian itu juga merupakan suatu yang mengandung kerumitan dan ketidakpastian juga.  Akan banyak lintasan dalam kehidupan, dan ini sumber ketidakpastian. Maka memperhatikan “lintasan” (trajectories) bisa menjadi cara pandang yang tepat dalam menghadapi ketidakpastian.

Maka, ketika suatu kegiatan Pengabdian Masyarakat di Sungai Citarum hampir tidak bisa dilaksanakan karena survey lapangan tidak bisa dilakukan karena PSBB, maka saya memilih membuat lintasan baru agar kegiatan ini bisa berlangsung. Creating new trajectories, utilizing the existing network. Berikut adalah langkah-langkah, bagaimana lintasan baru terbentuk:

Pertama, Pengabdian Masyarakat Citarum diusulkan oleh beberapa peneliti di ITB di bawah naungan LPPM ITB dengan memilih satu lokasi tertentu, yaitu desa Cinangsi Kabupaten Cianjur, di tepi waduk Cirata. Pada masa PSBB, hal ini tidak bisa dilakukan, karena akan menimbulkan kerumunan. Terlalu berisiko

Kedua, sebelumnya, secara informal peneliti bersama teman lain sudah merespon isu Citarum dengan melibatkan pesantren. Konsolidasi pelaku dan survey ke Pesantren yang berkait dengan Citarum sudah dilakukan sebelum pandemi. Jejaring sudah terbentuk (gambar 1)

Gambar 01 Foto FGD ITB NUGambar 1: berbagai konsolidasi peneliti ITB dengan tokoh-tokoh pesantren membahas pemanfaatan teknologi, termasuk teknologi untuk program Citarum

Ketiga, pada masa pandemi, konsolidasi tetap dilakukan, meskipun lewat daring. Kegiatan informal ini menjadi formal karena didukung oleh LPPM ITB. Jadilah sebuah lokakarya daring yang diikuti oleh para kyai muda dari berbagai pesantren di Jawa Barat (gambar 2). Satu pesantren mengajukan follow up untuk program Citarum, dengan mengaktualkan kolam ikan yang dipunyai dari sekadar fungsi sosial menjadi fungsi ekonomi. Kebetulan pesantren ini, yaitu Pesantren Sirojul Huda Soreang, juga telah dikunjungi peneliti sebelum pandemi

Gambar 02 LoKa PesantrenGambar 2: Lokakarta daring Pesantren Teknologi dan Pemberdayaan Masyarakat kerja sama LPPM ITB dan PW Ansor Jawa Barat

Keempat, apakah bisa memindahkan lokasi PM Citarum dari desa Cinangsi ke Pesantren Sirojul Huda Soerang. Izin harus didapatkan dari LPPM ITB. Pertimbangan pimpinan ITB adalah “safety first”, artinya jika kegiatan pengabdian masyarakat bisa dilaksanakan secara daring, maka kegiatan Pengabdian Masyarakat bisa dipindahkan lokasinya. Dan izin pemindahan lokasi dan perubahan judul pun didapatkan. Judul pengabdian masyarakat pun menyesuaikan menjadi: Perancangan Fasilitas Eduwisata Perikanan pada Pesantren Sirojul Huda Soreang Kabupaten Bandung

Kelima, ketika lokasi disetujui untuk pindah, dan judul pun bisa disesuaikan, muncul masalah baru: apakah visi dari pengelola pesantren dan kompetensi dari tim pengabdian masyarakat, bisa dirajut? Pengelola pesantren mempunyai visi menjadikan kolam ikan dari fungsi sosial menjadi fungsi ekonomi, sementara tim pengabdian sebagian besar latar belakangnya adalah arsitektur. Di mana bisa mempertemukannya? Di sini, kembali Teori Jaringan-Aktor kembali digunakan. Artinya, akan perlu mediator –bisa dalam bentuk aktor manusia- yang akan menjembatani desain arsitektur dengan visi peningkatan ekonomi. Jejaring yang dipunyai tim pengabdian masyarakat dan pengelola pesantren dimanfaatkan sebagai pemangku kepentingan untuk pengabdian masyarakat ini.

