Kreativitas vs Prosedur dalam Desain Pasar Rakyat

Catatan dari Sosialisasi Persiapan Pasar Rakyat ber-SNI, Cirebon, 20 Agustus 2019 dan Depok, 12 September 2019, dan Pelatihan Manajemen Pasar Rakyat di Kabupaten Bandung, 14 November 2019

Bagi arsitek, kreativitas seolah-olah adalah segalanya. Bayangkan kalau tidak kreatif, tentu arsitek tidak terlalu dibutuhkan. Maka sering arsitek agak alergi dengan perancangan yang diikat dengan prosedur tertentu. Sebagai contoh, rumusan tentang kriteria rancangan pasar rakyat yang dibuat penulis tidak banyak dijadikan panduan bagi mahasiswa untuk mengukur kinerjanya dalam merancang pasar rakyat. Mahasiswa lebih memilih mengujicobakan olah-logika dan olah-bentuk-ruang yang lebih mengasyikkan dalam dalam merancang pasar, daripada mengecek hasil rancangan menurut kriteria tersebut. Arsitek eksis karena mampu menghasilkan hal-hal yang baru dalam rancangan lingkungan binaan. Mahasiswa arsitektur pun lebih membuat pembimbing terkesan atas kreativitasnya daripada ketaatannya pada kriteria dan prosedur tertentu.

Namun pada kenyataannya, pengetahuan tentang wujud arsitektur yang baik tidak dipunyai oleh semua orang. Maka, muncul suatu pernyataan bahwa, karya arsitektur yang baik bukan hanya ditentukan oleh arsitek yang kompeten, namun juga klien yang punya pengetahuan memadai tentang arsitektur. Ketika berhadapan dengan klien yang tidak punya pengetahuan memadai tentang wujud arsitektur yang baik, arsitek akan menghadapi dilema: antara idealisme mewujudkan karya atau pragmatisme menuruti keinginan pemberi tugas.

Dalam perancangan pasar rakyat, kreativitas arsitek akan berhadapan dengan banyak kepentingan dari stakeholder, yang belum tentu semuanya punya pengetahuan yang sama tentang wujud arsitektur yang baik. Ketika diminta menjadi ketua tim perumus SNI tahun 2015 lalu, paper penulis tentang kriteria desain pasar rakyat (https://temuilmiah.iplbi.or.id/wp-content/uploads/2012/10/TI2012-01-p001-004-Isu-Tujuan-dan-Kriteria-Perancangan-Pasar-Tradisional.pdf) pun mengalami reduksi luar biasa setelah mengalami pembahasan dengan stakeholder. Dan ketika harus men-sosialisasikan SNI tersebut, reduksi kembali terjadi, agar substansi menjadi ringkas dan bisa secara instan dipahami dan dilaksanakan oleh para pemangku kepentingan pasar rakyat. Tentu menjadikan pasar rakyat ber-SNI adalah cita-cita para pemangku kepentingan, namun dengan kesibukan mengelola pasar sehari-hari dan keterbatasan kapasitas yang dimiliki, mereka tidak punya waktu dan kapasitas cukup untuk melakukan olah-logika dan olah-bentuk-ruang seperti para arsitek dan mahasiswa arsitektur.

Menurunkan substansi perancangan arsitektur ke dalam prosedur yang ringkas merupakan tantangan tersendiri bagi penulis. Reduksi terhadap kualitas arsitektur? Sebentar dulu… Sebagai arsitek yang mendalami Actor-Network Theory (ANT), ini bukan reduksi, tetapi membuat “script” baru. Dalam ANT, “script” dipahami sebagai serangkaian gagasan, teks, prosedur, dan objek-objek teknis yang dibuat oleh aktor agar orang lain untuk berbuat tertentu. Nah, prosedur ini penulis buat agar para pengelola “melek” desain pasar secara “instan”. Metode “checklist” dan “command and control” bisa jadi lebih efektif untuk memasukkan desain arsitektural menjadi bagian penting dalam tatakelola pasar rakyat.

Show must go on. Sejauh mana pendekatan ini berhasil menciptakan pasar-pasar dengan desain arsitektur yang baik, hasilnya kita tunggu. Sebagai peneliti pasar, apa pun wujudnya, tetap akan menghasilkan pengetahuan baru. Mengutip Latour: “.. the social is further detected through the surprising movements from one association to the next; those movements can either be suspended or resumed…”. Artinya, pendekatan Latourian dalam desain arsitektur membuka ruang bagi desain arsitektur untuk diletakkan dalam suatu relasi sosio-teknis yang terus bergerak…

 

Materi sosialisasi SNI dapat diunduh di sini:

Ekomadyo (2019) – Prosedur Menyiapkan Pasar yang Ber-SNI

Ekomadyo (2019) – Manajemen Pengelolaan Pasar Ber-SNI (Pelatihan Manajemen Pasar Kab Bandung)

Menulis sebagai Refleksi

(Catatan dari materi pelatihan “School of Intellectual Writing Skills: Writing Has Been Never Easier”, Keluarga Muslim Pascasarjana ITB [KAMIL], 31 Agustus 2019)

Mengapa menulis itu penting? Ada segudang argumentasi: mulai dari bahwa sejarah manusia dimulai dari tulisan, bagaimana tulisan itu representasi paling akurat dari pengetahuan, sampai motivasi pragmatis untuk kewajiban mahasiswa atau dosen. Namun menulis bias dilihat sebagai sesuatu yang mengasyikkan, karena menjadi sarana untuk mengekspresikan diri. Menulis bisa juga menjadi sarana untuk menstrukturkan aneka gagasan yang berkecamuk di dalam benak.

Namun menulis bisa jadi sarana refleksi. Seperti kata Ebiet G. Ade, menulis bisa menjadi sarana untuk “… tengoklah ke dalam sebelum bicara, singkirkan debu yang masih melekat…”. Dan bagi saya, setelah hampir 30 tahun serius menulis, saya membagi menulis menjadi dua hal: menulis sebagai ekspresi diri dan menulis sebagai bagian dari pekerjaan. Yang pertama biasanya menjadi materi dari berbagai training tentang penulisan, yang bertujuan memberikan motivasi peserta untuk menulis. Yang kedua, ini ketika dunia akademis, termasuk dosen dan mahasiswa, ditarget untuk membuat tulisan ilmiah dalam jurnal bereputasi. Kadang keduanya baur, kadang yang satu mempengaruhi yang lain. Sebuah hobby bisa menjadi profesi, namun sebaliknya, profesi bisa dinikmati selayaknya hobby.

Dunia tulis menulis memang berkembang terus. Apa yang diajarkan dulu, bisa kadaluwarsa kini. Maka ketika menulis menjadi sarana refleksi, kita tahu sekarang kita ada di mana, dengan melihat apa yang terjadi di sekitar kita, pergerakan dan perubahan apa yang tengah berlangsung.

Materi Pelatihan: Ekomadyo 2019 – Menulis Sebagai Refleksi (School Intellectual KAMIL)

Peran SNI dalam Mengelola Relasi Sosial demi Kemajuan Pasar Rakyat

(Catatan dari Narasumber Bimbingan Teknis bagi Pengelola Pasar 24-25 Juni 2019)

Apa manfaat langsung dari SNI (Standar Nasional Indonesia) Pasar Rakyat bagi pengelola pasar rakyat? Apakah hanya sekadar untuk dibanggakan? Atau perangkat ini bisa membantu bagi para pengelola di tengah rumitnya mengurus pasar?

Pada kenyataannya, mengelola pasar merupakan pekerjaan yang rumit, karena banyak pelaku di dalamnya. Masing-masing membawa kepentingan, dan sering terjadi konflik di dalamnya. Dalam novel bertajuk “Pasar”, Kuntowijoyo dengan indah menarasikan relasi-relasi antar para pelaku pasar, termasuk konflik-konflik di dalamnya, yang sering dipicu –seperti halnya realitas tatakelola pasar- relasi-relasi di luar pasar tersebut. Dalam novel itu, kepala pasar disebut sebagai “Mantri Pasar”, yang secara konotatif mengarah pada orang yang dihormati karena tanggung jawab pada kewenangannya –selayaknya seorang “menteri”, dan bagaimana di akhir cerita terjadi kaderisasi Mantri Pasar karena sang kader akhirnya mampu menunjukkan kompetensi dalam mengelola relasi-relasi sosial pada pasar tersebut.

Dalam perspektif Teori Jaringan Aktor (Actor-Network Theory/ ANT), fenomen sosial disebut sebagai “kolektif”, mengarah pada “sesuatu yang mengumpul” (something to be collected). ANT melihat kolektif sebagai relasi-relasi yang terus bergerak antara aktor manusia dan objek-objek teknis (sebagai aktor non-manusia), sehingga relasi ini sering disebut relasio sosio-teknikal. Dengan sudut pandang seperti ini, maka objek-objek teknis, termasuk SNI dan bangunan pasar, bisa berperan sebagai agen yang mampu menstabilkan relasi-relasi manusia yang ada.