Keenam, diskusi kelompok terfokus dilakukan secara daring antara tim pengabdian masyarakat dan para pemangku kepentingan. Dalam forum ini, berbagai gagasan pengembangan dielaborasi secara bersama-sama (gambar 3).

Gambar 03 FGD StakeholderGambar : Diskusi kelompok terfokus secara daring dengan para pemangku

Ketujuh, tantangan survey pada masa pandemi adalah, bisakah teknik survey dari tim pengabdian masyarakat ditransfer ke pengelola pesantren untuk mengambil data? Artinya, pandemi mengharuskan aneka adaptasi, termasuk adaptasi dalam melakukan survey. Survey tidak langsung bisa menjadi alternatif: pengelola pesantren mengambil data berdasarkan arahan tim pengabdian masyarakat. Di sini, teknologi informasi berperan penting dalam metode survey tidak angsung seperti ini (gambar 4).

Gambar 04 Pengambilan Data

Gambar 4: pengambilan data lokasi oleh pengelola pesantren

Kedelapan, survey Lapangan pasca PSBB. Ketika sudah mulai beradaptasi untuk beraktivitas pada masa pendemi, maka Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pun mulai dilonggarkan. Aktivitas bisa berlangsung asal mengikuti protokol kesehatan dengan 3M: Memakai Masker, Mencuci Tangan, Menjaga Jarak. Dengan berinteraksi langsung, aspirasi pengelola pesantren bisa lebih tergali (gambar 5).

Gambar 05 Survey

Gambar 5: Survey lapangan pasca PSBB

Kesembilan, diskusi dan elaborasi desain secara daring. Karena sudah terbiasa bekerja secara daring, diskusi desain pun bisa dilakukan secara daring pula (gambar 5 dan 6).

Gambar 06 Diskusi Desain

Gambar 5: Diskusi desain secara daring

Gambar 07 Sketsa

Gambar 6: Sketsa-sketsa desain

Kesepuluh, desain arsitektur pun berhasil dihasilkan. Gambar yang tersaji, seperti biasa, mampu membangkitkan harapan tentang “better future” pada lingkungan yang dirancang (Gambar 7).

Gambar 08 Desain 1

Gambar 08 Desain 2Gambar 7: Hasil desain

Meski demikian, apakah kegiatan pengabdian masyarakat sudah usai. Masih ada masalah berikutnya, bagaimana pengelola pesantren akan memaknai desain yang dihasilkan. Yang pasti mereka senang, mendapatkan inspirasi tentang masa depan fasilitas eduwisata dari pesantren yang dikelola.

Namun apakah gagasan dari arsitek ini bakal terwujud? Masih perlu jalan panjang, karena ide-ide bagus pun akan membutuhkan biaya. Tentu menjadi tantangan ketika pesantren, yang masih dikelola secara tradisional, harus mewujudkan desain arsitektur yang dikerjakan secara profesional. Ada kesenjangan, baik kesenjangan ekonomi, dan bisa jadi kesenjangan pengetahuan.

Namun, apakah desain yang bagus ini akan berakhir sia-sia? Sekali lagi, Teori Jaringan-Aktor memberikan jawaban: bahwa tingkat tertinggi dari objek teknis adalah sebagai delegasi kehendak manusia. Desain yang bagus adalah delegasi dari kehendak para arsitek yang merancang. Dan para arsitek ini adalah aktor manusia yang juga punya kemampuan membangun jejaring.

Dalam bahasa Islam, desain ini adalah wasilah (perantara) untuk silaturahmi: jejaring yang dibangun untuk kebaikan bersama. Untuk mewujudkan desain, tentu pengelola pesantren membutuhkan pendampingan dari para arsitek. Dan Teori Jejaring-Aktor memfokuskan diri pada apa yang terjadi pada relasi-relasi yang terbangun tersebut. Ya, fokus pada silaturahmi. Desain adalah mediator untuk silaturahmi. Dengan silaturahmi –dan ini akan sangat ANT sekali – akan terbuka banyak jalan untuk pengembangan dan kebaikan bersama.

Menjadi Ideolog

Catatan untuk Buku “Perayaan 65 tahun Uwan Zukri Saad: Merantau ke Kampung Halaman”

Download artikel .pdf:Ekomadyo (2020) – Menjadi Ideolog untuk 65 tahun Zukri Saad

Bagian 1: Uwan Zukri in  the Struggling

Tahun ini, ulang tahun uwan Zukri Saad dirayakan dgn “kado” tulisan dari teman-temannya, termasuk saya. Nanti akan dibukukan. Tentunya sebuah kehormatan. Agar menulis bukan menjadi beban, maka saya anggap menulis adalah bagian ber-media sosial, part of lifestyle, mengisi “waktu senggang”. Sekaligus menjadi “writing in the making”.

Karena sedang mendalami Actor-Network Theory, tentu ini mempengaruhi tulisan saya tentang beliau. Kalau Bruno Latour menggunakan “Following Scientist and Engineer in Societies” (Latour, 1988), saya coba mengikuti kiprah Uwan Zukri dalam masyarakat. Untunglah beliau orang yang gemar bercerita. Meski tidak bisa mengikuti langsung, bisa tergambarkan bagaimana relasi-relasi sosial yg mempengaruhi apa yg diperjuangkan Uwan Zukri.

Yang paling khas dari beliau bagi saya adalah menjadi “Ideolog”. Di zaman yang serba pragmatis dan artifisial seperti sekarang ini, ideologi seakan menjadi bagian dari masa lalu. Seperti runtuhnya tembok Berlin, usainya perang dingin, dan berakhirnya sejarah (Fukuyama, 1992). Namun tidak dalam relasi Uwan Zukri dan saya. Ideologi, yang secara harfiah adalah seperangkat pengetahuan tentang gagasan-gagasan, menjadikan diskusi kami jadi intensif dan hangat. Seusai berdiskusi dgn beliau, ada saja seperangkat ide yg masih tersimpan di kepala dan terbawa ke mana-mana.

Bagian 2: Ideologi Lewat Cerita

Uwan Sukri Zukri Saad ini memang gudangnya cerita. Istilah “Ideolog” ini juga saya cuplik dari beragam cerita beliau. Waktu itu beliau cerita saat dimintai saran seorang petinggi negara ketika beliau diminta menjadi rektor sebuah universitas. “Wah, Bapak nggak cocok jadi rektor, karena Bapak bukan seorang Ideolog”.  Ideolog, lho, ya, orangnya,  bukan ideologi, barangnya, seperti yang lebih diberikan kepada kita. Lewat Uwan Sukri, “ideolog” jadi kosa kata baru bagi saya, bahwa kita pun bisa membangun seperangkat ide untuk mempengaruhi orang lain, dan bukan sekadar disuruh untuk mengikuti seperangkat ide yang dibangun oleh orang atau kelompok lain.

Nah, modal cerita ini yang membuat Uwan sering bertemu para pemimpin negara. Misalnya, saat Uwan dipanggil oleh presiden kedua RI, pak Harto. Dari mahasiswa hingga kini, Uwan dikenal sebagai pengritik pemerintah. Maka, panggilan sang “Bapak ” kepada salah satu “Anak” Pembangunan adalah untuk melunakkan relasi2 antara yg mengritik dgn yg dikritik