Belajar dari pengalaman lapangan pengelola pasar, SNI ternyata memudahkan dalam mengelola relasi sosial, karena menjadi acuan untuk menentukan suatu tindakan yang boleh dan yang tidak. SNI merupakan seperangkat prosedur, di dalamnya ada seperangkat konsep dan gagasan, dan jika diterapkan akan menghasilkan aneka objek-objek teknis yang dibangun di dalam pasar tersebut. Aneka objek teknis ini bisa menjadi pengikat untuk tindakan-tindakan pelaku pasar. Objek-objek teknis ini bisa menjadi delegasi bagi pengelola pasar untuk menertibkan, bahkan bisa memajukan pasar yang dikelola.

Mengelola pasar membutuhkan kekuasaan. ANT tidak mengesampikan relasi kuasa (power relation) yang menjadi perhatian para pemikir sosial lainnya. Bedanya, ANT melihat relasi kuasa itu ada di dalam kolektif, bukan sesuatu yang berada di luarnya. Maka, jika para pengelola pasar cerdik, maka ia akan menggunakan pengetahuan tentang relasi-relasi sosio-teknis yang ada di pasar tersebut sebagai kekuatan untuk mengelola pelaku pasar lainnya. Di sini SNI, dan nantinya objek-objek teknis yang dihasilkan dari turunannya, berperan sebagai mediator dalam pengelolaan itu. Jika ini berhasil, maka para pengelola pasar akan menjadi Mantri Pasar, sebutan yang didapatkannya karena kecakapannya dalam mengelola (kerumitan) pasar.

Materi presentasi: Ekomadyo (2019) – Modal Sosial Kultural untuk SNI Pasar Rakyat (Bimtek Indag Jabar)

SNI 8152 2015 dan Tata Kelola Pasar Rakyat

Saya tidak menyangka, hanya karena satu paper tentang isu, tujuan, dan kriteria perancangan pasar rakyat (https://temuilmiah.iplbi.or.id/wp-content/uploads/2012/10/TI2012-01-p001-004-Isu-Tujuan-dan-Kriteria-Perancangan-Pasar-Tradisional.pdf), saya langsung diminta menjadi ketua tim perumus SNI 8152 2015 tentang pasar rakyat. Di situ saya mempunyai harapan, bahwa SNI akan menjadi acuan dalam program revitalisasi pasar rakyat oleh pemerintah RI. Dalam penyusunan SNI tersebut, dan dilanjutkan dengan penyusunan SNI-SNI lainnya, saya belajar bahkan menetapkan standar membutuhkan banyak negosiasi. Kriteria yang disusun dari sisi akademis, yang berorientasi pada kualitas, ternyata belum tentu diterima oleh kalangan praktisi, yang berorientasi pada pemecahan masalah sehari-hari.

SNI memang punya pengaruh dalam kegiatan revitalisasi pasar rakyat selanjutnya. Beberapa pengelola pasar pun berlomba mendaftarkan pasar yang dikelola agar bisa mendapatkan SNI. Namun, hal ini mendapat kritik, karena setelah ber-SNI beberapa pasar justru menjadi sepi.

Memang realitas pengelolaan pasar begitu rumit, dokumen SNI tidak akan menjadi obat mujarab dalam menyelesaikan kekarutan penatakelolaan pasar rakyat. Dalam kompleksitas masalah sosial ini, Lefebvre percaya bahwa penataan ruang, dalam hal ini bangunan pasar, bisa berperan dalam mendisiplinkan sosial. Lebih jauh lagi, menurut Latour, keberadaan teks, prosedur, dan objek-objek teknis berperan dalam menstabilkan relasi sosial. Artinya, SNI dan revitalisasi bangunan pasar akan punya peran dalam menatakelola pasar rakyat agar bisa lebih baik.

Namun upaya ini pastilah butuh waktu. Kostof mengingatkan melalui konsep urban process, dan Lefebvre menambahkannya dengan rhytmanalysis of everyday life. Upaya perbaikan pasar menuntut upaya yang konsisten dan kontinu: dimensi waktu berperan dalam upaya ini.

Dan pasar terbentuk karena rajutan masyarakat, like a rhizome. Dan yang paling jago dalam mengelola rhizome adalah ibu-ibu, karena mampu mengerjakan aneka pekerjaan secara multi-tasking, dan membuat anggota keluarga, termasuk dirinya, menjadi bahagia. Seperti peran Nick Fury yang harus ada agar superhero the Avangers tidak bertempur antar mereka sendiri, beginilah rhizome dikelola. Dalam bahasa Indonesia, “governance” sering diterjemahkan dari “tata pamong”: “to govern” punya makna “ngemong” yang berarti mengasuh. Maka, mengelola pasar berarti “mengasuh” pasar. Dan SNI adalah alat untuk mengukur apakah pengasuhan itu sudah berjalan baik atau belum.