Namanya juga seorang Ideolog, dipanggil orang paling berpengaruh di Indonesia saat itu tak membuat Uwan merasa kalah pamor. Dengan merendahkan diri, merasa tersanjung diperhatikan khusus oleh Presiden RI, Uwan tak lupa “meninggikan mutu”: “Meskipun Bapak adalah Presiden dari 130 juta rakyat Indonesia, saya presiden juga, lho, pak”. “Presiden apa, Dik”, pak Harto akhirnya terpancing kepo. Uwan menjawab (“kena deh Bapak”, dalam hati), “Presiden Friends of Earth”. Ya, ini adalah semacam LSM Internasional yg memberi nama jabatan pemimpinnya dengan sebutan presiden. Lalu Uwan bercerita, bagaimana lewat jaringan internasional yg dimiliki ia bisa menipu Paus. Dan cerita ini membuat Pak Harto tertawa-tawa mendengarnya. Ah, kok jadi ingat Gus Dur yang membuat Bill Clinton terbahak-bahak saat diceritain hantu-hantu di Gedung Putih.

Bagian 3: Kertas yang Dibakar

Apa persamaan cerita Batman dan cerita Uwan Zukri Saad? Bukan…bukan urusan daleman. Juga bukan urusan heroisme, karena Uwan bukan vigilante dan ia memilih berjuang lewat advokasi. Ini cerita tentang “No Way Back”.

Dalam film “Batman Dark Knight Rises”, dikisahkan ada sebuah penjara di dalam gua bawah tanah yang jalan keluarnya adalah lubang di atas tanah setinggi 50 meter dari dasar gua. Para tahanan mencoba peruntungan untuk melarikan diri dengan memanjat tebing gua menuju lubang. Tak ada yang berhasil, namun juga tak ada yg mati atau cedera, karena mereka memanjat tebing dengan tali pengaman. Sampai seorang anak gadis berhasil lolos, karena ia berani memanjat tebing tanpa tali pengaman. Tali ternyata juga memenjara pikiran para pemanjatnya: “nggak lolos nggak apa apa toh ada pengaman”. Beda dengan sang gadis kecil yang hanya berpikir lolos atau mati: dan ia lolos!

Menjadi aktivis di tengah masyarakat menjadi pilihan jalan hidup Uwan Zukri. Pilihan yang suatu saat menghadapkan Uwan untuk terus bersama masyarakat atau kembali beralih menjadi karyawan biasa. Di tengah hutan, Uwan Zukri akhirnya memutuskan melepas tali pengaman perjuangannya: dibakarnya kertas yang menegaskan bahwa ia telah lulus sebagai Sarjana Kimia ITB. Tak ada lagi jalan kembali, tak ada perusahaan yang percaya keahliannya tanpa kertas penanda itu. Namun itu yang membuat Uwan terus mendampingi masyarakat: di tengah hutan, dengan pasokan beras kiriman. Hingga ia dipercaya mendampingi masyarakat di seluruh dunia. Hingga ia menjadi salah pimpinan LSM terkemuka di Indonesia dan presiden suatu LSM Internasional.

Konon, ketika perang kemerdekaan Amerika, George Washington juga membakar perahu saat setelah menyeberang sungai. Karena tidak ada jalan pulang, pasukannya bertempur untuk maju terus supaya selamat dan akhirnya menang! Membakar kapal, seperti Uwan Zukri membakar kertas penanda sarjana, ternyata  jadi ungkapan populer kini: “if you do not burn the boat, you can not reach the island”.

Dan Uwan Zukri maju terus dengan gagasannya untuk memajukan masyarakat. Aneka cerita ia sisipkan dalam rangka menyebarkan ide-idenya. Orang boleh tidak sepakat dengan ide-idenya, namun tetap akan tertarik dengan cerita-ceritanya.

Menjadi Ideolog lewat cerita. Itulah legasi Uwan Zukri.

zukri saad

Referensi

Latour, B. (1988). Science in Action: How to Follow Scientists and Engineers Through Society. Harvard University Press.

Fukuyama, F. (1992). The End of History and the Last Man. The Free Press.

Relasi Arsitektur Dan Properti: Dari Personal Ke Pengetahuan

Dunia arsitektur dan dunia properti sebenarnya berkaitan erat. Relasi ini pada umumnya terjadi lewat penugasan pengembang kepada konsultan arsitek untuk merancang suatu proyek properti tertentu. Relasi seperti ini seolah bersifat asimetris: arsitek menjadi subordinat dari pengembang. Bapak Real Estate Indonesia, Ir. Ciputra, ketika awal lulus dari Departemen Arsitektur ITB mengawali karirnya sebagai arsitek, namun kemudian beliau memilih untuk mengembangkan karir sebagai pengembang, dan berhasil. Ada quote beliau yang cukup terkenal di kalangan mahasiswa arsitektur di suatu masa: “kalau Arsitek itu mencari dan mengerjakan proyek, sedangkan Pengembang menciptakan proyek”.

Namun dunia Arsitektur juga dunia yang berisi banyak pengetahuan. Bukan sekadar pengetahuan teknis dan bentuk, ada pengetahuan budaya, sosial, ekonomi, ideologi, dan politik dalam suatu rancangan arsitektur. Arsitek pada hakikatnya adalah produsen budaya: hasil pemikiran yang diterjemahkan dalam karya arsitektur merepresentasikan modal budaya dan kelas sosial dari seseorang atau sekelompok orang yang memproduksi karya arsitektur itu. Dalam dunia properti, pelibatan arsitek dengan reputasi tertentu menjadi strategi untuk manaikkan “kelas” dari suatu produk properti.

Dunia properti dan dunia arsitektur punya modus yang sama dalam mendapatkan pengetahuan, yaitu sama-sama berasal dari praktik. Kerja dulu, buat sesuatu, baru kemudian direfleksikan menjadi suatu pengetahuan yang terstruktur. Ini berbeda dengan dunia sains, yang mendapatkan pengetahuan dari mengamati suatu fenomena, dan setelah itu baru membuat sesuatu dari pengetahuan yang didapatkan.  Ketika mengalami masa pandemi, beberapa pengamat menyarankan agar dunia properti bisa menata ulang cara kerjanya, diam sejenak untuk berpikir bagaimana strategi ke depannya.  Masa ini bisa menjadi momentum ketika dunia properti memanggil dan menata kembali pengetahuan-pengetahuan yang pernah muncul lewat kerja yang pernah dilakukan.

Maka, jika dunia arsitektur dan duni properti ingin bersama-sama membangun relasi yang bersifat mutual, maka relasi personal perlu ditarik ke relasi pengetahuan. Di sini, disiplin arstitektur perlu diletakkan lebih dari sekadar hubungan klien dengan konsultan perencana, namun relasi berbasis pengetahuan untuk membangun sesuatu. Sebenarnya ini merupakan prasyarat dari inovasi: pengetahuan, industri, dan regulasi. Ke depan akan banyak isu yang harus direspon dunia properti dengan pendekatan inovasi, misalnya isu lingkungan secara global, isu preferensi lingkungan tinggal dan kerja generasi milenial, ekonomi minim kontak (Less Contact Economy/ LCE) masa pandemi, dan sebagainya. Arsitek dan pengembang sama-sama sebagai agen pembangunan dengan posisinya masing-masing. Menarik relasi dari personal ke pengetahuan, akan menjadi jalan bagaimana dunia properti bisa menghasilkan aneka inovasi demi pembangunan yang berkelanjutan.