Materi sebagai Narasumber tentang “Pasar Rakyat Jawa Barat Menuju Pasar Ber SNI: dalam Bimbingan Teknis bagi Pengelola Pasar Pasar Rakyat Juara Jawa Barat 2019 bisa diunduh di sini:

Ekomadyo (2019) – SNI Pasar Rakyat Menuju Pasar Juara (Bimtek Indag Jabar)

Poster Bimtek Pasar Juara

Essay

Perspektif dalam Membaca Arsitektur Kota: Catatan Sejenak Menelusuri Pasar Kenari Jakarta

 by 

Pasar-Kenari-thumbnail-e1535632359386Di Jakarta ada sebuah tempat bernama Pasar Kenari. Ketertarikan saya karena pasar ini terletak di sebelah kantor tempat saya bergabung dengan komisi yang menyusun aneka standar untuk fasilitas perdagangan di Indonesia, sebagai kelanjutan dari penyusunan standar untuk Pasar Rakyat. Selain itu, nama “Kenari” mempunyai asosiasi dengan brand sebuah produk bahan bangunan yang dikenal berkualitas tinggi. Saya berharap bahwa tempat ini mempunyai cerita tentang bagaimana suatu usaha perdagangan kota dibangun. Apalagi ketika tukang ojek bercerita, bahwa Pasar Kenari merupakan Glodok kedua bagi Jakarta.

Foto-Pasar-Kenari-2Penjelajahan saya ke tempat ini dimulai dari perspektif satelit. Tepatnya dengan peta digital yang tersedia di internet (gambar 1). Perspektif ini memberikan orientasi tentang tempat ini. Di peta, Pasar Kenari ternyata terletak di persimpangan jalan. Di seberang pasar ada tempat bernama Plaza Kenari Mas dan Pasar Paseban. Selintas langsung terbayang bahwa kedua tempat ini terkait dengan keberadaan Pasar Kenari, dan akan bisa menjelaskan bagaimana aktivitas perdagangan berkembang di tempat ini. Selain itu, perspektif satelit (lewat peta) membantu orientasi saat nanti mendapat kesempatan melakukan penjelajahan lewat darat. (Read more)

Pasar Gempol: Becoming Heritage Tourist Marketplace

 by 

Foto-Gempol-Tourism-thumbnail-e1535626254347Ketika pertama kali mengajak keluarga “berwisata” ke Queen Victoria Market, anak tertua saya sempat berteriak: “kaya di Cihapit!”. Lho, membandingkan pasar di Bandung dengan di Melbourne, apakah “apple to apple”? Mungkin ada persamaan antara dua pasar itu: keduanya terletak di kawasan bersejarah, dan keduanya menghadirkan komoditas yang bisa menjadi atraksi wisata. Yang jelas, selain Pasar Cihapit, Bandung punya satu lagi pasar rakyat di kawasan bersejarah: Pasar Gempol.

Foto-Gempol-Tourism-1024x689 (1)Sebagai kawasan bersejarah,  Gempol punya sejarah menarik. Kawasan ini merupakan bagian saat kota Bandung dirancang sebagai kota “Indisch” dengan konsep “Garden City” di masa colonial lalu, yang wujudnya dikenal masyarakat dengan kota “Parisj van Java”. Gempol merupakan salah satu kluster permukiman yang dirancang untuk membangun karakter “Eropa Tropis”, dengan morfologi kantong tertutup (encalave) dengan taman terbuka dan bangunan penanda di pusat sekaligus pintu masuk kawasan (Siregar, 1990:167-189). (Read more)

“Ngawangkong” Pasar Purnama

14 August 2018 By  Agus S. Ekomadyo

Gambar-00-Thumbnail-1500x1000Tulisan ini dibuat sebagai refleksi dari pelaksanaan Pasar Purnama yang diselenggarakan pada malam gerhana bulan Juli lalu. “Ngawangkong” dalam bahasa Sunda artinya berbincang-bincang, jadi dalam bahasa sekarang bisa diartikan sebagai “Ngobrolin Pasar Purnama”. Kebetulan, saya menjadi salah satu pembicara di acara Ngawangkong Samagaha yang diselenggarakan di Kampung Areng Desa Wangunsari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat (gambar 1). Dari atas panggung inilah, saya menangkap “Genius Loci” terselenggaranya suatu Pasar Purnama di kampung ini.

Gambar-01-Ngawangkong-375x250Sebelum “manggung”, saya mencoba menelusuri “Spirit of the Place” terselenggaranya Pasar Purnama ini. Awalnya, penelusuran dilakukan secara snapshot melihat bagaimana para pedagang memilih dan menata lokasi dagangannya mencoba mencari peruntungan memanfaatkan event gerhana bulan yang terjadi. Karena sedang mempelajari pemikiran Lefebvre (1991:26) dan memanfaatkannya untuk menjelaskan fenomena arsitektur, pengamatan sesaat ini membawa saya untuk memahami bagaimana ruang-ruang diproduksi oleh masyarakat setempat, yang kemudian mengkonstruksi sebuah pasar temporer memanfaatkan fenomena bulan purnama. (Read more)

Sejenak Riset Partisipatif di Pasar Kosambi

Kosambi-2Saya paling senang bila diminta mengantar berbelanja ke pasar. Di situ saya bisa mengamati pasar secara partisipatif, berperan sebagai pengantar yang berbelanja, sehingga bisa mencerap suasana secara lebih dekat namun tetap bisa mengambil jarak agar bisa membangun cerita. Kali ini di Pasar Kosambi, pasar di Bandung yang jadi “trending topic” di kalangan ibu-ibu yang musti menyiapkan seragam anaknya saat akan masuk sekolah. Di pasar ini, ada beberapa “brand” yang terkenal secara informal, misalnya toko “Resko”, dan diikuti oleh nama-nama lain yang mirip, seperti “Riska”,“Restu”, dan “Risma” (gambar 1). Pasar ini menjadi sangat ramai oleh aktivitas penyediaan seragam: bukan hanya baju, tetapi aktivitas meng-kustomisasi-nya sesuai kebutuhan konsumen lewat tangan-tangan (dan mesin) para penjahit (gambar 2). Ramainya aktivitas ini menciptakan suasana yang khas, dalam bahasa arsitekturnya “place”, namun bukan suasana rekreatif seperti yang digambarkan dalam gambar-gambar presentasi arsitektur. Mungkin para konsumen, seperti istri saya, tidak dalam suasana rekreatif di pasar ini, lebih tepatnya suasana buru-buru seiring irama pendaftaran masuk sekolah. Wajah-wajah “sumringah” justru terlihat pada para tukang jahit, meski ribet melayani konsumen tetapi fenomena tahunan ini akan memberi dampak buat rejeki mereka. (Read More)

Pasar Rakyat: antara Desain dan Tatakelola

Pasar-Peterongan-01-02a-400x225Wow, Pasar Peterongan jadi cagar budaya kota Semarang!

Bagian depan pasar ini pun dirancang menjadi ruang publik, tempat duduk-duduk, dinaungi pohon tua yang sengaja ditempatkan pada sumbu simetri bangunan untuk menjadi tengaran. Ada dua prasasti disematkan di tempat ini, menegaskan kepedulian pemerintah kota terhadap keberadaan pasar rakyat.

Masuk ke dalam bangunan, kesan lapang dan segar yang menyambut. Bangunan dirancang cukup tinggi, dengan pengolahan “indirect daylighting” pada langit-langit dan atap bangunan. Sepintas terlihat sang arsitek terinspirasi oleh Thomas Karsten, yg menerapkan teknik ini pada 3 pasar yang dirancangnya untuk kota Semarang. (Read more)

Reflective Practitioning: Belajar Menarik Nilai-Nilai dari Pengalaman Kerja Arsitek

Konsep Reflective Practitioner dikembangkan oleh Donald Schon dalam membangun masyarakat belajar (learning society) dalam suatu organisasi. Di sini dia mengkritik pendekatan rasional-teknikal untuk pengetahuan profesional yang dinilai terlalu positivistik dan deterministik dan sering tidak mampu menjawab masalah relevansi pengetahuan dengan kondisi nyata yang terjadi. Pendekatan reflektif dikembangkan Schon dengan pendekatan “seni bertindak”, mencoba mencari pelajaran-pelajaran berharga dari pengalaman yang dirasakan, untuk kemudian ditarik kembali ke teori-teori yang digunakan. (Read more)

La La Land, Menjadi “Ndeso”, dan “Indonesian Dreams”

01-02a-400x225Apa sih bagusnya film Lalaland, hingga sempat mau mendapatkan piala oscar (tetapi nggak jadi)? Kalau dari covernya, awalnya saya menyangka film paling cuma masalah cinta dua pasang kekasih berbalut lagu-lagu dan tari-tari saja. Ternyata lebih dari sekadar menyanyi dan menari, film ini mengisahkan perjuangan dua orang manusia untuk mencapai mimpi mereka, satu sebagai aktris dan satu sebagai musisi. Dan film ini rupanya menyajikan aneka lagu dengan syair-syair yang sangat puitis. Bukan sekadar itu, di akhir film ini pesan tentang “American Dreams”, yang diantarkan dengan pelan-pelan sepanjang film, mendapatkan momentum terpentingnya. Is a dream must comes true? Lihat saja filmnya… (Read more)