Materi kuliah tamu: Ekomadyo 2020 – Architecture as Development Agen on Property Market

Mengamati Eksperimen Kolektif Masa Pandemi

Ketika Pemikiran Latour dibaca sambil Berjemur

(Refleksi dari Webinar Kajian Siaga Wabah/ Kiswah, YPM Salman ITB, Jumat 12 Juni 2020)

Materi paparan:Ekomadyo (2020) – Latour How to Bring the Sciences into Democratic Pandemic Policies (Kiswah 3 Salman)

Sebagai seorang arsitek, seperti kebanyakan orang awam, saya juga kebingungan saat pandemi datang. Namun sebagai seorang dosen, saya harus siap-siap jika ditanya tentang pandemi, dan jawabannya kalau bisa ada dasar ilmiahnya. Duh, pemikiran siapa yang bisa dirujuk, ya, mengingat pandemi ini merupakan fenomena yang baru, sehingga semua orang, termasuk para pemikir, masih meraba-raba.

Nah, terlintas satu buku karya Bruno Latour, “Politics of Nature: How Bring the Sciences into Democracy”. Sepertinya menarik untuk dipelajari dan dibagi, apalagi pada awal-awal pandemi muncul kesan pemerintah dan masyarakat Indonesia meremehkan Covid-19 dan data-data saintifik yang menyertainya. Dalam diskusi dengan pak Sonny Yuliar, disebut bahwa buku ini merupakan masterpiece pemikiran Latour. Walah, masterpiece bagaimana, nih, berkali-kali membaca saya nggak ngerti-ngerti juga. Untunglah ketika awal Pandemi ada gerakan “Indonesia Berjemur”. Jadi saat menganggur ketika berjemur, saya membaca bukunya Latour, tentang Politics of Nature.

Kalau membaca buku sulit, trik saya adalah menuliskan kembali teks buku tersebut, memilah kalimat penting yang tidak, dan menebalkan frasa-frasa yang menjadi kunci pemikiran. Sekalian jadi pengalihan perhatian saat jenuh dari pekerjaan lain, jadi bukan suatu upaya khusus. Dari menulis itu, saya mulai mengerti pelan-pelan apa yang menjadi perhatian Latour, dan apa yang ingin ia sampaikan ke pembaca. Di luar teks, saya coba kaitkan pemikiran ini dengan konteks sehari-hari. Mencoba menjawab aneka persoalan pandemi dengan konsisten menggunakan pemikiran Latour. Dua hari menjelang presentesi, terus terang, saya baru bisa mengerti betul apa yang sebenarnya dimaui Latour. Jadi presentasi itu saya mencoba membuat pemikiran Latour relevan dengan konteks kebijakan pandemi di Indonesia. Jadi saat ditanya, saya menjawab bukan berdasar opini saya pribadi, tetapi seolah mewakili Latour menjawab pertanyaan sesuai konteks yang dihadapi penanya. Fyuh…

Nah, satu hal yang saya pelajari adalah konsep “eksperimen kolektif”. Di sini Latour membuat analogi penerapan sains dalam politik seperti prosedur eksperimen di dalam laboratorium. Ada prosedur yang ketat, dan setiap tahap akan menghasilkan data yang menjadi bahan bagi pengetahuan. Eksperimen kolektif ini pas untuk menjelaskan penolakan pedagang pasar saat akan ditest Covid, meski data menunjukkan pasar merupakan kluster penularan virus itu. Namanya juga eksperimen, beberapa tahap bisa tidak berhasil seperti yang dirancang. Namun, kegagalan itu tetap dicatat, karena menjadi bahan belajar untuk tahap selanjutnya.

Saya percaya, cara efektif belajar adalah dengan mengajar. Setelah presentasi, rasanya saya yang paling banyak belajar tentang Latour. Menjawab pertanyaan audiens menguji kematangan pemahaman saya terhadap pemikiran Latour. Dan yang istimewa, saya mengundang satu teman yang lebih banyak membaca Latour, John Petrus Tanlan, untuk ikut hadir di sesi diskusi. Lewat beliau, saya menambah pengetahuan baru, bahwa isu Pandemi bukan barang baru dari Latour, karena lewat buku “Pasteurization of France”dia pernah bisa menjelaskan bagaimana bagaimana Perancis bisa mengatasi wabah Antrax di negara itu. Dan lewat kajian-kajian parsial seperti itu, Latour kemudian mampu membentuk corpus (batang tubuh) pemikirannya, lewat buku “We have Never been Modern”.