Cek “Place” Sebelah: “Everyday Architecture” Dalam Sebuah Film

Film “Cek Toko Sebelah” mungkin akan menjadi salah film yang dikenang oleh masyarakat Indonesia saat ini. Film ini tercatat dilihat oleh 2,5 juta penonton. Jumlah luar biasa ini memang berbanding lurus dengan konten yang ditawarkan oleh film ini. Saat usai menonton film ini di sebuah bioskop, penulis mengamati sebagian besar penonton masih terduduk di kursinya masing-masing, tak segera beranjak pergi seperti biasanya ketika credit title mulai dimunculkan di akhir film. Mungkin masih tersimpan di benal kesan mendalam dari film ini, dan berharap tayangan belum berakhir. Bahkan beberapa hari setelah ini, saya juga masih menemukan kawan-kawan yang aktif membincangkan hal-hal menarik dari film ini. (Read more)

 

 

 

 

 

 

 

 

“Design Thought”: Berpikir Mendalam Melalui Desain

 by 

Agus S. Ekomadyo, Kelompok Keahlian Perancangan Arsitektur SAPPK ITB, aekomadyo00(at)gmail.com

Format artikel pdf: Ekomadyo 2017 – Design Thought (Footprint)

Di mana pendidikan tinggi (PT) arsitektur dalam era teknologi disruptif seperti saat ini? Apakah produksi arsitektur, termasuk oleh para mahasiswa, akan semakin didominasi penggunaan perangkat lunak, sebagai keniscayaan zaman, yang dikhawatirkan akan menyebabkan produksi desain arsitektur yang semakin instan? Tulisan Sudaryono (2017) tentang “Pendidikan Asembling” menggambarkan dilema peran pendidikan di universitas saat ini, apakah tetap memainkan peran penemuan-penemuan (discovery) dalam ilmu pengetahuan, atau ikut dalam arus utama kebutuhan industri yang lebih berorientasi pada cara berpikir merakit (assembling). Dilema ini sebenarnya sudah sejak berlangsung sejak lama, ketika pola pendidikan tinggi lebih mengajarkan pengetahuan  praktis untuk menyelesaikan permasalahan, sementara filosofi universitas adalah lembaga yang mengembangkan pengetahuan yang universal. Istilah kuliah sendiri diadopsi dari tradisi pembelajaran masyarakat Islam, yaitu “kulliyyah” yang berarti mempelajari hal-hal yang bersifat holistik, dan ini berbeda dengan pelajaran tentang penggalan pengetahuan khusus yang disebut “juz-iyyah”

Kontroversi peran PT apakah sebagai lembaga untuk pengembangan ilmu pengetahuan ataukah sebagai lembaga pemasok sumber daya manusia untuk kebutuhan industri sebenarnya telah berlangsung lama. Di Indonesia, ketika masih menjabat sebagai Menristek, B.J. Habibie mengritik keras sistem pendidikan tinggi yang tidak berorientasi pada pasar, yang kemudian direspon oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu Wardiman Djojonegoro dengan kebijakan “Link and Match” yang mendekatkan lulusan PT dengan kebutuhan industri. Kontroversi peran PT sebenarnya telah muncul sejak awal didirikannya PT di Eropa. Di awal abad ke-19, dengan dipelopori oleh Wilhelm von Humbold, para akademia membentuk perguruan tinggi yang berorientasi pada pengabdian pada pengembangan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai luhur kemanusian. Kemudian muncul PT berbasis riset untuk kepentingan penyelenggaraan negara yang berkembang di Jerman pada pertengahan abad ke-19, namun PT model ini mendapat reaksi dengan munculnya PT berbentuk Technische Hochschule untuk menghasilkan sarjana teknik untuk memasok tenaga kerja  industri (Yuliar dan Djodikusumo, 2011:70-71).

Dilihat dari sejarahnya, PT Arsitektur terbentuk dari tradisi pemenuhan akan kebutuhan industri. Berkembangnya PT Arsitektur sering dikaitkan dengan Gerakan “Art and Craft” dan Bauhaus di Eropa, sebagai bagian dari gerakan Modernisme di awal abad ke-20. Modernisme sendiri merupakan lahir dari merepresentasikan perkembangan industrialisasi di dunia. Di Indonesia, PT Arsitektur lahir di dalam sebuah Technischne Hoegeschool, yang awalnya didirikan untuk memasok kebutuhan insinyur yang dihasilkan di dalam negeri Hindia Belanda saat itu. Hal ini sangat wajar, mengingat karena disiplin arsitektur dari awal peradaban manusia tumbuh dari tradisi kerja. “Tecton” sebagai akar kata arsitektur mempunyai makna yang dekat dengan “techne”, yang dalam Bahasa Yunani berarti pengetahuan yang didapatkan melalu proses bekerja, yang dibedakan dengan “episteme” yang berarti pengetahuan yang didapatkan melalui proses pengamatan dan pemikiran mendalam.