Setelah berjemur, rasanya saya ingin berjemur lagi. Masih banyak pemikiran Latour yang menarik untuk dijelajahi.

 

 

 

“Mantri Pasar” dalam Perspektif Teori Jaringan-Aktor

Catatan dari Bimbingan Teknis Pengelolaan Pasar Rakyat, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat, Bandung, 12 Maret 2020

Materi paparan: Ekomadyo (2019) – Mantri Pasar (Bimtek Indag Jabar)

Bagaimana teknologi bisa berperan dalam menata pasar rakyat? Dalam praktik, pengelolaan pasar rakyat merupakan hal yang rumit, karena mengatur kepentingan banyak orang.  Dan setiap orang ini akan punya kehendak sendiri-sendiri. Tentu hal ini akan membuat sulit pengelolaan pasar rakyat, termasuk membuat pasar menjadi lebih tertata dan nyaman bagi pengunjung. Apakah teknologi, dalam hal ini dipahami sebagai seperangkat objek-objek teknis yang digunakan untuk membantu pekerjaan manusia, bisa berperan dalam menatakelola pasar rakyat dengan kerumitan sosial di dalamnya?

Dalam tradisi masyarakat di Indonesia, dikenal sebutan “Mantri Pasar” sebagai representasi penghargaan akan status sosial para pengelola pasar (Kuntowijoyo, 1995). Konsep “Mantri” sebenarnya sebutan lokal untuk peran “menteri”, dan ini terkait dengan filosofi “ad-ministraire” yang berkenaan dengan pengasuhan masyarakat atau mengelola relasi-relasi sosial (Kaur, 2018). Di sini, ada dua peran “Mantri Pasar”: peran administratif: melaporkan dan mempertanggungjawabkan tugas yang diberikan, dan peran teritorial: menjaga masyarakat yang ada dalam wilayah administrasinya tersebut.

Dari pengertian tersebut, ada dua macam objek-objek teknis yang digunakan “Mantri Pasar” untuk menjalankan tugasnya: yang berkaitan dengan peran administratif dan yang berkaitan dengan peran teritorial. Yang terkait dengan peran administratif adalah aneka catatan-catatan, terutama catatan retribusi dan penggunaannya. Yang terkait dengan teritorial adalah sarana dan prasarana yang digunakan oleh pedagang dan pembeli pasar. Artinya, “Mantri Pasar” bisa memanfaatkan seperangkat objek-objek teknis tersebut dalam menatakelola pasarnya, termasuk dalam melayani dan mengendalikan para pelaku pasar tersebut.

Dalam perspektif ANT, objek-objek teknis mempunyai relasi mutual dengan aktor-aktor manusia secara kolektif. Ada 4 tingkat kolektivitas aktor manusia dengan objek-objek teknis: interferensi, komposisi, pelipatan ruang dan waktu, dan delegasi (Latour, 1999). Artinya, teknologi bisa digunakan sebagai mediator dalam mengelola manusia. Berbeda dengan watak manusia yang punya kehendak dan suka berubah-ubah, teknologi tidak punya kehendak: ia adalah delegasi dari kehendak manusia.

Dalam ANT, dikenal istilah “script”, yang berarti seperangkat aktor-aktor non manusia berupa gagasan, teks, prosedur, dan objek-objek teknis yang dipergunakan manusia agar aktor manusia lain berbuat sesuatu (Ackrich, 1992, Yuliar, 2011). Dengan “script”, maka keberadaan seperangkat objek-objek teknis akan menstabilkan relasi dari aktor-aktor manusia.  Maka, untuk menatakelola kerumitan sosial dalam pasar rakyat, “Mantri Pasar” bisa memanfaatkan teknologi.