Dalam buku Footprints: Sarjana Volume 2/2017 ini, memang “techne” terlihat kuat pada produk-produk arsitektural yang dihasilkan oleh mahasiswa Arsitektur Institut Teknologi Bandung ini. Ada pengetahuan tentang kekuatan, kegunaan, dan keindahan yang dieksplorasi melalui tugas-tugas studio. Para mahasiswa bekerja dan mencoba menyelesaikan aneka permasalahan ke dalam karya-karya desain arsitektur yang dihasilkan. Rangkaian produk arsitektur yang disajikan dalam buku ini memberikan gambaran tentang lingkup kerja arsitek beserta pengetahuan arsitektural yang menyertai.

Meski demikian, dalam beberapa foto terdapat ekspresi dominan saat mahasiswa bekerja, yaitu ekspresi rasa ingin tahu. Ekspresi rasa ingin tahu adalah bentuk komunikasi non-verbal yang menunjukkan bahwa mahasiswa tengah mempelajari sesuatu. Lebih sekadar kumpulan produk-produk arsitektur, buku Footprints ini merupakan dokumentasi tentang  “belajar” (learning). Belajar sendiri digambarkan sebagai sebuah upaya untuk “menemukan jalan”: belajar merupakan proses orang untuk merasakan jalan menemukan suatu “dunia” lewat usaha berkesinambungan melalui tindakan gabungan dari pihak manusia dan non-manusia (human and nonhuman agencies) (McFarlane, 2011:1-2). Produk-produk arsitektural yang tersaji sesungguhnya merupakan mediator bagi proses belajar yang terjadi di benak mahasiswa (dan juga dosennya). Sorot mata saat menggambar atau membuat maket menggambarkan adanya tambahan pengetahuan saat berbuat.

Desain sebenarnya juga merupakan kegiatan belajar, karena setiap bekerja  desainer akan memperoleh pengetahuan sifat dasar suatu masalah dan aneka cara terbaik untuk mendapatkan solusinya (Dorst, 2003:16). Belajar lewat desain merupakan proses untuk mendapatkan pengetahuan yang berorientasi pada kecocokan (Saliya, 2003: 204-205). Melihat desain sebagai proses belajar inilah konsep “design thought” yang menjadi judul tulisan ini dimunculkan, yang diartikan sebagai “proses berpikir yang mendalam”. Istilah ini dikembangkan penulis hasil diskusi dengan Ilya Maharika yang mengritik penggunaan istilah “design thinking” yang dianggap kurang mencerminkan orientasi akademis yang kuat.

Dengan pendekatan “design thought”, bisa dijelaskan mengapa pemikiran beberapa arsitek banyak dirujuk oleh arsitek lainnya. Berbeda dengan para saintis yang mengungkapkan pemikiran mendalamnya lewat aneka tulisan ilmiah, arsitek mengungkapkannya melalui karya-karyanya. Dalam beberapa kali kuliah Teori Desain Arsitektur yang diampu penulis bersama Basauli Umar Lubis, ditampilkan beberapa arsitek yang mempunyai pemikiran-pemikiran yang sangat berpengaruh bagi perkembangan dunia. Para arsitek peraih penghargaan Pritzker, seperti Jean Nouvel, yang banyak mengeksplorasi aspek puitis dalam arsitektur, atau Glenn Murcutt yang mengeksplorasi materialitas arsitektur, dinilai mempunyai pengaruh kuat bagi pengetahuan arsitektur dunia karena adanya pemikiran yang mendalam yang terepresentasi pada karya-karya desain mereka. Beberapa arsitek selain berkarya juga menuliskan pemikiran-pemikiran arsitekturalnya, seperti Bernard Tschumi atau Rem Koolhas, yang menyebabkan pemikiran keduanya bukan sekadar dirujuk oleh kalangan arsitek tetapi oleh disiplin-disiplin lain.

Apakah mungkin pemikiran mendalam (thought) dikembangkan dalam PT Arsitektur, mengingat lembaga ini terbangun lebih berorientasi pada kerja? Selama pendidikan arstitektur masih berada dalam insititusi universitas, maka jawabannya adalah ya. Sebagai bagian dari universitas, maka pendidikan Arsitektur juga punya tanggung jawab untuk mempelajari fenomena yang bersifat universal dan menyebarkan temuan-temuannya kepada masyarakat. Kembali ke isu pendidikan asembling di awal tulisan ini, Sudaryono (2017) menyebut dua arus utama peran universitas: yang berorientasi pada “discovery” untuk membuat penemuan-penemuan baru melalui kegiatan ilmiah secara kolektif untuk menyelesaikan masalah-masalah mendasar dalam kehidupan manusia, dan yang berorientasi pada “assembling” untuk menghasilkan sumber daya yang kompetitif merepson perkembangan industri. “Design thought” akan lebih cocok berkembang pada PT dalam arus pertama, di mana desain merupakan proses belajar untuk mendapatkan pengetahuan-pengetahuan baru yang merespon permasalahan-permasalahan kehidupan.