Ada teknologi untuk peran administratif, yang tidak terlihat khalayak namun yang menjaga bagaimana kinerja pasar berlangsung, ada teknologi untuk peran teritorial, yaitu sarana dan prasarana pasar, di mana performa pasar akan terlihat oleh khalayak. Seperti analogi dalam desain hotel, ada back of the house, di mana kegiatan servis dijalankan, dan ada front of the house, di mana hotel dinikmati oleh para pengunjungnya.

 

“Mantri Pasar” in Actor-Network Theory Perspective

Note from Workshop on Public Market Governance, West Java Industrial and Trade Office, Bandung, March 12, 2020

How technology contributes to public market governance? In practice, governancing public market is a complicated matters: there are many actors’ interests assembled here. It is difficult to manage public market to more well-ordered and comfortable for public. Can technology -that is means as sets of technical objects supporting human works- help the complicated public market governance?

In Indonesian tradition, it is described “Mantri Pasar” as social status merit for public market managers (Kuntowijoyo, 1995). The term of “Mantri” is a local description for the role of “ministry”, related to the philosophi of “ad-ministaire”, referring to work to care the people or managing affairs (Kaur, 2018). So, there are two role of “Mantri Pasar”: administrative role: task reporting and responsibility, and territorial role: to look after human relation in his/her administrative area.

There are two kinds of technical objects utilized “Mantri Pasar”: administrative and territorial technical objects. Admisitrative technical objects include documents and work procedures, especially procedures and document of retribution and how it is used. Territorial technical objects are market infrastructures and facilities that are used by traders and buyers. It means, “Mantri Pasar” can utilized a sets of technical objects – a technology – to govern the market, including to serve and control the actors.

In Actor-Network Theory (ANT), technical objects have mutual relation with human actors in a collective.  There are 4 level collectivity of humans and technical objects: interferences, compositions, folding time and space, and delegation (Latour, 1999). It means, technology can be utilized as mediator to govern human actors Different, with human with unstable desire, technology tends to be a non-desired stable actors. There is a concept of “script” in ANT, that means a set of non-human actors include ideas, texts, procedures, and technical objects that utilized to each actor to make other actors do something (Ackrich, 1992, Yuliar, 2009). With “script”, the technical objects can stabilize human actors relation. To govern complicated public market social relation, “Mantri Pasar” can utilize technology: administratively and territorially. As like as behind-the-scene script, administrative technology is utilized how to keep the market performance, to support to the facilities and infrastructures -as territorial technologies- that represents the market performance and image to the public. It can be analogized of hotel performance: there is back of the house, where services are organized, and front of the house, where hotel are performed to and enjoyed by visitors.

 

Referensi/ References:

  1. Akrich, M., (1992). The De-Scription of Technical Objects. In Bijker, W.E., and Law, J., 1992. Shaping Technology/ Building Society Studies in Sociotechnical Change. The MIT Press Cambridge, Massachusetts
  2. Bijker, W.E., and Law, J., (1992). Shaping Technology/ Building Society Studies in Sociotechnical Change. The MIT Press Cambridge, Massachusetts Design Studies, 1(1), 17-24.
  3. Kuntowijoyo (1994). Pasar. Bentang, Yogyakarta
  4. Kaur, J. (2018). Administration. https://slideshare.net/jasleensaggu/philosophy-of-administrationdefinition-of-administration-and-management
  5. Latour, B., (1999). A collective of humans and nonhumans: following Daedalus’ labyrinth. In Latour B. (1999). Pandora’s Hope: Essays on the Reality of Science Studies. Cambridge: Harvard University Press
  6. Latour, B., (1999). Pandora’s Hope: Essays on the Reality of Science Studies. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press
  7. Yuliar, S., (2009). Tata Kelola Teknologi: Perpektif Jaringan Aktor. Bandung: Penerbit ITB