Menilik perkembangan pendidikan tinggi di dunia dan di Indonesia, ada tantangan bagi ITB untuk semakin bertransformasi dari Technische Hoegeschool yang berorientasi penyediaan tenaga kerja handal menjadi universitas yang berorientasi pada pengembangan pengetahuan. Hal ini tercermin dalam visi ITB “menjadi Perguruan Tinggi yang unggul, bermartabat, mandiri, dan diakui dunia serta memandu perubahan yang mampu meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia dan dunia” dan misi ITB untuk “menciptakan, berbagi dan menerapkan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, ilmu sosial, dan ilmu humaniora serta menghasilkan sumber daya insani yang unggul untuk menjadikan Indonesia dan dunia lebih baik” (Rencana Strategis ITB 2016-2020). Dengan demikian, maka mulai ada tuntutan agar agenda perkuliahan bukan sekadar pemberian pengetahuan praktis untuk mahasiswa, tetapi ada aspek sumbangsih untuk permasalahan dan kemajuan bangsa Indonesia dan masyarakat dunia. Sebagaimana sebuah upaya “discovery”, maka kegiatan akademis dalam Pendidikan Tinggi Arsitektur pun menuntut kerja kolektif, sehingga semakin dimungkinkan agar tugas-tugas mahasiswa bersinergi dengan kegiatan penelitain dan pengabdian masyarakat dari para dosen demi pengembangan dan kemanfaatan ilmu pengetahuan.

Dengan demikian, buku Footprints menjadi penting sebagai suatu inskripsi dari proses belajar dan mengembangkan pengetahuan melalui kegiatan desain arsitektur. Di sini mulai terlihat pola, bahwa pada tingkat-tingkat awal mahasiswa mulai belajar tentang pengetahuan praktis untuk menyelesaikan permasalahan desain. Pada tingkat akhir, mahasiswa mulai mampu merespon suatu permasalahan dalam kehidupan masyarakat dan mengujicobakan gagasan-gagasannya dalam proyek-proyek desain. Di sini pemikiran mendalam melalui desain bisa berperan penting, ketika mahasiswa (dan dosennya) mencoba mengartikulasikan aneka solusi desain dengan mengaitkannya  aneka pemikiran lain yang relevan

Ketika menjadi bagian dari universitas, maka desain arsitektur perlu diletakkan juga sebagai proses belajar (learning), bukan sekadar ekspresi kreativitas atau penyelesaian masalah-masalah praktis semata. Bahkan lebih dari itu, desain arsitektur perlu dilihat sebagai evolusi, bagaimana proses belajar yang terjadi merupakan bagian dari proses perkembangan dan perbaikan terus menerus. Sejatinya, desain merupakan kerja manusia untuk mendapatkan kecocokan sebagai upaya adaptasi terhadap berbagai kemungkinan dan perubahan. Buku Footprint adalah inskripsi bangaimana pengetahuan arsitektur berkembang dari masa ke masa di dalam Program Studi Arsitektur ITB. Ia hadir sebagai sebuah penanda manusia yang berpikir mendalam (vita contemplativa) dalam sebuah kerja (vita activa).

 

Referensi

Cross, N. (1982). Designerly Ways of Knowing, Design Studies. Vol.3 No.4 October 1982

Dorst, Kees (2003). Understanding Design: 175 Reflection on Being Designer. Bis Publishers, Sydney

McFarlane, C. (2011). Learning the City: Knowledge and Translocal Assemblage. West Sussex, UK: Blackwell Publishing.

Rencana Strategis Institut Teknologi Bandung 2016 – 2020

Saliya, Y. (2003) Perjalanan Malam Hari. Lembaga Sejarah Arsitektur Indonesia dan Ikatan Arsitek Indonesia Jawa Barat, Bandung.

Sudaryono (2017). Pendidikan Asembling. Artikel dalam Kompas, 29 Agustus 2017.

Yuliar, S. dan Djodikusumo, I. (2009). Tech-Novation. Pemikiran tentang Perluasan Peran ITB dalam Sistem Inovasi Bangsa. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Teknologi Bandung.

 

(Tulisan dipublikasikan dalam Kusyala et al. (2017). Footprint Sarjana: Dokumentasi Studio 2016-2017. Volume 2/2017. Program Studi Arsitektur Institut Teknologi Bandung, https://ar.itb.ac.id/2017/11/29/footprint-2017/)